Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144775 dokumen yang sesuai dengan query
cover
John Karlie
"ABSTRAK
Pendahuluan: Luka bakar merupakan suatu trauma yang sampai saat ini masih mempunyai angka kematian yang cukup tinggi di negara berkembang. Sampai saat ini unit luka bakar RSCM belum mempunyai sistem skoring baku yang digunakan sebagai alat bantu prognostik dalam memprediksi kematian secara objektif. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melakukan suatu validasi eksterna dari skor BOBI yang merupakan salah satu sistem skoring terbaik berdasarkan dari hasil systematic review yang dipublikasikan pada tahun 2013. Metode: Penelitian dilakukan secara kohort retrospektif dengan menganalisa semua pasien yang dirawat di unit luka bakar RSCM pada periode 2012-2013. Skor prediksi yang digunakan yaitu skor BOBI, dimana skor ini dinilai dari tiga kriteria yaitu usia, luas luka bakar, dan trauma inhalasi. Hasil: Rata-rata usia pasien yaitu 28 tahun, rata-rata luas luka bakar sebesar 29 , trauma inhalasi didapatkan sebanyak 15,7 , dan total kematian sebanyak 17,7 . Pasien laki-laki didapatkan sebanyak 67,3 dan perempuan sebanyak 32,7 . Skor prognostik ini memberikan hasil prediksi yang cukup akurat dengan nilai analisis receiver operating characteristic ROC menunjukkan area under curve AUC sebesar 0,96 95 confidence interval : 0,94-0,99 . Konklusi: Angka kematian pasien luka bakar di RSCM masih cukup tinggi. Skor BOBI menunjukkan tingkat prediksi yang cukup akurat. Oleh karena itu, diharapkan skor ini dapat berguna sebagai alat bantu prognostik di unit luka bakar RSCM sehingga standar kualitas pelayanan dapat terus ditingkatkan.

ABSTRACT
Background Burns are an injury that has a high rate of death to nowadays especially in developing countries. Until now Cipto Mangunkusumo Hospital rsquo s Burn Unit does not have a scoring system that is used as a standard prognostic tool in predicting death objectively. This study aims to conduct an external validation of the BOBI score which is one of the best scoring system based on the results of a systematic review published in 2013. Method In a retrospective cohort we analysed all burn patients admitted between 2012 and 2013 to burn unit at Cipto Mangunkusumo Hospital. The prediction model using BOBI score, based on three criteria age, total burned surface area TBSA , and inhalation injury . Results Mean age was 28 years, mean TBSA was 29 , inhalation injury was 15,7 , and overal mortality was 17,7 . The men were 67,3 and the women were 32,7 . The model gave an accurate prediction of mortality. The receiver operating characteristic analysis demonstrated an area under the curve of 0,96 95 confidence interval 0,94 0,99 . Conclusion Overall burn mortality in RSCM was high enough. The mortality prediction model BOBI score demonstrated a good accuracy. This model is a helpful tool for outcome prediction in order to give a better quality of service. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58730
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Diana Christie
"Latar belakang : Luka bakar merupakan salah satu penyebab kecacatan sementara, permanen maupun kematian pada anak. Insiden dan kematian akibat luka bakar bervariasi di setiap negara dan dipengaruhi karakteristik luka bakar. Saat ini belum ada data yang mengungkap karakteristik, angka mortalitas serta menilai skor PELOD 2 pada anak dengan luka bakar di Indonesia. Pengenalan karakteristik, angka mortalitas dan penilaian skor PELOD dapat memengaruhi pencegahan dan tata laksana luka bakar yang lebih baik.
Tujuan : Mengetahui karakteristik dan angka mortalitas pasien anak dengan luka bakar yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM, serta mengetahui apakah skor PELOD 2 dapat digunakan untuk menilai keparahan luka bakar dan memprediksi mortalitas.
Metode : Penelitian retrospektif deskriptif berdasarkan data pasien anak yang dirawat dengan luka bakar yang tercatat di rekam medis sejak Januari 2012 - Januari 2017. Subyek penelitian dipilih secara total sampling.
Hasil : Subyek yang memenuhi kriteria penelitian yaitu 148 pasien. Sebagian besar subyek berusia 0-<4 tahun, jenis kelamin laki-laki, gizi baik, rujukan rumah sakit lain dan lokasi kejadian umumnya di rumah. Etiologi luka bakar terbanyak adalah air panas, dengan luas luka bakar <20%, kedalaman luka bakar derajat II. Angka mortalitas anak dengan luka bakar di RSCM adalah 20,3% dengan penyebab kematian sebagian besar sepsis (43,3%). Etiologi terbanyak subyek yang meninggal adalah api, luas luka bakar >40%, dan kedalaman luka bakar derajat II-III. Sebagian besar subyek yang meninggal memiliki skor PELOD 2 ≥ 10 dan mengalami trauma inhalasi.
Simpulan : Angka kematian anak dengan luka bakar di RSCM masih tinggi. Skor PELOD 2 dapat digunakan sebagai metode skrining awal untuk menilai berat ringannya kondisi pasien serta memprediksi mortalitas.

Background : Burn injury is one of the leading causes of temporary, permanent disability and death. Incidence and mortality of burns injury vary among different countries, and its affected by burns characteristic. Currently there is no data reported about characteristic, mortality rate and assessment of the performance PELOD score 2 in pediatric burn injury in Indonesia. Identification characteristic, mortality rate and PELOD score 2 assesment will influence the prevention and better management of burn injury.
Objective : To identify the characteristics and mortality rates of children with burn injury hopitalized in Burn Centre Cipto Mangunkusumo Hospital, and to assess whether the PELOD score 2 can be used for assessment of illness severity and predict mortality.
Methods : A descriptive retrospective study based on data of pediatric patients hospitalized with burns injury in medical records from January 2012 to January 2017. The subjects were selected in total sampling.
Results : Subjects who fullfill criteria are 148 patients. The greatest number of pediatric burns occured in the age group 0-<4 years old, most were boys, normal nutritional status, referral patients, and commonly occured in the patient’s home. Most etiology of burn injury were scalds, extent of burns < 20% total body surface area and second degree burns. The mortality rate of pediatric burn injury in Cipto Mangunkusumo Hospital is 20,3% and sepsis is the leading caused of death (43,3%). The etiology of most subject who died was fire, extent of burns > 40% total body surface and depth burn grade II-III. Most of the subjects who died had PELOD score-2 ≥10 and inhalation injury.
Conclusion : The mortality rate of children with burns in RSCM is still high. PELOD score-2 can be used as an initial screening method to assess the severity of the illness and predict mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandita Melati Putri
"ABSTRACT
Latar belakang. Kadar laktat dalam plasma darah merupakan indicator adanya hipoksia seluler. Sementara pada pasien luka bakar proses inflamasi tidak hanya mempengaruhi bagian tubuh yang terkena luka bakar tetapi mengubah respon sistemik tubuh. Pasien dengan luka bakar derajat sedang akan memiliki kadar laktat yang melebihi kadar noermal, pengukuran kadar laktat yang berulang akan embantu dalam menilai respon terhadap terapi yang diberikan. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur kadar lakat di masa awal cedera dan hubungannya dengan komplikasi sepsis dan angka mortaitas.
Metodologi. Studi dilakukan secara retrospektif di Unit Luka Bakar Ciptomangunkusumo. Pasien dengan luka bakar derajat sedang akibat api atau air panas yang datang dalam rentang waktu 24 jam pertama dari bulan jauari 2012 hingga januari 2013 dimasukkan dalam studi ini. Kriteria inklusi adalah pasien dilakukan pemeriksaan lakatat saat 24 jam pertama dan setidaknya 2 kali selama rawat inap. Nilai laktat normal didefinisikan sebagai 1 ± 0.5 mmol/l.
Hasil. Dalam 12 bulan studi ini terdapat 20 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi. Perbandingan antara pria dan wanita adalah 16 :4. Usia rata-rata pasien adalah 30.55 tahun. Rerata luas luka bakar adalah 25.38 persen. Dalam 24 jam pertama kadar laktat meningkat dalam 75% pasien, dan pasien-pasien tersebut memiliki angka morbiditas sepsis yang lebih tinggi.
Kesimpulan. Lactate value is a good predictor outcome for sepsis and mortality in burn patients.

ABSTRACT
Background: Lactate is a marker for cellular hypoxia. In burn patients the inflammation process not only affect the local wound but also affects the systemic response.,thus the increased value of lactate. Patients with moderate burn can have a higher level of lactate than normal value. Serial lactate measures can also help assess response to therapy that has been given. This study was made to assess whether the early plasma lactate (PL) level is a useful biomarker to predict septic complications and outcome in burn patients, Material and methods.
The study is done retrospectively in a burn center in ciptomangunkusumo hospital. Moderate burn patients due to thermal injury admitted within 24 hours post burn injury, from january 2012 to january 2013, were included. The inclusion criteria is the plasma lactate was measured early in the first 24 hours and controlled more than twice during the patients stay in the hospital. The normal lactate value was defined as 1 ± 0.5 mmol/l.
Results. During the 12?month period of study, 20 patients were enrolled. Seixteen of them were male and four were female. The mean age was 30.55 years old. The average burn surface area was 25.38 percent. During the first 24 hour in burn patients the plasma lactate value more than normal was 75 percent. In those patients the results of sepsis and mortality rate is higher.
Conclusion. Lactate value is a good predictor outcome for sepsis and mortality in
burn patients.
"
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Tesis ini membahas uji validasi performa skor r – Baux sebelum sistem skoring tersebut dapat diimplementasikan dalam menilai dan memprediksi risiko mortalitas pasien luka bakar yang masuk ke Unit Luka Bakar di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM). Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan mengambil data dari rekam medis pasien Unit Luka Bakar RSUPNCM periode Januari 2010 – Desember 2012. Hasil penelitian menyatakan bahwa skor r – Baux memiliki performa kalibrasi dan diskriminasi yang baik untuk memprediksi mortalitas pasien luka bakar, sehingga dapat diimplementasikan di Unit Luka Bakar RSUPNCM.
, This study investigate the performance validation test of r – Baux score before this scoring system can be implemented to assess and predict mortality risk of burn patients at Burn Unit in Dr Cipto Mangunkusumo National Central Hospital (RSUPNCM). This is a retrospective cohort study of medical record of burn patients who attended to burn unit in RSUPNCM from January 2010 – December 2012. The results clarify that revised Baux score showed a good calibration and discrimination in predicting mortality of burn patient so it can be implemented in RSUPNCM.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurina Widayanti
"Latar belakang: Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di negara berkembang. Obesitas menyebabkan perubahan fisiologis yang kompleks dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, dan paru. Pasien obesitas dengan luka bakar lebih rentan mengalami perubahan fisiologis akibat penyakit penyerta yang sudah ada sebelumnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan mortalitas, lama rawat inap dan jumlah prosedur pembedahan antara pasien obesitas dan non-obesitas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian kohort retrospektif. Terdapat dua kelompok yang diidentifikasi secara retrospektif dari data rekam medis, dan kemudian dibandingkan secara prospektif. Kami membandingkan hasil (tingkat kematian, jumlah prosedur bedah, dan lama rawat inap) pada pasien luka bakar obesitas dan non-obesitas.
Hasil: Dominasi laki-laki ditemukan dalam penelitian ini dengan jumlah subjek 68 laki-laki (61,8%) dan 42 perempuan (38,2%). Kami menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan mortalitas pada kelompok pasien luka bakar obesitas dibandingkan dengan kelompok non-obesitas (p=0,207, CI 95% 0,286-1,315). Dengan Mann-Whitney Test, juga tidak terdapat perbedaan antara lama rawat inap (p-value 0,332) dan jumlah prosedur pembedahan (p-value 0,521) pada pasien obesitas dibandingkan pasien non-obesitas.
Kesimpulan: Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik pada mortalitas, lama perawatan dan jumlah prosedur bedah antara pasien luka bakar obesitas dan pasien luka bakar non-obesitas. Namun proporsi pasien meninggal lebih tinggi pada kelompok obesitas. Jangka waktu yang lebih lama dengan jumlah subjek yang lebih besar diperlukan untuk mengatasi bias statistik dan memberikan hasil yang lebih kuat dalam analisis statistik.

Background: obesity has become serious health issue in developing country. obesity causes complex physiologic alteration and increased risk for diabetes cardiovascular and pulmonary diseases. Obese patient with burn injury are more prone to have physiologic alteration resulting from pre-existing comorbid. The aim of this study is to investigate mortality, length of stay and number of surgical procedure between obese and non-obese patient.
Methods: This is an observational analytical study using the retrospective cohort study design. There are two groups which are retrospectively identified from the medical records, and then prospectively compared. We compare the outcomes (mortality rate, numbers of surgical procedure, and hospital length of stay) of obese and non-obese burn patients.
Results: Male predominance was found in this study with 68 males (61.8%) and 42 females (38.2%). We found out that there was no difference in mortality in obese burn patient groups compared to non-obese group (p=0.207, CI 95% 0.286-1.315). With Mann-Whitney Test, there were also no difference between length of stay (p-value 0.332) and number of surgical procedures (p-value 0.521) in obese patient compared to non-obese patient.
Conslusion: We did not find any statistically significant difference in mortality, length of stay and number of surgical procedures between obese burn patient and non-obese burn patient. However the proportion of deceased patient is higher in obese group. Longer period of time with larger number of subjects is needed to overcome statistical bias and provide more powerfull result in statistical analysis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anwar Lewa
"Latar belakang: Pada tahun 2018, diperkirakan tercatat 265.00 kematian yang disebabkan oleh luka bakar. Sekitar 96% kasus kematian terjadi di negara berkembang, dimana dua per tiga-nya terjadi di Afrika dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Metode:Subjek dibagi ke dalam dua grup yang diidentifikasi secara retrospektif dari rekam medis, dan dibandingkan secara prospektif. Studi ini membandingkan mortalitas, insiden sepsis, dan lama rawat inap pada pasien yang menjalani eksisi tangensial dini (n=23) yang dibandingkan dengan pasien yang menjalani eksisi tangensial tertunda (n=23). Data dianalisa dengan Fisher Exact Test dan Mann-Whitney.
Hasil: Dari Januari 2016 sampai Agustus 2018, terkumpul 46 pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Kejadian sepsis pada pasien yang menjalani eksisi tangensial dini berbeda secara bermakna (p<0.001) dengan kejadian sepsis pada pasien yang menjalani eksisi tangensial tertunda dengan risiko relatif 0.233 (CI 95% 0.122-0.446). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada mortalitas dan lama rawat inap pada kedua grup tersebut (p>0.05).
Kesimpulan: Eksisi tangensial dini bermanfaat untuk mencegah kejadian sepsis pada pasien luka bakar deep dermal dan luka bakar full thickness. Namun begitu, penilaian kedalaman luka bakar bersifat subjektif terhadap pengalaman klinis seorang dokter bedah. Eksisi tangensial dini harus dilakukan tidak lebih dari 96 jam setelah kejadian luka bakar.

Background: In the year 2018, it is estimated that 265.000 deaths are associated with burn injury annually. Approximately 96% of these cases occur in developing countries, out of which two-thirds are in the Africa and Southeast Asia regions, including Indonesia
Methods: There were two groups which are retrospectively identified from the medical records, and then prospectively compared. We compare mortality, sepsis incidence and hospital length of stay in patients underwent early tangential excision (n=23) to those who underwent delayed tangential excision (n=23) using Fisher Exact Test and Mann-Whitney.
Result: From January 2016 to August 2018, 46 patients met the inclusion criteria of this study. The incidence of sepsis was statistically significant with all sepsis incidence occurs only delayed tangential excision group (p<0.001) with relative risk 0.233 (CI 95% 0.122-0.446). There were no differences on the mortality as well as hospital length of stay between early and delayed tangential excision groups (p>0.05).
Conclusion: Early tangential excision is beneficial to prevent sepsis in patients with deep dermal and full thickness burn. Although burn depth assessment can be subjective to surgeon's clinical experience. Early tangential excision should be done no longer than 96 hours after burn injury.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Angkoso
"Pendahuluan. Kematian akibat luka bakar di Indonesia mencapai 195.000 kasus setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, insidensi luka bakar didominasi usia 1—4 tahun. Mortalitas luka bakar pediatrik di rumah sakit tersier mencapai 37,26%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor prognostik mortalitas pada kasus luka bakar pediatrik di karakteristik populasi Indonesia.
Metode. Desain penelitian ini adalah analitik retrospektif meliputi seluruh pasien luka bakar pediatrik di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1998 hingga 2010. Fokus penelitian ini adalah mengatami variabel pemeriksaan dalam 72 jam pertama pascaadmisi dan diekstraksi dari rekam medis.
Hasil. Dari 609 luka bakar pediatrik, insidensi mortalitas adalah 37,8%. Variabel yang berhubungan bermakna dengan mortalitas adalah TBSA, cedera inhalasi, lama rawat inap, kadar hemoglobin 0-jam, hematokrit 24-jam dan 48-jam, INR 0-jam, dan 48-jam, keseimbangan cairan 24-jam, defisit basa, serum laktat, edema pulmonal, systemic inflammatory response syndrome (SIRS) + multiorgan failure(MOF), dan acute coronary syndrome (ACS) (p <0,05). Berdasarkan analisis multivariat, variabel yang bermakna adalah lama rawat inap <14 hari, SIRS+MOF, kadar hematokrit 0-jam, dan kadar laktat serum abnormal.
Kesimpulan. Semakin banyak faktor prognostik yang teridentifikasi pada pasien akan meningkatkan risiko mortalitas. Selain itu, resusitasi cairan yang berlebih dapat meningkatkan risiko edema pulmonal, SIRS+MOF, dan komplikasi ACS, yang berujung dengan peningkatan risiko mortalitas.

Introduction. In Indonesia, burn injuries cause about 195,000 deaths annually. According to data from the Ministry of the Health Republic of Indonesia, the incidence of burns predominated at 1-4 years old. The mortality of pediatric burn patients in a tertiary hospital was 37.26%. This study aimed to find an association between known and unknown prognostic factors of mortality in Indonesian-specific characteristics.
Method. A retrospective analytical study included all pediatric burns admitted to Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (CMGH) from 1998 to 2010. Variables within a period of the first 72 hours of admission were the focus of interest and were extracted from the medical record.
Results. Of 609 pediatric burns, the mortality rate is 37.8%. Some contributing variables significantly associated with the mortality were TBSA, inhalation injury, length of hospitalization, hemoglobin 0-h level, hematocrit 24-h and 48-h level, INR 0-h, and 48-h, fluid balance 24-h, base deficit, serum lactate, pulmonary edema, systemic inflammatory response syndrome (SIRS) + multiorgan failure (MOF), and acute coronary syndrome (ACS) (p <0.05). On multivariate analysis, the significant variable was length of hospitalization <14 days, SIRS+MOF, abnormal hematocrit 0-h level, and abnormal serum lactate level.
Conclusion. The more identified prognostic factors a patient finds, the more the mortality risk. In addition, excessive fluid resuscitation leads to a high likelihood of pulmonary edema, SIRS+MOF, and ACS complications, followed by increased mortality risk.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Oetoro
"Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian nutrisi enteral dini (NED) terhadap stres metabolisme pada penderita luka bakar, dalam rangka mencari alternafif penatalaksanaan nutrisi pada penderita luka bakar.
Tempat: Unit Luka Bakar RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Bahan dan cara: Penelitian ini merupakan uji klinik pada penderita luka bakar berusia 18 - 60 tahun dengan luka bakar derajat dua seluas 20 - 60% luas permukaan tubuh (LPT). Sepuluh subyek perlakuan diberi Nutrisi Enteral Dini/NED mulai ≤8 jam pasca trauma, sedangkan 10 subyek kontrol diberi nutsisi enteral/oral 24 jam pasca trauma. Stres metabolisme dideteksi dengan pemeriksaan kadar hormon kortisol serum, glukosa darah dan nitrogen urea urin (NUU). Sampel darah untuk pemeriksaan kortisol dan glukosa diambil pada hari ke 1, 7 dan 12. Urin untuk pemeriksaan NUU di kumpulkan selama 24 jam pada hari ke 3, 7 dan 12. Uji statistik yang digunakan adalah uji Mann Whitney U untuk kadar kortisol, NUU dan glukosa darah. Batas kemaknaan yang digunakan 0,05.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar kotisol dan NUU, namun demikian pada hari ke 12 tampak penurunan kadar NUU lebih tajam pada kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol justru meningkat Kadar glukosa darah pada hari 12 menunjukkan perbedaan bermakna (p = 0, 04).
Kesimpulan: Pemberian NED berhasil menekan stres metabolisme yang terjadi pada penderita luka bakar derajat dua berdasarkan parameter glukosa darah.

Objective: To investigate the effect of early enteral nutrition (EEN) on the metabolic stress in burned patients, in respect to looking for the alternative of nutrition management in burned patients.
Place: Burn Unit RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Materials and methods: This study was randomized clinical trial was conducted on 18 - 60 years subjects with 20 - 60% total body surface area (FBSA) of second degree burned. Ten subjects were given enteral nutrition started g 8 hours post burn, while 10 control subjects were given enteral/oral nutrition 24 hours post burn. Metabolic stress was detected by measuring of serum cortisol, blood glucose level, and urinary urea nitrogen (UUN) level. Blood samples for cortisol and glucose level were taken on day 1, 7 and 12 Twenty four hours collected urine for UUN level were taken on day 3, 7 and 12. Statistical analysis was performed with Mann Whitney U test for cortisol level, NUU and glucose level. The level of significance was 0, 05.
Results: There were no significant differences between the two groups based on serum cortisol and UUN levels, however, the level o UUN of the day 12 decreased in the study group, while it increased in the control group. A significant difference was found of blood glucose between these two groups (p = 0, 04) on day 12.
Conclusion: The administration of EEN reduced the metabolic stress of second degree burned patients express by blood glucose parameter.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5321
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Kaltha
"Latar belakang: Luka bakar masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien anak. Luka bakar dapat menyebabkan kehilangan cairan sehingga dapat terjadi syok akibat peningkatan permeabilitas vaskular dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat berpengaruh pada hemodinamik karena albumin berperan dalam mempertahankan tekanan onkotik plasma, sehingga hipoalbuminemia dapat berpengaruh terhadap keberhasilan resusitasi cairan pasien dengan luka bakar. Belum diketahui apakah kadar albumin awal berhubungan dengan keberhasilan resusitasi cairan pada pasien anak dengan luka bakar.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi pada pasien anak di Unit Luka Bakar RS Cipto Mangunkusumo.
Metode: Desain penelitian kohort retrospektif berdasarkan data pasien anak yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM yang tercatat di rekam medis sejak Januari 2012-Maret 2018. Metode pengumpulan data dilakukan secara secara total sampling.
Hasil: Subyek yang memenuhi kriteria penelitian yaitu 61 pasien. Sebagian besar subyek berusia <4 tahun, derajat II, luas luka bakar >20%, rentang waktu antara kejadian dan resusitasi cairan yaitu 8-24 jam, status gizi baik, rerata albumin awal 3,1 g/dL, dan rerata laktat awal 2,5 mmol/L. Jumlah pasien anak dengan luka bakar yang menjalani resusitasi cairan dalam 24 jam pertama sebanyak 71,7%, dimana hampir seluruhnya berhasil diresusitasi dalam 24 jam pertama (95,1%). Tidak ditemukan hubungan antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi awal [RR 1,175(95%CI 0,3-4,4) p=0,812]. Pada analisa regresi cox, tidak terdapat juga hubungan antara ureum, creatinin, laktat, berat badan dan luas/derajat luka bakar dengan keberhasilan resusitasi awal.
Simpulan: Angka keberhasilan resusitasi awal pasien anak di unit luka bakar RSCM masih tinggi. Tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi cairan 24 jam pada pasien anak dengan luka bakar.

Background: Burn injury in children has great mortality and morbidity rate. Burn injury can cause lost of fluid quickly, leading to dehydration and shock. Hypoalbuminemia is an important factior in fluid haemostasis, maintaining the oncotic pressure gradient to favor intravascularly. Hypoalbuminemia in a burn injury is a common occurence, and have the potential to impede the fluid resuscitation process. It is still unclear whether serum albumin has a role in the success of fluid resuscitation in children with burn injury.
Objective: To find out the association between serum albumin and the success of fluid resuscitation in children hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre.
Method: This is a retrospective cohort study based on medical record of children hospitalized with burn injury at Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre from January 2012-March 2018. The subjects collected with the total sampling method.
Result: Sixty one subjects were enrolled in this study. Burn injury mostly occured in the age group of <4 years old, grade II burn injury, >20% TBSA, normal nutritional status, mean albumin level 3,1 g/dL, mean lactate level 2,5 mmol/L. Almost all subjects was succesfully resuscitated in the first 24 hour (95,1%). No association was found between the success of fluid resuscitation with either serum albumin[RR 1,175(95%CI 0,3-4,4) p=0,812], or with ureum, creatinin, lactate level, weight and the degree/extent of the burn injury.
Conclusion: The success rate of fluid resuscitation in pediatric burn injury was quite high in Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre. No association was found between serum albumin and the success of fluid resuscitation during the first 24 hour period."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma Afira
"Latar Belakang: Luka bakar merupakan suatu cedera berat yang memerlukan tata laksana khusus multidisiplin. Untuk mengukur kinerja dari pelayanan luka bakar dibutuhkan luaran yang terstandardisasi untuk memungkinkan perbandingan dan penentuan efek dari tata laksana tersebut. Penulis ingin mengevaluasi efek dari eksisi dini sebagai tata laksana awal pada kondisi sumber daya yang terbatas menggunakan LA50 sebagai luaran.
Metode: Sebuah studi kohort retrospektif terhadap pasien luka bakar akut dilakukan dari bulan Januari 2013 hingga Desember 2018 untuk menentukan luaran dari pelayanan luka bakar yang mencakup mortalitas dan LA50 serta untuk membandingkan luaran dari eksisi dini (EEWG) sebagai tata laksana awal dibandingkan dengan eksisi dini dan tandur kulit (EESG) atau eksisi tertunda dan tandur kulit (DESG).
Hasil: Terdapat 256 pasien yang memenuhi kriteria penelitian, mayoritas berada dalam kelompok usia 15-44 tahun dengan lebih dari setengah pasien memiliki luas luka bakar 20-50% TBSA dan median TBSA 26%. Angka mortalitas keseluruhan adalah 17.9% dengan peningkatan seiring usia dan TBSA. Peningkatan mortalitas yang signifikan didapatkan pada kelompok TBSA 40.5-50.0%, yang terus meningkat dan mencapai puncaknya pada TBSA 70% ke atas. Akibat keterbatasan sampel dan jumlah kematian, hanya kelompok usia 15-44 tahun dan 45-64 tahun yang dapat memberikan LA50, masing-masing sebesar 43% dan 45%. Angka LA50 keseluruhan adalah 49% terlepas dari adanya penurunan angka mortalitas. Data awal menunjukkan bahwa persentase tertinggi kematian didapatkan pada kelompok tanpa perlakuan, dengan tidak adanya pasien yang meninggal pada kelompok EESG dan DESG. Rasio odds pada kelompok EEWG adalah 2.11 (p-value 0.201, CI95% = 0.65-6.80) dibanding kelompok DEWG.
Simpulan: Penggunaan luaran yang terstandardisasi berupa LA50 memberikan masukan yang lebih objektif dibanding angka mortalitas dan memungkinkan perbandingan internal dan eksternal di masa mendatang. Pembedahan pada pasien dengan TBSA 40- 50% perlu diprioritaskan untuk meningkatkan kesintasan. Pengembangan dari sumber daya untuk menutup defek perlu ditingkatkan untuk memungkinkan eksisi dini secara total. Sedikitnya jumlah pasien tindakan eksisi dini dan tandur kulit menunjukkan perlunya skrining dan triase yang lebih cermat untuk pasien yang membutuhkan tindakan tersebut. Diperlukan studi lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menentukan efek dari eksisi dini tanpa tandur kulit sebagai tata laksana awal pada pusat pelayanan dengan sumber daya terbatas.

Background: Burn is a highly debilitating injury requiring a specialized and multidisciplinary care. Measuring the outcome of burn care demands a standardized outcome to enable comparison and determine impact of treatment. In a limited resource setting, the author sought to evaluate the effect of early excision as a preliminary treatment using LA50 as an outcome measurement.
Methods: A retrospective cohort study of acute burn patients was conducted from January 2013 to December 2018 to establish outcomes of burn care including mortality and LA50 and to compare the outcomes between treatment groups undergoing early excision without skin graft (EEWG), early excision and skin graft (EESG), and delayed excision and skin graft (DESG).
Results: Out of 390 patients available for screening, 256 were eligible for further study. Most patients were within age group 15-44 years and almost half were within 20-50% TBSA with median TBSA percentage of 26%. The overall mortality was 17.9% with an increase linear with age and TBSA. A significant mortality increase was observed from 40.5-50.0% TBSA group, which reached a plateau from TBSA 70% and up. Due to limited sample size and patient deaths, only age groups 15-44 years and 45-64 years could provide individual LA50 at 43% and 45%, respectively. The overall LA50 was identified at 49% despite lower mortality compared to a previously published number. Preliminary data showed that the highest percentage of deaths was seen in no treatment group, with no deaths seen in treatment groups EESG and DESG. The odds ratio for mortality in EEWG group was 2.11 (p-value 0.201, CI95% = 0.65-6.80) compared to DEWG group.
Conclusion: The use of a standardized outcome in the form of LA50 provides a more objective insight compared to crude mortality and enables future internal and external comparison. Surgery for patient with 40-50% TBSA should be prioritized to increase survival, and development of resources for defect closure should be encouraged to enable total early excision. The small number of patients undergoing early excision and skin grafting calls for a more attentive screening to triage and select candidates who may benefit from this procedure. Further study with bigger sample size is required to examine the effect of early excision without skin grafting as a preliminary procedure in a limited resource setting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>