Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183436 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Buaton, Tiarsen
"Sistem peradilan militer yang berlaku di dunia berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Ada ahli yang menggolongkan sistem peradilan militer didasarkan pada tiga sistem hukum yang berlaku di dunia ini, yaitu common law sysrem, roman law system dan socialist law sysrem. Namun beberapa ahli yang lain menggolongkan sistem peradilan militer berdasarkan kewenangan mengadili atau jurisdisksi dari pengadilan militer itu sendiri menjadi empat golongan yaitu (1) peradilan militer mempunyai yurisdiksi bersifat umum, (2) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi umum yang berlaku secara temporer, (3) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi terbatas pada kejahatan miiiter dan (4) peradilan militer mempunyai yurisdiksi hanya pada saat perang atau operasi militer. Kebanyakan peradilan di berbagai negara lebih menganut pada sistem peradilan militer yang berwenang mengadili kejahatan secara umum Rencana DPR untuk mengubah system peradilan militer dengan membatasi yurisdiksi peradilan militer hanya terbatas mengadili kejahatan militer menimbulkan pro dan kontra, dimana masing masing mempunyai alasan yang berbeda.
Penelitian ini menjadi penting untuk memberikan pertimbangan dan masukan kepada DPR dan Pemerintah dalam rangka menyusun Rancangan Undang Undang Peradilan Militer yang baru dan sekaligus memberijawaban atas beberapa pertanyaan berikut lni. Pertama, bagaimana kedudukan dan yurisdiksi peradilan militer di Indonesia setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua, bagaimanakah kedudukan asas-asas militer yang? merupakan bagian dari asas-asas peradilan militer seperti asas kesatuan komando, komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer, apabila prajurit yang melanggar tindak pidana umum diadili pada peradilan umum. Ketiga, sistem Peradilan Militer yang bagaimanakah yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia.
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, bahwa setelah ditétapkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Peradilan Militer berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, telah membuat peradilan militer semakin independen dan imparsial, sehingga tidak perlu lagi mengubah sistem peradilan militer yang ada saat ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengadilan umum tidak tepat untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit. Pengadilan militer tetap dibutuhkan untuk menegakkan standard disiplin militer karena militer dianggap sebagai komuniti khusus, yang mempunyai disiplin khusus, yang mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan kedaulatan Negara. Kedua, bahwa asas-asas peradilan militer yaitu asas kesatuan komando, asas komandan bertanggungiawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem peradilan militer selain asas umum yang trdapat dalam peradilan umum. Apabila asas tersebut tidak berlaku maka fungsi komandan selaku Ankum/Papera juga tidak berlaku lagi. Demikian juga fungsi pembinaan yang dilakukan oleh komandan selaku Pembina disiplin akan berkurang atau sama sekali hilang sehingga ketaatan prajurit akan berkurang terhadap komandan. Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka disiplin prajurit juga akan berkurang. Dan apabila disiplin berkurang maka efisiensi, kesiapan dan efektifitas pasukan akan sulit dicapai; Ketiga, bahwa sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia dimana Peradilan Militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan militer dan kejahatan umum.

There is no the same military court system in the world. Every state has its own military system. Some experts make the classification of the military justice system on the three main existing system of law, that is, common law system, roman law. system and socialist law system. However the other experts suggested a classitication based on the jurisdictional powers of military courts. They distinguished four different system as follows: (1) one in which military courts have general jurisdiction; (2) one in which they have general jurisdiction on a temporary basis; (3) one in which jurisdiction is limited to military offences; and (4) one in which they have jurisdiction solely in time of war or military operation. Beside these two classification, there are another types of military jurisdiction: firstly, the traditional kind, based on the principle of ?he who gives the orders sits injudgement? made up of members of military and endowed with broad jurisdictional powers; secondly, one in which military justice is incorporated into ordinary jurisdiction as a specialized branch of the latter; and, thirdly, one in which military justice is abolished in peacetime. According to the Act Number 31/ 1997 conceming Military Court, the military justice System in Indonesia has general jurisdiction and is incorporated into ordinary jurisdiction. It means that Indonesian Military court has general jurisdiction to try civil offences and military offences. The plan of the Council of Indonesian Representative to limit the military court jurisdiction just to try military offmrces has caused diierent opinion between the government and the Council.
This dissertation is conducted in order to give the answer of the three questions, that is: first, how is the occupation and the jurisdiction of Indonesian Military Court alter the Act Number 4/ 2004 conceming The Judicial Authority; Secondly, how is the military principles as the pan of the principles of military court such as the principle of unity cfeomrnand, the principle of every commanueer be responsible for this subordinate, and the principle of military necessity; and, thirdly, which court system is suitable to be implemented in Indonesia. The research has been done by using the methodology of normative to analyze the development oflndonesian Military Court jurisdiction after Indonesian Independence until 2008.
After conducting research and making descriptive and prescriptive this dissertation has make some conclusion. First, after concluding the Act Number 4/2004 conceming the Judicial Power, in which the position of military court is undertlre Supreme Court has madethe military court become more independent and impartial, 'dee from 'command intervention. So, no need to change the jurisdiction of Military court. It can be mentioned that the involvernenteof civilian court to fry the military would be detrimental to morale and discipline of military as a special community and would thus pose grave danger to national security. Secondly, all the principles of military court that is, the principle of unity of command, the principle of every commandeer be responsible for his subordinate, and the principle of military necessity should exist in military judicial system beside the general principle of civil court. If those principles are not available, the role of the commandeer as the senior oiiicer that has authority to condemn his subordinate does not function. if it happens, the efiicient, the readiness and the effectiveness of military unit will be ditiicult to be achieve.. Third, the military judicial system implied in Indonesia should be in accordance with the military culture in which the military court still has the jurisdiction to try the member of military who conducts either military offences or civil offences.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1137
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Afrizal Candra
"Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik secara bergantian anatara demokratis dart otoriter. Tarik menarik konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsifpopulistik dan produk hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif dengan kecenderungan linier yang sama. Rezim Orde Baru terutama pada 1967-1981 senantiasa curiga akan gerakan-gerakan Islam. Konfigurasi politik pada peciode ini cenderung otoriter dengan berbagai tipologi perpolitikan. Di tahun 1970-an ini lahir berbagai produk hukum seperti UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 tahun 1974 yang berkarakter ortodoks/konservatif atau elitis. Pada saat slap akomodatif (1985-1998) antara Islam dari negara maka pada era ini lahir Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama maka karakter produk hukum ini bisa dikatakan berkarakter responsif/populistik. Era Reformasi, konfigurasi politik yang tampil adalah demolantis dengan terlibatnya seluruh komponen masyarakat dalarn pembentukan UU No. 4 tahun 2004 maka produk hukum ini berkarakter responsi populistik.
Setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi politik yang berkembang dimasyarakat. Semakin demokratis suatu rezim, semakin responsif dan aspiratif produk hukum yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu setiap produk hukum yang berkarakter responsif/populistik akan mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih demokratis.

The history of political configuration in Indonesia shows the ups and downs in turns between democratic and authority. The pulling of political configuration between the law product which have the characteristics of responsive-populistic and the other Iaw product which have the characteristics of orthodoks-conservative, with the same similarity in line. The New Order regime especially in the year of 1967-1982 have suspicions settlements on the Islamic movements. Political configurations in this period tends to rule with an authoritic attitude with many political typhologies. In the year of 1970-s, were created many law products such as the UU No. I4 Year 1970 and the UU No. 1 Year 1974 which have the orthodoks conservative characteristics or clitic law products. At the time of accontridative ( 1985 - 1998 ) between Islam and the state, in this era was created the UU No. 7 Year 1989 which issues about the religic court which then this product of Iaw can be said to have the characteristic of responsive I populistic. In the Reformation Era, the political configurations that shows up is democratic which involves all the components of society inside the structuring of UU No. 4 Year 2004, and so this product of law has the characteristic of responsive 1 populistic.
Every products of law are the turner of every political configurations which creates them. The characteristic of product of law depends on the political visions which are growing inside the society. The more democratic one regime is, the more responsive and aspirative product of law they creates and it goes the same for the opposite. Because of that, every product of law which have the characteristic of responsive populistic will make the nation more democratic.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuhadi Irsyad
"Disertasi ini mengkaji Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam [NAD] dan relevansinya dengan Sistem Peradilan Nasional. Fokus kajian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif-analitis. Analisis penelitian dengan paradigma kombinasi empat teori utama: Living law Ehrlich, Maslahah Mursalah Al-Syafi'i, Taqnin lbnu Muqaffa, Desentralisasi dan Distribution of Power sebelum perubahan dan Separation of Power dengan titik berat check and balances pasca perubahan UUD 1945.
Hasil penelitian ini menyarankan agar eksistensi Mahkamah Syar'iyah yang pernah berjaya di Aceh pada abad XVI-XVII, dapat berfungsi kembali secara baik dalam Negara Kesatuan RI dengan cara DPRA dan Pemda NAD membentuk Qanun-qanuu yang dibutuhkan masyarakat untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Qanun-qanun yang berwawasan nasional Islami, menjamin Mahkamah Syar'iyah dapat eksis berdampingan dalam Sistem Peradilan Nasional.

The study is about the Islamic Court Justice ( Mahkamah Syar'iyah) in the Province of Nanggoe Aceh Dannssalam [NAD] and its relevance with the National Courtship Justice System. The focus of this study is on a qualitative research based on descriptive-analysis design using four main theories for its paradigm: Living law by Ehrlich, Maslahah Mursalah by Al-Syafi'i, Taqnin by Ibnu Muqaffa, Decentralization and Distribution of Power before the amendment and Separation of Power with its focus on check and balances after the amendment of the Rules of 1945.
The study suggests that the existence of Mahkamah Syar'iyah which once gained its grandeur in Aceh in XVIth-XVIIth centuries can play its role and function well in the Republic of Indonesia through the Aceh People Assembly and the Government of Aceh which form the rules the society needs to implement the Shariah completely. The rules are hoped to be Islamic-nationalistic that guarantee the existence of Malgkamah Syar'iyah along with the existence of National Courtship Justice System.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1010
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Soebyakto
Jakarta: Djambatan, 1997
347.016 SOE t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Kurnia Zakaria
"Masyarakat melihat ada kejahatan di dalam kejahatan di mana aparat penegak hukum bekerja tidak profesional dan lebih banyak mencari keuntungan dari permasalahan hukum orang lain. Jual beli perkara sudah menjadi kebiasaan dan sulit dihindari apalagi bisa diberantas. Maka penulis melihat ketidak pastian hukum dan ketidakadilan ingin berbuat sesuatu baik secara tindakan nyata maupun dari segi ilmiah.
Penulis menggambarkan secara umum apa peranan dan fungsi pengacara lain menjelaskan tentang Mafia Peradilan yang terjadi di PN Jakarta Selatan. Pertanyaan penelitian apakah mungkin pengacara dalam menjalankan tugasnya membela kepentingan klien pada proses pemeriksaan peradilan harus selalu melakukan Mafia Peradilan.
Dalam penelitian dipakai studi kasus empati dengan metode pertanyaan tidak berstruktur dengan klien, para terdakwa/tersangka berserta keluarganya, rekan-rekan sesama pengacara, rekan-rekan sesama aparat penegak hukum baik para hakim, para jaksa, para polisi maupun petugas pengawalan tahanan kejaksaan, staff/karyawan pengadilan dan petugas lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan, rekan para wartawan serta para kalangan akademisi, pengamat hukum dan masyarakat awam yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tapi karena Kode Etik pengacara maupun sebagai peneliti informasi narasumber dan informan yang diberikan tidak bisa diungkapkan, tapi kebenaran info dapat dipertanggung jawabkan.
Penemuan penelitian yang dimaksud Mafia Peradilan pada intinya adalah persekongkolan antara sesama aparat penegak hukum yang menguntungkan pihak-pihak pencari keadilan (penggugat/terdakwa kontra tergugat/korban) yang putusan hukumnya sangat merugikan masyarakat dan menusuk rasa keadilan. Ternyata Mafia Peradilan tidak hanya dilakukan dengan uang semata, tapi mengancam, mengintimidasi, melanggar hukum acara pidana/perdata secara sengaja, negoisasi/perundingan maupun memberi fasilitas tertentu, koneksi, memo, intervensi, pendekatan hubungan baik individual serta pengerahan massa pendukung Sehingga jawaban permasalahan Mafia Peradilan tidak bisa diberantas karena kendala utamanya sulitnya mencari alat bukti, tidak adanya pengakuan korban maupun pelaku, budaya birokrasi, adat ketimuran, perilaku bekerja asalkan mendapatkan bayaran (bukan gaji yang telah ditetapkan Pemerintah), masih adanya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta ketidakadaan sanksi yang keras bagi pelaku yaitu sanksi pidana hukuman penjara yang lama (mengenal atas minimalisasi hukuman), sanksi perdata mengganti kerugian beserta bunga dan dendanya, sanksi administrasi penurunan jenjang karir maupun pemecatan, sanksi sosial seperti pemberian labbeling atau kerja paksa sosial, sanksi adat pengusiran maupun penyelenggaraan upacara adat, dan sanksi agama seperti dilakukan acara taubat maupun memberikan Zakat Infak Shadagah (ZIS).
Studi kasus ini juga memberikan gambaran sepak terjang pengacara yang ingin cepat terkenal dan kaya sehingga tidak ragu lagi melakukan praktek Mafia Peradilan dan juga memakai pola peniruan kinerja pengacara/advokat yang sudah senior. Kinerja para pengacara dalam membela kepentingan klien secara sengaja telah melanggar hukum maupun menafsirkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan demi kepentingan opini publik dan menjadi baik. Dianjurkan peranan Dewan Kehormatan Organisasi Profesi Pengacara ditingkatkan da diberdayakan sehingga malpraktek hukum pengacara dapat dikurangi. Harapan selanjutnya hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan ikut penciptakan peradilan yang bersih."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T10502
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Achmad Fauzan
Jakarta: Prenada Media, 2005
347.01 ACH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Kejahatan yang dilakukan anak-anak memerlukan penangganan khusus yang berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Majelis Umum PBB telah mengadopsi suatu ketentuan yang lebih dikenal engan Beijing Rules yang memuat kondisi minimum dalam penangganan anak-anak yang melakukan kejahatan oleh negara yang meratifikasinya. Indonesia juga telah membuat suatu peraturan yang mengatur tentang Peradilan Anak yaitu dalam UU No. 3 Tahun 1997 (UUPA). Dalam artikel ini penulis mengkaji beberapa bagian dari peraturan tersebut yaitu dengan melihat apakah falsafah yang menjadi landasan pembentukan undang-undang ini mengacu pada kesejahteraan anak sebagaimana dalam Beijing Rules tersebut."
Hukum dan Pembangunan, XXVIII (1-3) Januari Juni 1998: 113-123,
HUPE-XXVIII-1.3-JanJun1998-113
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>