Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112904 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Steffi Sonia
"Luka bakar adalah bentuk trauma yang paling berat yang menyebabkan hipermetabolisme berkepanjangan. Jika asupan nutrisi tidak adekuat, penurunan berat badan dapat terjadi, yang kemudian akan memengaruhi pertumbuhan, penyembuhan luka, dan imunitas. Pedoman nutrisi pada anak dengan luka bakar dibuat di negara maju, sehingga mungkin akan sulit diterapkan di negara berkembang. Pada serial kasus ini, terapi nutrisi diberikan kepada empat pasien anak pasca luka bakar dengan usia 2 ndash;8 tahun dan luas luka bakar antara 5 dan 35 total body surface area. Dari keempat pasien tersebut terdapat satu pasien dengan luka bakar mayor. Target kebutuhan energi ditentukan dengan menggunakan rumus Schofield ditambah faktor stres 1,5 ndash;2 menurut luas luka bakar pasien. Target protein ditetapkan sebesar 1,5 ndash;3 g/kg/hari menurut luas luka bakar pasien. Semua pasien mendapatkan nutrisi melalui jalur oral, dengan jumlah yang ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai target. Suplementasi mikronutrien diberikan kepada semua pasien mendekati rekomendasi, namun suplementasi tembaga tidak diberikan karena keterbatasan sediaan. Terdapat penurunan berat badan pada dua pasien, namun status gizi yang baik berhasil dipertahankan pada semua pasien. Semua pasien juga mengalami penyembuhan luka yang progresif. Terapi medik gizi klinik pada pasien anak dengan luka bakar dapat mempertahankan status gizi yang baik dan membantu penyembuhan luka.

Burn injury is the most severe trauma that causes prolonged hypermetabolism. Inadequate nutritional intake may cause weight loss, which in turn may influence growth, wound healing, and immunity. Nutritional guidelines for pediatric burn were made in developed countries, meanwhile their application in a developing country may be limitted. In this case series, nutritional therapy was instituted on four pediatric burn patients aged 2 ndash 8 years old with burn surface areas between 5 and 35 total body surface area. Among these patients, there was one patient with major burn. Energy requirements were determined using Schofield formula and stress factors of 1,5 ndash 2 depending on the patient rsquo s burn surface area. Protein requirements were set at 1,5 ndash 3 g kg day depending on the patient rsquo s burn surface area. All patients were given oral nutrition, with stepwise increases until the goals were achieved. Micronutrient supplementation was given to all patients according to previous recommendations, however copper supplementation was not be given due to unavailability. Two patients experienced weight loss, but normal nutritional status was maintained in all patients. In addition, progressive wound healing was observed in all patients. In conclusion, nutritional therapy in pediatric burn patients may preserve normal nutritional status and promote wound healing."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny
"Latar Belakang: Pada luka bakar terjadi peningkatan respon inflamasi. Peningkatan c-reactive protein (CRP) pada luka bakar merupakan penanda inflamasi sistemik. Kadar vitamin D yang rendah banyak ditemukan pada pasien luka bakar dan berhubungan dengan luaran klinis yang buruk. Vitamin D memiliki efek memodulasi imun dan antiinflamasi. Metode: Serial kasus ini terdiri dari 4 pasien luka bakar berat karena ledakan gas dan api yang dirawat di ULB pada periode Januari hingga Mei 2022. Terapi medik gizi yang diberikan berupa nutrisi enteral dini, kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai toleransi dan klinis pasien, hingga kebutuhan energi total (berdasarkan formula Xie), target protein 1,5-2 g/kg BB/hari, lemak 25-30%, dan karbohidrat 55-60%. Keempat pasien serial kasus diberikan suplementasi vitamin D dan dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D sebelum dan sesudah suplementasi, serta pemeriksaan kadar CRP. Hasil: Keempat pasien serial kasus selama perawatan telah mencapai kebutuhan makronutrien sesuai target, meskipun terdapat fluktuasi asupan karena adanya perburukan kondisi klinis atau tindakan operasi/perawatan luka. Keempat pasien serial kasus memiliki kadar vitamin D yang rendah, namun mengalami peningkatan dengan suplementasi. Kadar CRP juga diperoleh meningkat dan mengalami penurunan dengan meningkatnya kadar vitamin D, yang menyebabkan hambatan produksi sitokin proinflamasi dan jalur NF-kB, selain adanya terapi pembedahan dan antibiotik. Keempat pasien serial kasus diperbolehkan rawat jalan pada akhir perawatan. Kesimpulan: Pada serial kasus ini, semua pasien luka bakar dengan kadar vitamin D yang rendah memiliki kondisi inflamasi yang tinggi ditandai dengan peningkatan CRP. Pemberian suplementasi vitamin D menyebabkan peningkatan kadar vitamin D dan turut berperan dalam penurunan CRP, selain adanya terapi pembedahan dan antibiotik

Background: Burns induce an increased inflammatory response. Elevated c-reactive protein (CRP) is a marker of systemic inflammation in burns. Low vitamin D levels are common in burn patients and are associated with poor clinical outcomes. Vitamin D has immune-modulating and anti-inflammatory effects. Method: The case series was held in the burn unit Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January to May 2022, involving 4 severe burn patients due to gas explosions and fire. Nutritional medical therapy was given in the form of early enteral nutrition, then gradually increased according to patient tolerance and clinical, up to total energy requirements (based on Xie's formula), the target protein is 1.5-2 g/kg BW/day, 25-30% fat and 55-60% carbohydrates. Vitamin D supplementation was given and vitamin D levels were measured before and after supplementation, CRP levels were also measured. Result: All case series patients during treatment had achieved the target macronutrient requirements, despite fluctuations of intake due to clinical deterioration or surgical procedure or wound care. All patients had low vitamin D levels but increased with supplementation. CRP levels also increased and decreased with increasing vitamin D levels, leading to inhibition of inflammatory cytokines production and the NF-kB pathway, besides surgical and antibiotics therapy. All patients were allowed outpatient treatment at the end of treatment. Conclusion: This case series exhibited low level of vitamin D in burn patients accompanied with elevated CRP level indicating high inflammatory condition. Vitamin D supplementation causes an increase in vitamin D levels and may contribute to decreasing CRP levels, in addition to surgical and antibiotic therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Widyastuti
"ABSTRAK
Latar belakang: Luka bakar merupakan suatu trauma yang dapat memicu respons inflamasi lokal dan sistemik sehingga menimbulkan komplikasi berbagai organ, diantaranya disfungsi pernapasan. Hipermetabolisme, hiperkatabolisme, dan adanya disfungsi pernapasan yang terjadi, memerlukan tatalaksana nutrisi adekuat untuk menurunkan respons inflamasi, mencegah peningkatan produksi CO2, mencegah wasting otot dan meningkatkan imunitas Metode: Empat pasien dalam serial kasus ini mengalami luka bakar berat karena api, dirawat di ruang perawatan intensive care unit ICU unit luka bakar rumah sakit Cipto mangunkusumo RSCM dan menggunakan alat bantu ventilasi mekanik. Target energi menggunakan metode Xie dan Harris-Benedict dengan berat badan sebelum sakit. Pemberian nutrisi diberikan sesuai dengan rekomendasi untuk sakit kritis fase akut 20 ndash;25 kkal/kg BB dengan komposisi karbohidrat 55-65 , Protein 1,5-2 g/kgBB, lemak
ABSTRACT Background Burn injury is a trauma that can trigger local and systemic inflammatory response, resulting complications of various organs, including respiratory dysfunction. Hipermetabolism, hypercatabolism, and the presence of respiratory dysfunction that occurs, require adequate nutritional management to decrease inflammatory responses, prevent increased CO2 production, prevent muscle wasting and enhance immunity. Method Four patients in this series of cases suffered severe burns from fire, were treated in the intensive care unit ICU hospital burning unit Cipto mangunkusumo hospital RSCM and used mechanical ventilation aids. Energy targets use Xie and Harris Benedict methods with weight loss before illness. Nutrition was given in accordance with recommendations for acute phase critical pain 20 25 kcal kg BW with carbohydrate composition 55 65 , 1.5 2 g kgBB protein, fat "
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Winanda
"ABSTRAK
Latar belakang: Prevalensi obesitas di seluruh dunia telah diketahui mengalami peningkatan yang signifikan dalam tiga dekade terakhir. Tingginya prevalensi obesitas tersebut dapat memengaruhi peningkatan prevalensi pasien luka bakar dengan obesitas yang dirawat di unit luka bakar. Pasien luka bakar dengan obesitas mengalami fenomena 'second hit', yaitu peningkatan respon hipermetabolisme pasca luka bakar akibat inflamasi kronik yang sebelumnya sudah dialami. Masalah tersebut memiliki kaitan erat dengan nutrisi sehingga membutuhkan terapi medik gizi yang optimal untuk memodulasi respon hipermetabolisme yang meningkat pada pasien luka bakar dengan obesitas. Metode: Pada serial kasus ini terdapat empat pasien luka bakar berat karena api. Keempat pasien tersbeut memiliki status nutrisi obes berdasarkan kriteria indeks massa tubuh IMT menurut WHO untuk Asia Pasifik. Target kebutuhan energi dihitung menggunakan formula estimasi Xie dengan berat badan kering. Terapi medik gizi diberikan sesuai panduan terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dengan target energi awal 20-25 kcal/kg BB dengan target protein 1,5-2 gram/kg BB. Terapi medik gizi selanjutnya diberikan sesuai dengan klinis dan toleransi pasien. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin C, vitamin B, asam folat, dan seng.Hasil: Tiga pasien meninggal selama perawatan karena syok sepsis yang tidak teratasi, sedangkan satu pasien mengalami perbaikan luas luka bakar dari 47 menjadi 36 luas permukaan tubuh LPT serta peningkatan kapasitas fungsional. Kesimpulan: Status nutrisi obesitas pada pasien dalam serial kasus ini dapat menjadi faktor yang memperberat penyulit yang dialami. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang proses penyembuhan luka serta meningkatkan kapasitas fungsional.

ABSTRACT<>br>
Background The prevalence of obese patients presenting to burn unit facilities is expected to increase over the next three decades due to global epidemic of obesity. Given that the metabolic derrangements seen in burn mirror those found in association in obesity, it is plausible that excess adipose tissue contributes to a 'second hit' phenomenon in patients affected by burn injury. Optimal and adequate medical nutrition therapy is required in order to modulate the inflammatory and metabolic response, therefore enhance burn wound healing.Methods The current case series consist of four severly flame burned patient. The nutritional status of these patients was moderately obese according to WHO criteria for Asia Pacific. Enery requirement was calculated using the Xie formula based on patient rsquo s dry weight. Medical nutrition therapy was initiated with eraly enteral nutrition started at 20-25 kcal kg day with protein target at 1,5-2 gram kg day. Micronutrient supplementation was also given to these patients. Results Three patients died during hospitalization due to septic shock. The last patient had satisfactory wound healing and improved functional capacity at discharge. Kesimpulan: Obesity in this case series may be one of the risk factor for mortality. Adequate medical nutrition therapy inline with patient's clinical condition leads to enhancement healing process and improved functional capacity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pande Putu Agus Mahendra
"ABSTRAK
Latar belakang: Luka bakar merupakan suatu trauma yang menyebabkan kerusakan dan kehilangan jaringan karena kontak dengan objek bersuhu tinggi. Kondisi tersebut memicu respons inflamasi lokal dan sistemik yang memicu komplikasi. Hipermetabolisme dan hiperkatabolisme yang terjadi memerlukan tatalaksana nutrisi adekuat untuk menurunkan respons inflamasi, mencegah wasting otot, meningkatkan imunitas, dan mempercepat penyembuhan luka.
Metode: Empat pasien dalam serial kasus ini mengalami luka bakar berat karena api dengan berbagai pencetus. Dua pasien dalam serial kasus ini masuk perawatan lebih dari 24 jam pasca kejadian. Status nutrisi pasien obes derajat II 1 pasien dan obes derajat I 3 pasien . Target energi menggunakan metode Xie dan Harris ndash;Benedict dengan berat badan sebelum sakit. Pemberian nutrisi diberikan sesuai dengan rekomendasi untuk sakit kritis fase akut 20 ndash;25 kkal/kg BB. Nutrisi dini dilakukan pada dua pasien yang datang kurang dari 24 jam pasca kejadian. Nutrisi diberikan melalui jalur enteral dengan metode drip intermittent. Tatalaksana nutrisi selanjutnya disesuaikan dengan toleransi dan kondisi klinis yang dialami pasien.
Hasil: Tiga pasien meninggal selama perawatan karena komplikasi sepsis Tatalaksana nutrisi dinaikkan bertahap sesuai kondisi klinis pasien. Pasien kasus keempat mengalami perbaikan dengan luas luka bakar 48,5 menjadi 11,5 dan peningkatan kapasitas fungsional, walaupun terjadi penurunan berat badan hingga 12 kg selama perawatan.
Kesimpulan: Tatalaksana nutrisi yang adekuat dengan memperhatikan kondisi klinis serta parameter penunjang lainnya dapat menunjang proses penyembuhan luka serta menurunkan laju morbiditas dan mortalitas pada pasien luka bakar. Kata kunci: luka bakar berat, tatalaksana nutrisi.

ABSTRACT
Background Burn injury is a trauma that caused damage and tissue loss due to contact with high temperature objects. That conditions will initiated local and systemic inflammatory reaction, which trigger complications after burn injury. Adequate nutrition management is needed in hypermetabolic and hypercatabolic condition to decrease the inflammatory response, prevents muscle wasting, improve immunity and wound healing.
Methods Four patients in this case series suffered from burn injury by fire with various origins. Two patients in this case series were treated more than 24 hours after trauma. Patients nutritional status were obese grade II 1 patient and grade I 3 patients. Energy requirement was measured by using Xie and Harris Benedict equations, with usual body weight. Nutrition was given base on recommendation for critically ill in acute phase, 20 ndash 25 kcal kg BW. Enteral nutrition was initiated for two patients who came less than 24 hours post burn, using intermittent drip method. The nutrition was adjusted daily depend on their clinical condition.
Results Three patients died during treatments for septic complications. Nutrients management gradually increase in accordance to clinical conditions. Patient in 4th cases experienced improvement with burn area decreased from 48,5 to 11,5 , also increasing on functional capacity, despite of weight loss up to 12 kg during treatment.
Conclusion Adequate nutritional management based on clinical conditions not only to reduce morbidity and mortality in burn patients, but also lead to improve healing process.. Keywords severe burn, nutrition management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55615
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Monique Carolina Widjaja
"Luka bakar berat berhubungan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Tatalaksana nutrisi pada luka bakar berat diutamakan pada pemberian nutrisi enteral dini (NED). Nutrisi enteral dini diberikan sedini mungkin setelah resusitasi tercapai, bermanfaat sebagai trophic feeding yang terbukti mencegah terjadinya atrofi vili-vili mukosa sebagai upaya mengatasi dampak hipoperfusi splangnikus. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai asupan, toleransi, dan keadaan klinis pasien. Serial kasus ini terdiri dari tiga kasus dengan penyebab api dan satu yang disebabkan oleh listrik. Dua kasus dengan trauma inhalasi dan dua kasus dengan kegagalan ginjal akut (AKI). Dua kasus masuk pada hari pertama pasca trauma, dan dua kasus pada hari ke enam dan delapan pasca trauma. Keempat kasus masih dalam keadaan resusitasi cairan, sehingga pemberian nutrisi ditujukan untuk pemberian NED. Monitoring dilakukan pada klinis, asupan dan toleransi, dan laboratorium terutama darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, laktat, albumin, dan fungsi ginjal.
Asupan keempat kasus tidak pernah mencapai total karena berulang kali dipuasakan untuk pembedahan. Aliran balik yang tinggi menunjukkan intoleransi saluran cerna sehingga perlu diberikan prokinetik. Pemberian antibiotik sebagai suatu kebutuhan mutlak perlu memperhatikan interaksinya dengan nutrien. Pemberian analgetika dan sedatif perlu memperhatikan interaksi dan efek terhadap kebutuhan nutrisi. Trombositopenia yang terjadi pada tiga kasus berhubungan dengan sepsis dan mortalitas. Koagulopati bersama dengan hipotermia dan asidosis menjadi komponen Triad of Death. Hiperlaktatemia harus dinilai bersamaan dengan parameter lain untuk menilai adanya hipoksia jaringan. Dua kasus berkomplikasi menjadi AKI, tatalaksana nutrisi memperhatikan terapi yang didapat pasien. Pemberian medikamentosa untuk perbaikan sirkulasi juga memperhatikan interaksi obat.

Severe burns associated with high morbidity and mortality. Nutritional management of severe burns priority on early enteral nutrition (EEN). Early enteral nutrition is given as early as possible after resuscitation achieved, useful as trophic feeding are proven to prevent the occurrence of mucosal villous atrophy as the effort to overcome the effects of splanchnic hypoperfusion. Providing appropriate nutrition intake gradually increased, due to tolerance, and clinical condition of patients. This case series consisted of three cases the cause of the fire and one caused by electricity. Two cases with inhalation injury and two cases with acute renal failure (ARF). Two cases admitted on the first day after trauma, and two cases in the sixth and eighth days after trauma. The four cases are still in a state of fluid resuscitation, thus giving nutrition aimed at giving EEN. Monitoring conducted in clinical condition, caloric intake and tolerance, and laboratories especially equipped peripheral blood, electrolytes, blood gases analysis, lactate, albumin, and kidney function.
Intake of four cases never reach the total due to repeated fasting for surgery. High-flow indicates that gastrointestinal intolerance should be given prokinetic agent. Giving antibiotics as an absolute necessity need to consider interactions with nutrients. Giving analgesics and sedatives need to consider interactions and effects on nutritional requirements. Thrombocytopenia occurred in three cases and mortality associated with sepsis. Coagulopathy with hypothermia and acidosis become components Triad of Death. Hyperlactatemia should be assessed in conjunction with other parameters to assess the presence of tissue hypoxia. Two cases complicated to AKI, nutritional management of patients gained attention therapy. Giving drug therapy for improved circulation also consider drug interactions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Kurniawati
"Pasien pada serial kasus ini adalah empat pasien dewasa dengan luka bakar berat, masuk perawatan dalam kondisi resusitasi. Status nutrisi sebelum sakit adalah overweight dan satu pasien normoweight. Inisiasi nutrisi enteral dilakukan 15-39,5 jam pasca kejadian. Pemberian nutrisi dimulai dari hipokalori (<20 Kkal/kgBB/hari), ditingkatkan bertahap menuju kebutuhan energi total yang dihitung berdasarkan formula Xie dengan berat badan sebelum sakit. Selama perawatan di ICU, pasien mencapai kalori sebesar 60-96% KET, protein sebesar 0,6-1,9 g/kgBB/hari, komposisi lemak dan karbohidrat berturut-turut sebesar 15-25%, dan 50-64%. Jalur pemberian nutrisi parenteral dengan central venous cathether (CVC) sedangkan enteral dengan nasogastric tube (NGT) tetes lambat secara intermiten. Mikronutrien yang diberikan berupa multivitamin antioksidan, vitamin B kompleks dan asam folat. Pemantauan terapi nutrisi meliputi tanda klinis, toleransi asupan makanan, kapasitas fungsional, imbang cairan, parameter laboratorium dan antropometri. Pada kelompok survivor diberikan edukasi nutrisi terkait penyembuhan luka dan preservasi massa otot.

Patients in the case report were four adult patients with severe burns and admitted to the hospital under resuscitation conditions. Three patients were overweight and one was normoweight Enteral nutrition was initiated within 15–39.5 hours post injury. Nutrition administration began from hypocalory (<20 kcal/kg/day), then increased gradually to the total energy requirement using Xie formula based on the pre-illness weight. In the ICU, energy intake achieved 60-96% of total requirement, protein was 0.6 to 1.9 g/kgBW/day, fat, and carbohydrate were 15-25% and 50-64% respectively. Parenteral nutrition was given via central venous cathether while enteral nutrition was dripped intermittently. Micronutrients were given as multivitamin antioxidants, vitamin B complex, and folic acid. The survivors were given nutrition education related to wound healing and preservation of muscle mass.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Silvia Pagitta
"Malnutrisi merupakan masalah yang sering ditemukan pada pasien luka bakar berat. Malnutrisi meningkatkan risiko infeksi, lama rawat, terhambatnya penyembuhan luka sehingga mortalitas meningkat. Glutamin merupakan nutrien spesifik yang berperan dalam penyembuhan luka. Tujuan penulisan serial kasus adalah dilaporkannya peran terapi medik gizi pada pasien luka bakar berat dengan malnutrisi yang mendapat glutamin. Empat pasien serial kasus dengan luka bakar berat, derajat II-III, 18,5-41% luas permukaan tubuh (LPT) disebabkan api dan bahan kimia dengan rentang usia 18−64 tahun. Berdasarkan rekomendasi ESPEN pada pasien dengan luka bakar >20% LPT, dosis glutamin enteral yang diberikan adalah 0,3-0,5 g/kg BB/hari. Asupan energi pasien selama perawatan 11-54 kkal/kg BB/hari, protein 0,2-2,4 g/kg BB/hari, lemak 6-28%, karbohidrat 52-70%, glutamin 0,02-0,2 g/kg BB/hari. Selama perawatan, hitung total limfosit (TLC) meningkat pada 2 dari 4 pasien dan terdapat perbaikan kapasitas fungsional pada 3 pasien. Peran glutamin pada pasien luka bakar yang mengalami malnutrisi belum dapat dinilai karena dosis yang diberikan kurang dari rekomendasi, namun tampak peningkatan TLC dan perbaikan kapasitas fungsional setelah pemberian nutrisi.

Malnutrition is the most common problem in severe burns patients. Malnutrition increases the risk of infection, length of stay, inhibits the healing process so increasing mortality. Glutamine is a specific nutrient that plays a role in wound healing. This case series was aimed to report the role of nutritional medical therapy in patients with severe burns with malnutrition who received glutamine. These case series analyzed four of 18-64 years old patients with severe fire and chemical burns, II-III degree, 18,5-41% of body surface area (BSA). According to ESPEN, the dose of enteral glutamine in burns patients >20% BSA is 0,3-0,5 g /kg BW/day. Energy intake of patients during treatment was 11-54 kcal /kg BW/day, protein 0,2-2,4 g /kg BW/day, fat 6-28%, carbohydrates 52-70%, glutamine 0,02-0,2 g /kg BW/day. During treatment, the total lymphocyte count (TLC) increased in 2 of 4 patients and there was an improvement in functional capacity in 3 patients. The role of glutamine in burn patients who have suffered malnutrition cannot yet be assessed because the dose given is less than the recommendation, but glutamine supplementation may be associated with an increase of TLC and improvement functional capacity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Hafiah Halidha Nilanda
"ABSTRAK
Latar Belakang: Stroke hemoragik merupakan penyakit serebrovaskular yang ditandai dengan pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan pada otak. Penyebab tersering stroke hemoragik adalah hipertensi. Selain itu penyebab lainnya seperti diabetes melitus dan obesitas dapat menjadi penyulit keadaan klinis pasien. Stroke hemoragik dan beberapa penyulit akan menyebabkan disfungsi neurologis dan disfungsi motorik, yang keduanya akan menyebabkan penurunan asupan nutrisi. Penurunan asupan nutrisi dapat disebabkan penurunan kapasitas fungsional dan gangguan proses menelan atau disfagia. Nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan kualitas hidup menurun serta risiko serangan stroke berulang. Terapi medik gizi klinis berperan memberi nutrisi optimal, membatasai natrium, mengontrol glukosa darah dan mengatasi defisiensi mikronutrien. Metode:Serial kasus ini terdiri dari empat kasus stroke hemoragik pada pasien perempuan dan laki-laki dengan rentang usia 50 ndash;65 tahun, dengan penyulit seperti disfagia, penurunan kesadaran, dan perdarahan GIT, disertai penyakit penyerta yaitu Hipertensi dan DM tipe 2. Kasus pertama dan kedua mengalami gejala disfagia dan membutuhkan dukungan nutrisi melalui jalur enteral. Kasus ketiga terdapat penurunan asupan makanan karena penurunan kapasitas fungsional yang terjadi. Kasus keempat mengalami penurunan kesadaran dan perdarahan saluran cerna serta membutuhkan dukungan nutrisi secara enteral dan parenteral. Keempat pasien memiliki indeks massa tubuh obes 1. Masalah nutrisi yang dihadapi keempat pasien ini adalah asupan makro dan mikronutrien yang tidak optimal, jalur pemberian nutrisi, kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi selama sakit. Terapi medik gizi klinik diberikan sesuai rekomendasi stroke hemoragik ddengan hipertensi dan DM tipe 2. Hasil :Kasus pertama hingga kasus ketiga mengalami perbaikan keadaan klinis, antara lain peningkatan kemampuan menelan, perbaikan tekanan darah, kadar glukosa, dan kapasitas fungsional. Kasus keempat meninggal dunia pada hari perawatan ke-8 akibat edema paru dan gagal jantung. Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik yang diberikan dapat membantu keadaan klinis dan kapasitas fungsional pada pasien stroke hemoragik dengan Hipertensi dan DM tipe 2.

ABSTRACT<>br>
Background Hemorrhagic stroke is a cerebrovascular disease characterized by rupture of blood vessels resulting in bleeding in the brain. The most common cause of hemorrhagic stroke is hypertension. In addition, other causes such as diabetes mellitus and obesity could worsening the patient's clinical situation. Hemorrhagic strokes and some complications will cause neurologic dysfunction and motoric dysfunction, both of which will lead to a decrease in nutrient intake. Decreased nutritional intake could caused due to decreased functional capacity and impaired ingestion or dysphagia. Inadequate nutrition can lead to decreased quality of life as well as the risk of recurrent stroke. Medical clinical nutrition therapy plays an optimal role in nutrition, restricting sodium, controlling blood glucose and overcoming micronutrient deficiencies. Methods This case series consists of four cases of hemorrhagic stroke in female and male patients with age range 50-65 years, with complications such as dysphagia, consciousness derivation, and gastrointestinal bleeding, accompanied by comorbidities susch as Hypertension and type 2 DM. The first and second cases have symptoms of dysphagia and require nutritional support through the enteral route. The third case there is a decrease in food intake due to decreased functional capacity that occurs. The fourth case has consciousness derivation and gastrointestinal bleeding that requires support of enteral and parenteral nutritions. All of patients had obesity 1 body mass index. Nutritional problems faced by these four patients were unoptimal macro and micronutrient intake, nutritional pathways, unfulfilled nutritional needs during illness. Medical clinical nutrition therapy is given as recommended by hemorrhagic stroke with hypertension and type 2 diabetes mellitus Result The first case to the third case has improved clinical conditions, including increased ability to swallow, improvement of blood pressure, glucose levels, and functional capacity. The fourth case died on the 8th day of treatment due to pulmonary edema and heart failure. Conclusion Clinical nutrition therapy provided could improved clinical and functional capacity in hemorrhagic stroke patients with hypertension and type 2 DM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kwan Francesca Gunawan
"ABSTRAK
Diabetes melitus DM merupakan suatu epidemik global. Obesitas merupakan faktor risiko tersering pada terjadinya DM tipe 2. Salah satu komplikasi yang sering dialami oleh penderita DM ialah kaki diabetik. Pada pasien DM dengan obesitas dan kaki diabetik, terapi medik gizi penting untuk mencapai target berat badan, menjaga kadar glikemik, serta mencegah komplikasi DM. Selain itu pemberian nutrisi yang adekuat juga penting untuk mendukung penyembuhan luka. Pasien pada serial kasus ini berusia antara 41 ndash;59 tahun dengan dengan proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Keempat pasien memiliki status gizi obes dengan IMT sebesar 26-54,4 kg/m2. Awitan DM pada keempat pasien diketahui bervariasi antara 1-13 tahun. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan klinis, hasil laboratorium, dan asupan terakhir masing-masing pasien. Dari hasil pemantauan didapatkan bahwa dengan terapi nutrisi yang diberikan terjadi penurunan berat badan sebesar 3,2-4,8 kg 3,2-5,8 dan penurunan nilai HbA1c sebanyak 0,3-0,7. Selain itu juga didapatkan ukuran luka yang mengecil dan gejala neuropati berkurang. Pada pasien DM tipe 2 dengan obesitas dan kaki diabetik, terapi medik gizi yang adekuat berkaitan dengan penurunan berat badan, perbaikan kontrol glikemik, dan penyembuhan luka yang baik.

ABSTRACT<>br>
Diabetes mellitus is now a global epidemic. Obesity is a common risk factor in the occurrence of type 2 diabetes. One of the complications that are often experienced by people with diabetes is diabetic foot. In diabetic patients with obesity and diabetic foot, medical nutrition therapy is important to achieve targeted body weight, maintain glycemic levels, and prevent diabetes complications. Good nutrition is also essential for wound healing. This case series consists of four patients who are between 41-59 years old and obese with BMI of 26-54.4 kg/m2. The onset of DM in all four patients is known to vary between 1-13 years. Nutritional therapy is given in accordance with the clinical, laboratory outcomes, and patients' daily intake. It was found that medical nutrition therapy can lead to weight loss of 3.2-4.8 kg (3.2-5.8%) and decreased HbA1c by 0.3-0.7%. It was also observed that the wound size and neuropathy symptoms are reduced. Adequate medical nutrition therapy in type 2 DM patients with obesity and diabetic foot is associated with weight loss, improved glycemic control, and good wound healing."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>