Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90041 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nilla Ayu Pratiwi
"Karena perkawinan merupakan perbuatan hukum, putusnya perkawinan pun menimbulkan akibat hukum. Salah satu akibat dari putusnya perkawinan adalah mengenai pembagian harta bersama. Pembagian harta bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai. Dalam hal di dalam gugatan cerai tidak menyebutkan tentang pembagian harta, harus diajukan gugatan baru mengenai pembagian harta setelah putusan cerai dikeluarkan oleh pengadilan. Hal ini menjadikan proses perceraian menjadi lambat dan berlarut-larut. Untuk menyiasatinya, suami istri yang sudah sepakat akan pembagian harta biasanya membuat perjanjian pembagian harta sebelum perceraian. Permasalahan dalam tesis ini yaitu keberadaan pengaturan dan kekuatan mengikat dari perjanjian pembagian harta sebelum perceraian. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dengan data utama yang digunakan yaitu data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Simpulan berdasarkan permasalahan di atas adalah terkait dengan perjanjian pembagian harta sebelum perceraian, tidak ditemukan peraturan yang eksplisit baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Karena tidak dijelaskan dengan gamblang tentang diperbolehkan atau dilarang, maka dapat diartikan perjanjian pembagian harta itu dimungkinkan asalkan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Perjanjian yang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian tentulah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya, dan karenanya bersifat mengikat. Untuk mencegah adanya pihak yang beritikad tidak baik dengan cedera janji di kemudian hari, sebaiknya perjanjian pembagian harta sebelum perceraian dibuat dengan akta notariil dan disampaikan ke pengadilan agar dapat dimasukkan ke dalam putusan pengadilan.

Since marriage is a legal act, legal separation or divorce also creates legal consequences, one of them is the divison of marital property. The division of marital property and divorce can be filed at the same time. When a division of property were not mentioned in the divorce suit, a new lawsuit regarding that matter is needed after divorce judgement issued by the court. This makes the divorce process to be slow and protracted. As a solution, husband and wife who had agreed to the division of property usually make arrangements before the divorce. Problems in this thesis are the existence of regulation and the binding force of a division of marital propery rsquo s agreement before divorce. Library research method is used in conducting the research.
Conclusions based on the problems above are regarding of the division of property agreement before the divorce, there are no explicit regulations either in the Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Undang Undang Perkawinan or Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Perkawinan. Because it is not clearly explained wether it rsquo s allowed or prohibited, it means the division of property agreement was possible as long as it meets the terms of the validity of the agreement. Agreements are made in compliance with the terms of the validity of the agreement would have been valid as legislation for the author, and therefore binding. To prevent tort liability later in the day, preferably division of marital property rsquo s agreement before divorce has to be made by notary and submitted to the court in order to be incorporated into the judgment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47297
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delicia Gemma Syah Marita
"Perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selama perkawinan berlangsung. Permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam tesis ini adalah: Bagaimanakah menggolongkan harta yang diperoleh setelah putusnya perkawinan, Bagaimana akibat hukum dari hata bersama yang belum dilakukan penyelesaian pembagian setelah putusnya perkawinan, dan Bagaimana pertimbangan hukum hakim di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 290/Pdt.G/2013/PN.Mdn. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif.
Hasil penelitian diketahui bahwa:
1. Dalam menggolongkan harta yang diperoleh setelah putusnya perkawinan wajib memperhatikan ruang lingkup harta bersama, diantaranya yaitu harta yang dibeli selama perkawinan, harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama, harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama masa perkawinan, penghasilan harta bersama dan harta bawaan, segala penghasilan pribadi suami istri.
2 Akibat hukum dari harta bersama yang belum dilakukan penyelesaian pembagian setelah putusnya perkawinan adalah, apabila terdapat harta yang tidak dapat dibuktikan perolehannya maka akan tergolong menjadi harta bersama.
3. Dalam hal ini hakim telah mengadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Walaupun tanah sengketa dibeli oleh istri setelah suaminya meninggal, tetapi tanah tersebut dibeli dengan menggunakan hasil keuntungan yang didapat dari usaha bersama dengan suaminya. Maka dari itu harta tersebut otomatis tergolong sebagai harta bersama. Disarankan perlu adanya putusan yang memberikan kepastian hukum mengenai pemilikan harta perkawinan yang diperoleh setelah pasangan hidup meninggal dunia.

A marriage creates a legal implication to the property that is obtained between the two before and throughout the period of marriage. The problem that will be the research focus of this thesis is how to classify the property that is obtained after the end of a marriage What is the legal implication of a community property, which division has not been settled after the end of a marriage And what were the Judge rsquo s legal considerations in the Medan District Court verdict number 290 Pdt.G 2013 PN Mdn This research is a descriptive analytic research with an approach method of yuridis normative.
The result of this research finds that:
1. In classifying property that is obtained after the end of a marriage, it is compulsory to pay attention to the scope of the community property, such as a property that is purchased throughout the marriage a property that is purchased and built after the end of a marriage that is sponsored by a community property a property that can be validated to be acquired throughout the period of marriage income from a community property and innate property all private property of husband and wife.
2 The legal implication of a community property, which division has not been settled after the end of a marriage, if consisted of a property of which acquisition cannot be validated, is to be classified as a community property.
3. In this case, judge has ruled according to the law. Even though the land of dispute was purchased by the wife after her husband was deceased, the land was purchased using the profit obtained by a business that was started together with the husband. Therefore, the property is consequently classified as a community property. It is advised that there should be a ruling, which gives a legal certainty of the ownership of the marital property after the decease of a spouse."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49241
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adennisa Cahya Pramesti
"Pasal 37 UU Perkawinan telah menentukan bahwa apabila perkawinan bubar karena perceraian, maka harta bersama dibagi menurut hukumnya masing-masing. Pasal tersebut memberikan pengertian terhadap apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing, yakni adalah hukum adat, hukum agama, dan hukum-hukum lainnya. Namun permasalahannya adalah hingga saat ini tidak ada ketentuan mengenai bagaimana bentuk pembagian harta bersama tersebut. Tidak jarang masyarakat kemudian memilih untuk membuat suatu kesepakatan mengenai pembagian harta bersama dalam bentuk akta Notaris agar kemudian akta tersebut memiliki nilai autentisitas. Suatu akta Notaris sendiri merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak dan karenanya suatu akta Notaris berkedudukan sebagai perjanjian yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana kedudukan dan dasar hukum akta pembagian harta bersama menurut UU Perkawinan dan KUHPerdata dan bagaimana keabsahan suatu akta pembagian harta sebagai suatu perjanjian berdasarkan studi kasus. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan meneliti bahan kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih terdapat kekosongan hukum mengenai kedudukan akta pembagian harta bersama sebagai suatu perjanjian dalam bidang hukum keluarga sehingga dasar hukum yang dipakai hanya sebatas Pasal 37 UU Perkawinan dan ketentuan hukum perjanjian dalam Buku III KUHPerdata. Kedudukan akta pembagian harta bersama yang disamakan dengan perjanjian, maka Majelis Hakim sudah seharusnya dapat memberikan pertimbangan hukum dalam suatu perkara yang tidak hanya berangkat dari bunyi kesepakatan, melainkan juga harus menimbang bagaimana keabsahan dari kesepakatan itu sendiri. Majelis Hakim memiliki wewenang untuk membatasi asas kebebasan berkontrak dengan berangkat dari nilai-nilai kepatutan, keadilan, dan perikemanusiaan. Dengan demikian, dibutuhkan suatu pembaharuan undang-undang dalam bidang hukum perkawinan agar sekiranya dapat mengisi kekosongan hukum di masyarakat yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang kian kompleks. Wewenang menemukan hukum oleh Hakim sudah seharusnya diterapkan bilamana ada kekosongan hukum. Sekiranya Hakim juga dapat bersikap lebih bijaksana dalam memutus perkara dengan memandang semua aspek agar menghasilkan putusan yang memenuhi rasa keadilan.

Article 37 of the Marriage Law stipulates that if a marriage is dissolved by divorce, the marital property shall be divided according to their respective laws. The article provides an understanding of what is meant by their respective laws, namely customary law, religious law, and other laws. However, the problem is that until now there are no provisions regarding how the form of division of marital property. It is not uncommon for the community to then choose to make an agreement regarding the division of marital property in the form of a Notarial deed so that the deed has authenticity. A Notarial deed itself is a manifestation of the principle of freedom of contract and therefore a Notarial deed acts as a binding agreement for the parties who make it. This research analyzes how the position and legal basis of the deed of division of marital property according to the Marriage Law and Civil Code and how the validity of a deed of division of property as an agreement based on a case study. The research method used is normative juridical by examining literature materials. The results of this study indicate that there is still a legal vacuum regarding the position of the deed of division of marital property as an agreement in the field of family law so that the legal basis used is limited to Article 37 of the Marriage Law and the provisions of agreement law in Book III of the Civil Code. The position of the deed of division of marital property is equated with an agreement, so the Panel of Judges should be able to provide legal considerations in a case that does not only depart from the sound of the agreement, but must also consider how the validity of the agreement itself. Judges have the authority to limit the principle of freedom of contract by departing from the values of decency, justice, and humanity. Thus, it is necessary to reform the law in the field of marriage law so that it can fill the legal vacuum in society in line with the increasingly complex needs of society. The authority to made law by judges should be applied when there is a legal vacuum. If the Judge can also be wiser in deciding cases by looking at all aspects in order to produce a decision that fulfills a sense of justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aya Sofia
"Harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi dua bagian yaitu harta bersama dan harta pribadi. Apabila terdapat pihak yang ingin melakukan tindakan hukum atas harta bersama tersebut, baik oleh suami maupun istri, maka ia haruslah mendapatkan persetujuan dari pasangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”). Tidak terdapat ketentuan lebih rinci yang mengatur sejauh apa persetujuan pasangan harus disyaratkan. Tidak adanya ketentuan tersebut membuat praktik yang dilakukan oleh notaris terkadang berbeda-beda dalam mengklasifikasikan transaksi yang membutuhkan persetujuan pasangan dan mana yang dianggap tidak perlu membutuhkan persetujuan, khususnya mengenai transaksi yang tidak mengakibatkan peralihan kepemilikan atas harta bersama. Berdasarkan latar belakang tersebut, dibuatlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana akibat akta sewa menyewa terhadap objek yang merupakan harta bersama yang dibuat tanpa persetujuan pasangan, dengan studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1111/K/Pdt/2018. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian, dalam melaksanakan ketentuan Pasal 36 UU 1/1974, hakim mensyaratkan adanya persetujuan pasangan bagi suami atau istri yang ingin menyewakan harta bersamanya berupa tanah dan bangunan kepada pihak lain. Persetujuan pasangan ini tetap diperlukan walaupun transaksi tersebut tidak disertai dengan beralihnya kepemilikan harta bersama tersebut. Apabila akta sewa menyewa dibuat tanpa disertai dengan persetujuan pasangan, maka tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 36 ayat (1) UU 1/1974 sehingga akta perjanjian sewa menjadi batal demi hukum dan notaris yang membuat akta tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata berupa pembayaran ganti rugi.

Marital property is divided into joint assets and seperate assets. The definition of joint assets is refered to an asset acquired during the course of a marriage. The consequences as the joint assets, both husband and wife who bring the joint assets as the object of any transaction are obliged to obtain the consent of their spouse as regulated under Article 36 paragraph (1) Law Number 1 Year 1974 regarding Marital Law (“Law 1/1974”). However, there is no definitif regulation which specifically explain to what extend the spousal consent is required. The absent of such regulation resulting different practices by notaries. As the result, we can find for a similar transaction, one notary required a spousal consent while another notary does not. In accordance to those background, the writer makes this research with the aim is to find the legality of deed of lease upon marital property which executed without spousal consent and the responsibility of the notary who made the deed (Case Study: Verdict of Supreme Court Number: 1111/K/Pdt/2018). In this study, the author uses the normative juridical research method using secondary data. Based on the results of the study, the judge required a spousal consent for lease transaction of land and bulding under joint assets conducted by husband or wife. This spousal consent is still required even though there are no transfer ownership in such transaction. In the event that the deed was executed without spousal consent, the deed is become null and void due to the breach of Article 36 paragraph (1) Law 1/1974 and the notary who made the deed may be responsible for indemnity payment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, David Mangapul H.
"Tesis ini membahas mengenai penetapan beberapa penyimpangan terkait persatuan harta kekayaan yang disepakati oleh pasangan suami dan istri, yang dibuat dalam bentuk Perjanjian Kawin, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. dimana sebelum berlakunya Surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Kawin tertanggal 19 Mei 2017, Perjanjian Kawin hanya dapat dibuat sebelum dan pada saat Perkawinan, namun setelah keluarnya Surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri, Perjanjian Kawin dapat dibuat sebelum, pada saat, dan selama perkawinan berlangsung. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah mengenai Penetapan Pengadilan Tangerang Nomor 874/Pdt.P/2017/PN.Tng tertanggal 1 November 2017, yang diperlukan terkait permohonan pencatatan perkawinan yang dicatatkan saat perkawinan dilangsungkan; dan, status harta perkawinan sebelum dan setelah dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode yang digunakan dalam tesis ini adalah Yuridis-Normatif dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Adapun Analisa data dilakukan dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Analisa didasari pada fungsi dari Penetapan Pengadilan terkait pencatatan perjanjian kawin selama perkawinan dilangsungkan setelah dikeluarkannya Surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL dan akibat hukum yang mungkin akan terjadi dari pencatatan perjanjian kawin selama perkawinan berlangsung. Hasil penelitian adalah bahwa pada tanggal 19 Mei 2017, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil telah mengakui adanya pencatatan perjanjian kawin setelah perkawinan dilangsungkan dan tidak mensyaratkan perlunya penetapan dari Pengadilan Negeri, serta akibat hukum dari pencatatan perjanjian perkawinan seperti ini adalah dipenuhinya unsur publisitas menjadikan pihak ketiga ikut tunduk kedalam Perjanjian Kawin.

This thesis discussed the establishment of several deviations regarding wealth affiliation between husband and wife that defined in the Marriage agreement, stated in Article 29 Law No. 1 of 1974 about Marriage. Before the creation of General Director Letter of Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL) No: 472.2/5876/DUKCAPIL on the Report Registration of Marriage Agreement, dated Mei 19th, 2017, marriage agreement could only be created before or on the marriage itself, but after the release of General Director Letter Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL), marriage agreement could be created before the day, on the day and during the marriage ceremony. Therefore, the problem that specified in this thesis is about the stipulation of Tangerang District Court No. 874/Pdt.P/2017/PN.Tng dated November 1st, 2017, about the need for a plea in registering marriage that registered during the marriage ceremony and the status of marriage wealth before and after registered to Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL). To answer the problem, Juridical-Normative method is used with descriptive typology research. The data analysis method that is used is the statute approach and case approach. The analysis were based on the function of the establishment of court regarding the registration of marriage agreement during the marriage ceremony after the letter of General Director of Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL) No: 472.2/5876/DUKCAPIL is issued. And also the law consequences that might happened to the registration of the marriage agreement during the marriage ceremony. The result of this research is that on May 19th, 2017, Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL) is already admitted the registration of marriage agreement during the marriage ceremony and did not give any requirement from the national court. Also, the consequences of the marriage agreement like this are full of publicity that makes the third party should obey the Marriage Agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephany Marisa Endianita
"Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tanpa mempermasalahkan darimana harta tersebut berasal. Jika salah satu pihak ingin mengalihkan harta bersama maka hams mendapat persetujuan dari pasangannya. Hal ini tidak menjadi masalah apabila perkawinan berjalan sesuai dengan maksud dan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk suatu mmah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam kenyataanya perkawinan terkadang tidak berjalan dengan baik sehingga berakhir dengan perceraian. Salah satu akibat dari perceraian yang sering menjadi masalah adalah mengenai pembagian harta bersama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan harta bersama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan akibat hukum dari harta bersama yang tidak dibagi apabila setelah terjadi perceraian salah satu pihak mengalihkan harta bersama tersebut pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2301 KlPdtJ2007 dan putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 552IPdt.G/2013lPn.Dps. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundang-undangan dan buku yang berkaitan dengan perkawinan.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa dalam hal terjadi perceraian mengenai harta bersama diatur menurut hukum yang berlaku pada saat suami istri melangsungkan perkawinan. Jika pembagian harta bersama diajukan ke pengadilan maka Majelis Hakim yang memutus perkara mendasarkan pertimbangan hukumnya pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia karena dalam UU No. 111974 maupun peraturan pelaksanaannya tidak mengatur lebih lanjut mengenai pembagian harta bersama. Akibat dari harta bersama yang tidak dibagi setelah terjadi perceraian dan harta bersama tersebut dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasangannya maka hakim diberikan kewenangan untuk dapat memberikan putusan yang waj ar dan adil.

Marital property is everything earned or acquired by either spouse during marriage regardless of who paid for it. Property jointly owned by husband and wife cannot be diverted nor sold by one without the consent of the other. In this case, marital property would not be a problem at the beginning because the purpose of getting married is to live happily and the love that each other and to the almighty god. But in the event that the marriage has come to an end, the problems after that is who owns what during the marriage.
The objective of this research is to dig deeper about the regulations of marital property in Law Nomor 1 of 1974 concerning Marriage and the consequential damages if the marital property is not properly divided or diverting the status of the property (analyzing Decision of Mahkamah Agung Nomor 2301K1Pdtl2007 and Decision Court Of Denpasar Nomor 552IPdt.G/2013lPn.Dps. This research is using a yuridis normative research method using secondary data, data for this research were collected and obtained by looking through regulations and books about marriage.
On the basis of the result of this research, it can be concluded that if the marriage ends in divorce, the problems about marital property should be solved according to the laws where the marriage took place. However, if either spouse file for marital property distribution the court will decide and considerate, based on the Supreme Court of Republic of Indonesia Juresprudence. Because neither in Law Nomor 1 of 1974 concerning Marriage nor the implementing regulations states on how the marital property should be divided. Therefore, the judge is given the authority to give a fair and acceptable verdict concerning the marital property due to divorce and diverted to other parties without the consent of the other.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43977
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Septiani
"Perjanjian Penanggungan Pribadi (borgtocht) yang dibuat secara di bawah tangan tanpa persetujuan pasangan seharusnya tidak dapat diminta secara penuh penanggungannya. Kebutuhan jaminan penanggungan dalam suatu utang bersifat tambahan (accesoir), tidak akan ada dan akan selalu hidup selama perjanjian pokok masih berjalan. Jaminan tambahan tidak selalu berbentuk jaminan penanggungan, dimungkinkan juga jaminan kebendaan lainnya seperti fidusia, gadai, atau hipotek. Namun, PT DPK sebagai kreditur merupakan perusahaan non ataupun lembaga keuangan tidak dapat meminta jaminan tambahan berupa jaminan kebendaan. Sehingga, secara tidak langsung meminta B untuk menundukkan diri sebagai penanggung secara pribadi, bukan bertindak atas jabatannya sebagai Direktur Utama yang menjamin utang perusahaannya yakni PT CEM. Meskipun terdapat indikasi unsur kesengajaan untuk menjebak B di dalamnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan mengangkat permasalahan terkait perjanjian penanggungan pribadi (borgtocht) yang dibuat atas utang perusahaan menurut peraturan perundang-undangan serta kedudukan hukum perjanjian penanggungan pribadi (borgtocht) di buat di bawah tangan terhadap harta bersama perkawinan. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan mengkaji objek hukum berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta pengumpulan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier melalui studi dokumen. Hasil penelitian ini adalah jaminan penanggungan dapat diberikan oleh siapa saja, baik orang pribadi atau badan hukum. Namun, tidak sembarang yang dapat melakukannya setidaknya harus memenuhi beberapa kriteria penjamin sesuai Pasal 1827 KUHPerdata dan peraturan yang berlaku. Kewenangan dalam bertindak dalam jaminan penanggungan juga harus diperhatikan, jika bertindak secara pribadi seharusnya melibatkan pasangan karena akan berimplikasi terhadap harta bersamanya. Diperlukannya peran notaris yang akan membantu kepastian dan perlindungan hukum atas tindakan hukum para pihak. Selain akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna, notaris juga berkewajiban memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak agar terhindar dari kerugian yang akan diderita.

Personal Guarantee (borgtocht) which privately made deed without the consent of parther or wife, it supposed to be not ask for full coverage. The need for borgtocht in a debt just for additional (accesoir) not primary, will not exist and will always exist as long as the main agreement is still in effect. The additional guarantee will not always ask for borgtocht, it is also possible tto provide other material guarantee such as fiduciary, pledge, or mortgage. However, PT DPK as a creditor, a non-company, or a financial institution, cannot ask for additional collateral in the form of material guarantees. Thus, it indirectly asks B to submit himself as a personal guarantor, instead of acting in his position as President Director who guarantees the debt of his company, namely PT CEM. Although there are indications of an element of deliberate intent to trap B in it. Therefore, this research was carried out by raising issues related to personal guarantee agreements (borgtocht) made for company debts according to statutory regulations and the legal position of personal guarantee agreements (borgtocht) made privately for joint marital assets. This article was prepared using doctrinal research methods by examining legal objects in the form of statutory regulations and court decisions, as well as collecting primary, secondary, and tertiary legal materials through document study. The results of this research are that insurance coverage can be provided by anyone, whether an individual or a legal entity. However, not just anyone can do this, at least they must meet several guarantor criteria by Article 1827 of the Civil Code and applicable regulations. The authority to act as collateral must also be considered. If you act personally, you should involve your partner because it will have implications for their joint assets. The role of a notary is needed which will help ensure legal certainty and protection for the legal actions of the parties. Apart from authentic deeds that have perfect evidentiary power, notaries are also obliged to provide legal counseling to the parties to avoid losses they will suffer."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Noegroho
"Tesis ini membahas mengenai sejauh mana keabsahan pembuatan surat wasiat terbuka yang objeknya merupakan harta bersama yang dibuat tidak dengan persetujuan pasanganannya dan tanggung jawab notaris yang membuat akta hibah wasiat yang dibatalkan karena objeknya merupakan harta bersama yang dibuat tanpa persetujuan pasangannya. Penelitian untuk tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan deduktif, dengan preposis 1 (satu) yaitu premis mayor berupa teori-teori hukum, preposisi 2 (dua) yaitu premis minor berupa analisis putusan pengadilan dan preposis 3 (tiga) yaitu konklusi atau kesimpulan. Dilatarbelakangi adanya kasus terkait notaris yang tersangkut didalam perbuatan melawan hukum karena membuat akta hibah wasiat yang lalai memperhatikan bahwa objek hibah wasiat merupakan harta bersama yang didapat selama perkawinan dan untuk pengalihan objek tersebut memerlukan persetujuan pasangannya atau kawan kawinnya. Berdasarkan hasil penelitian, notaris bertanggung jawab bila terjadi pembuatan akta hibah wasiat yang objeknya harta bersama namun dibuat tanpa persetujuan pasangannya dan tergolong sebagai perbuatan melawan hukum. Meskipun secara perdata, hibah wasiat tersebut tetap berlaku keabsahannya, karena merupakan kehendak terakhir dari pewaris.

This thesis discusses the extent to which the validity of making an "open will" who's the object is a joint asset made not with the consent of its partner and the responsibility of a notary who makes "a will" be canceled because the object is joint property made without the partner's consent. The research for this thesis uses a normative juridical research method with a deductive approach, with preposition 1 (one) which is the major premise in the form of legal theories, preposition 2 (two), namely the minor premise in the form of court decision analysis and 3 (three) prepositions, namely conclusions. Against the background of a case related to a notary who was involved in an act against the law for making a testamentary testament deed which neglected to consider that the object of the testament is a joint asset obtained during marriage and for the transfer of the object requires the approval of his spouse. Based on the results of the study, the notary is responsible for making a testamentary deed that the object is joint property but made without the consent of their spouse and is classified as an act against the law. Even though civilly of "the will" is still valid, because it is the last will of the testator."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Perceraian dari perkawinan campuran mempunyai akibat
lebih luas dibandingkan perceraian dari perkawinan pada
umumnya. Sebelum Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006, anak
dari hasil perkawinan campuran tidak mendapatkan
perlindungan hukum dari negara, apalagi bila perkawinan
dilakukan antara laki-laki warga negara asing dengan wanita warga negara Indonesia. Dengan dikeluarkannya Undang-undang kewarganegaraan maka bagaimanakah akibat terhadap anak dan harta bersama dari perkawinan campuran apabila terjadi perceraian. Penulisan pada kali ini berjudul tinjauan yuridis akibat perkawinan campuran terhadap status anak dan harta bersama dari perkawinan campuran dengan menggunakan metode kepusatakaan yang bersifat normatif dengan jenis penelitian menarik asas hukum untuk mendapatkan gambaran menyeluruh terhadap permasalahan yang diteliti. Juga menganalisa putusan Mahkamah Agung nomor 430 PK/PDT/2001 untuk lebih memudahkan dalam pembahasannya. Setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006, maka anak
dari perkawinan campuran berhak mendapatkan dwi
kewarganegaraan terbatas, yaitu kewarganegaraan dari ayah
dan ibu secara bersama-sama sampai usia 18 (delapan belas) tahun atau telah kawin. Pembagian harta bersama untuk benda tidak bergerak, yaitu berupa tanah hak milik tidak dapat dimiliki suami atau istri yang berkewarganegaraan asing kerana adanya asas kebangsaan yang dianut dalam Pasal 1 jo Pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Berdasarkan hal tersebut, maka Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 lebih memberikan perlindungannya kepada warga negaranya khususnya
kepada wanita dan anak-anak dibandingkan dengan Undangundang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 dapat berjalan efektif apabila dilakukan menurut ketentuan yang berlaku dan tidak adanya penyalahgunaan baik oleh petugas maupun masyarakat."
[Universitas Indonesia, ], 2007
S21285
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Astuti
"Skripsi ini membahas mengenai persetujuan suami atau istri dalam pembebanan jaminan Hak Tanggungan terhadap harta bersama, di mana yang menjadi pokok permasalahannya adalah bagaimana ketentuan perundang-undangan, dalam hal ini UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, mengaturnya dan bagaimana akibat hukumnya jika persetujuan suami atau istri tersebut tidak terpenuhi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dan tipe penelitian deskriptif-analitis. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas atas perjanjian kedua belah pihak. Namun, ternyata dalam Putusan-Putusan Mahkamah Agung terdapat perbedaan pertimbangan hukum atas hal tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa ternyata dalam praktik peradilan, dalam hal ini Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung, dalam putusan-putusannya memungkinkan bahwa persetujuan suami atau istri dapat dianggap ada jika utang yang dibuat adalah untuk kepentingan keluarga.

This undergraduate thesis describes about the spouse consent to encumber collateral mortgage on marital community of property, in which the main issues in this research is how the statutory provisions, in this case the Law No. 1 of 1974 about Marriage, set it up and how the legal consequences if the spouse consent is not fulfilled. This research is legal research, which uses a form of juridical- normative research and a type of descriptive-analytics research. Based on Article 36 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 stated that regarding marital community of property, husband or wife can act upon the agreement of both parties. However, it turns out in the Decisions of the Supreme Court that there are different legal considerations on the matter. This research finds out that in judicial practice, in this case the District Court, the High Court, and the Supreme Court, there are the Court Decisions which states that the spouse consent is possible to be considered exist if the debt is made for the family interests."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44979
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>