Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164091 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jessica Dialetta Injo
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Artropati hemofilik merupakan faktor utama peningkatan morbiditas dan besarnya biaya pengobatan penderita hemofilia. Radiografi berperan dalam mengevaluasi progresifitas kelainan dan efek terapi yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi jumlah proyeksi dalam evaluasi artropati hemofilik lutut sehingga dapat mengurangi radiasi yang diterima pasien, sesuai dengan prinsip ldquo;As Low As Reasonably Achievable rdquo;.Metode: Uji korelatif dan asosiatif menggunakan desain potong lintang terhadap radiogram 100 lutut penderita hemofilia proyeksi AP dan lateral dengan kalsifikasi Arnold Hilgartner dan skor Pettersson.Hasil: Terdapat hubungan evaluasi artropati hemofilik lutut menggunakan kalsifikasi Arnold Hilgartner antara proyeksi AP dan AP-lateral dengan R=0,52 dan nilai

ABSTRACT
Background and Objective Hemophilic arthropathy is a main factor which causes morbidity and is the main contributor to cost in treatment of hemophilic patients. Radiography has a role in monitoring progressivity and follow up after therapy. The aim of the study is to reduce radiography proections to minimize radiation dose in accordance with ldquo As Low As Reasonably Achievable rdquo radiology principle. Methods A correlative and associative research using cross sectional study from 100 knees radiogram of hemophilic arthropathy patients in AP and lateral view using Arnold Hilgartner and Petterson score. Results There is association between assessment of hemophilic arthropathy using Arnold Hilgartner in AP view and Ap lateral view with R 0.52 and p 0.001. There is positive correlation between evaluation of hemophilic arthropathy using Petterson score using AP and AP lateral with R 0.58 and p"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marcel Prasetyo
"Latar belakang: Evaluasi sendi pada penyandang hemofilia memerlukan metode yang objektif dan terukur. USG sebagai metode yang relatif baru untuk artropati hemofilik AH belum memiliki konsensus sistem skor, sementara MRI telah memiliki sistem skor International Prophylaxis Study Group dari World Federation of Hemophilia IPSG-WFH . Penelitian ini mengembangkan sistem skor USG baru untuk artropati hemofilik lutut tahap dini, dan menilai keselarasannya dengan skor MRI IPSG-WFH dan kadar CTX-II urin.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Formulasi skor USG berdasarkan pada studi pustaka terhadap 25 publikasi terkait sejak tahun 1999 - 2015 dan peer review. Terdapat 27 anak penyandang hemofilia A berat yang dipilih secara konsekutif. AH lutut tahap dini ditetapkan berdasarkan klasifikasi radiografi Arnold-Hilgartner derajat 0 - II. USG dan MRI lutut dilakukan dengan penilaian skor MRI IPSG-WFH dan skor USG yang baru. Kadar CTX-II urin ditetapkan dengan pemeriksaan ELISA. Data dianalisis dengan uji Spearman.
Hasil: Sistem skor USG baru meliputi komponen efusi sendi, hipertrofi sinovium, hipervaskularisasi sinovium dengan Power Doppler, deposisi hemosiderin, dan kerusakan kartilago pada troklea femoris. Terdapat korelasi sedang antara skor USG dengan skor MRI. Tidak ada korelasi skor USG dengan CTX-II urin.
Kesimpulan: Skor US baru ini dapat digunakan sebagai alternatif MRI pada AH lutut tahap dini.

Introduction Assessment of knee haemophilic arthropathy HA required an objective measures. There was no consensus on preferrable US scoring system, while MRI already had a scoring system developed by the International Prophylaxis Study Group of the World Federation of Hemophilia IPSG WFH. This study developed a new US scoring system for early knee HA and its association with MRI scoring system and urinary CTX II level.
Method The study was cross sectional. US scoring system was developed based on literature studies of 25 publications between 1999 - 2015 and peer review. Twenty seven children with severe haemophilia A was recruited consecutively. Early HA was confirmed by radiography as Arnold Hilgartner stage 0 - II. Knee MRI and US were scored using MRI IPSG WFH scoring system and the new US scoring system, while urinary CTX II level was measured using ELISA. Correlation was analyzed using Spearman test.
Results US scoring system included joint effusion, synovial hypertrophy, synovial hypervascularization using Power Doppler, hemosiderin deposition, and cartilage damage. Moderate correlation was found between US score and MRI score. There was no correlation between US score and urinary CTX II level.
Conclusion The new US score can be used as an alternative for MRI in the assessment of early knee HA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Moniqa
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Artropati hemofilia merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada penyandang hemofilia dengan predileksi pada sendi siku, lutut dan pergelangan kaki. Deteksi dini artropati hemofilia dapat memperbaiki evaluasi dan tatalaksana. Ultrasonografi metode HEAD-US merupakan metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini kelainan sendi penyandang hemofilia menggunakan sistem skoring yang cepat dan relatif mudah. Evaluasi sendi secara klinis pada artropati hemofilia dilakukan dengan pemeriksaan skor HJHS. Ultrasonografi metode HEAD-US dapat menjadi penunjang evaluasi artropati hemofilia .Metode : Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada skor ultrasonografi metode HEAD-US dengan skor HJHS. Kedua pemeriksaan dilakukan pada 120 sendi penyandang hemofilia yaitu siku, lutut dan pergelangan kaki. Pemeriksaan HEAD-US dan HJHS dilakukan pada hari yang sama. Hasil : Rerata umur subyek penelitian adalah 9,3 tahun sebaran 5-14 tahun . Pemeriksaan HEAD-US memiliki median 8 dengan sebaran 1-28 dan mayoritas kelainan pada pergelangan kaki. Pemeriksaan HJHS memiliki sebaran skor 0-35 dengan median 3, mayoritas kelainan pada lutut.Kesimpulan : Terdapat korelasi positif kuat antara pemeriksaan ultrasonografi metode HEAD-US dengan pemeriksaan HJHS. p = 0,002, r= 0,65 . Didapatkan formula regresi linear yaitu : skor HJHS = = ndash; 3,74 0,86 x skor HEAD-US. Untuk memperkirakan skor HJHS setelah diketahui skor HEAD-US.

ABSTRACT
Background and objective Hemophilic artropathy is one of complication of hemophilia. The elbows, knees and ankles are the most affected joints. Detection of early blood induced joint changes may improve monitoring of treatment. HEAD US scanning protocol is a quick and simple method that can be used to detect hemophilic arthropathy. Clinically, hemophilic arthropathy was assessed using HJHS. The aim of this study was to explore the value HEAD US scanning protocol on evaluating hemophilic arthropathy. Methods Cross sectional correlation study between HEAD US and HJHS. Both were done on 120 hemophilic elbow, knee and ankle joints . HEAD US and HJHS were done on the same day. Results Mean age was 9,3 years range 5 14 years . Median score of HEAD US was 8 range 1 28 , mostly on ankles. Median score of HJHS was 3 range 0 35 , mostly on knees. . Conclusion There is strong correlation between HEAD US with HJHS. p 0,002, r 0,65 . Linear regression formula was HJHS score ndash 3,74 0,86 x HEAD US score. This formula can be used to predict HJHS score. "
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Handita Permata Sari
"Latar Belakang: Kesalahan posisi kepala dalam sefalostat saat pembuatan radiografis sefalometri lateral mengakibatkan distorsi pada radiograf yang dihasilkan. Hal ini mempengaruhi pada diagnosis dan rencana perawatan orthodonti pasien.
Tujuan: Mengetahui pengaruh distorsi radiografis sefalometri lateral akibat kemiringan kepala pada sumbu anteroposterior terhadap distorsi pengukuran angular sefalometri lateral.
Metode: Radiografis sefalometri lateral terhadap 7 kranium dengan sudut sebesar 0 , -20 , -15 , -10 , -5 , 5 , 10 , 15 , dan 20 terhadap sumbu anteroposterior. Radiograf dilakukan analisis sefalometri oleh dua orang pengamat. Uji reliabilitas dilakukan dengan uji Bland Altman. Uji kemaknaan dilakukan dengan uji T Berpasangan dan uji Wilcoxon.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara pengukuran 8 parameter sudut dengan kemiringan kepala lebih dari 10 p.

Background: Head position errors in the cephalostate during the lateral cephalometric projection result in radiographic distortion. This may affect the diagnosis and treatment plan of orthodontic patient's.
Objective: To discover the effect of lateral cephalometric radiograph distortion due to head tilting on the anteroposterior axis against distortion of lateral cephalometric angular measurements.
Methods: Lateral cephalometric radiograph of 7 human dry skulls with tilting angle of 0 , 20 , 15 , 10 , 5 , 5 , 10 , 15 , and 20 to the anteroposterior axis. Radiographs were analyzed by two observers. Reliability test is done by Bland Altman test. The significance test is done by paired T test and Wilcoxon test.
Results: There was a significant difference between the measurement of 8 angle parameters with head tilting greater than 10 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Nugraha Indriawan Djuhana
"Telah dilakukan penelitian penggunaan faktor eksposi untuk pemeriksaan radiografi kepala proyeksi lateral, digunakan tiga pilihan faktor eksposi (FE), yaitu FE 1 : 66 kV, 8 mAs, FFD = 90 cm, tanpa tambahan filter ; FE 2 : 66 kV, 10 mAs, FFD = 90 cm, dengan tambahan filter 2 mmAl ; serta FE 3 : 70 kV, 10 mAs, FFD = 115 cm, dengan tambahan filter 2 mmAl. FE 1 merupakan kondisi yang biasa dilakukan di instalasi tersebut, FE 2 adalah modifikasi dari FE 1 dengan menambahkan filter tambahan dan nilai beban tabung (mAs) yang lebih tinggi, sedangkan FE 3 merupakan kondisi yang direkomendasikan oleh European Commission : European Guidelines on Quality Criteria for Diagnostic Radiographic Images. (1996).
Dari hasil evaluasi citra oleh Radiolog, diketahui bahwa semua FE menghasilkan citra yang dapat digunakan untuk kepentingan diagnosa, sedangkan evaluasi citra fantom leeds mendapatkan nilai kontras terbaik pada pengukuran sensitifitas kontras-rendah dari FE 3 dengan nilai kontras 0.0135. Sedangkan ESD yang dihasilkan pada masing-masing FE sebesar 0,80 mGy; 0,54 mGy & 0,34 mGy untuk FE 1, FE 2, dan FE 3. Tetapi ESD yang dihasilkan dari ketiga faktor eksposi tersebut masih berada dibawah ESD yang direkomendasikan oleh European Commission, sebesar 3 mGy.
Dari penelitian ini, maka faktor eksposi yang paling baik untuk digunakan pada pemeriksaan radiografi kepala proyeksi lateral adalah FE 3. Didapatkan penurunan ESD pada kondisi dengan menggunakan filter tambahan 2 mmAl dari kondisi yang tidak menggunakan filter tambahan 2 mmAl, sebesar 0,15 mGy - 0,75 mGy, atau sebesar 29,82 % - 74,77 %.

Has been studied using exposure factor for radiographic examination of the skull on lateral projection, used three options exposure factor (FE), namely FE 1: 66 kV, 8 mAs, FFD = 90 cm, with no additional filters; FE 2: 66 kV, 10 mAs, FFD = 90 cm, with 2 additional filter mmAl; and FE 3: 70 kV, 10 mAs, FFD = 115 cm, with 2 additional filter mmAl. FE 1 is the usual condition in the installation, FE 2 is a modification of one by adding additional filters and tube load value (mAs) is higher, while the FE 3 is a condition recommended by the European Commission: European Guidelines on Quality Criteria for Diagnostic radiographic Images. (1996).
From the results of image evaluation by the Radiologist, it is known that all FE, producing images that can be used for diagnosis, while the image evaluation using phantom leeds get the best contrast on the low-contrast sensitivity measurements of FE-3 with a value 0.0135. While the ESD generated at each FE of 0.80 mGy; 0.54 mGy to 0.34 mGy & FE 1, FE 2 and FE 3. But the ESD generated from these three exposure factors still under ESD valu that recommended by the European Commission, at 3 mGy.
From this research, the best exposure factor to use on the skull radiographic lateral projection is FE 3. ESD reduction obtained by using the filters on the condition of 2 mmAl additional of conditions that do not use the filter additional 2 mmAl, are 0.15 mGy - 0.75 mGy, or equal to 29.82% - 74.77%.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S199
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gery Gilbert
"Latar Belakang : Distribusi frekuensi impaksi gigi molar tiga maksila berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory, Winter, dan hubungan dengan sinus maksila dapat menunjukan variasi yang dapat berperan penting dalam mengantisipasi kesulitan pada saat odontektomi. Tujuan : Mengetahui frekuensi kasus impaksi molar tiga maksila pada radiograf panoramik berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory dan Winter serta hubungan dengan sinus maksila di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kategorik menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien di RSKGM FKG UI. Hasil : Penelitian yang dilakukan pada 102 kasus impaksi molar tiga maksila menunjukkan kasus impaksi molar tiga maksila paling banyak pada wanita dengan persentase 62.7%, namun hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara perbedaan gender dengan masing-masing klasifikasi impaksi. Frekuensi tertinggi dari masing-masing klasifikasi adalah Kelas C sebesar 46.08% pada klasifikasi Pell-Gregory, impaksi distoangular sebesar 35.3% pada klasifikasi Winter, dan impaksi tipe 4 sebesar 60.78% pada klasifikasi berdasarkan hubungan dengan sinus maksila. Kesimpulan : Penelitian ini mendapatkan hasil distribusi frekuensi impaksi molar tiga maksila yang dapat menjadi acuan dalam menentukan tingkat kesulitan perawatan odontektomi.

Background : A method of classification of third molar impaction is needed because the anatomical position of impacted third molars can show variations that will play an important role in anticipating difficulties during extraction. Objective : To determine the impaction frequency of maxillary third molar impaction cases, as seen on panoramic radiographs and classified based on Pell-Gregory and Winter classification and also the relationship with maxillary sinus in RSKGM FKG UI. Methods : The type of research conducted is categorical descriptive research, using secondary data in the form of patient medical records at RSKGM FKG UI. Results : From 102 cases of maxillary third molar impaction, it was found that maxillary third molar impaction was most common in women with a percentage of 60%, but the results of statistical tests show no significant relationship between gender differences with each classification. The highest frequency of each classification is Class C of 46.08%, distoangular impaction of 35.3%, and impaction of type 4 by 60.78%. Conclusion : Classification of maxillary third molar impact can be a reference in determining the difficulty level of odontectomy treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthonyus Natanael
"Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) didefinisikan sebagai turunnya visera pelvis (uterus, kandung kemih, uretra, dan rektum) dari posisi normal. Otot levator ani merupakan penopang panggul yang berperan penting dalam patogenesis POP. Studi sebelumnya menunjukkan terdapat perbedaan luas area hiatus dan panjang anteroposterior hiatus levator ani pada setiap derajat keparahan POP. Diagnosis POP dapat ditegakkan dengan POP-Q, namun pelaksanannya masih terbatas sehingga dibutuhkan alat pemeriksaan lain untuk skrining pasien.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan metode consecutive sampling. Peneliti mengidentifikasi subjek POP dengan dan tanpa keluhan benjolan. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan POP-Q, panjang genital hiatus (Gh) dan perineal body (Pb), dan pemeriksaan USG translabial 3D/4D. Data dianalisis menggunakan SPSS Statistics 20 dengan uji T tidak berpasangan untuk membandingkan rerata parameter luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani. Selanjutnya dilakukan analisa ROC untuk mendapatkan nilai titik potong dengan estimasi sensitifitas dan spesifisitas terbaik untuk membedakan prolaps bergejala dan tidak bergejala benjolan. Hasil: Sebanyak 109 subjek ikut serta dalam penelitian ini. Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus (28,9+5,59 vs 19,6+4,63, p < 0,05 saat valsalva, 15,2+4,08 vs 12,5+3,15, p <0,005 saat kontraksi) dan panjang anteroposterior levator ani (8,6+1,06 vs 6,8+1.13, p<0,05) antara kelompok dengan keluhan benjolan dan kelompok tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani untuk membedakan subjek dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan adalah 25,1 cm2 [sensitifitas 84,6%, spesifisitas 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] dan 7,75 cm [sensitifitas 87,2%, spesifisitas 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)].
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus dan panjang anteroposterior levator ani antara kelompok dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas hiatus 25,1 cm dan panjang anteroposterior 7,75 cm memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik untuk membedakan kedua kelompok.

Introduction: Pelvic organ prolapse (POP) is defined as descent of the pelvic viscera (uterus, bladder, urethra, and rectum) from its normal position. Levator ani muscle is the largest component of pelvic floor that plays an important part in POP pathogenesis. Previous study showed that there was difference in levator hiatus area and anteroposterior length on every grade of POP. The diagnosis of POP can be established from POP-Q tool, however its use is still very limited within its subspecialist practice causing the need of a new screening tool.
Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sampling method. We classified POP subject with bulge symptom and without bulge symptom. Subjects that were willing to participate in this study under underwent POP-Q examination and 3D/4D transperineal ultrasonography. Data were analyzed using SPSS Statistics 20 with student’s t-test to compare levator hiatus area and anteroposterior length mean between 2 group.
Results: A total of 109 subjects were included in this study. There was a significance difference in levator hiatus area (28.9+5.59 cm2 vs 19.6+4.63 cm2, p < 0/05 during valsalva maneuver, 15.2+4.08 cm2 vs 12.5+3.15 cm2, p <0.05 during contraction) and anteroposterior length (8.6+1.06 c, vs 6.8+1.13 cm, p<0,05) between group with bulge symptom and without bulge symptom. Levator hiatus area and anteroposterior length cutoff to differentiate between subject with and without bulge symtoms was respectively 25,1 cm2 [sensitivity 84,6%, specificity 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] and 7,75 cm [sensitivity 87,2%, specificity 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)].
Conclusion: There was a significant difference in levator hiatus area and anteroposterior length between group with and without bulge symptom. Levator hiatus area cut off at 25,1 cm2 anteroposterior length cut off at 7.75 cm showed good sensitivity and specificity to differentiate between 2 group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Anggraeni Wibawaningsasi
"Penggunaan sudut ANB dan Wits di klinik sebagai metode pengukuran diplasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior adakalanya memberikan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya pengaruh antara lain variasi posisi Nasion dan kemiringan garis oklusi. Dengan dasar pemikiran bahwa pemakaian lebih dari dua parameter akan memberikan hasil yang lebih baik dan lebih jelas, maka sudut SGn AB yang diperkenalkan oleh Sarhan, dipakai sebagai alat bantu mendiagnosa hubungan mandibula dan maksila ke kranium dalam jurusan anteroposterior.
Penelitian yang merupakan suatu studi awal ini dilakukan pada pasien dewasa yang datang ke klinik ortodontik FKGUI dari bulan Januari 1990 sampai dengan bulan Desember 1993. Tujuannya membuktikan bahwa parameter SGn AB bersama-sama metode sudut ANB dan Wits dapat dipergunakan untuk identifikasi adanya displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior secara lebih baik.
Subjek yang diteliti berupa 70 sefalogram yang terdiri dari 45 wanita dan 25 pria berusia 19-25 tahun, bangsa Indonesia, belum pernah mendapat perawatan ortodontik. Dari setiap subjek diukur sudut SNA, sudut SNB, sudut ANB, sudut SGn AB dan Wits.
Untuk mendapatkan klsifikasi maloklusi, sudut ANB diukur memakai ukuran Steiner yaitu 2° dengan SD ± 2°. Sudut SGn AB diukur menurut norma ukuran Sarhan dan Wits diukur sesuai ukuran Jacobson yaitu 0 mm dengan SD ± 1 mm. Dilakukan pengelompokan klasifikasi maloklusi antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.Kemudian dilihat tingkat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan sudut ANB, serta antara sudut SGn AB dan Wits.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits sebesar 24.2 %, dengan kelompok klasifikasi maloklusi yang berbeda sebesar 17 sampel. Pengukuran memakai sudut SGn AB menghasilkan koreksi sudut ANB sebesar 11 sampel, Wits sebesar 6 sampel. Ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB sebesar 14 %, dan ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan Wits sebesar 10 %.Terlihat bahwa ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits adalah lebih besar dari pada ketidakselarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.
Secara umum dapat disimpulkan posisi nilai sudut SGn AB yang terletak ditengah-tengah sudut ANB dan Wits, menunjukkan bahwa sudut SGn AB dapat digunakan untuk mengoreksi sudut ANB dan Wits secara seimbang. Dengan dernikian sudut SGn AB dapat digunakan sebagai alat bantu yang menunjang keakuratan pengukuran displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior, disamping metode sudut ANB dan Wits."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonard Rudy S
"Tujuan: Untuk menentukan apakah terdapat kesesuaian antara radiografi konvensional proyeksi
oksipitomental buka mulut (1 proyeksi) dengan proyeksi standar yaitu oksipitomental,
oksipitofrontal, dan lateral (3 proyeksi) pada pasien sinusitis dewasa.
Bahan dan Cara: Gambaran radiografi konvensional 1 proyeksi dan 3 proyeksi, dan tomografi
komputer sinus paranasal dari 43 pasien dewasa dengan klinis kecurigaan sinusitis dievaluasi.
Temuan tomografi komputer maupun radiografi konvensional dikelompokkan dalam normal,
sinusitis ringan, sedang dan berat. Dengan menggunakan tomografi komputer sinus paranasal
sebagai baku emas, dihitung sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif dan negatif, kemudian
dicari kesesuaian antara radiografi konvensional 1 proyeksi dengan 3 proyeksi.
Hasil: Radiografi konvensional kurang dapat mendeteksi kasus sinusitis yang keparahannya
ringan. Radiografi konvensional 1 proyeksi terhadap 3 proyeksi dalam menyatakan sinusitis tanpa
spesifikasi lokasi dan keparahan memberikan nilai sensitifitas 72% vs 75%, spesifisitas 71% vs
86%, nilai duga positif 93% vs 96%, dan nilai duga negatif 33% vs 40%. Akurasi keseluruhan
radiografi konvensional 1 proyeksi terhadap 3 proyeksi adalah 72% vs 77%. Tidak didapatkan
perbedaan statistik bermakna antara hasil radiografi konvensional 3 proyeksi dengan 1 proyeksi.
Kesimpulan: Pemeriksaan radiografi konvensional standar sinus paranasal 3 proyeksi pada klinis
kecurigaan sinusitis pada pasien dewasa dapat dibatasi pada proyeksi tunggal oksipitomental
buka mulut saja. Nilai duga negatif radiografi konvensional yang rendah dalam menentukan
sinusitis menyarankan hasil radiografi normal dalam keadaan kecurigaan sinusitis gagal untuk
secara meyakinkan menyingkirkan adanya sinusitis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Putri Apriza
"Epilepsi merupakan penyakit kronik dengan gejala yang cukup khas yaitu adanya bangkitan kejang tanpa pemicu. Angka prevalensi epilepsi tergolong tinggi di Indonesia dan hal ini merupakan masalah yang harus segera diatasi. Selain itu, epilepsi pada anak dapat menyebabkan berbagai gangguan perkembangan. Salah satu pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis klasifikasi epilepsi yang tersedia saat ini adalah EEG yang memberikan gambaran pola gelombang spesifik tertentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dianalisis hubungan antara epilepsi pada anak dengan gambaran EEG serta perkembangan anak. Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan menggunakan data sekunder rekam medik dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 1995-2010. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 115 anak (61,5%) dengan klasifikasi epilepsi simtomatik, 105 anak (56,1%) dengan gambaran EEG abnormal, dan 96 anak (51,3%) dengan perkembangan terlambat. Dari hasil analisis hubungan antar variabel menggunakan Chi-Square, terdapat hubungan bermakna antara perkembangan anak dengan klasifikasi epilepsi (p<0,001) disertai dengan hubungan bermakna antara aspek perkembangan yaitu motorik kasar (p<0,001), sosial personal (p=0,024), dan bahasa (p<0,001) tetapi tidak ada hubungan bermakna antara aspek motorik halus terhadap klasifikasi epilepsi.Tidak ada hubungan bermakna antara gambaran EEG secara umum dengan klasifikasi epilepsi tetapi terdapat hubungan bermakna antara adanya gambaran epileptiform multifokal (p=0,018) dan nonspesifik (p=0,015) terhadap klasifikasi epilepsi.

Epilepsy is a chronic disease with typical symptom, seizure without provocation. The prevalence of epilepsy in Indonesia can be classified as high which creates another health problem to overcome. Furthermore, epilepsy in children may cause variety of development impairment. EEG is one of the current available examination to diagnose the classification of epilepsy through specific wave pattern findings. Therefore, this study is determined to analyze the association between epilepsy in children with EEG recording and child development. This study is a cross-sectional study using secondary data from Child Health Department of RSUPN Cipto Mangunkusumo medical records from 1995-2010.The result of the study shows that 115 subjects (61,5%) has symptomatic epilepsy, 105 subjects (56,1%) with abnormal EEG finding, and 96 subjects (51,3%) with delayed development. After performing Chi-Square test, there is a significant association between child development and epilepsy classification (p<0,001)followed by significant association between gross motoric (p<0,001), social personal (p=0,024), and language (p<0,001), however there were no association between gross motoric and epilepsy classification.There were no association between EEG recording with epilepsy classification,however there were a significant association between multifocal epileptiform finding (p=0,018) and nonspecific wave finding (p=0,015) to classify epilepsy
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>