Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142737 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairunnisa Hayati
"ABSTRAK
Militer Jepang adalah sebuah kekuatan besar yang sangat sulit ditandingi pada masa awal Perang Dunia II. Persenjataan militer Jepang yang lengkap dan kuat, menjadikan Jepang berani menyerang pangkalan armada Amerika di Pearl Harbor. Serangan Pearl Harbor yang terjadi pada 7 Desember 1941, menandai pecahnya Perang Pasifik sebagai bagian dari Perang Dunia II. Penelitian ini membahas tentang awal kekalahan militer Jepang yang terjadi dalam pertempuran Midway yang berlangsung pada 4-7 Juni 1942. Pertempuran Midway adalah sebuah pertempuran dalam Perang Pasifik yang menandai titik balik atau awal kekalahan militer Jepang saat terjadinya Perang Pasifik. Ekspansi yang dilakukan militer Jepang ke berbagai wilayah di Asia Pasifik terus mengalami kemenangan yang gemilang pada paruh awal tahun 1942, namun mengalami kekalahan telak untuk pertama kalinya pada pertempuran Midway. Setelah kekalahan dalam pertempuran Midway, kekuatan armada militer Jepang semakin lemah, kemudian disusul dengan banyak kekalahan yang membawa kehancuran di Pihak Jepang hingga akhirnya menyerah pada tahun 1945.

ABSTRACT
Japan 39 s military has such wide ranging powerful forces and thus were unattainable to be surpassed in the early period of World War II. The adequacy and complexity of Japanese military weaponry has roughly became the underlay in order to ambush the base of the American fleet at Pearl Harbor. The attack on Pearl Harbor which was occurred on December 7, 1941 has made the outbreak of Pacific War as a part of World War II. Therefore, this paper discusses the early segment of Japan 39 s military defeat that occurred in the Battle of Midway which took place on 4th to June 7th, 1942. The Battle of Midway has been determined as an inclusive battle of Pacific War that has been the turning point or the beginning of Japan 39 s defeat during the Pacific War. Expansion of Japanese military to various regions in Asia Pacific continues to gain complete victory in early half of 1942, but eventually suffered major breakdown for the first time at The Battle of Midway. On the aftermath, Japan 39 s enforcement was gradually getting overpowered, followed with any miscalculations that brought Japan into subjugation, until finally they were admitted defeat in 1945. "
Lengkap +
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Maudina Aisya
"Pada tanggal 4 Juni 1942, Angkatan Laut Jepang mengalami kekalahan atas Amerika Serikat dalam pertempuran di Pulau Midway, Hawaii, Samudra Pasifik. Pertempuran Midway merupakan titik balik Perang Pasifik. Dalam pertempuran Midway, Angkatan Laut Jepang kehilangan empat kapal tempur mereka yaitu Akagi, Kaga, Hiryu, dan Soryu. Kekalahan Jepang diakibatkan oleh berhasilnya intelijen Amerika dalam memecahkan informasi rahasia Angkatan Laut Jepang, sehingga pihak Amerika dapat mengantisipasi serangan dan menyerang kembali pihak Jepang. Keberhasilan intelijen Amerika memecahkan informasi rahasia adalah kegagalan besar bagi pihak intelijen Angkatan Laut Jepang. Kegagalan tersebut disebabkan oleh; (1) pihak Angkatan Laut Jepang yang mengesampingkan faktor intelijen dalam setiap operasi pertempuran, (2) terdapat kendala bahasa karena pihak intelijen Angkatan Laut Jepang tidak memiliki staf yang fasih berbahasa Inggris, (3) arogansi Angkatan laut Jepang yang didasarkan oleh kemenangan sebelumnya dalam Penyerangan Pearl Harbour, sehingga Angkatan Laut Jepang kurang waspada dalam persiapan operasi penyerangan Midway.

On June 4th, 1942 Japanese Navy was defeated by the United States in Midway Atoll, Hawaii, Pacific. The Battle of Midway was a Pacific War turning point. In the Battle of Midway, Japan lost her four battleship Akagi, Kaga, Hiryu, and Soryu. The loss was caused by United States Intelligence s success in breaking the Japanese Navy secret code. Hence, the United States Navy managed to surmount strike and did counterattacks against the Japanese Navy. The United States Intelligence s success in breaking the code is a big loss for Japanese Intelligence. The cause of the failures are; (1) the Japanese Navy underestimated their own intelligence in every battle operation, (2) there were language barriers because Japanese Navy intelligence did not have any staff who is fluent in English, (3) Japanese Navy was arrogant after their previous victories in Pearl Harbor attack, so the Japanese Navy was not vigilant in preparing for the Midway attack operation."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Putri Prawisyara
"Serangan Jepang terhadap Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbor bertujuan
untuk menghilangkan kekuatan Amerika Serikat di Pasifik. Setelah keberhasilannya dalam
serangan tersebut, Jepang berusaha untuk merebut pulau-pulau yang berada di bawah kuasa
Amerika Serikat. Selain itu, untuk menunjang kekuatan angkatan lautnya, Jepang
membangun sebuah lapangan udara di pulau Guadalkanal. Namun, pembangunan lapangan
udara ini diketahui oleh Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat mengirimkan
pasukannya untuk merebut lapangan udara tersebut. Keberhasilan Amerika Serikat dalam
merebut lapangan udara yang sedang dibangun Jepang dan usaha Jepang dalam merebut
kembali lapangan udara tersebut, mengakibatkan pecahnya Pertempuran Laut Guadalkanal.
Penelitian ini akan membahas mengenai strategi militer Jepang dalam Pertempuran Laut
Guadalkanal pada tahun 1942. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan tujuan untuk mendeskripsikan strategi militer yang digunakan Jepang dalam studi
kasus yang diambil. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Jepang memilih strategi
militer ofensif dalam melawan Amerika Serikat, walaupun pada akhirnya Jepang
mengalami kekalahan.

The Japanese attack on the United States Military Base at Pearl Harbor aims to eliminate
the power of the United States in the Pacific. After the success in their attack, Japan tried to
seize the islands that was under control of the United States. In addition, to support its
naval power, Japan built an airfield on Guadalcanal. However, the development of the
airfield is known by the United States, so the United States sends their troops to seize the
airfield. The success of the United States in seizing the airfield that was being built by
Japan and Japanese efforts to reclaim the airfield resulted in the outbreak of the Naval
Battle of Guadalcanal. This study discussed the Japanese military strategy in the Naval
Battle of Guadalcanal in 1942. This study used qualitative research methods in order to
describe the military strategy used by Japan in the case studies taken. The results of this
study indicates that Japan chose an offensive military strategy against the United States,
although suffered defeat in the end.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Raini
"Fokus dari makalah ini adalah mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi selama agresi militer oleh Jepang ke Cina pada tahun 1931-1937. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peristiwa apa saja yang terjadi ketika Jepang melancarkan agresi militer di Cina pada tahun 1931-1937. Landasan teori yang digunakan dalam makalah ini antara lain teori dari Marjorie Dryburgh dan Usui Katsumi. Teori dari para ahli sejarah tersebut menjadi dasar untuk mengetahui secara lebih jelas seperti apa situasi pertempuran antara Cina dan Jepang pada tahun 1931-1937, dan motif apa saja yang melatarbelakangi terpicunya pertempuran tersebut. Ada dua kesimpulan yang diperoleh penulis dari penulisan makalah ini. Pertama adalah bahwa pengambilalihan manchuria pada tahun 1931 lebih tepat dikatakan sebagai titik awal dari Perang Dunia II. Kedua, bahwa faktor yang sesungguhnya menjadi pemicu dari perang Cina-Jepang pada tahun 1937 merupakan invasi Jepang terhadap Cina, pada tahun 1937 yakni insiden Jembatan Marco Polo.

The Focus of this paper is about the events that took place in Japan’s military agression against China in 1931-1937. Whereas the purpose of this research was to determine the events that happened when Japan’s military agression against China in 1931-1937 occured. This research employs the theoretical basis of Historist like Marjorie Dryburgh and Usui Katsumi. These theories form the basis for analyzing more clearly what situation that occured in the war between China and Japan in 1931-1937, and what are the motives behind it that triggering the war. There are two conclusions obtained by the author from the writing of this paper. First, the take over of Manchuria in 1931 by Japanese army more appropriately described as the starting point of World War II. Secondly, the real factor that trigger the China-Japan War in 1937 is the Japan invasion of China in 1937, that is known as The Marco Polo Bridge Incident.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Udsi Siska Widirianti
"Setelah kekalahan Jepang Perang Dunia II, pembangunan Jepang dibidang militer dihentikan dan dipaksa oleh Amerika Serikat untuk fokus hanya pada pertahanan diri. Namun awal abad ke-21, perubahan situasi keamanan dan politik di wilayah seperti China dan Korea Utara telah mendorong Jepang untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan armada militernya. Dalam meningkatkan kapabilitas militer, Jepang melihat Indonesia sebagai negara militer terbesar di Asia Tenggara kemudian mengadakan kerjasama dalam bidang militer. Di bidang pertahanan, Jepang telah menjadi salah satu mitra Indonesia dalam pembangunan kapabilitas pertahanan dan peningkatan profesionalitas prajurit TNI. Indonesia dan Jepang juga mengembangkan kerjasama pendidikan, antara lain pertukaran perwira untuk mengikuti pendidikan pengembangan, pendidikan dan latihan (diklat), pertukaran kunjungan pejabat tinggi pertahanan dan militer Jepang dan Indonesia. Penelitian ini membahas mengenai hubungan Jepang dan Indonesia dalam bidang militer. Jepang dalam ekspansi militernya melihat perkembangan Cina dan Korea Utara khususnya ketegangan di wilayah Laut Cina Selatan. Jepang juga melihat potensi yang dimiliki oleh negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia yang diyakini oleh pihak Jepang sebagai salah satu negara yang akan berperan besar menjaga keamanan wilayah Asia Tenggara yang juga penting bagi banyak negara maju dari seluruh dunia.

After Japan's defeat of World War II, the Japanese development of military field stopped and forced by the United States to focus solely on selfdefense. But the early 21st century, conversion of the security and political situation in China and North Korea have been encouraging Japan to improve its military and fleet capacity and capability. By enhancing military capability, Japan saw Indonesia as the largest army in Southeast Asia and entered into military cooperation of Japan-Indonesia later. Japan Self-Defense forces (JSDF) has been developing a global partnership for development of Indonesian defense capabilities and professionalization of Indonesian national armed forces, furthermore, conducting other field cooperations such as military personnel exchange, education and training, military-to-military cooperation and exercises, disaster response, and exchange of visits between high-ranking military officers. This research discusses the military relationship of Japan and Indonesia in the military field. Japan's military expansion saw the development of China and North Korea especially the tension in South China Sea Region. Japan also saw the potential possessed by Southeast Asian countries particularly Indonesia, which is believed by the Japanese as one of the Southeast Asian countries that played a major role that was able to maintaining Southeast Asia security.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Sadyana
"Penelitian ini merupakan kajian historis tentang seorang tokoh bernama Miura Jo pada masa pendudukan militer Jepang di Bali dalam kurun waktu tahun 1942 sampai dengan tahun 1945. Tujuan penelitian ini adalah untuk merekonstruksi : (1) Bagaimana peran dan tindakan Miura pada masa pendudukan militer Jepang terhadap rakyat Bali dan (2) Bagaimana dasar pemikiran pilihan-pilihan tindakan yang dilakukan oleh Miura terhadap rakyat Bali pada masa itu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan memanfaatkan teori-teori penulisan sejarah dalam analisis terhadap sumber-sumber sejarah primer dan hasil wawancara terhadap pelaku sejarah. Hasil penelitian menunjukan ada beberapa peran sentral yang dilakukan oleh seorang Miura di Bali pada masa pendudukan militer Jepang yaitu: (1) sebagai penghubung dan penasehat bagi rakyat Bali dan pemerintah, (2) menggagas reformasi keagamaan, (3) berusaha memprakarsai penguatan ekonomi rakyat Bali, dan (4) menjadi satu-satunya orang Jepang dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) sebagai cerminan pengakuan baik kalangan rakyat Bali maupun pihak Jepang atas ketokohan seorang Miura. Latar belakang kehidupan terlahir pada keluarga, dimana ayahnya seorang pendeta dan ibu seorang pendidik turut berperan membentuk karakter humanis seorang Miura. Dia dapat menjalankan peran sebagai warga negara yang harus taat pada perintah untuk membantu kesuksesan pendudukan Jepang di Bali, disisi lain dia memberi 'sentuhan' nilai humanis persuasif pada kebijakan militeristik yang dijalankan pemerintah pendudukan Jepang. Dengan demikian dia dapat diterima dan pendapatnya diamini oleh rakyat Bali. Akhir kisah hidup Miura menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan 'hadiah' dari Jepang.

This study analyzed the life of Miura Jo under Japanese occupation in Bali in the year of 1942-1945. The aims of this research are to analyze role and action of Miura and background of his approach to the people of Bali on that time. This is qualitative approach using the theories of history in analyzing the documents and data. The result shows there are number of Miura's important act among the people of Bali such as: (1) to be connector and adviser to the people of Bali in their relationship to Japanese military government; (2) the conceptor of the religious reform; (3) initiator the empowerment of Balinese in economic term; (4) to be representative of Japanese government in kenkokudoushikai, the Independent Preparation Committee of Bali. The last one can be determined as confession of the personage of Miura because he was only Japanese this committee. Background of his life, born in academic-religious family made strong foundation of his character in humanism as he showed in his approach to the Balinese. He acted as citizen of Japanese to support the country mission, but in the other hand, use persuasive-humanism approach in implementing the militaristic policy simultaneously. By that approach, he got the trust of Balinese. The ending of life of Miura showed the important thing that Indonesian independent was not 'gift' from Japan.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azora Nuraida
"ABSTRAK
Jepang menguasai Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945 dengan tujuannya adalah memperluas kekuasaan militernya di Asia. Salah satu peninggalan masa pendudukan militer Jepang di Indonesia adalah tonarigumi. Tonarigumi dibentuk untuk merealisasikan keinginan Jepang untuk menarik masa dalam menghadapi perang. Tonarigumi memiliki peran besar bagi Jepang untuk dijadikan senjata dalam menduduki Indonesia. Lembaga ini didasari asas gotong royong yang saat itu digunakan pemerintah untuk mengendalikan dan mengontrol masyarakat. Tonarigumi memberi dampak postitif dan negatif bagi Indonesia. Artikel ini menjelaskan secara rinci awal mula, fungsi dan penyebaran dari tonarigumi. Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan dengan metode deskriptif analisis. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa masa kependudukan militer Jepang di Indonesia berperan besar dalam sejarah terbentuknya tonarigumi dan menjadi salah satu peninggalan penting pendudukan militer Jepang di Indonesia.

ABSTRACT
Japan take control Indonesia from 1942 to 1945 with the aim of expanding its military power in Asia. One of the remains of the Japanese military occupation in Indonesia was tonarigumi. Tonarigumi was formed to realize Japan s desire to attract time in the face of war. Tonarigumi has a big role for Japan to be used as a weapon in occupying Indonesia. This institution is based on the principle of mutual cooperation which was then used by the government to control the community. Tonarigumi has a positive and negative impact on Indonesia. This article explains in detail the origin, function and spread of tonarigumi. This research is a study of literature with descriptive analysis method. The results of this study reveal that the period of Japanese military occupation in Indonesia effect in the history of the formation of tonarigumi, and became one of the important remains of Japanese military occupation in Indonesia."
Lengkap +
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
M. Mossadeq Bahri
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rahman
"ABSTRAK
Artikel ini bertujuan membahas mengenai Morotai sebagai pulau pertempuran antara Tantara Pendudukan Jepang dengan tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat, yang dibantu Inggeris, Belanda, dan Australia dalam perang pasifik (1944-1945). Pertempuran Morotai adalah bagian dari Perang Pasifik yang merupakan rangkaian terakhir dari Perang Dunia II (1939-1945).Topik ini sengaja dipilih dalam riset dan penulisan artikel ini disebabkan karena ternyata Morotai terlihat belum mendapatkan perhatian dari para sejarawan baik dalam dalam maupun luar negeri dalam kaitannya dengan Perang Pasifik yang menjadi rangkaian Perang Dunia II. Berbeda halnya dengan pulau-pulau lain di dunia yang sudah banyak diceritakan dalam sejarah perang terkait Perang Pasifik misalnya Hawaii, Okinawa, Davao, Sakalin, Mansuria, dan sebagainya. Di dalam Sejarah Nasional Indonesia, Morotai sebagai pulau pertempuran dalam Perang Pasifik yang terintegrasi dengan Perang Dunia II belum pernah dibahas. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya tidak mengenal peran penting pulau ini dalam sejarah. Sesungguhnya, Pulau Morotai di Maluku Utara telah menjadi saksi bisu peristiwa Pertempuran Morotai dari awal hingga akhir. Dapat dicontohkan misalnya dalam peristiwa awal invasi Jepang pada 1944 hingga menyerahnya kepada Sekutu di pulau ini pada 1945 yang menandai berakhirnya Perang Dunia II. Berbagai jenis artefak dalam berbagai ukuran terkait Pertempuran Morotai masih dapat ditemukan hingga hari ini di hampir seluruh tempat di Morotai misalnya: pistol, senapan mesin, peluru, serta berbagai jenis alat peledak lainnya. Di samping itu terdapat pula berbagai jenis bangkai kendaraan perang seperti mobil, kapal, dan pesawat tempur, baik yang ada di permukaan tanah maupun yang ada di dasar laut. Artifak-artifak itu menjadi material culture terjadinya peristiwa perang modern dalam sejarah militer dunia yang berlokasi di Kawasan Timur Indonesia, yakni Maluku Utara, yang disebut sebagai Kawasan "bibir Pasifik", karena wilayahnya berbatasan dengan lautan pasifik di ujung utara propinsi ini. Dalam penelitian dan penulisan artikel ini digunakan Metode dan metodologi Sejarah. Sumber, bahan, dan data utama yang digunakan dalam artikel ini adalah berasal dari studi-studi pustaka dan pengamatan lapangan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: faktor-faktor apa yang menyebabkan pulau Morotai menjadi basis pertempuran antara Jepang dan Sekutu dalam Perang Pasifik 1944-1945; Bagaiman proses jalannya pertempuran di antara keduanya; Bagaimana proses akhir dari pertempuran itu. Dampak apa saja yang ditimbulkannya; dan bagaimana posisi Maluku Utara dan Indonesia pada akhir pertempuran itu inilah lima pertanyaan yang akan dijawab dalam artikel ini."
Lengkap +
Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018
790 ABAD 2:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fadel Muhammad
" ABSTRAK
Pada masa modern, pembangunan pangkalan militer di luar wilayah negaranya masih dilakukan oleh beberapa negara. Hal itu dilakukan sebagai bentuk perwujudan kerjasama pertahanan yang dilakukan antar negara ataupun organisasi internasional. Permasalahan yang kerap timbul ialah tentang penegakkan yurisdiksi kepada personel militer yang bertugas di pangkalan militer tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibentuklah perjanjian bilateral antara negara pihak yang salah satunya berfungsi untuk menentukan yurisdiksi yang berlaku terhadap suatu pelanggaran hukum. Namun demikian, tidak setaranya posisi negara saat pembentukan perjanjian tersebut mempengaruhi proses pemberlakuan yurisdiksi. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesepakatan internasional mengenai perjanjian bilateral yang harus mengatur yurisdiksi tersebut. Oleh karenanya, perlu dibentuk model perjanjian bilateral tentang status personel yang disepakati secara internasional untuk memastikan keadilan dan kesamarataan posisi antara negara-negara yang terlibat dalam pembangunan pangkalan militer asing di suatu negara.
ABSTRACT In the modern era, the establishment of foreign military bases outside the of its teritory is still practiced by some states. The establishment itself is seen as a form of the embodiment of mutual defense that is being done between states or international organizations. The intermittent issue related to it is about the enforcement of jurisdiction toward the on duty military personnels in military bases. In order to cope with the issue, bilateral agreement between states is formed to determine the applicable jurisdiction when violation of the law happens. However, the unequal position between the states when the agreement is formed affects the practices of the enforcement of jurisdiction. The issue arises since there is no international apperception about which party that is able to assign the jurisdiction. Thereupon, the condition shows that it is required to form an internationally accepted model of bilateral agreement about the status of forces to ensure the equity and equality position between states involving in establishment of foreign military bases in one state. "
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S63575
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>