Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147503 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mila Maidarti
"ABSTRAK
Nama : Mila maidartiProgram studi : Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi IIJudul : Pengaruh paclitaxel terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium mencit in vitro Pada penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa pengobatan paclitaxel pada tikus betina tidak mengurangi kesintasan folikel preantral dengan hanya folikel antral yang terpengaruh, sementara penelitian lain secara in vivo melaporkan bahwa paclitaxel juga mempengaruhi folikel preantral. Meskipun, pada penelitian dengan kultur in vitro pada jaringan ovarium paclitaxel menginduksi apoptosis folikel primer, pengaruhnya secara langsung terhadap kultur folikel tunggal belum diketahui. Pada penelitian ini kami melakukan penilaian pengaruh paclitaxel terhadap perkembangan dan pertumbuhan folikel dan maturasi oosit pada mencit jenis BDF-1 usia 14 hari. Sebanyak dua puluh sampai 30 folikel sekunder diameter 100 ndash;130 ?m, diisolasi secara mekanik dari ovarium 3-5 mencit. Folikel dari 8 percobaan yang dilakukan secara independen, dengan 11-26 folikel per kelompok, dikultur secara individual selama 12 hari. Folikel dikultur secara individu dalam medium ?-Minimum essential medium ?-MEM yang ditambahkan rekombinan hormon Follicle stimulating hormone FSH pada suhu 37oC pada atmosfer dengan kelembababan yang cukup dan 5 CO2. Folikel dibagi secara acak kedalam kelompok kontrol dan perlakuan n = 20 folikel/group . Pada kelompok perlakuan folikel dikultur pada medium yang sudah mendapat perlakuan dengan paclitaxel 2.5x10-9 M , yaitu konsentrasi berdasarkan Inhibitory concentration 50 IC 50 kultur sel kanker payudara MCF- 7 dan satu konsentrasi lebih tinggi dan lebih rendah. Setiap hari keempat dari kultur, dilakukan penggantian 30 ?l medium, dan penilaian pertumbuhan, morfologi dan kesintasan folikel. Penilaian terhadap maturasi oosit dilakukan pada akhir kultur, dilanjutkan dengan penilaian imunohistokimia ?-tubulin oosit. Pada kultur yang terpisah, kami juga melakukan penilaian expresi gen apoptosis yang terlibat pada kematian sel terprogram yaitu rtPCR mRNA GDF-9, Bcl2, Bax dan PCNA pada hari ke 4,8 dan 12. Dibandingkan dengan kontrol, penambahan paclitaxel pada medium kultur mengurangi laju pertumbuhan folikel, dan kesintasan folikel antral. Terdapat kecenderungan penurunan jumlah oosit matur pada kelompok perlakuan dengan paclitaxel, namun tidak berbeda bermakna. Paclitaxel menginduksi ekspresi GDF- 9 pada kultur folikel awal. Ekspresi BCl-2 meningkat pada hari ke-8 kultur, sementara ekspresi Bax cenderung konsisten. Begitu juga halnya dengan ekspresi PCNA mRNA, kecuali pada kultur hari ke-12 dimana ekspresinya pada kelompok perlakuan cenderung meningkat dan bermakna secara statistik. Keterbatasan penelitian adalah bahwa penelitian ini dirancang terbatas pada folikel sekunder dan athral, dan tidak memungkinkan penilaian pengaruh paclitaxel terhadap folikel tahap perkembangan lebih awal seperti pada folikelprimordial dan primer. Implikasi yang lebih luas adalah bahwa pada penelitian ini menunjukkan bahwa toksisitas paclitaxel terhadap ovarium terbatas pada folikel matur atau folikel antral. Key words: Paclitaxel, perkembangan folikel, kultur in vitro

ABSTRACT
Name Mila maidarti Study program Subspecialist of Obstetrics and GynecologyTitle Effects of paclitaxel on ovarian follicle growth anddevelopment in vitro It was previously found that paclitaxel treatment in female mice did not reduce pre antral follicles survival with only antral follicles affected, while other in vivo studies reported that paclitaxel also affect pre antral follicles. Though, in ovarian culture, paclitaxel induced apoptosis of the primary follicles, it rsquo s effects on single in vitro follicles culture is not known. In this study, we have investigated the effects of paclitaxel on ovarian follicle development and oocyte developmental competence in prepubertal 14 day old BDF1 female mice. Twenty to 30 early secondary follicles diameter 100 ndash 130 m, were mechanically isolated from an ovary of three to five mice. Follicles from 8 independent experiments, with 11 26 follicles per group, were cultured individually for 12 days. Individual follicles were cultured in alpha minimum essential medium supplemented with recombinant human FSH at 37oC in a humidified atmosphere of 5 CO2 in air. Follicles were randomly assigned into control and experimental groups n 20 follicles group of medium containing paclitaxel with the concentration based on IC 50 breast cancer cell line MCF 7, 2.5x10 9 M and one magnitude lower and higher. Every fourth day, 30 l of the medium was changed, follicular growth, morphology and survival were assessed. Meiotic maturation of the oocytes were analyzed at the end of culture continued by the assessment of immunohistochemistry for tubulin of the oocytes. In separate culture, we investigated the rtPCR mRNA expression of GDF 9, Bcl2, and bax on the day 4, 8, and 12th of culture. Compared with control, paclitaxel treatment reduced follicular growth, and survival rate of the antral follicles p le 0.05 . Decreasing tendency on oocyte maturation was showed in follicles exposed to paclitaxel, but it was not significantly difference. Paclitaxel treatment induced GDF 9 expression in early follicular culture. Bcl2 was up regulated on the day 8 of cultur, while bax expression tended to be consistent p ge 0.05 . PCNA mRNA level was tended to be consistent, except for the day 12 that was higher significantly in paclitaxel group. Limitations and reasons for caution is that this study designed is limited to secondary and athral follicles , it does not allowed the investigation of the early stage follicles development, primordial and primary follicles. Wider implications of the findings that this study indicated that ovarian toxicity of paclitaxel would be confined to the antral follicles. Key words Paclitaxel, follicles development, in vitro culture "
2016
T55647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virginia Septiani
"Latar Belakang: Seiring berkembangnya teknologi dan informasi di seluruh dunia, pemakaian tenaga listrik di berbagai negara, termasuk Indonesia, semakin meningkat. Tanpa disadari, hal tersebut mengakibatkan peningkatan pemajanan medan elektromagnet extremely low frequency (ELF) pada kehidupan manusia. Hal tersebut menyebabkan banyak kelainan pada tubuh manusia, termasuk pengaruh terhadap sistem reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pemajanan medan elektromagnet ELF dengan perubahan jumlah folikel ovarium melalui mencit sebagai model.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental dengan hewan coba, yang merupakan bagian dari penelitian eksperimental lain yang lebih besar. Kelompok yang digunakan terdiri dari 6 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang masing-masing terdiri dari 3 generasi. Penelitian ini membandingkan jumlah folikel ovarium antara mencit kontrol dan perlakuan dari generasi satu sampai generasi tiga serta melihat efek akumulasi pemajanan medan elektromagnet dengan membandingkan jumlah folikel ovarium antar generasi dalam kelompok perlakuan. Data folikel ovarium mencit diperoleh dengan melihat sediaan di bawah mikroskop cahaya untuk menghitung jumlah folikel primer, sekunder, tersier, de Graaf, dan atresia (primer, sekunder dan tersier).
Hasil: Terdapat perbedaan jumlah folikel sekunder yang bermakna (p < 0.05, uji t tidak berpasangan) pada kelompok perlakuan dan kontrol generasi pertama, serta terdapat perbedaan jumlah folikel tersier yang bermakna (p < 0.05, uji Mann-Whitney) pada kelompok perlakuan dan kontrol generasi pertama. Sedangkan perbedaan jumlah folikel primer dan folikel de Graaf serta folikel atresia pada kelompok perlakuan tidak bermakna. Begitu pula dengan efek akumulasi pemajanan ( p > 0.05, ANOVA 1 arah dan Kruskal Wallis).
Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya penurunan jumlah folikel sekunder dan tersier yang bermakna. Sedangkan penurunan jumlah folikel primer dan folikel de Graaf serta peningkatan folikel atresia pada kelompok perlakuan tidak tebukti, begitu pula dengan efek akumulasi pemajanan.

Background: The usage of electricity in various countries including Indonesia has been increasing, along with the development of information and technology in the world. Without realizing it, the exposure of extremely low frequency-electromagnetic field on human life is increasing rapidly. This could bring up a lot of abnormalities in human body, including the influence of the electromagnetic field in the reproductive system. This research aims to determine the relationship between extremely low frequency-electromagnetic field exposures on changes of number of ovarian follicle with mice as a model.
Method: The design of this research is experimental design study with laboratory animals, which was part of a bigger experimental research. The mice take divided into 6 groups which were group of control and treatment each consisting of 3 generations. It compared the number of ovarian follicle between control and treatment mice from first generation to third generation and sees the effect of the accumulation electromagnetic field exposure which compares the number of ovarian follicle inter-generation in the treatment group. Mice ovarian follicle data obtained from observing the sample under light microscope to count the number of primary, secondary, tertiary, de Graaf, and atretic (primary, secondary and tertiary) follicle.
Result: There is significant difference in the number of secondary follicles between first generation of treatment and control group (p < 0.05, independent-unpaired-t-test). The significant difference is also found in the number of tertiary follicles between first generation of treatment and control group (p <0.05, Mann-Whitney test). The difference between the number of primary, de Graaf follicles, and atretic follicle in treatment is found not significant. The effect of accumulation in treatment is also found not significant (p > 0,05, One-Way-Anova and Kruskal Wallis).
Conclusion There was a significant decrease in the number of secondary and tertiary follicles. However the decrease in the number of primary follicle and de Graaf follicle, and the increase of atretic follicle in the treatment group were not proved, as well as the effect of the exposure accumulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tricia Dewi Anggraeni
"Kanker ovarium memiliki mortalitas mencapai 70%, dan 85% dari pasien yang datang pada kondisi stadium lanjut. Sebanyak > 80% pasien stadium lanjut merespons pada kemoterapi lini pertama yang menggunakan obat berbasis platinum, namun median kesintasan bebas penyakitnya (disease-free survival) hanya mencapai 18 bulan, sebagian besar merupakan pasien kambuh, dan tidak merespons pada kemoterapi lini berikutnya. Pada moda moda kemoresistensi, yang paling dapat diintervensi adalah adanya sel punca kanker (CSC) pada jaringan kanker ovarium pasien. Kemoresistensi pada CSC memiliki beberapa mekanisme berbeda, salah satunya adalah tingginya aktivitas protein ATM dan ATR yang dapat bersifat kompetitif terhadap obat berbasis platinum dalam berikatan dengan DNA. Selama ini, telah banyak penelitian eksperimental yang menarget CSC kanker ovarium, namun penelitian terbaru menggunakan RNA microarray menemukan bahwa gen ADAM19 diekspresikan secara eksklusif pada CSC kanker ovarium sehingga dapat digunakan sebagai marker spesifik. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mengeksplorasi kemoresistensi pada CSC kanker ovarium dari jaringan segar pasien dan korelasinya dengan ekspresi gen ATM dan ATR, serta mengonfirmasi ekspresi gen ADAM19 sebagai marker spesifik subpopulasi CSC kanker ovarium yang dipilah menggunakan metode MACS dengan penanda CD133. Dari 67 pasien subjek penelitian yang diambil dan dikultur jaringan metastasisnya, dua di antaranya dapat dikultur tanpa batas, menghasilkan kultur dengan dominan sel epitel, dan tidak mengalami senescence. Setelah itu, sel-sel kultur dipilah menggunakan MACS dengan penanda CD133 untuk mendapatkan CSC, kemudian diuji menggunakan metode pembuatan sferoid, RT-qPCR, dan uji kemoresistensi. Dari pembentukan sferoid yang dilakukan pada tiga jenis sel yang digunakan, yakni lini sel SKOV3, serta kultur primer OV1 dan OVM1, ditemukan secara konsisten bahwa jumlah sferoid yang didapatkan pada kultur CSC CD133+ lebih banyak dibandingkan main population (MP) dan CD133-. Dari RT-qPCR juga ditemukan secara konsisten bahwa seluruh ekspresi gen ATM, ATR, NANOG, ADAM19, Ki-67, dan kaspase-3 pada CSC CD133+ lebih tinggi dibandingkan MP dan CD133. Pada uji kemoresistensi terhadap kemoterapi karboplatin, didapatkan bahwa sel CD133+ juga lebih kemoresisten dibandingkan dengan MP dan CD133-. Berdasarkan uji korelasi Spearman Rho, ekspresi gen ATM dan ATR berkorelasi positif sedang menuju sangat kuat dengan sifat kemoresistensi terhadap karboplatin. Pada akhir penelitian, disimpulkan bahwa CSC dengan CD133+ memiliki kemampuan proliferasi yang lebih tinggi dengan ekspresi gen Ki-67 yang meningkat, memiliki stemness yang lebih kuat terlihat pada ekspresi gen Nanog-nya yang lebih tinggi, dan memiliki kemampuan kemoresistensi yang lebih besar ditunjukkan oleh ekspresi gen ATM dan ATR-nya yang tinggi serta berkorelasi positif dengan hasil uji kemoresistensi.

Ovarian cancer has a mortality rate of up to 70% where 85% of patients present at an advanced stage. More than 80% of advanced stage patients respond to first-line chemotherapy using platinum-based drugs, but the median disease-free survival is only 18 months. Most patients relapse, and do not respond to subsequent lines of chemotherapy. In the chemoresistance modes, the easiest way to intervene is through the presence of cancer stem cells (CSC) in the patient's ovarian cancer tissue. Chemoresistance in CSC has several different mechanisms, one of which is the high activity of ATM and ATR proteins that can be competitive against platinum-based drugs in binding to DNA. So far, there have been many experimental studies targeting ovarian cancer CSCs, but a recent study using RNA microarray found that ADAM19 gene expression is expressed exclusively in ovarian cancer CSCs so that it can be used as a specific marker. Therefore, this study aimed to explore chemoresistance in ovarian cancer CSC from fresh patient’s tissue and its correlation with ATM and ATR gene expression, as well as to confirm ADAM19 gene expression as a specific marker for ovarian cancer CSC subpopulations sorted using the MACS method with the CD133 marker. Out of 67 patients who were the subjects of the study, the samples were taken and cultured for their metastatic tissues, 2 of them could be cultured indefinitely, could produce cultures with a predominance of epithelial cells, and did not experience senescence. After that, the culture cells were sorted using MACS with the CD133 marker to obtain CSC, then tested using the spheroid preparation method, RT-qPCR, and chemoresistance test. From the spheroid culture performed on the 3 types of cells used, namely the SKOV3 cell line, as well as OV1 and OVM1 primary cultures, it was found consistently that the number of spheroids obtained in CD133+ CSC cultures was higher than the main population (MP) and CD133-. From RT-qPCR it was also found consistently that all genes expression ATM, ATR, NANOG, ADAM19, Ki-67, and Caspase-3 in CD133+ CSCs were higher than MP and CD133. In the chemoresistance test to carboplatin chemotherapy, it was found that CD133+ cells were also more chemoresistant than MP and CD133-. Based on the Spearman Rho correlation test, ATM and ATR gene expression had a moderately strong positive correlation with chemoresistance to carboplatin. At the end of the study, it was concluded that CSCs with CD133+ had a higher ability to proliferate with increased expression of the Ki-67 gene, had stronger stemness as seen in the higher expression of the NANOG gene, and had greater chemoresistance ability as indicated by the expression of the ATM gene. and high ATR and positively correlated with chemoresistance test results."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quamila Fahrizani Afdi
"Latar Belakang: Respon ovarium setelah stimulasi ovarium terkendali (SOT) merupakan salah satu langkah penting untuk menentukan kesuksesan Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) terutama Fertilisasi In Vitro (FIV). Melalui SOT dapat terlihat seberapa banyak oosit yang dapat digunakan dalam TRB. Kelompok perespon buruk memiliki respon ovarium yang tidak normal dan memiliki angka kegagalan kehamilan yang tinggi terkait dengan penurunan kualitas dan juga kuantitas oosit. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh berbagai faktor (usia, IMT, endometriosis, dan riwayat pembedahan di daerah ovarium) terhadap respon ovarium pada FIV, sehingga konseling untuk pencegahan serta pertolongan secepatnya dapat diberikan pada kelompok yang berisiko menjadi perespon buruk. Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan desain cross sectional retrospektif yang menggunakan data sekunder dengan tujuan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang memengaruhi respon ovarium di Klinik Yasmin, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam 5 tahun (2013 sampai dengan 2017). Dipakai dua definisi perespon buruk, setelah suatu prosedur SOT, dalam penelitian ini yaitu berdasarkan jumlah oosit (kriteria Bologna) dan kriteria Poseidon. Hasil: Dari tahun 2013-2017 terdapat 749 pasien yang memenuhi kriteri inklusi. Berdasarkan jumlah oosit yang dihasilkan terdapat 188 pasien (25%) perespon buruk dan 561 pasien (75%) perespon normal. Faktor usia, endometriosis, riwayat operasi di daerah ovarium secara signifikan berhubungan dengan kelompok perespon buruk (p< 0,001), walaupun dalam analisis multivariat hanya usia yang secara signifikan memprediksi perespon buruk (p= 0,004). Berdasarkan kriteria Poseidon, terdapat 262 orang subyek (35%) termasuk dalam kelompok non Poseidon (perespon normal). Terdapat 7 orang (0,9%) sesuai dengan grup  Poseidon 1a, 64 orang (8,5%) termasuk dalam grup Poseidon 1b, 30 orang (4%) dalam kelompok grup Poseidon 2a, 113 orang (15,1%) sesuai dengan grup Poseidon  2b, 73 orang (9,7%) sesuai dengan grup Poseidon 3, dan 200 orang sisanya (26,7%) sesuai dengan grup Poseidon 4. Masing-masing faktor memiliki pengaruh tersendiri terhadap grup Poseidon. Endometriosis merupakan determinan yang signifikan untuk grup Poseidon 1 dan 4. Riwayat operasi merupakan determinan signifikan untuk grup Poseidon 2 dan 3, sedangkan peningkatan IMT justru menurunkan risiko seorang wanita masuk kedalam grup Poseidon 3. Endometriosis dan riwayat operasi daerah ovarium tidak dapat dikatakan memiliki hubungan langsung terhadap kelompok Poseidon 1 dan 2 karena adanya variasi individu yang mendasari pembagian kelompok Poseidon tersebut. Kesimpulan: Berdasarkan temuan diatas maka faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam memprediksi respon ovarium seorang wanita setelah SOT pada FIV, karena memiliki pengaruh yang signifikan. Hal tersebut penting sebagai pertimbangan untuk melakukan konseling dan menentukan tatalaksana yang lebih jauh.

Background: The ovarian response after a controlled ovarian stimulation (COS) is one important step to determine the success of assisted reproductive technology (ART), especially In Vitro Fertilization (IVF). Through COS, it can be seen how much oocytes can be used in ART. Poor responders have a bad ovarian response and have a high rate of pregnancy failure associated with a decrease in quality and also oocyte quantity.
Objective: This study aims to see the effect of various factors (age, BMI, endometriosis, and history ovarian surgery) on the ovarian response in IVF, therefore counseling for prevention and management can be given for those who has the risk to become a poor responder.

Methods: This is a retrospective cross-sectional research that uses secondary data with the aim to determine the relationship of factors that affecting ovarian response at Yasmin Clinic, Dr. Hospital. Cipto Mangunkusumo Jakarta in 5 years (2013 to 2017). Two definitions of poor response were used (after a COS procedure) in this study; based on the number of oocytes (Bologna criteria) and Poseidon criteria. Results: From 2013-2017 there were 749 patients who met the inclusion criteria. Based on the number of oocytes produced there were 188 patients (25%) poor responder and 561 patients (75%) normo responder. Age, endometriosis, and history of ovarian surgery were significantly associated with a poor response group (p <0.001), although in the multivariate analysis only age that significantly predicted poor response (p = 0.004). Based on Poseidon criteria, there were 262 subjects (35%) included in the non Poseidon group (normo responder). There were 7 people (0.9%) according to the Poseidon 1a group, 64 people (8.5%) included in the Poseidon 1b group, 30 people (4%) in the Poseidon 2a group, 113 people (15.1%) according with the Poseidon 2b group, 73 people (9.7%) according to the Poseidon 3 group, and the remaining 200 people (26.7%) in accordance with the Poseidon group 4. Each factor has its own influence on the Poseidon group. Endometriosis is a significant determinant for the Poseidon group 1 and 4. The surgical history is a significant determinant for the Poseidon group 2 and 3, while an increase in BMI actually decreases the risk of a woman entering the Poseidon group 3. Endometriosis and surgical history cannot be said to have a direct relationship with the group Poseidon 1 and 2 because of individual variations underlying the division of the Poseidon group.

Conclusions: on the findings above, these factors become important in predicting a woman's ovarian response after SOT on IVF, due to their significance effect. This becomes important as a consideration for counseling and deciding better management.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Sandi Sumardi Wiranegara
"Kanker ovarium masih menempati urutan kedua terbanyak dalam keganasan ginekologi dan merupakan penyebab utama kematian akibat kanker pada perempuan. Banyak bukti menunjukkan bahwa kanker ovarium umunya dalam pengaruh stress oksidatif. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas stress oksidatif melalui pengukuran enzim Superoxide Dismutase (SOD) dan kadar Malondialdehyde (MDA) pada penderita keganasan ovarium dibandingkan dengan penderita tumor jinak ovarium. Penelitian dilakukan dengan uji potong-lintang yang dilaksanalan di Ruang Rawat Kebidanan Ginekologi RSCM Jakarta, RS Persahabatan Jakarta dan RS Fatmawati Jakarta pada Juli hingga Desember 2018. Seluruh penderita keganasan ovarium dan penderita tumor jinak ovarium yang memenuhi kriteria diikutsertakan dalam penelitian ini. Darah penderita tumor ovarium diambil sebelum dilakukan operasi, lalu sampel dilakukan pengukuran kadar SOD dan MDA. Terdapat 35 penderita keganasan ovarium dan 43 penderita tumor jinak ovarium yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Rerata atau median kadar SOD dan MDA pada penderita keganasan ovarium adalah 1,23 (0,24-5,709) dan 0,803 ± 0,316 , sementara rerata atau median kadar SOD dan MDA pada penderita tumor jinak ovarium adalah 0,488 (0,101-1,86) dan 0,634 ± 0,266. Terdapat perbedaan kadar SOD dan MDA yang bermakna antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan kadar SOD yang bermakna antara penderita keganasan ovarium stadium awal dengan penderita keganasan ovarium stadium lanjut. Sementara pada pemeriksaan MDA tidak terdapat perbedaan bermakna antara penderita stadium awal dengan stadium lanjut. Kesimpullan pada penelitian ini terdapat perbedaan kadar SOD dan MDA yang bermakna antara penderita keganasan ovarium dengan penderita tumor jinak ovarium.

Ovarian cancer is the leading cause of death due to gynecological malignancies among women. A lot of evidence shows that ovarian cancer is generally influenced by oxidative stress. In this study aims to determine the activity of SOD enzymes and MDA levels in patients with ovarian malignancies and patients with benign ovarian tumors. The study was conducted by cross-sectional tests carried out in the RSCM Jakarta Gynecology Obstetric Room and Persahabatan Hospital Jakarta and Fatmawati Hospital Jakarta in July to December 2018. All patients with ovarian malignancies and patients with benign ovarian tumors who met the criteria were included in this study. Blood from ovarian tumor patients taken before surgery, then the samples were measured for SOD and MDA levels. There were 35 ovarian malignancies and 43 patients with benign ovarian tumors included in the study. The mean or median level of SOD and MDA in patients with ovarian malignancy is 1.23 (0.24 - 5.709) and 0.803 ± 0.316, while the mean or median level of SOD and MDA in patients with benign ovarian tumors is 0.488 (0.101-1.86) and 0.634 ± 0.266. There were significant differences in SOD and MDA levels between the two groups. There were significant differences in SOD levels between patients with early-stage ovarian malignancies and those with advanced ovarian malignancies. While on MDA examination there were no significant differences between patients with early stages with advanced stages. Conclusion in this study were significant differences in SOD and MDA levels between ovarian malignancies and patients with benign ovarian tumors"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erico Wanafri
"Kemoterapi dengan cisplatin merupakan modalitas utama pada terapi pada kanker ovarium, walaupun telah diketahui toksisitasnya pada berbagai organ termasuk ginjal. Kurkumin, senyawa fenolik yang diperoleh dari Curcuma longa, diketahui memiliki efek proteksi pada ginjal akibat cisplatin pada berbagai model toksisitas in vivo. Namun, efek kurkumin pada ginjal dibatasi oleh bioavailabilitasnya yang rendah. Kelompok penelitian kami telah berhasil mengembangkan formulasi kurkumin nanopartikel baru yang telah terbukti memperbaiki efikasi cisplatin pada model kanker ovarium. Namun, belum diketahui apakah formulasi kurkumin nanopartikel ini juga dapat memperbaiki fungsi dan kondisi inflamasi pada ginjal yang disebabkan oleh cisplatin.
Metode Sebanyak 24 ekor tikus Wistar betina dibagi menjadi: 6 ekor tikus normal (sham treatment) dan 18 ekor tikus yang diinduksi menjadi kanker ovarium dengan DMBA. Tikus kanker ovarium dibagi menjadi 3 kelompok masing-masing 6 ekor yang menerima cisplatin 4 mg/kgBB/minggu atau cisplatin 4 mg/kgBB/minggu +kurkumin 100 mg/kgBB/hari atau cisplatin 4 mg/kgBB/minggu + nanokurkumin 100 mg/kgBB/hari. Terapi diberikan selama 4 minggu, kemudian dilakukan terminasi dan diambil darah dan organ ginjal untuk analisis penanda fungsi ginjal dan inflamasi.
Hasil Nanokurkumin dapat menurunkan kadar ureum serum signifikan dibandingkan kelompok cisplatin, namun tidak mempengaruhi kadar kreatinin dan sedikit menurunkan kadar neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL). Nanokurkumin tidak berhasil menurunkan kadar penanda inflamasi: TNF-, IL-1β dan IL-6.
Kesimpulan
Nanokurkumin memiliki kecenderungan untuk memperbaiki beberapa penanda fungsi ginjal dalam darah pada model kanker ovarium yang diberikan cisplatin, namun tidak mempengaruhi kadar penanda inflamasi di ginjal.

The effects of nanocurcumin on kidney function and inflammatory
markers in rat model of ovarian cancer treated with cisplatin
Cisplatin remains the main modality of treatment for ovarian cancer, despite its known toxic effects to various organs, including the kidney. Curcumin, a phenolic compound derived from Curcuma longa, was known to have a renoprotective effect on cisplatin- induced in vivo models. However, the beneficial effect of curcumin on the kidney is limited by its low bioavailability. Our research group has successfully developed a novel curcumin nanoparticle formulation that has been shown to improve the efficacy of cisplatin in ovarian cancer models. However, it is not yet known whether this curcumin nanoparticle formulation can also improve kidney function and inflammatory conditions caused by cisplatin in ovarian cancer models.
Method
A total of 24 female Wistar rats were divided into: 6 normal rats (sham treatment) and 18 rats induced to develop ovarian cancer with DMBA. Ovarian cancer rats were divided into 3 groups of 6 each receiving cisplatin 4 mg/kgBW/week or cisplatin 4 mg/kgBW/week + curcumin 100 mg/kgBW/day or cisplatin 4 mg/kgBW/week + nanocurcumin 100 mg/day. kgBB/day. Therapy was given for 4 weeks, then terminated and blood and kidney were taken for analysis of markers of kidney function and inflammation.
Results
Nanocurcumin lowered serum urea levels significantly compared to the cisplatin group. However, nanocurcumin did not alter creatinine levels and slightly reduced serum neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) concentrations. Nanocurcumin was did not affect the inflammatory markers studied: TNF-, IL-1β and IL-6.
Conclusion
Nanocurcumin has a tendency to improve several markers of kidney function in cisplatin- treated ovarian cancer models. However, the effect was not associated by the alteration of inflammatory cytokines in the kidney.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Rahmat
"Kejadian kolangitis pasca prosedur Kasai (PK) terbukti berhubungan dengan prognosis buruk, dan dilakukannya transplantasi hati dini pada Atresia Bilier (AB). Untuk menyelidiki faktor risiko yang memengaruhi kejadian kolangitis, telah dilakukan penelitian retrospektif pasien AB pasca PK. Suatu penelitian kohort retrospektif, pada anak AB pasca PK yang menjalani perawatan di RSCM. Subjek direkrut dengan metode consecutive sampling pada semua anak usia 0– 18 tahun dengan AB pasca PK sejak Januari 2020 hingga Desember 2023. Beberapa faktor risiko preoperatif pada anak AB yang menjalani PK di antaranya usia saat PK ≥60 hari, infeksi Cytomegalovirus (CMV); kadar gamma-glutamyl transpeptidase (GGT), kadar bilirubin direk, dan kadar alanine aminotransferase (ALT); serta derajat berat fibrosis hati, dan malnutrisi sebelum PK. Faktor-faktor tersebut dikumpulkan dan dianalisis untuk menentukan faktor risiko yang memengaruhi terjadinya kolangitis. Rekam medis yang lengkap dari 82 pasien dievaluasi secara retrospektif. Subjek penelitian sebagian besar perempuan, usia saat menjalani PK berkisar 76 – 90 hari, gizi kurang, dan derajat fibrosis hati F4. Prevalensi kolangitis yang ditemukan 69.5%. Faktor risiko preoperatif kadar ALT dan GGT yang lebih buruk, serta malnutrisi tidak terbukti memengaruhi terjadinya kolangitis pasca PK pada analisis multivariat regresi logistik. Faktor risiko preoperatif kadar ALT dan GGT yang lebih buruk, serta malnutrisi pada anak AB pasca PK tidak terbukti memengaruhi terjadinya kolangitis. Namun kondisi malnutrisi pada pasien sebelum PK cenderung menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian kolangitis pasca PK.

The occurrence of cholangitis after the Kasai procedure (KP) is linked with a poor prognosis and early liver transplantation in Biliary Atresia (BA). To investigate the risk factors influencing the occurrence of cholangitis, we conducted a retrospective study on BA patients after KP. A retrospective cohort study was conducted on post-KP BA children undergoing treatment at RSCM. Subjects were selected using a consecutive sampling method among all children aged 0–18 years with post-KP BA from January 2020 to December 2023. Several preoperative risk factors in AB children undergoing KP, including age at KP≥60 days, Cytomegalovirus (CMV) infection, gamma-glutamyl transpeptidase (GGT), direct bilirubin, and alanine aminotransferase (ALT), as well as the severity of liver fibrosis and malnutrition before KP, were collected and analyzed to determine the risk factors influencing the occurrence of cholangitis. The complete medical records of 82 patients were evaluated retrospectively. The majority of the research subjects were female. The age at which the KP was carried out ranged from 76 – 90 days, and there were indications of poor nutrition and liver fibrosis at level F4. The prevalence of cholangitis was found to be 69.5%. Preoperative risk factors for worse ALT and GGT levels, as well as malnutrition, were not shown to influence the occurrence of cholangitis after KP in multivariate logistic regression analysis. Although preoperative risk factors for worse ALT and GGT levels, as well as malnutrition in BA children after KP, were not proven to influence the occurrence of cholangitis, malnutrition in patients before KP seems to be associated with the incidence of cholangitis after KP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farrasy Ammar
"Latar Belakang: Cisplatin, agen kemoterapi utama dalam terapi kanker ovarium,
memiliki sifat hepatotoksik karena menginduksi stres oksidatif. Kurkumin dapat
meningkatkan kadar atau aktivitas antioksidan endogen seperti enzim superoksida
dismutase dan glutation. Formulasi nanopartikel kurkumin dapat meningkatkan
bioavailabilitas kurkumin dan distribusinya pada organ target. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh nanokurkumin terhadap hepatotoksisitas
akibat cisplatin melalui regulasi antioksidan endogen SOD dan GSH. Metode: 25
ekor tikus galur Wistar betina dibagi ke dalam 1 kelompok sham dan 4 kelompok
model kanker ovarium yang diinduksi DMBA pada penelitian in-vivo ini. Empat
kelompok tersebut adalah kelompok tanpa terapi, cisplatin 4 mg/KgBB
intraperitoneal, cisplatin dengan kurkumin konvensional 100 mg/KgBB per oral,
atau cisplatin dengan nanopartikel kurkumin dalam kitosan 100 mg/KgBB per oral.
Setelah perlakuan selama 1 bulan, hepar tikus diambil dan disimpan beku.
Pengukuran aktivitas SOD, kadar GSH, dan kadar GSSG dilakukan dengan metode
spektrofotometri. Hasil: Uji statistik pada kadar GSH, GSSG, dan aktivitas SOD
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada kelompok ko-kemoterapi
kurkumin konvensional dibanding monoterapi cisplatin (p<0.05). Tidak ada
perbedaan yang bermakna antarkelompok pada rasio GSH/GSSG (p>0.05) dan
tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kedua kelompok ko-kemoterapi pada
semua variabel (p>0.05). Kesimpulan: Kurkumin konvensional dan nanokurkumin
setara dalam meregulasi antioksidan endogen SOD dan GSH pada tikus model
kanker ovarium yang mendapat cisplatin.

Introduction: As the primary chemotherapeutic agent of choice for ovarian cancer,
cisplatin has hepatotoxic properties via oxidative stress induction. Curcumin can
increase the levels and activities of endogenous antioxidants like superoxide
dismutase enzyme and glutathione. Formulation of curcumin nanoparticles
increases its bioavailability and target organ distribution. This research aims to
elucidate the effects of nanocurcumin on cisplatin-induced hepatotoxicity via
regulation of endogenous antioxidants, SOD and GSH. Method: 25 Wistar female
rats were grouped into 1 sham group and 4 DMBA-induced ovarian cancer model
groups in this in-vivo study. Four cancer model groups were further divided into
no-treatment, 100 mg/KgBW intraperitoneal cisplatin therapy, cisplatin with oral
100 mg/KgBW conventional curcumin, and cisplatin with oral 100 mg/KgBW
curcumin nanoparticle in chitosan group. The liver of the rats were taken and frozen
after one month of treatment. Spectrophotometry was used to measure the activities
of SOD, levels of GSH, and levels of GSSG. Results: Statistic tests on levels of
GSH, GSSG, and activity of SOD showed significant increase in the curcumin cochemotherapy
against cisplatin monotherapy (p<0.05). There was no significant
difference within the groups of GSH/GSSG ratio (p>0.05) and no significant
difference was found between the curcumin co-chemotherapy and nanocurcumin
co-chemotherapy groups in all the variables (p>0.05). Conclusion: Conventional
curcumin and nanocurcumin administration are similar in regulating endogenous
antioxidants SOD and GSH on rats with ovarian cancer model treated with cisplatin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuri Feharsal
"Penelitian ini membahas perbandingan performa diagnostik sistem skoring International Ovarian Tumor Analysis (IOTA) dengan Risk of Malignancy Index-4 (RMI-4) dan indeks morfologi Sassone dalam memprediksi keganasan ovarium prabedah. Dilakukan uji diagnostik potong-lintang secara retrospektif dengan pasien neoplasma ovarium di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari hingga Desember 2013. Nilai diagnostik dari keempat metode skoring dihitung dengan luaran: sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif, akurasi dan nilai AUC. Penelitian ini menyimpulkan IOTA simple-rules memiliki performa diagnostik lebih baik dibandingkan IOTA subgroup, RMI-4 dan indeks morfologi Sassone.

This study compared diagnostic performance of scoring system of International Ovarian Tumor Analysis (IOTA) with Risk of Malignancy Index-4 (RMI-4) and Sassone morphology index to predict ovarian malignancy preoperatively. A retrospective study was done involving subject with ovarian neoplasm at National General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo on January to December 2013. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, accuracy and AUC value were calculated. This study concluded that diagnostic performance of IOTA simple-rules were significantly better than IOTA subgroup, RMI-4 and Sassone morphology index."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Rezkini
"Tumor ovarium tipe sel benih merupakan tumor tersering pada anak dan remaja putri. Di Indonesia, tumor ovarium merupakan permasalahan yang cukup berarti karena pasien umumnya datang dalam kondisi stadium lanjut akibat tidak adanya metode skrining yang memadai untuk mendeteksi kasus ini secara dini.
Tujuan: (1) mengetahui jumlah kasus baru tumor ovarium primer tipe sel benih di Jakarta selama tahun 1997-2006; (2) mengetahui proporsi kasus tumor ovarium primer tipe sel benih dengan tumor genitalia perempuan di Jakarta selama tahun 1997-2006; (3) untuk mengetahui proporsi tumor ovarium primer tipe sel benih terhadap tipe lain tumor ovarium primer selama tahun 1997-2006. (4) untuk mengetahui adanya hubungan antara kelompok usia dengan derajat keganasan tumor ovarium primer tipe sel benih.
Metode: Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang pada data sekunder kasus tumor ovarium primer di Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSUPN-CM tahun 1997-2006 dengan uji Chi-Square (p<0,05).
Hasil: jumlah kasus baru tumor ovarium primer tipe sel benih di Jakarta adalah 578 kasus dengan subjek penelitian berasal dari kelompok usia 0-9 tahun hingga 80-89 tahun. Tumor ovarium primer tipe sel benih merupakan 4,79% dari semua tumor genitalia perempuan. Terdapat hubungan yang bermakna (p 0,000) antara kelompok usia dan derajat keganasan tumor ovarium primer tipe sel benih. Tumor sel benih merupakan 25,5% dari semua tumor ovarium primer.
Kesimpulan: terdapat hubungan yang bermakna antara usia pasien dengan derajat keganasan tumor ovarium primer tipe sel benih.

Germ cell ovarian tumour is the most common type of tumour found among children and adolescents in Indonesia. In Indonesia, ovarian tumour has become a major problem since most patients seek medical attention in their late stages because there is no adequate screening method to diagnose ovarian tumour in early stages.
Objectives: (1) To analyze the number of most recent diagnosed primary ovarian germ cell tumour's cases in Jakarta in the period of 1997-2006. (2) To analyze the proportion of primary ovarian germ cell tumours within all female's genital tumours. (3) To analyze the proportion of primary ovarian germ cell tumour within all primary ovarian tumours. (4) to know whether there is a relationship between age group and histological grade in primary ovarian germ cell tumours.
Methods: based on secondary data from RSCM's Department of Pathology and Anatomy, this research was conducted using cross-sectional method with Chi-Square statistical test (p< 0.05).
Result: this research indicates that there were 578 new cases of primary ovarian germ cell tumour, in the RSCM's Department of Pathology and Anatomy for the period of 1997-2006. These cases were distributed among the age group of 0-9 years old until 80-89 years old. The research findings indicates a statistically significant correlation (p<0.000) between the histological grade of primary ovarian germ cell tumour and the patients' age group. Primary ovarian germ cell tumours were found in 4,79% among all the female's genital tumour. Germ cell primary ovarian tumours were 25,5% of all primary ovarian tumours.
Conclusion: there is a strong relationship between histological grade of primary ovarian germ cell tumour and the age of patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09131fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>