Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63331 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Prakarsa Rukhiyana
"ABSTRAK
Dalam ajaran Shinto dan Buddha, dewa-dewa dipercaya menjadi kekuatan besar pada kehidupan penganutnya. Manifestasi dari wujud dewa-dewa banyak tertuang dalam simbol, benda dan perayaan. Salah satu benda yang mempunyai manifestasi dari dewa-dewa dalam kepercayaan tersebut adalah Omamori. Pada awal kemunculannya, omamori diberikan kepada peziarah kuno di Jepang yang melakukan perjalanan spiritual ke kuil-kuil di luar daerahnya. Omamori diberikan kepada para peziarah oleh pihak kuil, dengan tujuan agar menjadi keselamatan pada para peziarah ketika kembali ke daerah asal. Seiring berkembangnya zaman, dan globalisasi mulai merambah Jepang, hal tersebut juga memberikan dampak kepada omamori. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dampak komodifikasi pada budaya yang datang bersamaan dengan globalisasi pada omamori, salah satu aspek budaya kuno Jepang. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yaitu studi pustaka. Teori yang digunakan antara lain, Teori Globalisasi Appadurai untuk menjelaskan fenomena penjualan massal terhadap omamori, kemudian Teori Komodifikasi yang bertujuan untuk menjelaskan dampak yang diterima, perubahan atau pergesaran pada aspek budaya yaitu omamori, Teori Mass Culture dari Hannah Arendt untuk menjelaskan mengapa aspek-aspek tersebut bisa berubah, lalu teori Culture Industry dari Theodor Adorno untuk menjelaskan bagaimana sistem yang mengatur suatu produksi komoditas budaya.

ABSTRACT
In Shinto and Buddhism, it is believed that God has a great power in the followers life. The manifest of God are shown in the symbols, objects and ceremonies. One of those object that has the God manifest is called omamori. At the starts of its appearance, omamori was given by the temple to ancient pilgrims on their pilgrimage to temples outside their region. Omamori was given by the temple with purpose to blessing the pilgrim when they are going back to their origin. As the time goes by, together with the spread of globalization to entire Japan, it gives impact to omamori as well. This study is purposed to explain the impact of commodification to japan culture together with globalization to omamori, one of the aspect of Japanese ancient culture. This study use qualitative method, literature review. Theory that used in this study is commodification theory, with purpose to explain impact, change or shift on cultural aspect of omamori, mass culture theory from Hannah Arendt to explain how those aspects can change, and Theodor Adorno Theory of Culture Industry to explain the system that arrange the production of cultural commodity."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ardietyo Hartoro
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2018
T52474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Putri Nurindra
"Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tren wellness lifestyles sebagai hasil dari komodifikasi budaya. Tren wellness lifestyle ini sedang banyak ditemui di kota-kota besar, khususnya DKI Jakarta dengan banyak munculnya studio wellness dan produk-produk wellness lainnya. Studi-studi terdahulu, melihat bahwa konsepsi wellness berasal dari budaya-budaya yang diadaptasi dan di reproduksi kembali menjadi sebuah gaya hidup baru. Selain itu, studi lainnya melihat bahwa wellness lifestyle merupakan cerminan dari budaya konsumsi di kalangan kelas menengah atas. Berangkat dari temuan dari penelitian terdahulu, penulis lebih lanjut melihat bahwa tren wellness lifestyle muncul karena ada konstruksi makna baru mengenai wellness yang tidak hanya sebagai praktik pencegahan penyakit, namun bisa digunakan untuk menunjukkan status seseorang melalui lifestyle yang dikonstruksikan oleh pelaku usaha wellness industry. Penulis berargumen bahwa terdapat praktik komodifikasi budaya dari aktivitas wellness yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan. Proses komodifikasi dilakukan dengan menanamkan konstruksi-konstruksi nilai tukar baru dalam wellness dengan melakukan penyebaran informasi melalui media sosial terhadap produk budaya wellness. Hal ini dilakukan dengan mereproduksi nilai dan simbol dari kegiatan wellness seperti yoga yang menjadi suatu komoditas baru dan dilanggengkan dalam bentuk gaya hidup seseorang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan bentuk-bentuk yang terdapat dalam komodifikasi wellness lifestyle serta proses komodifikasi budaya dalam tren wellness lifestyle. Hasil dari penelitian ini mengkonfirmasi argumentasi penelitian bahwa pelaku usaha melakukan berbagai usaha untuk mengkomodififikasi kegiatan wellness melalui bantuan peran media sosial dengan melakukan difusi dan defusi yang kemudian di bentuk menjadi suatu gaya hidup baru di masyarakat. Selain itu, para konsumen juga menjalankan gaya hidup wellness sebagai cerminan status dan posisi sosial mereka yang ditunjukkan melalui media sosial pribadi mereka.

This study aims to describe the trend of wellness lifestyles as a result from cultural commodification. This wellness lifestyle trend is being found in big cities, especially DKI Jakarta with the emergence of many wellness studios and other wellness products. Previous studies, saw that the conception of wellness came from indigenous cultures which were adapted and reproduced back into a new lifestyle. In addition, other studies see that the wellness lifestyle is a reflection of the consumption culture among the upper middle class. Departing from the findings of previous research, the author further sees that the wellness lifestyle trend arises because there is a new meaning construction regarding wellness which is not only a disease prevention practice but can be used to show one's status through a lifestyle constructed by wellness industry business actors. The author argues that there are cultural commodification practices of wellness activities carried out by business actors for profit. The process of commodification is carried out by embedding new exchange value constructs in wellness by disseminating information through social media on wellness cultural products. It’s done by reproducing the values and symbols of wellness activity like which become a new commodity and are perpetuated in the form of a person's lifestyle. This study uses a qualitative method to explain the aspects contained in the commodification of a wellness lifestyle and the process of cultural commodification in a wellness lifestyle trend. The results of this study confirm the research arguments that business actors make various efforts to commodify wellness activities through the help of the role of social media by doing diffusion and deffusion which are then shaped into a new lifestyle in society. In addition, consumers also live a wellness lifestyle as a reflection of their status and social position which is shown through their personal social media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Ariandini
"Penelitian ini membahas tentang proses komodifikasi budaya henna di Indonesia. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komodifikasi yang dikemukakan oleh Mosco. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara dilakukan oleh peneliti kepada delapan orang narasumber yang berprofesi sebagai henna artist. Hasil dari penelitian ini, henna adalah salah satu alat kecantikan yang sudah digunakan sejak berabad-abad lalu. Sejak dahulu pula henna merupakan bagian dari budaya atau tradisi masyarakat Arab dan India namun, akibat adanya globalisasi menyebabkan henna menyebar menjadi budaya populer yang kemudian henna bisa di gunakan oleh siapapun. Tampilnya henna menjadi budaya populer di Indonesia membuat meningkatnya permintaan penggunaan henna di kalangan masyarakat. Kemudian, henna artist muncul bersamaan dengan perkembangan henna ini dan untuk memenuhi  peningkatan permintaan henna. Henna artist menjadikan henna sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan sehingga komodifikasi budaya henna lahir dari kondisi ini.

This research describes about the  process of the commodification of henna culture in Indonesia.  The theory used in this research is theory of the commodification which stated by Mosco. This is a qualitative research in which the methods are interviews, observations, and documentations. Interview were conducted by the researchers on eight  interviewees who work as a henna artist. The result of this research is, henna is one of  the beauty tools which has been used for centuries. Back then, henna also was a culture or a tradition of Arab and Indian society but, the existence of globalization caused henna spread out become popular culture so that henna may be used by everyone. In Indonesia, the popularity of henna generates the increasing demand for henna among Indonesia society. Then,  the henna artist comes together in line with the development of henna, and to supply that increasing demand for henna. The henna artist utilizes henna as a commodity for obtaining profit subsequently, the commodification in henna culture born by this condition."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Silvia Fitri Junaidi
"ABSTRAK
Social Media adalah perkembangan baru dalam jejaring sosial berbasis
internet yang mampu menghubungkan sekelompok orang, untuk saling berbagi
informasi, ide, pemikiran dan pendapat mereka. Interaksi yang terjadi bertujuan
untuk membangun kepercayaan dalam komunitas digital. Seiring perkembangan
teknologi informasi memicu kemunculan beragam komunitas online berbasis
social media, salah satunya adalah Komunitas Indo Runners.
Penelitian ini membuktikan telah terjadi komodifikasi khalayak pada
Komunitas Online, dimana tindakan sharing informasi di social media sebenarnya
merupakan bentuk digital free labour atau tenaga kerja gratis, dimana khalayak
tanpa disadari telah bekerja sehingga memberikan keuntungan ekonomi pada
pihak lain, tanpa disadari. Khalayak dijadikan komoditas dengan memanfaatkan
karakteristik komunal suatu komunitas sebagai perekat kebersamaan dalam
komunitas. Semakin tinggi jumlah khalayak, maka akan semakin besar pula nilai
komoditasnya. Di era serba digital dengan keluasan informasi tanpa batas,
komoditas sesungguhnya yang dipertukarkan adalah big data.
Implikasi penelitian adalah memberi pemahaman mengenai bagaimana
dampak dari penggunaan social media sebagai medium untuk membentuk
komunitas, bahwa akan rentan mengalami apa yang disebut komodifikasi.
Anggota komunitas sekaligus pengguna aktif social media telah dieksploitasi oleh
pihak-pihak yang memiliki kuasa atas data dan informasi, yaitu pembentuk
komunitas.

ABSTRACT
Social Media is a new development in internet-based social networks, that
has the ability to connect a group of people, to share information, ideas, and
thoughts with each others. The Purpose of nteraction is to build trust in digital
community. As it develops, information technology triggered the rise of a various
online community which based on social media, one of which is the Indo Runners
Community.
This research demonstrates and proofed that Mass Commodification does
take places towards Online Community, because information sharing in social
media is actually digital free labour or just simply a labour with no pay, thus the
Mass unexpectedly derives economic values. The Mass has become a commodity
by maximizing the communal?s characteristics to keep it intact. The higher the
number of Mass, the value of the commodity?s price goes up. In the era of
unlimited information, the true commodity for trade are Big Data.
The Implication o f the research is to provide understanding on how does
the impact of social media utilization as a platform to create community is prone
to the so called commodification. The community member whom also social
media active user has been exploited by certain groups that hold the power over
data and information, which is the Community Creator."
2016
T46242
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amandra Mustika Megarani
"Penelitian ini membongkar komodifikasi dalam proses produksi komik di Indonesia dengan menggunakan Ockto Baringbing—pemenang International Manga Award 2013, sebagai studi kasus tunggal. Peneliti menelusuri pembuatan komik-komik Ockto pada tiga penerbit yang mewakili struktur industri penerbitan komik di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan penerbit melakukan komodifikasi yang mengacu pada selera, perilaku konsumsi dan gaya hidup masyarakat modern. Komik dijadikan waralaba transmedia, direproduksi dalam berbagai format media dan bebagai bentuk cinderamata. Penerbit juga merancang interaksi semu dengan fan lewat komunitas fandom komik di media sosial maupun dunia nyata untuk menjaga loyalitas pembaca. Persaingan antar penerbit hanya melanggengkan ideologi kapitalisme.

This study exposes commodification in the production process of Indonesia comics by using Ockto Baringbing-Winner of the 2013 International Manga Award, as a single case study. Researcher explores the making of Ockto’s works on three publisher which respresent the structure of comic publishing industry in Indonesia. Results of this study indicate that publishers do commodification according to taste, consumption behavior and lifestyle of modern society. Comics being used as transmedia franchises, reproduced in a variety of media formats and in the various forms of merchandise. Artificial interaction with fan community designed to keep the loyality via social media and real world. Competition among publishers only perpetuates the ideology of capitalism.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T43735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcenda Pangestuti
"ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis komodifikasi upacara ruwatan rambut gimbal yang merupakan warisan budaya Dieng dalam festival tahunan kebudayaan masyarakat Dieng bernama Dieng Culture Festival (DCF) yang dimulai sejak tahun 2010 di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Seiring pesatnya perkembangan industri pariwisata budaya di Indonesia, upacara ruwatan rambut gimbal dikembangkan menjadi sebuah ?spectacle? (tontonan) yang bertujuan untuk menarik wisatawan. Upacara ruwatan yang bernilai sakral kini berubah menjadi sesuatu yang profan, dari tuntunan bergeser menjadi tontonan belaka sebagai dampak dari pengembangan pariwisata. Keistimewaan anak gimbal sebagai objek ruwatan tersebut kini dimaknai dan diperlakukan berbeda oleh pelaku wisata hingga pemerintah setempat. Proses komodifikasi dikuatkan melalui proses pemasaran melalui media online. Skripsi ini menggunakan konsep utama ?Spectacle? dari Guy Debord, dilengkapi dengan konsep komodifikasi dalam isu ekonomi politik pariwisata yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan kepariwisataan (tourism scholar)mulai dari Kevin Fox Gotham, Melanie K. Smith, dan John Urry. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya komodifikasi budaya upacara ruwatan rambut gimbal dalam Dieng Culture Festival yang berdampak terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat Dieng. Dampak sosial terkait dengan adanya ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai bentuk resistensi terhadap komersialisasi budaya. Sedangkan dampak kultural lebih terkait dengan isu keaslian (authenticity) budaya dimana dalam ruwatan festival terjadi beberapa pengubahan pelaksanaan ritual rambut gimbal yang dilakukan oleh penyelenggara Dieng Culture Festival.

ABSTRAK
This paper analyzes the commodification of dreadlocks hair children?s ritual ceremony in Dieng Culture Festival at the Dieng Plateau, Central Java. With the rapid development of cultural tourism industries, those ritual developed into a spectacle that aims to attract tourists in the annual cultural festival named Dieng Culture Festival which began in 2010. The sacred value of ritual now being transformed by the social actors, including Dieng Culture Festival organizer, local government with the use of online media into something profane. The dreadlock hair children as main objects of ritual now is being understood and treated differently. This paper uses the ?Spectacle? from Guy Debord as a main concept and concept of commodification in the political economy of tourism discussed and developed by three tourism scholar; Kevin Fox Gotham, Melanie Smith, and John Urry. The result indicates the existence of cultural commodification of dreadlocks hair children?s ritual ceremony in Dieng Culture Festival which is causes both social and cultural impact. The social impacts relate to the tensions between local people who confront with the rise and dominanve of tourism development within Dieng Culture Festivaland the cultural impact is focuson the issue of cultural authenticity because there are some increments and alterations of dreadlocks hair children?s ritual.
"
2016
S63604
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariana Conchita Syafrudin
"ABSTRAK
Setiap negara tentu memiliki keunikan dan ciri khas kulinernya masing-masing. Tidak terkecuali Jepang, kuliner Jepang banyak yang memiliki pengaruh dari negara lain terutama dari negara Cina. Salah satu bahan makanan yang tidak terlepas dari kuliner Jepang adalah pemakaian kedelai dalam setiap masakan, baik sebagai bahan bumbu maupun bahan makanan. Kedelai pertama kali dibudidayakan di Cina dan masuk ke Jepang melalui peninsula Korea lebih dari 2000 tahun yang lalu seiring dengan penyebaran agama Buddha. Sh?yu dan miso merupakan bahan bumbu dasar yang penting dalam cita rasa masakan Jepang. Selain itu bangsa Jepang juga banyak mengkonsumsi bahan makanan berbahan dasar kedelai seperti Natto dan Tofu. Peran Kedelai tidak hanya dalam budaya kuliner Jepang, tetapi kedelai juga digunakan oleh bangsa Jepang dalam salah satu perayaan/festival tahunan yaitu festival Setsubun Mamemaki festival melempar kedelai . Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan atas peran kedelai dalam budaya kuliner Jepang dan salah satu festival tahunan musim semi dalam budaya Jepang.

ABSTRACT
Every country has their own culinary uniqueness and characteristics. Japan is no exception, Japanese cuisine has a lot of influences from other countries, especially China. One of the ingredients that cannot be separated from Japanese cuisine is the use of soybean in each of Japanese cooking, both as a seasoning or an ingredient. Soybeans were first cultivated in China and brought into Japan through the Korean Peninsula over 2000 years ago with the spread of Buddhism. Sh yu and miso are both main ingredients that are essential in the taste of Japanese cuisine. Japanese people consume a lot of soy bean based food such as Natto and Tofu. The role of soybean is not only in Japanese culinary culture, but it is used in one of Japan rsquo s yearly festivals called Setsubun Mamemaki bean throwing festival . This study aims to answer the role of soybeans in Japanese culinary culture and the role in one of the Spring yearly festivals in Japanese culture. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Melissa Ilona Asri
"Jurnal ini membahas tentang fenomena love hotel di dalam budaya Jepang kontemporer. Pembahasan ini menggunakan konsep kebudayaan massa, penjelasan definisi dari kata love hotel serta konsep empat fenomena dalam kebudayaan massa Jepang. Hal yang dianalisis memfokuskan pada eksistensi love hotel di Jepang serta perkembangan tempat penginapan yang merupakan asal usul dari love hotel. Penelitian menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan ekstrinsik, melalui tinjauan kepustakaan. Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk menjelaskan eksistensi dan perkembangan love hotel di dalam budaya Jepang kontemporer. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan keberadaan love hotel di wilayah Jepang telah memberikan suatu nuansa yang berbeda dari hotel pada umumnya di dalam budaya Jepang kontemporer. Keunikan yang ditawarkan love hotel dapat membuat hotel tersebut tetap bertahan sampai sekarang di Jepang.

This journal discusses the phenomenon of love hotel in contemporary Japanese culture. This discussion uses the concept of mass culture, the definition of the word love hotel and the concept of four phenomenon in Japanese mass culture. The analysis will focus on the existence of love hotel in Japan and the development of the inn which is the origin of love hotel. This research uses the method of descriptive analysis with extrinsic approach, and literary study. The purpose of this journal is to explain the existence and development of the love hotel in contemporary Japanese culture. The result of this journal concludes the existence of love hotel has provided a different feel from the hotel in general ini contemporary Japanese culture. Beside that, the uniqueness that offered by love hotel makes the hotel still exist until now in Japan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Silma Fatima
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat fenomena pariwisata halal, yaitu pariwisata yang prinsipnya sesuai dengan ajaran Islam. Fenomena ini marak terjadi di dunia termasuk di Indonesia, yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam. Penelitian-penelitian sebelumnya menjelaskan fenomena pariwisata halal hadir dikarenakan tingginya kebutuhan masyarakat muslim khususnya kelas menengah muslim dan atas pada pariwisata berbasis halal dan peluang ekonomi yang dimanfaatkan oleh industry pariwisata halal. DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi pilihan dari target tujuan destinasi pariwisata halal karena telah memiliki modal dan keunikan tersendiri dari provinsi lainnya. Berbeda dengan studi-studi sebelumnya, penelitian ini berargumen bahwa fenomena pariwisata halal terjadi di DKI Jakarta bukan hanya sekedar kebutuhan masyarakat muslim yang terus meningkat dan peluang ekonomi yang dimanfaatkan oleh para pelaku industri pariwisata halal, namun adanya komodifikasi dari budaya lebih lanjut yang dilakukan oleh para pelaku industri pariwisata halal. Para pelaku industry memanfaatkan budaya Islam melalui sektor industri pariwisata halal untuk mendapatkan keuntungan semaksimal-maksimalnya. Pada akhirnya mereproduksi budaya dan menciptakan pseudo-needs dari wisatawan halal serta membentuk identitas dan symbol status baru. Nilai, atribut, simbol, ide, dan objek dari Agama Islam diproses dan dibentuk sedemikian rupa menjadi sebuah komoditi dalam usaha bisnis melalui industri
pariwisata halal.

The purpose of this research is to take a look at halal tourism phenomenon, a touristy consistent with Islamic teachings. This phenomenon is seen in many countries in the world, including Indonesia where majority of its people are Moslem. Previous research shows that halal tourism arise to meet Moslem people’s needs on halal experience options, especially middle and upper class people. Industry response well to this and grab this as an economic opportunity. DKI Jakarta has been one of the provinces selected as halal tourism destination because it has sufficient assets and its own uniqueness than other provinces. Different than previous studies, this research argues that halal tourism phenomenon in Jakarta is not only because to meet Moslems needs and as an economic opportunity for industry players, but also because there is a further cultural commodification by halal tourism industry players. Industry players benefits from Islamic culture through halal tourism industry sector to achieve maximum gain. In the end, cultural reproduction and pseudo-needs were created to form a new identity and status symbol. Values, attributes, symbol, ideas, and object from Islamic teachings were process and formed becoming a commodity in business through halal tourism industry"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>