Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66134 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tunjung Prasetyo Nugroho
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Sinusistis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dengan berbagai faktor penyebab: variasi anatomi, infeksi bakterial/virus, alergi dan lain-lain. Deviasi septum nasi dan sinusitis kronis dapat mempengaruhi volume sinus maksila. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara derajat deviasi septum nasi dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila. Metode : Penelitian retrospektif dengan desain kasus-kontrol, jumlah sampel diambil konsekutif dari sistem PACS hingga 86 subjek. Dilakukan pengukuran derajat deviasi septum nasi dan volume sinus maksila dari 3 dimensi. Hasil : Didapatkan rerata deviasi septum nasi pada kelompok kasus 9,35 3,05 derajat Derajat I dan II , dan 10,62 4,11 derajat Derajat I dan II pada kelompok kontrol. Volume sinus maksila sisi ipsilateral satu sisi dengan deviasi septum nasi pada kelompok kasus cenderung lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak berbeda signifikan p>0,05 . Volume sinus maksila ipsilateral yang disertai kejadian sinusitis kronis maksila ipsilateral tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol p>0,05 . Uji korelasi negatif yang tidak signifikan pada hubungan derajat deviasi septum nasi dengan delta volume sinus maksila ipsilateral baik kelompok kasus maupun kontrol. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara deviasi septum nasi Derajat I dan II dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila

ABSTRACT
Background and purpose Sinusistis is an inflammatory of mucosal sinuses by various factors anatomic variations, bacterial virus, allergies and others. Nasal septal deviation and chronic sinusitis can affect maxillary sinus volume. This study aims to assess the relationship between the degree of nasal septal deviation with the incidence of chronic maxillary sinusitis and maxillary sinus volume changes. Methods The study was a retrospective case control design, consecutive samples taken from the PACS system up to 86 subjects. Measurement of the degree of nasal septal deviation and maxillary sinus volume from 3 dimensions. Results the mean of nasal septal deviation in the case group 9.35 3.05 degrees Grade I and II , and 10.62 4.11 degrees Grade I and II in the control group. The ipsilateral maxillary sinus volume the same side with the nasal septal deviation in the case group tended to be smaller than the control, but did rsquo t differ significantly p 0.05 . The ipsilateral of the maxillary sinus volume with ipsilateral chronic maxillary sinusitis incidence not significantly different compared to control p 0.05 . Test negative correlation was not significant relationship of the degree of nasal septal deviation with ipsilateral maxillary sinus volume delta, both groups of cases and controls. Conclusion There is no significant relationship between nasal septal deviation Grade I and II and the incidence of chronic maxillary sinusitis and change of maxillary sinus volume."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Pramana Putra Lolo Allo
"Latar Belakang: Rinosinusitis kronis diasosiasikan dengan abnormalitas variasi anatomi pada kompleks ostiomeatal, salah satunya variasi proseus unsinatus. Pola perlekatan superior diketahui memiliki korelasi signifikan dengan sinusitis frontalis, namun belum terdapat laporan mengenai korelasi dengan kejadian sinusitis maksilaris. Tujuan: Menilai hubungan antara tipe perlekatan superior prosesus unsinatus dengan ada tidaknya konkha bullosa terhadap kejadian sinusitis kronis maksila. Metode: Sebanyak 262 pasien memenuhi kriteria penelitian studi kasus-kontrol yang telah dilakukan pemeriksaan HRCT scan kepala leher selama tahun 2020 hingga 2023. Analisis bivariat dilakukan pada faktor risiko kelompok usia dan faktor risiko gabungan tipe perlekatan superior dengan adanya konkha bullosa, disajikan dalam nilai Odds Ratio (OR) dengan Interval Kepercayaan (IK) 95%. Hasil: Kelompok usia 31-60 tahun pada kedua kelompok mempunyai nilai OR sebesar 2,11 (1,16-3,81 IK 95%; p <0,05) dan kelompok usia 61-82 tahun pada kedua kelompok mempunyai nilai OR 2,82 (1,20-6,61 IK 95%; p <0,05) dibandingkan kelompok usia 18-30 tahun. Perlekatan superior prosesus unsinatus tipe II dengan konkha bullosa mempunyai nilai OR 2,58 (1,28-5,20 IK 95%; p <0,05) dan tanpa konkha bullosa mempunyai nilai OR 2,53 (1,66-3,87 IK 95%; p <0,05). Kesimpulan: Terdapat peningkatan risiko terjadinya sinusitis kronis maksila pada perlekatan superior tipe II dibandingkan dengan perlekatan tipe I.

Background: Chronic rhinosinusitis is associated with anatomical variations in the ostiomeatal complex, including uncinate process variations. The superior attachment pattern is known to have a significant correlation with frontal sinusitis, but there have been no reports on its correlation with the occurrence of maxillary sinusitis. Objective: To evaluate the relationship between the superior attachment of the uncinate process and the presence or absence of concha bullosa in the occurrence of chronic maxillary sinusitis. Method: A total of 262 patients met the criteria for a case-control research study, undergoing head and neck HRCT scans from 2020 to 2023. Bivariate analysis was conducted on age group risk factors and the combined risk factors of superior attachment type with the presence of concha bullosa, presented as Odds Ratio (OR) with a 95% Confidence Interval (CI). Results: In both study groups, the OR of 31-60 year-old group was 2,11 (95% CI 1,16-3,81; p <0,05), and the OR of 61-82 year-old group was 2,82 (95% CI 1,20-6,61; p <0,05) compared to the 18-30 year-old group. Superior attachment of uncinate process type II with concha bullosa had an OR of 2,58 (95% CI 1,28-5,20; p <0,05), and without concha bullosa, the OR was 2,53 (95% CI 1,66-3,87; p <0,05). Conclusion: There is an increased risk of chronic maxillary sinusitis in superior attachment type II compared to attachment type I.

Keywords: superior attachment of uncinate process, concha bullosa, chronic maxillary sinusitis"

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Wahyu Manunggal
"Latar belakang: Nyeri kepala sekunder karena variasi anatomi pada mukosa hidung, konka, dan septum dikategorikan dalam lampiran pada International Classification of Headache Disorders – 3. Posisi ini berbeda dan lebih lemah dibanding dengan nyeri kepala sekunder akibat rinosinusitis akut atau eksaserbasi akut pada rinosinusitis kronik. Variasi anatomi pada rongga hidung dan sinus paranasal menjadi stimulasi mekanik berupa kompresi antar mukosa intranasal dan perubahan tekanan barometrik dalam rongga sinus. Studi ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan peran variasi anatomi septum deviasi, konka bulosa, dan sinus etmo-maksila (SEM) sebagai faktor risiko nyeri kepala rinogenik
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang pada pasien nyeri kepala rinogenik di Departemen THT RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan dan RSUP Fatmawati periode Desember 2022 – Februari 2023. Parameter yang dinilai adalah skor NPRS, NOSE, dan ESS.
Hasil: Proporsi variasi anatomi septum deviasi sebesar 73,8%, konka bulosa sebesar 52,3%, dan sinus etmomaksila sebesar 47,7% pada pasien nyeri kepala rinogenik di RSCM, RSF, dan RSP yang dievaluasi melalui tomografi komputer sinus paranasal. Terdapat perbedaan rerata yang bermakna antar kelompok derajat septum deviasi dan klasifikasi Mladina terhadap skor NPRS, NOSE, ESS (p<0,05). SEM tipe 2 memiliki rerata skor NPRS yang lebih tinggi dibanding SEM tipe 1 namun tidak bermakna secara statistik. Tipe SEM memiliki perbedaan rerata yang bermakna antar kelompok terhadap skor NOSE dan ESS (p<0,05). Jumlah variasi anatomi dan skor ESS memiliki kecenderungan hubungan yang bermakna terhadap skor NPRS (p<0,05). Odds ratio regresi logistik jumlah variasi anatomi dan skor ESS adalah 4,98E9.
Kesimpulan: Proporsi variasi anatomi septum deviasi ditemukan paling banyak pada populasi nyeri kepala rinogenik. Derajat septum deviasi dan klasifikasi Mladina memiliki kecenderungan terhadap derajat nyeri kepala rinogenik. Tipe SEM memiliki kecenderungan hubungan dengan sumbatan hidung dan gangguan napas saat tidur. Jumlah variasi anatomi dan skor ESS menjadi faktor prediktor untuk derajat nyeri kepala rinogenik.

Background: Secondary headaches due to anatomic variations in the nasal mucosa, turbinates, and septum are categorized in the appendix to the International Classification of Headache Disorders – 3. This position is different and weaker than secondary headaches due to acute rhinosinusitis or acute exacerbations of chronic rhinosinusitis. This study aims to determine the trend of the role of anatomical variations of septum deviation, concha bullosa, and ethmo-maxillary sinus (SEM) as risk factors for rhinogenic headache.
Methods: This study was conducted using a cross-sectional design in rhinogenic headache patients at the ENT Department of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Friendship Hospital and Fatmawati Hospital for the period December 2022 - February 2023. The parameters assessed were the NPRS, NOSE, and ESS scores.
Results: ¬The proportion of anatomical variations of septum deviation was 73.8%, concha bullosa was 52.3%, and ethmomaxillary sinus was 47.7% in patients with rhinogenic headaches at RSCM, RSF, and RSP which were evaluated by computer tomography of the paranasal sinuses. There was a significant mean difference between the groups with the degree of septum deviation and the Mladina classification on the NPRS, NOSE, and ESS scores (p<0.05). SEM type 2 has a higher average NPRS score than SEM type 1 but it is not statistically significant. The SEM type had a significant difference between groups in the NOSE and ESS scores (p<0.05). The number of anatomic variations and the ESS score tended to have a significant relationship with the NPRS score (p<0.05). The logistic regression odds ratio for the number of anatomic variations and the ESS score is 4.98E9.
Conclusion: The proportion of anatomical variations of septum deviation was found to be the highest in the rhinogenic headache population. The degree of septal deviation and the Mladina classification tend to the degree of rhinogenic headache. The SEM type tends to be associated with nasal obstruction and difficulty breathing during sleep. The amount of anatomic variation and ESS score are predictors for the degree of rhinogenic headache.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Leonard Rudy S
"Tujuan: Untuk menentukan apakah terdapat kesesuaian antara radiografi konvensional proyeksi
oksipitomental buka mulut (1 proyeksi) dengan proyeksi standar yaitu oksipitomental,
oksipitofrontal, dan lateral (3 proyeksi) pada pasien sinusitis dewasa.
Bahan dan Cara: Gambaran radiografi konvensional 1 proyeksi dan 3 proyeksi, dan tomografi
komputer sinus paranasal dari 43 pasien dewasa dengan klinis kecurigaan sinusitis dievaluasi.
Temuan tomografi komputer maupun radiografi konvensional dikelompokkan dalam normal,
sinusitis ringan, sedang dan berat. Dengan menggunakan tomografi komputer sinus paranasal
sebagai baku emas, dihitung sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif dan negatif, kemudian
dicari kesesuaian antara radiografi konvensional 1 proyeksi dengan 3 proyeksi.
Hasil: Radiografi konvensional kurang dapat mendeteksi kasus sinusitis yang keparahannya
ringan. Radiografi konvensional 1 proyeksi terhadap 3 proyeksi dalam menyatakan sinusitis tanpa
spesifikasi lokasi dan keparahan memberikan nilai sensitifitas 72% vs 75%, spesifisitas 71% vs
86%, nilai duga positif 93% vs 96%, dan nilai duga negatif 33% vs 40%. Akurasi keseluruhan
radiografi konvensional 1 proyeksi terhadap 3 proyeksi adalah 72% vs 77%. Tidak didapatkan
perbedaan statistik bermakna antara hasil radiografi konvensional 3 proyeksi dengan 1 proyeksi.
Kesimpulan: Pemeriksaan radiografi konvensional standar sinus paranasal 3 proyeksi pada klinis
kecurigaan sinusitis pada pasien dewasa dapat dibatasi pada proyeksi tunggal oksipitomental
buka mulut saja. Nilai duga negatif radiografi konvensional yang rendah dalam menentukan
sinusitis menyarankan hasil radiografi normal dalam keadaan kecurigaan sinusitis gagal untuk
secara meyakinkan menyingkirkan adanya sinusitis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Meningiomas accounts for 10-15% of all intraeranicd tumours, but meningiomas originating in the paranasal sinuses are rare. These tumors are thought to arise from embryonal arachnoid nests which were pinched off and left behind during embryonic development. We present Three cases, JO and 50 years old female and 7 years old male with paranasal sinus meningioma. Meningioma in this location needs special approach for surgical excision. We perform surgical excision in both cases and in one cases we join operation with otolaryngologist. All three cases have good outcome after surgery. We will discuss about the pathophysiology and surgical approach for meningioma in this location."
610 MEDI 3:7 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gery Gilbert
"Latar Belakang : Distribusi frekuensi impaksi gigi molar tiga maksila berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory, Winter, dan hubungan dengan sinus maksila dapat menunjukan variasi yang dapat berperan penting dalam mengantisipasi kesulitan pada saat odontektomi. Tujuan : Mengetahui frekuensi kasus impaksi molar tiga maksila pada radiograf panoramik berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory dan Winter serta hubungan dengan sinus maksila di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kategorik menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien di RSKGM FKG UI. Hasil : Penelitian yang dilakukan pada 102 kasus impaksi molar tiga maksila menunjukkan kasus impaksi molar tiga maksila paling banyak pada wanita dengan persentase 62.7%, namun hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara perbedaan gender dengan masing-masing klasifikasi impaksi. Frekuensi tertinggi dari masing-masing klasifikasi adalah Kelas C sebesar 46.08% pada klasifikasi Pell-Gregory, impaksi distoangular sebesar 35.3% pada klasifikasi Winter, dan impaksi tipe 4 sebesar 60.78% pada klasifikasi berdasarkan hubungan dengan sinus maksila. Kesimpulan : Penelitian ini mendapatkan hasil distribusi frekuensi impaksi molar tiga maksila yang dapat menjadi acuan dalam menentukan tingkat kesulitan perawatan odontektomi.

Background : A method of classification of third molar impaction is needed because the anatomical position of impacted third molars can show variations that will play an important role in anticipating difficulties during extraction. Objective : To determine the impaction frequency of maxillary third molar impaction cases, as seen on panoramic radiographs and classified based on Pell-Gregory and Winter classification and also the relationship with maxillary sinus in RSKGM FKG UI. Methods : The type of research conducted is categorical descriptive research, using secondary data in the form of patient medical records at RSKGM FKG UI. Results : From 102 cases of maxillary third molar impaction, it was found that maxillary third molar impaction was most common in women with a percentage of 60%, but the results of statistical tests show no significant relationship between gender differences with each classification. The highest frequency of each classification is Class C of 46.08%, distoangular impaction of 35.3%, and impaction of type 4 by 60.78%. Conclusion : Classification of maxillary third molar impact can be a reference in determining the difficulty level of odontectomy treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Fajarwati
"Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin membutuhkan sarana yang terjangkau dengan realibilitas yang baik, terutama pada kondisi jenazah yang terbakar hebat, rusak, atau terdekomposisi. Sinus maksilaris dan kanalis mandibularis merupakan salah satu struktur yang dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) adalah metode non infasif yang dapat memberikan gambaran struktur anatomis maksilofasial termasuk sinus maksilaris dan kanalis mandibularis dengan resolusi yang tinggi, sehingga untuk kepentingan identifikasi forensik dapat memberikan pengukuran dengan akurasi tinggi. Tujuan: Hasil analisis perbedaan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis diharapkan dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Metode: Membandingkan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis antara jenis kelamin menggunakan CBCT.
Hasil: Perbedaan yang bermakna pada ukuran sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada tinggi, panjang, dan lebar sinus maksilaris antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata masing-masing laki-laki dan perempuan sebesar 39.4 ± 4.6 dan 33.9 ± 4.8 pada tinggi, 39.9 ± 3.2 dan 37.4 ± 2.4 pada panjang, serta 31.1 ± 4.6 dan 28.6 ± 3.8 pada lebar sinus maksilaris. Terdapat perbedaan bermakna pada jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata pada laki-laki dan perempuan yaitu sebesar 7.7 ± 1.7 dan 6.8 ± 1.5. Berdasarkan ukuran tinggi dan panjang sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula maka didapatkan rumus P = 1/1+e- [-16.613 + (<0.183 x TSM) + (0.204 x PSM) + (0.260 x JIKM)] untuk prakiraan jenis kelamin, dengan nilai ≥ 0.5 pada laki-laki dan < 0.5 pada perempuan.

Background: Gender identification requires a tool which has high reliability, especially in the conditions of the bodies that are severely burned, damaged, or decomposed. The maxillary sinus and mandibular canal are one of the maxillofacial structure that can be used to identify the gender. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) is a non-invasive method which can visualize the anatomical of the maxillofacial structure including the maxillary sinus and mandibular canal with high-resolution so that CBCT can provide better measurements for forensic identification.
Aim: The results of the study can show the differences in maxillary sinus size and mandibular canal position which are expected to be used for gender identification.
Methods: Comparing the maxillary sinus size and mandibular canal position between genders using CBCT.
Result: The maxillary sinus sizes and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women were significantly different.
Summary: There were significant differences in the height, length, and width of the maxillary sinus between men and women, with the mean value of men and women, respectively were 39.4 ± 4.6 mm and 33.9 ± 4.8 mm for height, 39.9 ± 3.2 mm and 37.4 ± 2.4 mm for length, and 31.1 ± 4.6 mm and 28.6 ± 3.8 mm for width of the maxillary sinus. There was a significant difference in the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women, with a mean value were 7.7 ± 1.7 mm and 6.8 ± 1.5 mm. Based on the height and length of the maxillary sinus, which exclude the width of the maxillary sinus, and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible, the formula for gender estimation was P = 1/1+e- [-16.613 + (0.183 x Height of maxillary sinus) + (0.204 x Length of maxillary sinus) + (0.260 x JIKM). The distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible with male values ≥ 0.5 whereas for women when < 0.5.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ivker, Robert S.
New York: G.P. Putnam's Sons , 1995
616.2 IVK s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Evan Regar
"Latar Belakang: Akses yang baik ke sakus lakrimal sangat penting dalam prosedur DCR endoskopik pada kasus obstruksi duktus nasolakrimal. Struktur ini dapat terhalangi oleh keberadaan agger nasi, yang juga dapat mempersulit prosedur operasi dan meningkatkan angka kegagalan.
Tujuan: Untuk menentukan variasi anatomi agger nasi dalam hubungannya dengan sakus lakrimal menggunakan CT scan dan membandingkannya dengan pembukaannya. Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 11 subjek yang didiagnosis dengan sumbatan saluran air mata hidung terperoleh primer. Subjek menjalani CT scan untuk menilai keberadaan agger nasi dan penempatannya terhadap sakus lakrimal. Subjek kemudian menjalani dakriosistorinostomi endoskopik, dan operator menilai apakah agger nasi perlu dibuka atau tidak untuk mengakses sakus lakrimal. Analisis statistik menggunakan Cohen's Kappa dilakukan untuk mengevaluasi kesepakatan antara kedua temuan tersebut.
Hasil: Dari 13 subjek, 12 adalah perempuan. Agger nasi ditemukan pada 12 dari 13 subjek. Pada pemeriksaan radiologi, 8 dari 12 subjek menunjukkan penempatan sakus lakrimal dengan agger nasi. Pada intraoperatif, agger nasi dibuka pada 9 subjek. Terdapat kesepakatan yang substansial dengan κ = 0,800; p = 0,005. Satu pasien tidak menunjukkan penempatan, namun agger nasi dibuka karena kesulitan mengakses sakus lakrimal yang disebabkan oleh sudut proses frontal maksila.
Kesimpulan: Evaluasi aposisi agger nasi terhadap sakus lakrimal dapat dilakukan secara rutin. Terdapat kesepakatan yang substansial antara pemeriksaan radiologi dan temuan intraoperatif mengenai pembukaan agger nasi.

Background: Proper access to the lacrimal sac is crucial in endoscopic DCR procedures in nasolacrimal duct obstruction. This structure can be obstructed by the presence of the agger nasi, which may complicate the surgery and increasing failure rate.
Objectives: To determine the anatomical variations of the agger nasi in relation to the lacrimal sac using CT scan and comparing it with its opening.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted on 11 subjects diagnosed with primary acquired nasolacrimal duct obstruction. The subjects underwent CT to assess the presence of the agger nasi and its apposition to the lacrimal sac. Endoscopic dacryocystorhinostomy was performed, and the operator assessed whether the agger nasi needed to be opened or not to access the lacrimal sac. Statistical analysis using Cohen's Kappa was conducted to evaluate the agreement between the two findings.
Results: Out of the 13 subjects, 12 out of 13 were female. Agger nasi was found in 12 out of 13 subjects. In radiological examination, 8 out of 12 subjects showed apposition of the lacrimal sac with the agger nasi. Intraoperatively, the agger nasi was opened in 9 subjects. There was substantial agreement with a κ = .800; p = .005. One patient did not show apposition, however agger nasi was opened due to difficulty in accessing the lacrimal sac caused by the angulation of the frontal process of the maxilla.
Conclusion: Evaluation of the apposition of the agger nasi to the lacrimal sac can be routinely performed. There is substantial agreement between radiological examination and intraoperative findings regarding the opening of the agger nasi.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>