Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108441 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyu Aditya
"Latar Belakang : Morbiditas pasca operasi bedah pintas koroner BPAK masih cukuptinggi. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan inflamasi 48 ndash; 72 jam pasca BPAK danpeningkatan pada sistem renin angiotensin dan aldosteron RAAS. Penyekat EKA diketahuidapat menghambat RAAS dan inflamasi. Namun belum ada penelitian yang membuktikanbahwa penyekat EKA dapat menurunkan inflamasi pada pasien pasca BPAK
Tujuan : Mengetahui efek captopril dalam menurunkan inflamasi yang diukur menggunakanhsCRP pada pasien yang menjalani BPAK elektif.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif. Dilakukan di Rumah SakitJantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK pada subyek yang menjalani BPAKelektif. Durasi penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga Oktober 2016. Subyek dibagidalam dua kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan captorpil pasca BPAK dan tanpacaptopril. Dilakukan pemeriksaan hsCRP serial sebanyak tiga kali yaitu sebelum operasi,hari ketiga pasca operasi dan sebelum pulang rawat.
Hasil Penelitian : Terdapat total 85 subyek, 49 subyek pada kelompok mendapat captoprildan 36 subyek pada kelompok tanpa captopril. Pemeriksaan hsCRP sebelum operasi dan H 3pasca BPAK menunjukkan tidak ada perbedaan pada kedua kelompok. Pemeriksaan hsCRPH 6 pasca BPAK menunjukkan hsCRP pada kelompok yang mendapatkan captopril lebihrendah 31,4 mg/L 10,5 ndash; 154 vs 46,7 mg/L 10,3 ndash; 318 dengan nilai signifikansi P=0,018.
Kesimpulan : Subyek yang mendapatkan captopril mempunyai tingkat inflamasi yang lebihrendah pada H 6 pasca BPAK yang dinilai dengan hsCRP dibandingkan kelompok yangtidak mendapat captopril.

Background Postoperative morbidity of coronary artery bypass surgery CABG is fairlyhigh. This is due to increased of inflammatory response 48 ndash 72 hour after surgery andincreased of renin angiotensin aldosteron system RAAS. ACE inhibitors are known toinhibit inflammation and RAAS. However, no study has proved that ACE inhibitors canreduce inflammation in post operative CABG.
Objective To determine the effect of captopril in reducing hsCRP post CABG surgery.
Methods This is a cohort prospective study that was conducted in Harapan Kita Hospital, on post operative elective CABG subjects on May until October 2016. Subject divided intotwo groups, the group with captopril and the other is without captopril. High sensitive CRPwas measured 3 times day 0 before surgery, day 3 post CABG, day 6 post CABG.
Results There are total 85 subjects, 49 subjects with captopril and 36 subjects withoutcaptopril. There was no difference in hsCRP results before surgery and day 3 post CABG. Inday 6 post CABG, hsCRP examination in captopril group is lower than the group withoutcaptopril 31,4 mg L 10,5 ndash 154 vs 46,7 mg L 10,3 ndash 318 with P 0,018.
Conclusion Subjects with captopril has lower hsCRP at day 6 post CABG than the subjectswithout captopril.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55620
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Azri Nurizal
"Latar Belakang: Peningkatan kadar high sensitivity C-reactive protein ( hsCRP ) dan kekakuan arteri berhubungan dengan peningkatan insiden kejadian kardiovaskular dan peningkatan mortalitas akibat penyakit jantung koroner pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar hsCRP dan kekakuan arteri pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Metode : Melalui studi cross-sectional, dilakukan pemeriksaan kadar hsCRP dan derajat kekakuan arteri karotis pada 40 pasien dengan diabetes melitus tipe 2. Kekakuan arteri karotis kommunis diperiksa dengan doppler echotracking system untuk menentukan pulse wave velocity (PWV) atau kekakuan arteri karotis lokal (carotid-PWV).
Hasil : Nilai median hsCRP pada penelitian ini adalah 4,5 (0,2 - 18,9) mg/L dan nilai rata-rata kekakuan arteri karotis adalah 8,8 ±1,7 m/detik. hsCRP berkorelasi kuat dengan karotid-PWV (r = 0,503, P = 0,001). Korelasi hsCRP dengan karotid-PWV ini tetap terlihat setelah dilakukan koreksi terhadap umur, indeks masa tubuh dan mean arterial pressure (r = 0,450, P = 0,005).
Kesimpulan : Setelah dilakukan koreksi terhadap umur, indeks masa tubuh dan mean arterial pressure, hsCRP berkorelasi positif cukup kuat dengan kekakuan arteri pada pasien diabetes melitus tipe 2.

Background: The elevated level of high-sensitivity C-reactive protein (hsCRP) and arterial stiffness are associated with higher incidences of cardiovascular events and with increased mortality from coronary heart disease in type 2 diabetic patients.
Aim: The aim of this study was to investigate the relationship between hsCRP and arterial stiffness in type 2 diabetic patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted to assess the plasma levels of high sensitive C-reactive protein and carotid arterial stiffness among 40 patients with type 2 diabetes mellitus. The common carotid artery was studied by a doppler echotracking system to determine the local carotid pulse wave velocity (carotid-PWV).
Results: The median value of hsCRP in this study was 4.5 (0.2 to 18.9) mg/L and the average value of local carotid stiffness was 8.8 ± 1.7 m/sec. hsCRP showed a strong correlation with carotid-PWV (r = 0.503, P = 0.001). Levels of hsCRP were independently associated with carotid-PWV after adjusting for age, body mass index, and mean arterial pressure (r = 0,450, P = 0,005).
Conclusion: After adjusting for age, body mass index, and mean arterial pressure, hsCRP was strongly positively correlated with arterial stiffness in patients with type 2 diabets mellitus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Dwiputra
"Latar Belakang: Proprotein convertase subtilisin kexin-9 PCSK-9 merupakan protein yang menghancurkan reseptor low density lipoprotein LDL sehingga penurunan kadarnya dapat menurunkan kadar LDL. Sebagai bagian dari pencegahan sekunder, latihan resistensi direkomendasikan pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner BPAK.
Tujuan: Mengetahui efek tambahan latihan resistensi terhadap kadar PCSK-9 pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani rehabilitasi fase II.
Metode: Studi eksperimental randomisasi acak tersamar tunggal membagi 87 pasien pasca BPAK menjadi dua kelompok. Kelompok kontrol n=43 adalah pasien yang menjalani rehabilitasi fase II standar sementara kelompok intervensi n=44 adalah pasien yang menjalani rehabilitasi fase II ditambah dengan latihan resistensi tersupervisi. Kadar PCSK-9 diperiksa sebelum dan sesudah rehabilitasi fase II pada kedua kelompok.
Hasil: Setelah menyelesaikan rehabilitasi fase II, didapatkan perbedaan kadar PCSK-9 yang bermakna antara kelompok kontrol dan intervensi 377,1 SD 125 vs 316,6 111,1 ng/ml, ?= -60,5 ng/ml, 95 CI -7,5 -113,4, p=0.026. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kadar LDL p=0,07, kolesterol total p=0,99, high density lipoprotein HDL p=0,44, dan trigliserid p=0,56 antara kedua kelompok pada akhir rehabilitasi fase II.
Kesimpulan: Tambahan latihan resistensi dapat menurunkan kadar PCSK-9 secara bermakna pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani rehabilitasi fase II.

Background: Pro protein Convertase Subtilisin Kexin 9 PCSK 9 is a protein degrading low density lipoprotein LDL receptor that lower LDL. As secondary prevention, resistance training is recommended after coronary artery bypass surgery CABG as a complement to aerobic exercise.
Objective: To determine the effects of additional resistance training on PCSK 9 levels and lipid profile in post CABG patients who undergo phase II cardiac rehabilitation.
Methods: A single blinded randomized clinical trial of 87 post CABG patients was devided into two groups. The control group n 43 consisted of patients who received standard phase II cardiac rehabilitation while intervention group n 44 received standard program and supervised resistance training. PCSK 9 level and lipid profile examination were performed pre and post training.
Results: After completion of phase II cardiac rehabilitation, mean PCSK9 levels in intervention group decrease significantly compared to control group control vs intervention, 377,1 SD 125 vs 316,6 111,1 ng ml, 60,5 ng ml, 95 CI 7,5 113,4 , p 0.026 . Nonetheless, there are still no significant changes in terms of LDL level p 0,07 , total cholesterol p 0,99 , high density lipoprotein p 0,44 and triglyseride levels p 0,56 pre and post intervention between two groups.
Conclusion: The additional resistance training can reduce significantly PCSK 9 levels in patients after CABG surgery who underwent phase II cardiac rehabilitation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58904
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Maya Suryana
"Latar Belakang: Reperfusi koroner sangat penting untuk menyelamatkan miokardium yang mengalami iskemia namun tindakan ini ternyata juga dapat mengakibatkan cedera miokardium yang dikenal sebagai jejas reperfusi Manifestasi klinisnya berupa komplikasi pasca BPAK diantaranya aritmia penurunan curah jantung dan perioperatif infark miokard Stres oksidatif merupakan salah satu inisiator utama kejadian jejas reperfusi Allopurinol sebagai inhibitor efektif enzim xantin oksidase dapat menurunkan stres oksidatif dengan menghambat pembentukan reactive oxygen species Sehingga diharapkan pemberian allopurinol pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri yang akan menjalani BPAK dapat menurunkan kejadian komplikasi pasca operasi
Tujuan: Mengetahui efek allopurinol terhadap komplikasi pasca operasi BPAK low cardiac output syndrome yang dinilai dengan penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi kematian dalam masa rawat perioperatif infark miokard dan aritmia pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis tersamar ganda 34 subjek dipilih secara konsekutif pada September November 2015 Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu 16 orang mendapat allopurinol 600mg dan 18 orang mendapat plasebo Obat per oral diberikan 1 hari sebelum dan 6 jam sebelum operasi Pengamatan kejadian komplikasi pasca operasi dimulai sejak pelepasan klem silang aorta hingga pasien selesai perawatan
Hasil: Penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok p 0 047 Ini berarti penggunaan allopurinol berpotensi mengurangi penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi BPAK Proporsi kematian dalam masa rawat pasca operasi BPAK pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna yaitu 6 25 vs 5 6 p 1 000 Sedangkan untuk kejadian aritmia pada kedua kelompok terdapat perbedaan bermakna dengan total proporsi 31 vs 66 p 0 039 dengan jumlah aritmia terbanyak pada kedua kelompok adalah fibrilasi atrium Kejadian perioperatif infark miokard tidak didapatkan pada penelitian ini sehingga efek pemberian allopurinol terhadap kejadian tersebut tidak dapat dinilai
Kesimpulan: Pemberian allopurinol sebelum operasi pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri berpotensi menurunkan kejadian low cardiac output syndrome LCOS yang terlihat dari rendahnya penggunaan obat inotropik dan IABP pasca operasi dan menurunkan kejadian aritmia pasca operasi BPAK

Background: Reperfusion of coronary blood flow is important to resuscitate the ischemic or hypoxic myocardium However the return of blood flow to the ischemic area can result paradoxical cardiomyocyte dysfunction this is referred to as ldquo reperfusion injury rdquo Clinical manifestations of reperfusion injury post CABG surgery are arrhythmias decrease cardiac output and perioperative myocardial infarct Oxidative stress has been confirmed as one of the main initiator in myocardial injury at ischemic and reperfusion state Allopurinol as an effective inhibitor of xanthine oxidase XO can reduce the oxidative stress by blocking the formation of reactive oxygen species ROS Pre operative allopurinol on CAD's patient with LV dysfunction is expected reduce the complications of post CABG surgery
Objective: To analyze effects of pre operative administration of allopurinol on complications of post CABG surgery low cardiac output syndrome which is measured by the use of post surgery inotropic and IABP hospital mortality perioperative myocardial infarction and arrhythmias in CAD's patient with LV dysfunction
Methods: This study is a double randomized clinical trial 34 CAD's patients with LV dysfunction were randomly selected by consecutive sampling methods from September November 2015 They were divided into two groups Sixteen patients were given 600 mg dose of allopurinol per oral one day before and 6 hours before surgery and the rest received placebo Complications of post CABG surgery were observed since the aortic cross clamp off until discharged
Results: The use of post surgery inotropic and IABP found significantly lower in allopurinol group p 0 047 There was no significant difference in proportion of death in post operative hospitalization period in both groups 6 25 vs 5 6 p 1 000 While for the incidence of arrhythmias was found significantly different in the two groups 31 vs 66 p 0 039 with atrial fibrillation as the most common arrhythmia No perioperative myocardial infarction was found in this study therefore effects of allopurinol to the event is unknown
Conclusions: Pre operative administration of allopurinol may reduce the complications of post CABG especially the use of inotropic and IABP and occurrence of arrhythmias
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Imasanti
"Latar belakang: Program rehabilitasi jantung pada pasien pasca bedah pintas arterikoroner BPAK dapat dilaksanakan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit,dimana hambatan utama pada program rehabilitasi di rumah sakit adalah jarak tempattinggal yang jauh. Mengingat kesulitan ini, untuk meningkatkan jangkauan pelayananprogram rehabilitasi jantung perlu dikembangkan ke arah program latihan mandiri dirumahdengan menggunakan pemantauan jarak jauh / telemonitor elektrokardiografi Tele-EKG .Pemantauan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap programlatihan mandiri dirumah.
Tujuan: Menilai efek pemantauan jarak jauh untuk meningkatkan kepatuhan pasien pascaBPAK yang menjalani program latihan mandiri.
Metode: Pasien BPAK yang masuk kriteria inklusi dirandomisasi dan dibagi dua kelompok dengan dan tanpa alat pemantauan jarak jauh . Dilakukan dua kali uji latih treadmilldengan metode bruce, yaitu setelah kedua kelompok menyelesaikan program rehabilitasifase II dirumah sakit sebagai baseline, dan setelah latihan dirumah selama 12 minggupasca-intervensi sebagai evaluasi akhir program. Selanjutnya dilakukan analisis statistikantara kedua kelompok untuk melihat pengaruh pemantauan jarak jauh terhadap kepatuhanprogram latihan mandiri.
Hasil penelitian: Sebanyak 44 pasien diikut sertakan pada penelitian ini. Dari hasilevaluasi, tidak didapatkan tingkat kepatuhan yang lebih baik antara kelompok intervensi n= 20 dan kontrol n = 24 95 vs 70,8 ; p = 0,054 , demikian pula peningkatan durasidan kapasitas aerobik uji latih [ 57,90 81,14 detik vs 21,67 61,22 detik; p = 0,099 , dan 0,77 1,19 METs vs 0,33 1,05 METs; p = 0,193 ].
Kesimpulan: Pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani program latihanmandiri dengan pemantauan jarak jauh tidak mempunyai kepatuhan yang lebih baikterhadap program latihan mandiri.

Background: Cardiac rehabilitation CR program in patient who had coronary artery bypass surgery CABG surgery could be institution based or home based, but there were many barriers for home based CR program that influence the patient's adherence to the program. As an effort to overcome the barrier of distance, confidence, and safe feeling, electrocardiography telemonitoring ECGTM could be used But there wes no data regarding the effect of the electrocardiography telemonitoring to the adherence to the home based CR program in Indonesia.
Aim: To assess the effect of electrocardiography telemonitoring to the adherence to homebased CR program for the patients who have had CABG surgery.
Methods: Patients after having CABG surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta who have finished phase II CR program were recruited consecutively and were radomized to the intervention group which used ECGTM and to the control group which did not use ECGTM for 3 months home based CR program. Home based exercise was based on the result of exercise stress testing using Bruce Protocol. Adherence was defined as compliance to the minimum of 3 sessions per week for 12 weeks CR program.
Results: A total of 44 patients completed the study, The adherence to the CR program of the intervention group n 20 and control group n 24 was not different 95 vs 70,8 p 0.054 , and neither was the exercise testing duration 57.9 81.1 vs 21.7 61.2 seconds, p 0.099 , and the improvement of functional capacity 0.77 1.2 vs 0.33 1.05 METS, p 0.193.
Conclusion: The aplication of electrocardiography telemonitoring did not increase the patients adherence to home based CR program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gilang Pamungkas
"Pendahuluan: Pasien pasca Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) dapat mengalami penurunan kapasitas fungsional dan produktivitas. Hal ini dikarenakan adanya penurunan curah jantung dan penghancuran protein otot (aktin dan miosin). Latihan berjalan dilakukan untuk meningkatkan pompa jantung dan keseimbangan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan produktivitas ada pasien pasca BPAK.
Metode: Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan single blind pada outcome assessor. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 42 orang yang dibagi menjadi 21 orang di kelompok intervensi maupun kontrol.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan hasil adanya pengaruh yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional (0,008<0,05), gangguan dalam bekerja (0,011<0,05), dan gangguan aktivitas(0,044<0,05). Hasil juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kehilangan waktu kerja (0,967>0,05) dan gangguan pekerjaan keseluruhan (0,696).
Diskusi: Latihan berjalan meningkatkan pompa jantung dan metabolisme. hal tersebut meningkatkan pengeluaran Adenosine Triphospat (ATP) sehingga meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien.
Kesimpulan: Latihan berjalan meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien pasca BPAK.

Introduction: Patients after coronary artery bypass graft (CABG) may experience reduced functional capacity and productivity. This is due to decreased cardiac output and destruction of muscle proteins (actin and myosin). Walking exercise is performed to improve cardiac pump and metabolic balance. This study aims to assess the effect of walking training on functional capacity and productivity in patients after BPAK.
Methods: This study used a Randomized Controlled Trial (RCT) with a single blind on the outcome assessor. The number of respondents in this study amounted to 42 people who were divided into 21 people in the intervention and control groups.
Results: This study showed a significant effect of walking training on functional capacity(0,008<0,05), work interference(0,011<0,05), and activity interference(0,044<0,05). The results also showed no significant difference between walking training on lost work time (0,967>0,05)and overall work interference(0,696>0,05).
Discussion: Walking exercise improves cardiac pump and metabolism, which increases Adenosine Triphosphate (ATP) expenditure, thereby improving functional capacity and productivity in patients.
Conclusion: Walking exercise improves functional capacity and productivity in patients after BPAK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Djunet
"Latar belakang. Bedah kanker kolorektal (KKR) adalah kasus terbany1k di Divisi Bedah Digestif RSUPNCM, di mana 46% di antaranya adalah karena kanker rektum I (K.R). Trauma pembedahan menimbulkan inflamasi, respon fase akut (RFA), dan stres metabolik. C- reactive protein (CRP) adalah protein fuse akut (PFA) dengan peningkatan tertinggi di antara PFA lainnya dan telah digunakan secara luas sebagai penanda inflamasi. Stres metabolik menyebabkan perubahan metabolisme zat gizi yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah sewaktu (GDS) plasma. Secara tidak langsung, pemberian terapi gizi adekuat dapat menekan laju inflamasi dan mempercepat proses penyembuhan pasca bedah.
Tujuan. Untuk mengetahui peran terapi gizi adekuat selama tujuh hari terhadap perubahan kadar CRP serum dan GDS plasma pasien pasca bedah KR pada hari ke satu dan ke tujuh pengamatan.
Metode. Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan desain paralel, acak, dan tidak tersamar. Penelitian dilaksanakan di ruang rawat bedah kelas Ill RSUPNCM, pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April- Agustus 2009. .9erdasarkan kriteria penelitian didapatkan 24 subyek yang dibagi menjadi dua, kelompok perlakuan (P) dan kontrol (K). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil. Karakteristik awal kedua kelompok adalah sebanding pada HI. Rerata asupan energi kelompok P adalah 1 211 ,23 ± 161 ,95 kkallh ari (82,86 ± 9,91 % kebutuhan energi total atau KET), adekuat, dan lebih tinggi bermakna (p< 0,001) dibandingkan kelompok K yaitu 831,93 ± 129,58 kkal/hari (55,75 ± 9,48% KET). Rerata asupan protein subyek tidak adekuat meskipun asupan protein kelompok P lebih tinggi bennakna (p< 0,001). Kelompok P mengalami peningkatan berat badan (BB) 0,71 ± 0,79 kg sedangkan kelompok K mengalami penurunan BB 0,85 ± 1,06 kg. Penurunan kadar CRP serum kelompok P (7,13 ± 1,43 mg/L) berbeda bermakna (p=0,005) dengan kelompok K (5,20 ± 1,58 mg/L). Peningkatan kadar GDS plasma kelompok P (26,00 ± 29,67 mg/dL) cenderung lebih tinggi dari kelompok K (10,00 ± 24,40 mg/dL), sejalan dengan peningkatan asupan energi yang lebih tinggi. Kadar CRP serum memiliki korelasi positif derajat rendah (r-0,266) dan tidak bennakna (p=0,358) dengan kadar ODS plasma.
Kesimpulan. Pemberian terapi gizi adekuat selama tujuh hari berperan untuk mempercepat penurunan kadar CRP serum pasien pasca bedah KR. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T20988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hashfi Fauzan Raz
"Latar Belakang: Pasien dengan fraksi ejeksi (FE) rendah memiliki risiko apabila dilakukan BPAK dengan mesin PJP. Pengunaan mesin PJP memiliki risiko cedera miokard yang diakibatkan dari periode iskemia, reperfusi, dan inflamasi yang dapat mengakibatkan aritmia pascaoperasi. Aritmia pascaoperasi BPAK terjadi pada 5-40% dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Glutamin merupakan asam amino yang memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan mediator inflamasi dan kerusakan oksidatif akibat radikal bebas sehingga menurunkan efek cedera miokard dan dihipotesiskan menurunkan kejadian aritmia pascaoperasi BPAK.
Metodologi: Penelitian ini kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat dan tidak mendapat glutamin intravena praoperasi. Luaran yang dinilai adalah kejadian aritmia pascaoperasi secara keseluruhan, arimita ventrikel dan supraventrikel pascaoperasi BPAK.
Hasil: Kejadian aritmia pascaoperasi lebh rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan glutamin intravena praoperasi, yaitu 16,7%dibandingkan 40% (p=0,045). Kejadian aritmia atrium pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi, yaitu 26,7% dibandingkan 73,3% (p=0,026), namun pada kejadian aritmia ventrikel pascaoperasi tidak ada perbedaan bermakna (p=0,74).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi dapat menurunkan angka kejadian aritmia pascaoperasi.

Background: Low ejection fraction (EF) increases the risk of morbidity and mortality in patients undergoing CABG. CABG with CPB induces myocardial injury caused from ischemia, reperfusion and inflammation, causing postoperative arrhythmias. Arrhyhtmias occur in 5-40% patients after CABG and increase postoperative mortality and morbidity. Glutamine is an amino acid that has antiinflammatory effect, decerasing inflammatory mediators and oxidative stress from free radicals. In turn, glutamin lower the effect of myocardial injury and hypothesized to lower postoperative arrhythmias after CABG.
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with coronary artery disease with low EF undergoing CABG with CPB. The subjects were divided into two groups based on given or not given intravenous glutamin preoperative.The outcomes of the study is incidence of arrhythmias after CABG and the incidence of ventricular and supraventricular arrhythmias after CABG.
Results: The subjects in the intravenous glutamin group have lower incidence of postoperative arrhythmias compared to control (16.7% vs 40% respectively, p=0.045). Supraventricular arrhythmia incidence in intravenous glutamin group is also lower compard to control (26.7% vs 73.3% respectively, p=0,026). There are no significant differences of postoperative ventricular arrhythmias between two groups (p=0.74).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can lower the incidence of postoperative arrhythmias.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspita Sari Bustanul
"Latar belakang. Kemajuan terapi reperfusi pada pasien infark miokard akut menimbulkan satu fenomena yang turut berperan dalam prognosis pasien, yaitu fenomena no reflow atau obstruksi mikrovaskular. Mekanisme OMV diduga memiliki 4 komponen patogenik utama yaitu embolisasi distal aterotrombotik, cedera reperfusi, cedera iskemia, dan kerentanan individu. Hiperglikemia akut diketahui berhubungan dengan OMV pada pasien IMA, namun peran hiperglikemia kronik masih kontroversial. Hiperglikemia berperan dalam komponen kerentanan individu, serta mempengaruhi peningkatan faktor inflamasi yang berperan dalam komponen cedera reperfusi. Kedua faktor ini yaitu hiperglikemia kronik yang digambarkan HbA1C dan inflamasi yang digambarkan hsCRP belum pernah diteliti secara bersamaan dalam menilai OMV dengan satu metode. Penelitian ini akan meneliti hubungan antara HbA1C dan hsCRP dengan OMV yang dinilai menggunakan indeks resistensi mikrovaskular, suatu metode terbaru dalam menilai OMV dengan akurat pada fase awal dan memiliki nilai prognostik yang signifikan.
Metode. Sebanyak 55 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dipilih secara konsekutif sejak Januari-Juni 2014. HbA1C dan hsCRP diambil saat masuk UGD, penilaian IMR diambil segera setelah tindakan IKPP. Perhitungan statistik menggunakan SPSS 17.
Hasil. Dari 55 pasien didapatkan proporsi laki-laki sebesar 93%, dengan rerata umur 51,91 ± 8,87 tahun. Faktor resiko penyakit jantung koroner terbanyak adalah merokok yaitu 69%. Semua pasien menjalani tindakan IKPP dengan waktu iskemia 489,45±169,95 menit dan waktu perfusi 124,91±76,49 menit. Nilai rerata IRM 53,22±41,11 dengan nilai rerata HbA1C 6,46±1,22 %, dan rerata hsCRP 4,98±3,39 mg/dL. Dari analisis bivariat didapatkan HbA1C tidak berhubungan dengan IRM (r=0,22,p=0,10), dan hsCRP juga tidak berhubungan dengan IRM (r=0,24,p=0,08). Setelah disesuaikan dengan variabel perancu pada analisis multivariat, didapatkan hubungan signifikan antara HbA1C dengan IRM (p=0,03) namun hsCRP tidak berhubungan dengan IRM (p=0,31).
Kesimpulan. Kadar HbA1C saat admisi berhubungan dengan IRM pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan hsCRP saat admisi tidak berhubungan dengan IRM pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Background: Advances in reperfusion therapy for acute myocardial infarction led to a phenomenon of distal no reflow or myocardial obstruction (MVO), which associated with worse outcome and prognosis. The potential mechanism of MVO had four major pathogenic components: distal atherotrombotic embolization, reperfusion injury, ischemic injury, and individual susceptibility. Association between acute hyperglycemia and MVO in acute myocardial infarction has been found, but the role of chronic hyperglycemia remained controversial. Hyperglycemia affected individual susceptibility to microcirculatory injury, and also induced systemic inflammation which had a role in reperfusion injury. Association of both these factors--chronic hyperglycemia, determined by Hemoglobin A1C, and inflammation factor, measured by high sensitivity C-Reactive Protein-- with MVO had never been studied simultaneously. This cross-sectional study will determine the association between HbA1C and hsCRP with MVO assessed with index of microvascular resistance, an invasive novel method to assess MVO in acute phase and had significant prognostic factor.
Methods: 55 patients with acute ST-elevation myocardial infarction underwent primary percutaneous coronary intervention were taken consecutively from January to June 2014. Blood samples for HbA1C and hsCRP were taken before the procedure. IMR was taken immediately after the primary percutaneous coronary intervention procedure. Statistical calculation used SPSS 17.
Results: From 55 patients included in the study, there were 93% men, with mean age of 51.91 ± 8.87 years. The most common risk factors for coronary heart disease was smoking (69%). All patients underwent primary percutaneous coronary intervention with mean onset to balloon time was 489.45 ± 169.95 minutes and mean door to balloon time was 124.91 ± 76.49 minutes. Mean IMR was 53.22 ± 41.11, with mean HbA1c was 6.46 ± 1.22% and mean hsCRP was 4.98 ± 3.39 mg/dL . From bivariate analysis, there was no association between HbA1C and IMR (r=0,22, p = 0,10), and between hsCRP and IMR (r = 0,24 , p=0,08). In multivariate analysis , there was relationship between HbA1C with IRM ( p = 0,03) and hsCRP were also not associated with IRM ( p = 0,31 ).
Conclusions. There was association between hemoglobin A1C levels on admission with IMR and no association between hsCRP levels on admission with IMR, in patients with acute ST-elevation myocardial infarction underwent primary percutaneous coronary intervention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathania Himawan
"Obesitas merupakan masalah epidemik di dunia. Obesitas menyebabkan inflamasi kronik derajat rendah dan meningkatkan risiko beberapa penyakit kronis dengan komplikasi seperti aterosklerosis, dan masalah kardiovaskuler. Penanda inflamasi yang dianggap terbaik saat ini adalah high sensitivity C-Reactive Protein hsCRP . HsCRP juga merupakan prediktor terbaik untuk mengetahui risiko penyakit kardiovaskuler. Diperlukan penanganan secara interdisiplin untuk mengatasi masalah obesitas ini. Akupunktur merupakan terapi pelengkap yang paling cepat berkembang dan diakui oleh National Institutes of Health dan WHO.
Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi kombinasi elektroakupunktur dan intervensi diet terhadap kadar HsCRP dan body fat pada pasien obesitas. Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 36 pasien obesitas yang dialokasikan secara acak menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kombinasi elektroakupunktur dan intervensi diet kelompok perlakuan dan kelompok kombinasi elektroakupunktur sham dan intervensi diet kelompok kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan penurunan kadar hsCRP sebelum dan sesudah perlakuan tetapi belum terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik p= 0.476. Terdapat perbedaan yang bermakna terhadap perbandingan kadar body fat sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan p=0.002.
Kesimpulan penelitian ini terapi kombinasi elektroakupunktur dan intervensi diet memiliki pengaruh terhadap kadar hsCRP dan body fat pada pasien obesitas.

Obesity is an epidemic problem in the world. Obesity causes low grade chronic inflammation and increases the risk of some chronic diseases with complications such as atherosclerosis, and cardiovascular problems. The best current inflammatory marker is the high sensitivity of C Reactive Protein hsCRP . HsCRP is also the best predictor of risk of cardiovascular disease. Interdisciplinary treatment is needed to overcome this obesity problem. Acupuncture is the most rapidly growing complementary therapy and is recognized by the National Institutes of Health and WHO.
This study aims to determine the effectiveness of electroacupuncture combination therapy and dietary intervention on HsCRP and body fat levels in obese patients. Single blinded randomized clinical trials of 36 obese patients were randomly assigned to 2 groups, electroacupuncture combined with dietary intervention group treatment group and sham electroacupuncture combined with dietary intervention group control group.
The results showed decrease of hsCRP levels before and after treatment but there was no statistically significant difference p 0.476 . There was a significant difference to the body fat content before and after treatment in the treatment group p 0.002.
The conclusions of this study combined electroacupuncture and dietary intervention therapy have an influence on levels of hsCRP and body fat in obese patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>