Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95505 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Maya Sari
"Pendahuluan: Acute kidney injury AKI merupakan komplikasi gagal organ pada sepsis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas di ICU.
Hasil dan pembahasan: Pemenuhan nutrisi pada pasien sepsis dengan AKI sangat tergantung pada keadaan klinis pasien dan terapi AKI. Pada serial kasus ini terdapat satu pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 dan 3 pasien dengan AKI klasifikasi AKIN 3. Kebutuhan nutrisi pada pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 maupun sepsis dengan AKI AKIN 3 selama perawatan di ICU diberikan dengan target energi 30 kkal/kg BB/hari dan protein 1,5 g/kg BB/hari. Perburukan fungsi ginjal pada pasien sepsis dengan AKI tidak disebabkan oleh pemberian nutrisi tinggi protein melainkan disebabkan oleh keadaan sepsis yang tidak teratasi. Terapi renal replacement therapy RRT dibutuhkan pada pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 dan AKIN 3 agar nutrisi dapat diberikan secara optimal untuk menunjang perbaikan klinis. Terapi nutrisi optimal pada pasien sepsis dengan AKI dapat mempertahankan lean body mass, memperbaiki sistem imun, dan memperbaiki fungsi metabolik.
Kesimpulan: Terapi nutrisi yang adekuat dengan energi 30 kkal/kg BB/hari dan protein 1,5 g/kg BB/hari pada pasien sepsis dengan AKI dapat menunjang perbaikan klinis.

Introduction Acute kidney injury AKI is an organ failure complication in sepsis that increased morbidity and mortality in ICU.Results and discussion Nutrition in sepsis with AKI patients are dependent on clinical condition and AKI treatment. In this serial case displayed one case septic AKI classification AKIN 2 and three cases septic AKI classification AKIN 3.
Nutritional requirements for sepsis with AKI classification AKIN 2 and AKI classification AKIN 3 in ICU setting were targetted at 30 kkal kg body weight day and protein 1,5 g kg body weight day. Worsening renal function in sepsis with AKI are not caused by high protein intake but caused by unresolved infection. Renal replacement therapy is required in sepsis with AKI classification AKIN 2 and AKIN 3 to maintain adequate nutritional therapy for better clinical outcomes.
The optimal nutritional therapy in sepsis with AKI aimed to maintain lean body mass, improved immune function, and metabolism.Conclusion Adequate nutritional therapy with energy 30 kkal kg body weight day and protein 1,5 g kg body weight day in sepsis with AKI can bolster better clinical outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meilianawati
"Latar belakang
Jumlah pasien obesitas yang dirawat di unit perawatan intensif semakin meningkat. Pasien obesitas dalam kondisi sakit kritis berisiko mengalami acute kidney injury (AKI). Belum ada panduan pemberian energi dan protein yang optimal bagi pasien obesitas sakit kritis dengan AKI. Asupan energi dan protein yang tidak adekuat akan memperberat risiko malnutrisi dan sarkopenia sehingga meningkatkan komplikasi, lama rawat, dan mortalitas. Terapi medik gizi yang komprehensif diperlukan untuk mencegah progresivitas penyakit dan penurunan status gizi yang memengaruhi luaran klinis pasien.
Kasus:
Pasien pada serial kasus ini adalah tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan, berusia 58-64 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan menderita AKI saat perawatan. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak sakit kritis fase akut. Preskripsi energi berdasarkan rule of thumb sedangkan protein berdasarkan nilai imbang nitrogen. Pemberian nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis, hemodinamik, dan toleransi asupan pasien.
Hasil:
Selama perawatan, asupan energi pasien dapat mencapai 30 kkal/kgBB dengan protein 1-1,3 g/kgBB. Dua pasien mengalami imbang nitrogen negatif hingga akhir perawatan karena asupan protein tidak adekuat dan kondisi hiperkatabolisme berat. Dua pasien dengan asupan protein yang cukup (1,1–1,2 g/kgBB) memiliki imbang nitrogen yang normal. Tiga pasien mengalami komplikasi sepsis dan satu pasien menderita ulkus dekubitus. Satu pasien mengalami malnutrisi dan sarkopenia saat perawatan sakit kritis. Dua pasien dengan imbang nitrogen seimbang dapat melewati fase kritis dan pindah ke ruang rawat biasa. Dua pasien dengan imbang nitrogen negatif meninggal dunia saat perawatan di ICU.
Kesimpulan:
Terapi medik gizi dan pemberian protein yang adekuat pada pasien obes sakit kritis dengan AKI dapat memperbaiki kondisi klinis, meningkatkan kesintasan, dan menurunkan mortalitas.

Background
The prevalence of obesity has increased and is reflected in the intensive care unit (ICU) population. Critically ill obese patients are at risk for acute kidney injury (AKI). There are no guidelines for optimal energy and protein delivery for critically ill obese patients with AKI. Inadequate energy and protein intake will exacerbate malnutrition and sarcopenia, thereby increasing complications, length of stay, and mortality. Comprehensive nutritional medical therapy is needed to prevent disease progression and derivation of nutritional status that affects the clinical outcome.
Case
The patients were three men and one woman, aged 58-64 years with obesity, critically ill, and AKI.
All patients received medical nutrition therapy since the acute phase of critical illness.
Energy prescription is based on the rule of thumb while protein is based on the nitrogen balance.
Nutritional administration is adjusted to the clinical condition, hemodynamic, and patient's tolerance.
Result
During treatment, the patient's energy intake reach 30 kcal/kgBW with protein of 1-1,3 g/kgBW.
Two patients experienced negative nitrogen balance at the end of treatment due to inadequate protein intake and severe hypercatabolism.
Two patients with adequate protein intake (1.1–1.2 g/kgBW) had normal nitrogen balance.
Three patients had complications of sepsis and one patient had a pressure ulcer. One patient developed malnutrition and sarcopenia during treatment.
Two patients with a normal nitrogen balance were able to pass the critical phase and step down to the ward.
Two patients with negative nitrogen balance died during intensive care treatment.
Conclusion
Medical nutrition therapy and adequate protein intake in critically ill obese patients with AKI can improve clinical conditions,increase survival, and reduce mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitti Aizah Lawang
"Latar Belakang: Tujuan penelitian untuk melihat neutrophil gelatinase associated lipocalin (NGAL) pada pasien sepsis. Dimana NGAL merupakan biomarker yang dini untuk acute kidney injury (AKI). Metode Penelitian Penelitian kualitatif dengan desain uji diagnostik Pengambilan sampel secara cross sectional dan consecutive sampling pada 50 orang anak yang sepsis yang terdiri dari 28 sepsis, 22 sepsis berat di ruang rawat intensif anak di RS. Ciptomangunkusomo Jakarta dan RS.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Hasil: Kadar NGAL urin pada pasien sepsis berat lebih tinggi dibandingkan sepsis. Nilai sensitifitas NGAL urin 100% dan spesifisitas 63,63%. NGAL urin meningkat lebih dulu bila dibandingkan dengan kreatinin serum. Kesimpulan NGAL dapat dipakai sebagai petanda dini terjadinya AKI.

Introduction: The aim of this study to observe the neutrophil gelatinase associated lipocalin (NGAL) in pediatric sepsis. From previous study NGAL was early biomarker for AKI. Methods. This study is a qualitative study for diagnostic test. Sample was collected by cross sectional and consecutive sampling on 50 sepsis children, consist of 28 sepsis, 22 severe sepsis in pediatric intensive care unit Ciptomangunkusomo Hospital Jakarta and Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar.
Result: The value of urinary NGAL in severe sepsis is higher than sepsis. The Sensitivity and specificity is 100% and 63,63% this study suggest that urinary NGAL increase earlier than serum creatinine. Conclusion. Therefore urinary NGAL can be used as early biomarker for AKI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulianah Daya
"Latar belakang:
Luka bakar derajat berat merupakan trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Salah satu komplikasi pada luka bakar derajat berat yang sering ditemui adalah gangguan ginjal akut (GGA) dan ketidakseimbangan elektrolit. Hal ini menyebabkan hiperkatabolisme yang berkepanjangan dan berujung pada malnutrisi. Terapi medik gizi yang komprehensif dan holistik diperlukan untuk mencegah bertambahnya progresivitas penyakit dan malnutrisi yang memengaruhi kualitas hidup pasien.
Kasus:
Pada serial kasus ini terdapat 4 pasien laki-laki, berusia 37-70 tahun dengan diagnosis luka bakar derajat II-III, 24-79% LPT yang disebabkan karena api dan listrik. Status nutrisi pasien bervariasi dari berat badan normal hingga obes 2. Target pemberian nutrisi berdasarkan rekomendasi ESPEN SCCM dan ASPEN untuk pasien kritikal dan luka bakar. Namun, kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis, data laboratorium, dan toleransi asupan harian.
Hasil:
Selama perawatan, seluruh pasien memiliki riwayat asupan energi total <35 kkal/kgBB dan protein <1,5 g/kgBB Tiga pasien menjalani hemodialisis suportif. Terapi medik gizi diberikan sesuai kondisi klinis pasien dengan target protein 0,8-1 g/kgBB/hari pada GGA tanpa dialiasis dan 1-1,5 g/kgBB/hari dengan dialisis. Terapi nutrisi juga menyesuaikan ketidakseimbangan elektrolit pada pasien. Penurunan berat badan pada keempat kasus <10% selama perawatan. Mikronutrien diberikan untuk penyembuhan luka namun dosis menyesuaikan dengan fungsi ginjal.
Kesimpulan:
Terapi medik gizi yang adekuat mencegah progresivitas penyakit dan malnutrisi pada pasien luka bakar derajat berat dengan GGA dan ketidakseimbangan elektrolit.

Background:
Severe burn injury is a trauma with a serious morbidity and mortality. One of the most complication in severe burn injury is acute renal injury (AKI) and electrolyte imbalance. They could cause a prolonged hypercatabolism that susceptible to develop malnutrition. Comprehensive and holistic nutritional medical therapy is needed to prevent development or rapid progression of malnutrition which affects the quality of life of patients.
Methods:
The case series consists of four men, aged 37-70 years with a diagnosis of severe burn injury, degree II-III, 24-79% of TBSA caused by fire and electricity. The nutritional status of patients varies from normal body weight to obese 2. Target of nutrition based on ESPEN SCCM and ASPEN recommendation for critical and burn patients. However, nutritional requirements are adjusted according to clinical conditions and daily intake tolerance.
Results:
All patients had a history of total energy intake <35 kcal/kgs with protein <1.5 g/ kgs. Three of them underwent supportive hemodialysis. Nutritional medical therapy was given according to the clinical condition of each patient with a protein target of 0.8 -1 g/kgs/day in AKI without dialysis and 1-1.5 g/kgs/day on dialysis. Nutritional therapy also adjusts for electrolyte imbalances. Weight loss in all four cases <10% during treatment. Micronutrients are given for wound healing but the dosage adjusts to kidney function.
Conclusions:
Adequate nutritional medical therapy in severe burn injury with AKI and electrolyte imbalance preventing development of rapid progression of malnutrition in critical ill patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Evangeline Bela
"Pendahuluan: Acute Kidney Injury (AKI) pasca SC yang disebabkan preeklampsia berat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius.
Hasil dan pembahasan: Kebutuhan energi pasien AKI diberikan sesuai kebutuhan diawali kebutuhan energi basal dengan komposisi rendah protein 0,8 g/kgBB/hari. Kebutuhan protein ditingkatkan saat terapi hemodialisa 1,2 g/kgBB/hari dan 1,5 g/kg BB/hari setelah kadar ureum dan kreatinin serum normal. Pasien oligouria dan anuria disertai peningkatan kadar ureum dan kreatinin menjalani terapi hemodialisa sewaktu guna memperbaiki fungsi ginjal.
Kesimpulan: Dukungan nutrisi adekuat dengan edukasi setiap hari. dapat mencegah pemakaian energi berlebihan dari protein yang memperburuk prognosis pasca perawatan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Introduction: Acute Kidney Injury (AKI) post-SC caused severe preeclampsia is a rare but serious complication.
Results and discussion: Energy needs AKI patients are given accordingly begins with a composition of basal energy needs of low-protein 0.8 g/kg/day. Increased protein requirements when hemodialysis therapy of 1.2 g/kg/day and 1.5 g/kg/day after serum urea and creatinine levels normal. Patient with oliguria or anuria accompanied by increased levels of urea and creatinine during hemodialysis therapy to improve renal function.
Conclusion: Support adequate nutrition with education every day can prevent the excessive energy consumption of protein post-treatment worsens the prognosis and quality of life of patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haolin Rusnur Efanda
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan aspek krusial dalam memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien. Penelitian ini bertujuan untuk memahami implementasi PTO di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) dalam konteks pendidikan praktik kerja profesi apoteker (PKPA). Fokus utama adalah pada analisis PTO pada pasien dengan CVD berulang, hipertensi, diabetes, dan dislipidemia. Selama lima hari PKPA di Paviliun Soehardo Kertohusodo (PSK), data pasien dikumpulkan melalui SIM RS, rekam medis, dan wawancara dengan pasien, keluarga, serta tenaga kesehatan lainnya. Hasil kajian menunjukkan beberapa temuan penting, termasuk identifikasi masalah terkait pengobatan seperti kebutuhan akan terapi gout dengan allopurinol pada pasien dengan nilai asam urat dan ureum tinggi yang belum diobati. Selain itu, ditemukan kebutuhan akan terapi anemia pada pasien dengan nilai hemoglobin, hematokrit, eritrosit, trombosit, dan MCV rendah namun belum mendapatkan perlakuan yang sesuai. Rekomendasi pengobatan hasil PTO diberikan setelah diskusi dengan apoteker penanggung jawab kepada Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP), dengan rencana pemantauan yang ditetapkan untuk memastikan keberhasilan terapi. Studi ini menyoroti pentingnya kolaborasi yang baik antara dokter dan apoteker dalam pelayanan kesehatan untuk meningkatkan hasil terapi pasien dan mencegah komplikasi yang tidak diinginkan selama perawatan. Dengan demikian, upaya ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam pengembangan praktik PTO yang lebih efektif dan terfokus di lingkungan rumah sakit.

Therapy Drug Monitoring (TDM) is a crucial aspect in ensuring safe, effective, and rational drug therapy for patients. This research aims to understand the implementation of TDM at the Indonesian Army Central Hospital within the context of the Pharmacist Professional Internship. The main focus is on analyzing TDM in patients with recurrent CVD, hypertension, diabetes, and dyslipidemia. Over five days of PKPA at Pavilion Soehardo Kertohusodo (PSK), patient data was collected through hospital information system, medical records, and interviews with patients, families, and other healthcare professionals. The study findings revealed several important observations, including the identification of treatment-related issues such as the need for gout therapy with allopurinol in patients with high uric acid and urea levels that have not been treated. Additionally, there was a need for anemia therapy in patients with low hemoglobin, hematocrit, red blood cells, platelets, and MCV values but have not received appropriate treatment. Treatment recommendations from TDM were provided after discussions between the responsible pharmacist and the Attending Physician, with a monitoring plan established to ensure therapy success. This study highlights the importance of effective collaboration between doctors and pharmacists in healthcare delivery to improve patient therapy outcomes and prevent unwanted complications during treatment. Thus, these efforts are expected to positively contribute to the development of more effective and focused TDM practices within hospital settings.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lily Indriani Octovia
"Latar belakang: luka bakar berat dapat disertai dengan trauma inhalasi, yang akan memicu respons lokal dan sistemik, sehingga menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan sepsis. Berbagai kondisi ini menyebabkan hipermetabolime dan hiperkatabolisme, yang membutuhkan tatalaksana nutrisi adekuat untuk membantu proses penyembuhan pasien. Berbagai kelompok ahli telah memberikan rekomendasi tatalaksana nutrisi pada luka bakar berat dan sakit kritis. Namun, akibat keterbatasan sarana dan prasarana, tidak semua rekomendasi dapat dilaksanakan, sehingga tatalaksana nutrisi diberikan secara optimal. Metode: serial kasus ini terdiri atas empat pasien luka bakar berat, yang disebabkan oleh api, dan disertai trauma inhalasi, yang menyebabkan berbagai komplikasi, sepsis, multiple organ dysfunction syndrome (MODS) dan multiple organ failure (MOF). Tatalaksana nutrisi diberikan secara bertahap sesuai dengan keadaan pasien. Pemberian nutrisi diawali dengan nutrisi enteral dini (NED) dalam waktu 2448 jam setelah luka bakar, sebesar 10 kkal/kg BB, menggunakan drip intermiten. Selanjutnya, nutrisi diberikan sebesar 2025 kkal/kg BB pada fase akut dan 2530 kkal/kg BB/hari pada fase anabolik. Setelah pasien keluar dari intensive care unit (ICU), target kebutuhan energi menggunakan persamaan Xie, dengan protein 1,52,0 g/kg BB/hari, lemak 2530%, dan karbohidrat (KH) 5565%. Mikronutrien diberikan berupa multivitamin antioksidan, vitamin B, asam folat, dan vitamin D. Pasien dalam serial kasus ini juga mendapatkan nutrisi spesifik glutamin sebesar 0,3 g/kg BB/hari, selama 510 hari. Hasil: tiga pasien mengalami perbaikan klinis, kapasitas fungsional, dan laboratorium. Pasien selamat dan dipulangkan untuk rawat jalan. Masa rawat pasien yang selamat berturut-turut 33 hari, 70 hari, dan 43 hari. Seorang pasien mengalami perburukan dan MOF, hingga meninggal dunia setelah dirawat selama 23 hari di ICU. Kesimpulan: tatalaksana nutrisi optimal dapat menunjang penyembuhan luka serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien luka bakar berat dengan trauma inhalasi dan sepsis.
;Background: severe burn trauma combined with inhalation injury initiates local and systemic response, resulting in various complications such as systemic inflammatory response syndrome (SIRS) and sepsis. These conditions stimulate hypercatabolic process, leading to the increase of nutrition requirement. Adequate nutritional support is necessary in order to control both inflammatory and metabolic response, and also to improve healing process. To date, nutritional recommendations specific for severe burn trauma and critical illness have been established. However, many problems including patient?s condition and lack of resources exist, so optimal nutritional support that fits our settings was delivered. Method: this serial case focused on four severely burned patients caused by flame. Subjects with inhalation trauma and complications such as sepsis, multiple organ dysfunction syndrome (MODS), and multiple organ failure (MOF) were included in this study. Nutritional support was delivered according to clinical conditions, patient?s tolerance, and laboratory findings. Early enteral nutrition was initiated within 2448 hours post burns, starting from 10 kcal/kg BW/day with intermittent gravity drip method. Nutrition was gradually increased in order to reach the target of energy for critically ill patients, which is 2025 kcal/kg BW/day in acute phase or 2530 kcal/kg BW/day in anabolic recovery phase. Xie Equation was used to calculate target of total energy for burned patient. Protein requirement was 1.52.0 g/kg BW/day. Lipid and carbohydrate given were 2530% and 5565% from calorie intake, respectively. Micronutrient supplementation including antioxidants, vitamin B, folic acid, and vitamin D was also provided. Glutamin as specific nutrient was delivered by 0.3 g/kg BW/day in 510 days. Results: improvement of clinical condition, functional capacity, and laboratory parameters was observed in three patients, who could be discharged from hospital and asked to come back for outpatient care. Their lengths of stay were 33 days, 70 days, and 43 days, respectively. However, one patient experienced worsening of condition and died after 22 days of care in Intensive Care Unit (ICU). Conclusions: optimal nutritional support for severely burned patients with inhalation trauma and sepsis is necessary in order to improve healing process, as well as decrease morbidity and mortality."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Araminta Ramadhania
"Pasien kanker kepala-leher berisiko tinggi mengalami malnutrisi disebabkan oleh perubahan metabolisme, lokasi tumor, serta gejala toksisitas akut akibat kemoradiasi. Terapi medik gizi secara dini sejak pasien terdiagnosis kanker untuk mencapai asupan energi dan protein yang adekuat, didukung asupan branched-chain amino acid (BCAA) dan eicosapentaenoic acid (EPA) sesuai target, serta aktivitas fisik dapat menjaga massa otot dan status gizi pasien. Acute kidney injury (AKI) merupakan efek toksisitas obat kemoterapi berbasis platinum yang sering dialami pasien. Kondisi tersebut dapat menghambat optimalisasi pemberian nutrisi khususnya protein pada pasien kanker. Tiga dari empat pasien serial kasus sudah mengalami penurunan berat badan drastis, juga pre-kaheksia atau kaheksia sebelum mendapat terapi medik gizi. Selama menjalani kemoradiasi, asupan keempat pasien mengalami penurunan akibat gejala toksisitas akut yang semakin memberat mulai minggu ke-2 radiasi, sehingga tiga dari empat pasien tidak dapat mencapai target asupan energi dan protein pada sebagian besar pemantauan, dengan kisaran antara 6–41 kkal/kgBB/hari dan 0,3–1,6 g/kgBB/hari. Pemberian oral nutrition supplements (ONS) dan nutrisi enteral melalui nasogastric tube (NGT) membantu pemenuhan makronutrien, mikronutrien, serta nutrien spesifik. Berbagai studi menyatakan bahwa pasien yang mendapat terapi medik gizi disertai konseling nutrisi rutin mengalami penurunan berat badan lebih sedikit selama menjalani kemoradiasi. Keempat pasien serial kasus ini mengalami penurunan berat badan >10% selama menjalani kemoradiasi, terutama dari penurunan massa otot. Pasien juga mengalami penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Dua orang pasien yang mendapat terapi medik gizi sejak sebelum kemoradiasi disertai asupan nutrien spesifik sesuai target, dengan rentang asupan BCAA 3,5–16,2 g/hari dan EPA 1–1,38 g/hari, mengalami penurunan berat badan dan kualitas hidup relatif lebih sedikit dibanding dua pasien lainnya. Dibutuhkan asupan energi ≥30 kkal/hari dan asupan protein ≥1,2 g/hari disertai peningkatan aktivitas fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan massa otot. Penurunan asupan masih dapat terjadi hingga beberapa minggu pascakemoradiasi, sehingga pemberian terapi medik gizi juga harus dilanjutkan setelah terapi kanker selesai.

Patients with head and neck cancer are at risk of malnutrition as a result of the metabolic alteration, site of their cancer, also acute toxicity following chemoradiation therapy. Early nutrition intervention consisted of adequate energy, protein, BCAA, and EPA intake, including physical activity initiated immediately after diagnosis was made, may maintain skeletal muscle mass and nutritional status. Platinum-based chemotherapy drug-induced nephrotoxicity can hinder the optimization of protein intake in cancer patients. Three out of four patients in this case series had experienced severe weight loss, also pre-cachexia and cachexia before initiation of nutrition intervention. Energy and protein intake of three patients remained insufficient until the end of chemoradiation therapy, ranged from 6–41 kcal/kg/day and 0,3–1,6 g/kg/day. These inadequacies were mainly caused by acute radiation toxicities that worsen as radiation went on. Oral nutrition supplements and enteral tube feeding may help to achieve adequate macronutrient, micronutrient, and specific nutrient intake. A number of studies demonstrated that regular dietary counseling during chemoradiation was associated with less weight loss. All patients in this case series suffered from weight loss >10%, mainly from skeletal muscle loss. Functional status and quality of life during chemoradiation therapy were also reduced. Better quality of life and less weight loss were seen in two patients who received early nutrition intervention and reached the daily intake target of specific nutrient, ranged from 3,5–16,2 g/day for BCAA and 1–1,38 g/day for EPA. Energy intake ≥30 kcal/day and protein intake ≥1,2 g/day combined with increased physical activity are needed to maintain or increase muscle mass. Side effects of radiation can last for months after treatment; therefore, nutrition intervention should be continued to maintain good nutrition after radiation therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Kamila
"Acute kidney injury (AKI) didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu 7 hari. AKI dapat disebabkan oleh obat-obatan nefrotoksik yang disebut dengan istilah Drug Induced Acute Kidney Injury (DI-AKI). Obat nefrotoksik merupakan penyebab paling umum ketiga dari penyakit ginjal dan bertambah buruk dalam beberapa dekade terakhir karena seringnya penggunaan obat nefrotoksik serta dikaitkan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Studi retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kejadian DI-AKI, karakteristik pasien, jenis obat yang berpotensi menyebabkan AKI, beserta faktor yang dapat memengaruhi terjadinya DI-AKI pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) pada tahun 2021. Untuk menelusuri pasien yang mengalami AKI digunakan kode diagnosa ICD 10 dan analisis kausalitas obat menggunakan algoritma Naranjo. Total pasien rawat inap di RSUI tahun 2021 adalah 4.273 pasien dan terdapat 397 pasien (9,3%) yang memiliki diagnosis AKI saat masuk rawat inap dan selama perawatan. Dari 397 pasien, 38 pasien (9,5%) masuk ke dalam kriteria inklusi. Prevalensi DI-AKI pada pasien rawat inap di RSUI tahun 2021 adalah sebesar 8,31% (33 pasien) dari seluruh pasien yang memiliki diagnosis AKI saat masuk rawat inap dan selama perawatan, serta sebesar 0,77% dari seluruh pasien rawat inap di RSUI pada tahun 2021. Berdasarkan algoritma Naranjo, dari 33 pasien yang mengalami DI-AKI terdapat 3 pasien (7,89%) dengan derajat kausalitas dapat terjadi (probable) dan 30 pasien (78,95%) dengan derajat kausalitas belum pasti terjadi (possible). Obat yang berpotensi menyebabkan AKI terbanyak berasal dari golongan diuretik (29,76%), golongan antibiotik (21,43%), golongan ACEi/ARB (21,43%), golongan antiviral (9,52%) dan golongan NSAID (7,14%). Dalam penelitian ini, mayoritas pasien yang mengalami DI-AKI merupakan pasien laki-laki, berusia 18-59 tahun, menggunakan ≥15 obat lain, dan memiliki ≥4 masalah kesehatan. Sementara itu, tidak ditemukan hubungan yang signifikan pada faktor usia, jenis kelamin, jumlah obat, dan jumlah masalah kesehatan terhadap kejadian DI-AKI pada penelitian ini.

Acute kidney injury (AKI) is defined as a sudden decrease in kidney function within 7 days. AKI can be caused by nephrotoxic drugs and called as Drug-Induced Acute Kidney Injury (DI-AKI). Nephrotoxic drugs are the third most common cause of kidney disease and have worsened in recent decades due to the frequent use of nephrotoxic drugs and are associated with high mortality rates. This retrospective study aims to determine the prevalence of DI-AKI, patient characteristics, types of drugs that have the potential to cause AKI, along with factors that can influence the occurrence of DI-AKI in inpatients at University of Indonesia hospital in 2021. ICD 10 diagnostic code was used for detecting AKI and Naranjo algorithm was used for analyzing adverse effects. Total inpatients at the University of Indonesia hospital (RSUI) in 2021 were 4.273 patients and 397 patients (9,3%) diagnosed with AKI on admission and during treatment in hospital. Of the 397 patients, 38 (9,5%) were included in this study. The prevalence of DI-AKI in inpatients at RSUI in 2021 was 8,31% (33 patients) out of patients diagnosed with AKI on admission and during treatment in hospital, and 0,77% of all inpatients at RSUI in 2021. Naranjo algorithm showed 3 patients (7,89%) in the probable category and 30 patients (78,95%) in possible category. The most common drug groups causing AKI were diuretics (29,76%), antibiotics (21,43%), ACEi/ARBs (21,43%), antiviral (9,52%) and NSAIDs (7,14%%). In this study, DI-AKI mostly occurred in male patients, 18-59 years old, used ≥15 concomitant drugs, and had ≥4 medical problems. Meanwhile, there was no significant relationship between age, gender, number of drugs, and number of medical problems and the incidence of DI-AKI found in this study."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyvia Mega
"Pemantauan cairan merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dilakukan pada semua pasien COVID-19, terutama yang memiliki risiko dan masalah keseimbangan cairan seperti acute kidney injury (AKI). Intervensi ini menjadi krusial karena balans cairan pasien dapat mempengaruhi status oksigenasi pasien COVID-19. Sebuah kasus pasien laki-laki berusia 62 tahun yang dirawat di ruang rawat inap isolasi COVID-19, dengan COVID-19 terkonfirmasi derajat sedang disertai penyakit penyerta hipertensi dan diabetes melitus, serta mengalami komplikasi AKI, menjelaskan bagaimana hasil pemantauan cairan menjadi data awal kecurigaan perawat bahwa pasien mengalami masalah ketidakseimbangan cairan setelah status oksigenasinya semakin menurun. Pada akhir perawatan pasien mengalami perburukan kondisi karena fungsi ginjal yang terus menurun. Intervensi pemantauan cairan dapat dilakukan secara mandiri oleh perawat, dan secara kolaboratif dimana hasilnya dapat digunakan dalam mengevaluasi status oksigenasi dan kebutuhan terapi oksigen pasien, menentukan kebutuhan terapi cairan, dan mengevaluasi penggunaan diuretik sebagai upaya mencapai keseimbangan cairan pasien. Melalui hasil pemantauan cairan, perawat seharusnya bisa memberikan tanda peringatan kemungkinan kejadian AKI lebih awal pada pasien.

Fluid monitoring is one of the interventions carried out in all COVID-19 patients, especially those who have risks and fluid balance problems such as acute kidney injury (AKI). This intervention is crucial because the patient's fluid balance can affect the impaired oxygenation status in COVID-19 patients. A case of a 62-year-old male patient who was treated in an inpatient COVID-19 isolation ward, with a confirmed moderate degree of COVID-19 accompanied by comorbidities of hypertension and diabetes mellitus, as well as experiencing complications of AKI, explained how fluid monitoring is the initial data for suspicion that the patient has fluid imbalance after his oxygenation status has decreased. At the end of treatment, the patient's condition worsened due to declining kidney function. Fluid monitoring interventions can be carried out independently by nurses, and collaboratively where the results can be used in evaluating the patient's oxygenation status and oxygen therapy needs, determining the need for fluid therapy, and evaluating the use of diuretics as an effort to achieve patient fluid balance. Through the results of fluid monitoring, nurses should be able to provide warning signs of possible AKI events earlier in patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>