Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155634 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elfina Rachmi
"Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di Departemen Radioterapi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar asam lemak omega-3 terhadap massa otot dan kekuatan genggam pada subjek kanker kepala leher yang mendapatkan radioterapi. Kaheksia kanker sering terjadi pada kanker kepala leher akibat peningkatan sitokin proinflamasi yang menyebabkan hipermetabolisme, peningkatan kebutuhan nutrisi, anoreksia, penurunan massa otot dan berat badan. Asam lemak omega-3 berperan dalam menurunkan inflamasi, meningkatkan massa otot, dan kekuatan genggam. Dari 52 subjek yang sudah mendapatkan radioterapi ge;25 kali, 57 adalah laki-laki dengan rerata usia di atas 50 tahun. Lokasi kanker paling banyak di area nasofaring, sebagian besar sudah berada pada stadium IV dan mendapatkan kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Sebesar 38,5 dan 32,7 subjek berada pada kategori indeks massa tubuh normal dan kurang. Data yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan gambaran kurangnya asupan energi, protein, lemak, dan asam lemak omega-3, serta massa otot sebagian besar subjek yang tergolong kecil 28,4 4,7 , dengan kekuatan genggam sebagian besar subjek tergolong normal, dan kadar asam lemak omega-3 plasma seluruh subjek yang tergolong rendah 2,5 0,8 . Data tersebut menunjukkan adanya masalah nutrisi pada pasien kanker kepala leher. Terdapat korelasi yang kuat antara kadar asam lemak omega-3 plasma terhadap massa otot r =0,6, p 50?60 Gy dan 50 Gy.

This cross sectional study conducted in the Department of Radiotherapy Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, aimed to investigate the correlation between omega 3 fatty acids plasma levels with muscle mass and hand grip muscle strength in subjects with head and neck cancer undergoing radiotherapy. Cancer cachexia is common in head and neck cancer as a result of the increasing of proinflammatory cytokines that cause hipermetabolisme, increased nutritional needs, anorexia, decreased muscle mass and body weight. Omega 3 fatty acids play a role in reducing inflammation, as well as improving muscle mass and hand grip. There were 52 subjects who had received radiotherapy ge 25 times, 57 were male with a mean age of 50 years. Most cancer sites were at nasopharynx area, mostly in stage IV and received a combination of radiotherapy and chemotherapy. There were 38,5 of the subjects in the normal body mass index and 32,7 were in low body mass index. The data from this study showed inadequate intake of energy, protein, fat, and omega 3 fatty acids, as well as muscle mass majority was small 28,4 4,7 , with most of the hand grip classified as normal, and the plasma levels of omega 3 fatty acids all of the subjects were low 2,5 0,8 . The data showed that there were nutritional problems in patients with head and neck cancer. There was strong correlation of plasma levels of omega 3 fatty acids with muscle mass r 0,8, p 50 60 Gy and 50 Gy. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsella Dervina Amisi
"Albumin serum, berat badan dan kekuatan genggaman merupakan parameter penilaian status gizi yang berhubungan dengan kadar protein tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar albumin serum terhadap persentase penurunan berat badan dan kekuatan genggaman. Penelitian dengan desain potong lintang pada pasien kanker kepala leher dengan usia ≥18–65 tahun yang telah menjalani radiasi ≥25 kali di Departemen Radioterapi RSUPNCM. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 55,76% subjek memiliki kadar albumin <3,4 g/dL. Rerata penurunan berat badan selama radiasi – 9,42 ± 7,76%, dengan 79,6% subyek mengalami penurunan berat badan ≥5%. Rerata kekuatan genggaman tangan dominan 39,48 ± 9,15 kg. Tidak terdapat korelasi antara kadar albumin serum dengan persentase penurunan berat badan (r = - 0,129; p = 0,364) dan kekuatan genggaman tangan (r = 0,048; p = 0,733). Kesimpulan, kadar albumin serum tidak memengaruhi penurunan berat badan dan kekuatan genggaman selama radiasi. Sangat penting untuk mempertahankan status gizi selama menjalani radioterapi salah satunya dengan pemakaian NGT di awal radiasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain kohort prospektif untuk mendapatkan data yang lebih konklusif.

Serum albumin, body weight and hand grip strength is a parameter of assessment of nutritional status related to body protein. This study was conducted to determine the correlation between serum albumin levels with the percentage of weight loss and hand grip strength. A cross sectional study design in the head neck cancer patients with ge 18 65 years of age who have undergone radiation at least 25 times in the Department of Radiotherapy RSUPNCM. The results showed approximately 55,76 of the subjects had levels of albumin below 3,4 g dL. Mean weight loss during radiation ndash 9,42 7,76 , with 79,6 of subjects experienced weight loss ge 5 . Mean dominant hand grip strength 39,48 9,15 kg. There is no correlation between serum albumin levels with percentage of body weight loss r 0,129 p 0,364 and hand grip strength r 0,048 p 0,733 . Conclussion, serum albumin levels did not affect body weight loss and handgrip strength during radiation. It is essential for head and neck cancer patients undergoing radiotherapy to maintain nutritional status with NGT in the initial radiation. Further research with prospective cohort design is needed to obtain more conclusive data. Keywords Serum albumin, weight loss percentage, handgrip strength, head and neck cancer, radiotherapy "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jellyca Anton
"Glutamin merupakan asam amino yang berperan penting dalam menjaga homeostasis dari fungsi sel tertentu, di antaranya adalah proliferasi sel limfosit. Penurunan kadar glutamin plasma terjadi pada hewan coba dengan kanker, yang berdampak pada peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa suplementasi glutamin dapat mencegah terjadinya mukositis oral akibat radiasi, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan di Departemen Radioterapi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar glutamin plasma terhadap total lymphocyte count TLC dan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Dari total 52 subjek yang mengikuti penelitian ini, didapatkan median usia 50,50 18-62 tahun dan 63,46 adalah subjek laki-laki. Nasofaring merupakan lokasi kanker tersering. Sekitar 70 subjek berada pada stadium IV dan mendapatkan kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Status gizi sebagian besar subjek masih tergolong normal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kadar glutamin plasma terhadap TLC dan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Meskipun demikian, beberapa data dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai adanya masalah nutrisi yang dialami pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Data tersebut antara lain lebih dari 60 subjek memiliki asupan kalori dan protein harian yang kurang, kemudian didapatkan juga kadar glutamin plasma semua subjek yang sangat rendah, dengan rerata 7,77 3,32 ?mol/l. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya hal tersebut adalah proses penyakit kanker, lokasi pertumbuhan kanker, efek samping terapi, serta kebutuhan yang sangat tinggi akan glutamin untuk fungsi fisiologis tubuh.

Glutamin is an amino acid that plays an important role in maintaining the homeostasis of many cells, including the proliferation of lymphocytes. A decrease in plasma glutamine level was observed in rats with cancer, which could increase the susceptibility to infection. Several studies showed that glutamine supplementation could prevent oral mucositis induced by radiation, so this could increase the quality of life of head and neck cancer patients receiving radiotherapy. This cross sectional study conducted at Radiotherapy Department, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, aimed to investigate the correlations of plasma glutamin level with total lymphocyte count TLC and quality of life in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. A total of 52 subjects participated in this study, with median age 50,50 18 62 years old and 63,46 subjects were male. Nasopharynx was the most common site affected. About 70 subjects were at stage IV cancer and receiving a combination of radiotherapy and chemotherapy. Most of the subjects had a normal nutritional status according to body mass index BMI.
The results of this study showed no correlations of plasma glutamine level with TLC and quality of life in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. However, data from this study revealed nutritional problems that happened in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. These data include more than 60 of subjects had below normal limit daily calorie and protein intakes, and the plasma glutamine level of all subjects was very low, with mean 7,77 3,32 mol l. Several factors predicted to be the cause of these problems are the process of the disease, cancer growth location, side effects of therapy, as well as a high need of glutamine for physiological functions of the body.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita
"

Penurunan massa otot pada usia lanjut menimbulkan sarkopenia,salah satu penyebabnya adalah proses inflamasi. Rasio asam lemak omega-3/omega-6 dapat memengaruhi proses inflamasi, namun hubungannya dengan massa otot masih menunjukkan hasil yang beragam. Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk mengeksplorasi korelasi rasio asupan asam lemak omega-3/omega-6 dan kadar asam lemak omega-3 dengan massa otot pada usia lanjut di lima panti wreda yang terdaftar di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini melibatkan 101 usila yang didapatkan menggunakan proportional random sampling. Rasio asupan asam lemak omega-3 dan omega-6 dinilai menggunakan food record 3x24 jam dan food frequency questionnaire semikuantitatif, kadar asam lemak omega-3 membran eritrosit diukur menggunakan gas chromatography-mass spectrometry, dan pemeriksaan massa otot menggunakan bioelectrical impedance analysis. Analisis korelasi menggunakan uji Spearman. Didapatkan rerata usia subjek adalah 75.5 ± 7.6 tahun dengan 73.3% subjek adalah perempuan. Rasio asupan asam lemak omega-3/omega-6 subjek menggunakan food record adalah 0,09 (0,05-0,22) dan 0,08 (0,05-0,23) menggunakan FFQ semikuantitatif. Nilai tengah kadar asam lemak omega-3 membran eritrosit subjek untuk ALA=10,06 (4,9-24,9) µg/mL, EPA=14,6 (5,06-81,02) µg/mL, DHA=115,5 (20,6-275,09) µg/mL, dan total omega-3=144,1 (89,3-332,1) µg/mL. Nilai tengah massa otot subjek adalah 35,5 (22,8-63,5) kg. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat korelasi antara rasio asupan asam lemak omega-3/omega-6 dengan massa otot baik menggunakan food record (r = -0.2, p = 0.07), maupun FFQ semikuantitatif (r = 0.01, p = 0.9), dan tidak terdapat korelasi antara kadar ALA, EPA, DHA, total asam lemak omega-3 membran eritrosit dengan massa otot berturut-turut (r = -0.03, p = 0.8; r = 0.01, p = 0.9; r = -0.06, p = 0.5; dan r = -0.02, p = 0.8).


The phenomenon of muscle mass deterioration appeared in the elderly called sarcopenia, one of the reasons was the inflammatory process. The ratio of omega-3 and omega-6 fatty acids are known to influence the inflammatory process. However, the relationship of this ratio with muscle mass are still conflicting. This cross-sectional study aimed to explore the correlations of omega-3/omega-6 fatty acids intake ratio and omega-3 fatty acids erythrocyte membrane levels with muscle mass among the elderly in five registered nursing homes in South Tangerang City. This study involved 101 elderly from the proportional random sampling method. The ratio of omega-3 and omega-6 fatty acids intake was assessed using 3-days food records and semi-quantitative food frequency questionnaire (SQ-FFQ). Moreover, omega-3 fatty acid erythrocyte membrane levels were measured using gas chromatography-mass spectrometry and muscle mass were examined using bioelectrical impedance analysis. We used Spearman analysis to investigate the correlation. The mean age of the participants was 75.5 ± 7.6 years and most of the participants were female (73.3%). Furthermore, the median value of omega-3 and omega-6 fatty acid intake ratio was 0.09 (0.05 – 0.22) using 3-days food records and 0.08 (0.05 – 0.23) using SQ-FFQ, the median value of omega-3 erythrocyte membrane levels for ALA = 10.06 (4.9-24.9) µg/mL, EPA = 14.6 (5.06 – 81.02) µg/mL, DHA = 115.5 (20.6 – 275.09) µg/mL, total omega-3 = 144.1 (89.3 – 332.1) µg/mL, and the median value of muscle mass were 35.5 (22.8 – 63.5) kg. We did not find strong correlation between omega-3/omega-6 fatty acids intake ratio and muscle mass using either 3-days food records (r = -0.2, p = 0.07), or SQ-FFQ (r = 0.01, p = 0.9), and no strong correlations found between ALA, EPA, DHA, total omega-3 fatty acids erythrocyte membrane levels and muscle mass (r = -0.03, p = 0.8; r = 0.01, p = 0.9; r = -0.06, p = 0.5; and r = -0.02, p = 0.8), respectively.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Candrawati Musa
"Kadar CRP serum dapat digunakan sebagai prediktor penurunan berat badan dan indikator prognostik inflamasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kadar CRP serum dengan penurunan berat badan dan mukositis oral pada pasien kanker kepala leher yang menjalani radioterapi. Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain potong lintang pada pasien kanker kepala leher yang telah menjalani terapi radiasi minimal 25 kali di Departeman Radioterapi RSUPNCM Jakarta dengan usia ge;18 ndash;65 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subyek 71,2 memiliki kadar CRP serum normal, mengalami penurunan berat badan ge;5 dalam waktu sebulan 76,9 dengan rerata penurunan berat badan -9,42 7,76 , dan juga mengalami mukositis oral 65,4 dengan persentase terbanyak yaitu derajat 1 59,6 . Tidak terdapat mukositis oral derajat 3 dan 4. Tidak terdapat korelasi antara kadar CRP serum dengan penurunan berat r=0,166; p=0,239 , dan mukositis oral r=0,137; p=0,331 . Kesimpulan adalah kadar CRP serum saat radioterapi tidak memengaruhi penurunan berat badan dan mukositis oral. Sebagian besar subyek tetap mengalami penurunan berat badan selama menjalani radioterapi sehingga pemasangan NGT yang lebih awal yaitu sebelum terapi radiasi dimulai NGT profilaksis perlu dilakukan, namun hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Serum CRP levels can be used as a predictor of weight loss and prognostic indicator of inflammation. This study was conducted to determine the correlation of serum CRP levels with weight loss and oral mucositis in patients with head and neck cancer undergoing radiotherapy. This study was an observational study in the head and neck cancer patients who have undergone radiation therapy at least 25 times at the Department of Radiotherapy RSUPNCM Jakarta with aged ge 18 ndash 65 years old. Our study results showed that most of the subjects 71,2 had normal serum CRP levels, weight loss of ge 5 in one month 76,9 , and also experienced oral mucositis 65,4 . Mostly had grade 1 oral mucositis 59,6 . There were no grade 3 and 4 oral mucositis.There were no correlation between serum CRP levels with weight loss r 0,166 p 0,239 , and oral mucositis r 0,137 p 0.331 . In conclusion, serum CRP levels did not influence weight loss and oral mucositis in patients with head and neck cancer undergoing radiotherapy. Most of the subjects still experienced weight loss during radiotherapy. Therefore, NGT prophylaxis is needed, but this requires further study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Meilana
"Pasien kanker serviks berisiko tinggi mengalami malnutrisi. Asupan makanan yang tidak adekuat, peningkatan kebutuhan, penurunan aktivitas fisik dan hiperkatabolisme, mendorong terjadinya malnutrisi. Kondisi ini dapat terjadi selama sakit maupun pada saat pengobatan, yang dapat memengaruhi status gizi pasien. Prevalensi malnutrisi pada pasien kanker serviks sebesar 48−66% dan meningkat hingga 82% setelah mendapat terapi. Pasien kanker serviks, 25% mengalami cachexia dan 33−69% mengalami sarkopenia. Penurunan massa otot yang merupakan penyusun utama massa bebas lemak (MBL), secara negatif memengaruhi efektivitas terapi dan kelangsungan hidup pasien. Bioelectrical impedance analysis (BIA) adalah alat tervalidasi untuk mengukur MBL sebagai bagian dari diagnosis malnutrisi, namun tidak selalu tersedia di fasilitas kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa kekuatan genggam tangan (KGT) dapat dijadikan sebagai prediktor MBL. Pengukuran KGT dengan handheld dynamometers (HHD) yang relatif murah, valid, dan andal, masih jarang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara KGT dan MBL pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi di Poliklinik Radioterapi RSCM. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada subjek usia 18−60 tahun. KGT dinilai menggunakan Jamar digital HHD. MBL dinilai menggunakan BIA single frequency Omron® HBF−375. Terdapat 54 subjek dengan median usia 49 tahun, mayoritas stadium III, tidak terdapat metastasis dan komorbid, dan mendapat radioterapi saja. Mayoritas subjek tergolong BB lebih, dengan rerata asupan energi 20,79 ± 6,70 kkal/kgBB/hari, median asupan protein 0,68 (0,05−1,87) g/kgBB/hari, dan rerata asupan lemak 31,22 ± 8,81% dari energi total. Mayoritas asupan energi, protein dan lemak tergolong kurang dibandingkan dengan rekomendasi ESPEN. Rerata KGT 23,54 ± 5,16 kg dan rerata MBL 36,40 ± 6,03 kg. Dilakukan uji korelasi antara KGT dan MBL. Terdapat korelasi positif yang cukup antara KGT dan MBL pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi (r = 0,346, p = 0,010). KGT berkorelasi positif kuat dengan MBL (r = 0,601, p = 0,001) pada pasien kanker serviks yang hanya menjalani radioterapi (n=28). Pemeriksaan KGT kemungkinan dapat memprediksi MBL, sehingga dapat membantu diagnosis malnutrisi lebih dini dan mencegah luaran buruk pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi, terutama di fasilitas kesehatan yang tidak tersedia BIA. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan formulasi dalam memprediksi MBL dari KGT.

Cervical cancer patients are at high risk for malnutrition. Inadequate food intake, increased energy and protein requirements, decreased physical activity and hypercatabolism in cancer patients lead to malnutrition. This condition can occur during illness or during treatment, which can affect the nutritional status of the patient. The prevalence of malnutrition in cervical cancer patients was 48−66% and increased to 82% in patients receiving therapy. Patients with cervical cancer, 25% were cachectic and 33%–69% were sarcopenic. Loss of muscle mass, which are the main constituents of fat free mass (FFM), negatively impact therapeutic efficacy and survival in cervical cancer patients. Bioelectrical impedance analysis (BIA) is a validated tool for measuring FFM, as part of malnutrition, but it is not always available in health facilities. Research shows that hand grip strength (HGS) can be used as a predictor of FFM. HGS measurement with handheld dynamometers (HHD) which is relatively cheap, valid, and reliable, is still rarely used. This study aims to examine the relationship between HGS and FFM in cervical cancer patients undergoing radiotherapy at the Radiotherapy Outpatients Clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. The study used a cross-sectional design on subjects aged 18−60 years. HGS was assessed using a Jamar digital hand dynamometer. FFM was assessed using the BIA single frequency Omron® HBF−375. A total of 54 study subjects with a median age of 49 years, the majority were in stage III, had no metastases, received radiation therapy only, and had no comorbidities. Most of the subjects were classified as overweight and obes, with a mean of energy intake 20.79 ± 6.70 kcal/kgBW/day, a median of protein intake 0.68 (0.05−1.87) g/kgBW/day, and an average of fat intake 31.22 ± 8.81% of the total energy. The majority of the energy, protein and fat intakes were less than the ESPEN recommendations. The mean HGS in the subjects was 23.54 ± 5.16 kg and the mean FFM was 36.40 ± 6.03 kg. Correlation test was conducted between HGS and FFM. There was a moderately positive correlation between HGS and KGT in cervical cancer patients undergoing radiotherapy (r = 0.346, p = 0.010). HGS was strongly positive correlation with FFM (r = 0.601, p = 0.001) in cervical cancer patients undergoing radiotherapy only (n=28). HGS maybe able to predict FFM for early diagnose of malnutrition and prevent poor outcomes in cervical cancer patients undergoing radiotherapy, especially in health facilities where BIA isn’t available. Further research is needed to get a formulation in predicting FFM from HGS."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Trixie Hardigaloeh
"ABSTRAK
Latar Belakang : Malnutrisi merupakan faktor independen yang berhubungan dengan morbiditas, mortalitas dan tingginya biaya pengobatan sirosis hati. Kekuatan Genggam Tangan (KGT) merupakan suatu metode yang sering digunakan untuk mendeteksi malnutrisi dan menilai prognosis pasien. Hubungan KGT dengan Skor Child Pugh (CP) dan massa otot masih dalam kontroversi. Indonesia sampai saat ini belum memiliki data tersebut
Metode : Studi potong lintang pada pasien sirosis hati di poliklinik hepatobilier RSCM dari Februari-Juni 2015. Status nutrisi dinilai berdasarkan KGT. Massa otot diukur menggunakan bioimpedans. Analisis statistik menggunakan uji korelasi spearman
Hasil : Terdapat 115 pasien yang kontrol di poliklinik hepatobilier RSCM, 112 pasien memenuhi kriteria penelitian, terdiri dari 79 laki-laki dan 33 perempuan. Usia pasien rata-rata 54,15±10,55 tahun, median skor CP 6(5-13) dengan median KGT 26(11-50) kgF, rata-rata massa otot 44,43±8,12 kg. Median asupan energi 1334,82(604,75-3023,7) kkal, median protein 45,87(19-114,5) gram. Prevalensi malnutrisi berdasarkan KGT ditemukan sebanyak 33%. Kekuatan genggam tangan tidak berkorelasi dengan skor CP (p 0,046, r=-0,19) namun berkorelasi dengan massa otot (p <0,001, r= 0,70) Simpulan Terdapat 33% kasus malnutrisi berdasarkan KGT pada pasien sirosis rawat jalan. KGT tidak berkorelasi dengan skor Child Pugh namun berkorelasi dengan massa otot pasien sirosis hati.ABSTRACT
Background : Malnutrition is independent factor related to morbidity, mortality and high cost of treatment in liver cirrhosis. Hand grip strength (HGS) is one of the method use for malnutrition detection and prognosis evaluation. The correlation of HGS with liver function (Child Pugh or CP score) and muscle mass is controversial. These important evaluation is not yet avalaible in Indonesia.
Method : This is a cross-sectional study in liver cirrhosis patients at Hepatobiliary clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from February to June 2015. Nutritional status was assessed by HGS. Muscle mass was obtained from bioimpedance. Data were analyzed using Spearman correlation test.
Results : There were 115 patients liver cirrhosis at Hepatobiliary clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, 112 patients who fit the inclusion criteria, consisted of 79 men and 33 women with mean age 54,15±10,55 years, median CP score 6(5-13) with median HGS 26 (11-50) kgF, mean muscle mass 44,43±8,12 kg. The median intake of energy 1334,82(604,75-3023,7) kkal, median protein 45,87(19-114,5) gram. Prevalence of malnutrition according HGS was 33%. Hand grip strength is not correlated with CP score (p 0,046, r=-0,19) however it is correlated with muscle mass (p<0,001, r= 0,70) Conclusion There are 33% malnutrition cases based on HGS in out patient liver cirrhosis. There is no correlation between hand grip strength with Child Pugh score however HGS is correlated with muscle mass in liver cirrhosis.;Background : Malnutrition is independent factor related to morbidity, mortality and high cost of treatment in liver cirrhosis. Hand grip strength (HGS) is one of the method use for malnutrition detection and prognosis evaluation. The correlation of HGS with liver function (Child Pugh or CP score) and muscle mass is controversial. These important evaluation is not yet avalaible in Indonesia.
Method : This is a cross-sectional study in liver cirrhosis patients at Hepatobiliary clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from February to June 2015. Nutritional status was assessed by HGS. Muscle mass was obtained from bioimpedance. Data were analyzed using Spearman correlation test.
Results : There were 115 patients liver cirrhosis at Hepatobiliary clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, 112 patients who fit the inclusion criteria, consisted of 79 men and 33 women with mean age 54,15±10,55 years, median CP score 6(5-13) with median HGS 26 (11-50) kgF, mean muscle mass 44,43±8,12 kg. The median intake of energy 1334,82(604,75-3023,7) kkal, median protein 45,87(19-114,5) gram. Prevalence of malnutrition according HGS was 33%. Hand grip strength is not correlated with CP score (p 0,046, r=-0,19) however it is correlated with muscle mass (p<0,001, r= 0,70) Conclusion There are 33% malnutrition cases based on HGS in out patient liver cirrhosis. There is no correlation between hand grip strength with Child Pugh score however HGS is correlated with muscle mass in liver cirrhosis.;Background : Malnutrition is independent factor related to morbidity, mortality and high cost of treatment in liver cirrhosis. Hand grip strength (HGS) is one of the method use for malnutrition detection and prognosis evaluation. The correlation of HGS with liver function (Child Pugh or CP score) and muscle mass is controversial. These important evaluation is not yet avalaible in Indonesia.
Method : This is a cross-sectional study in liver cirrhosis patients at Hepatobiliary clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from February to June 2015. Nutritional status was assessed by HGS. Muscle mass was obtained from bioimpedance. Data were analyzed using Spearman correlation test.
Results : There were 115 patients liver cirrhosis at Hepatobiliary clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, 112 patients who fit the inclusion criteria, consisted of 79 men and 33 women with mean age 54,15±10,55 years, median CP score 6(5-13) with median HGS 26 (11-50) kgF, mean muscle mass 44,43±8,12 kg. The median intake of energy 1334,82(604,75-3023,7) kkal, median protein 45,87(19-114,5) gram. Prevalence of malnutrition according HGS was 33%. Hand grip strength is not correlated with CP score (p 0,046, r=-0,19) however it is correlated with muscle mass (p<0,001, r= 0,70) Conclusion There are 33% malnutrition cases based on HGS in out patient liver cirrhosis. There is no correlation between hand grip strength with Child Pugh score however HGS is correlated with muscle mass in liver cirrhosis."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luana Lidwina
"Latar belakang: Pasien kanker kepala leher (KKL) yang mendapatkan kemoradiasi berisiko mengalami malnutrisi dan meningkat hingga 88 % saat akhir kemoradiasi. Efek samping kemoradiasi berupa xerostomia, mukositis, mual atau muntah menambah penurunan status nutrisi dan kapasitas fungsional. Monitoring status nutrisi melalui penilaian berat badan (BB) dan kekuatan genggam tangan (KGT) sebagai cara sederhana dan minimal invasif dibandingkan alat pemeriksaan lain seperti pengukur komposisi tubuh dan Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA). Belum diketahui frekuensi kunjungan optimal ke poli gizi selama menjalani kemoradiasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang, dilakukan di Radioterapi RSCM (IPTOR RSUPNCM).Penelitian ini bertujuan melihat korelasi frekuensi kunjungan pasien KKL yang menjalani kemoradiasi terhadap BB dan KGT, dengan kriteria inklusi adalah pasien KKL dewasa, usia 19 hingga 59 tahun, yang menjalani kemoradiasi pada 10 fraksi terakhir, dan bersedia masuk dalam penelitian. Pengukuran BB menggunakan timbangan merk Omron® Karada-HBF-375, kekuatan genggam tangan menggunakan Jamar® handgrip pada tangan kanan dominan subjek.
Hasil: Rerata BB 55,65±12,34 kg, rerata KGT 29,24±10,74 kg, dan rerata frekuensi 1 kali. Rerata asupan energi 1225,96±501,22 kkal, protein median 41 g, rerata lemak 33,5±18,8g dan KH 182,2±78,3g. Korelasi antara frekuensi kunjungan terhadap BB (r= 0,61, p= 0,66) dan KGT (r=0,06, p= 0,64).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara frekuensi kunjungan terhadap BB dan KGT.

Background: Head and neck cancer patients who get chemoradiated are at risk of malnutrition and an increase in malnutrition of up to 88% at the end of chemoradiation. Side effects of chemoradiation in the form of xerostomia, mucositis, nausea or vomiting add to the decrease : Luana Lidwina in nutritional status and functional capacity. Monitoring nutritional status, one of which is carried out by assessing body weight (BW) and hand-holding strength (HGS). BW and HGS assessments are a simple and minimally invasive way for people with head and neck cancer (HNC) compared to other examination tools such as body composition measuring devices, Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA), and require high costs. It is not yet known the frequency of optimal visits of HNC patients to the nutrition poly during the moradiation period.
Methods: This study used the cross section method, conducted in RSCM Radiotherapy (IPTOR RSUPNCM). This study aims to see a correlation between the frequency of visits by HNC patients undergoing morbidity to BW and HGS. Subjects included as inclusion criteria were adult HNC patients, ages 19 to 59, who underwent chemoradiation in the last 10 fractions, and were willing to enter the study to be taken. BW measurements using omron® Karada- HBF-375 brand scales, hand grip strength using Jamar® handgrip on the dominant right hand of the subject.
Result: The weight of the subjects had an average of 55.6 5±12.34 kg, HGS had an average of 29.24±10.74 kg, and an average frequency of 1 time. Average energy intake 1225.96±501.22 kcal, median protein 41 g, average fat 33.5±18.8g and KH 182.2±78.3g. Correlation between the frequency of visits to BW (r= 0.61, p= 0.66) and HGS (r=0.06, p= 0.64).
Conclusion: There was no correlation between the frequency of visits to BB and KGT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fannie Fauzarianda
"Latar Belakang: Penurunan massa bebas lemak dan status fungsional akan mempengaruhi prognosis pada pasien kanker kepala leher. Pembentukan massa bebas lemak dipengaruhi berbagai hal termasuk nutrisi. Salah satu zat gizi yang berperan dalam adalah asam amino rantai cabang. Karnofsky Performance Scales (KPS) adalah salah satu parameter status fungsional yang dinilai secara rutin untuk pasien kanker Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara asupan asam amino rantai cabang dengan massa bebas lemak dan status fungsional pada pasien kanker kepala dan leher.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek dewasa dengan kanker kepala leher secara consecutive sampling method di poliklinik radioterapi RSCM. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data karakteristik dasar, data asupan zat gizi dan penilaian status fungsional. Pengukuran komposisi tubuh massa bebas lemak dengan alat bioimpedance analysis single Frequency. Pengukuran status fungsional dengan KPS.
Hasil: Sebanyak 77 subjek penelitian dengan rerata usia 52 tahun, dengan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, 61 % berpendidikan menengah dan sebagian besar bekerja. Lokasi kanker terbanyak pada nasofaring dengan jenis karsinoma sel skuamosa dan stadium IV. Rerata subjek memiliki status gizi normal. Penilaian 3 x24-h Food Recall didapatkan dengan rerata asupan energi 27,44 kkal/kgBB dan protein 1,33 g/kgBB. Penilaian rerata asupan AARC dengan FFQ semi kuantitatif pada subjek penelitian didapatkan sebesar 10,99 gram. Pada penelitian ini didapatkan rerata nilai massa bebas lemak 42,10 kg dengan sebanyak 46 % subjek penelitian laki- laki memiliki index massa bebas lemak < 17 kg/m2 sedangkan pada subjek penelitian wanita terdapat 16 % dengan index massa bebas lemak <15 kg/m2 Status fungsional dengan menggunakan KPS subjek penelitian dengan median 90 dengan nilai minimum 40. Sekitar 11,6% subjek penelitian yang memiliki nilai KPS kurang dari sama dengan 70. Terdapat korelasi lemah antara asupan asam amino rantai cabang dengan massa bebas lemak (r=0,238, p=0,037).Tidak terdapat korelasi antara asupan AARC dengan status fungsional (r=0.147; p>0.05)
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna yang lemah antara asupan AARC dengan massa bebas lemak dan tidak terdapat korelasi antara asupan AARC dengan status fungsional pada subjek kanker kepala leher

Background: Decreased fat-free mass and functional status will affect the prognosis in head and neck cancer patients. The formation of fat-free mass is influenced by various things including nutrition. One of the nutrients that play a role in is branched chain amino acids. Karnofsky Performance Scales (KPS) is a functional status parameter that is routinely assessed for cancer patients.
Methods: This cross-sectional study was conducted on adult subjects with head and neck cancer by consecutive sampling method at the radiotherapy polyclinic RSCM. Interviews were conducted to collect data on basic characteristics, data on nutrient intake and assessment of functional status. Measurement of body composition fat-free mass using a single Frequency bioimpedance analysis tool. Functional status measurement using the KPS.
Results: A total of 77 study subjects with an average age of 52 years, with most of them being male, 61% having secondary education and most of them working. Most cancer locations in the nasopharynx with the type of squamous cell carcinoma and stage IV. On average, the subjects had normal nutritional status. The 3 x24-h Food Recall assessment was obtained with an average energy intake of 27.44 kcal/kgBW and protein 1.33 g/kgBW. The assessment of the average BCAA intake with semi-quantitative FFQ on research subjects was 10.99 grams. In this study, the average fat-free mass value was 42.10 kg with as many as 46% of male research subjects having a fat-free mass index <17 kg/m2 while in female research subjects there were 16% with a fat-free mass index <15 kg/m2. Functional status using KPS of research subjects with a median of 90 with a minimum value of 40. Approximately 11.6% of study subjects had a KPS value of less than 70. There was a weak correlation between intake of branched-chain amino acids and fat-free mass (r=0.238, p=0.037. There was no correlation between BCAA intake and functional status (r=0.147; p>0.05)
Conclusion: There is a weak significant correlation between BCAA intake and fat-free mass and there is no correlation between BCAA intake and functional status in head and neck cancer subjects
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Nurahmani Putri
"Latar Belakang: Obesitas merupakan salah satu kondisi yang sering ditemukan pada penduduk dewasa di Indonesia, di mana 29,3% di antaranya adalah perempuan. Individu obesitas dapat mengalami penurunan massa otot yang disebabkan oleh inaktivitas dan penumpukan lemak yang menghambat proses sintesis otot. Jika tidak ditangani, obesitas dapat menyebabkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah sarkopenia obesitas. Sarkopenia obesitas adalah kondisi yang ditandai dengan obesitas dan penurunan fungsi dan massa otot, terdiagnosis dengan  IMT >25 kg/m2, skeletal muscle index (SMI) yang menurun, dan kekuatan genggam tangan atau status performa yang rendah. Sarkopenia lebih sering terdeteksi pada lansia, namun penurunan massa otot sudah dapat terjadi sejak usia dewasa. Penelitian ini melihat apabila perempuan dewasa dengan obesitas sudah memiliki tanda-tanda sarkopenia obesitas seperti penurunan massa otot, SMI, dan hubungannya terhadap kekuatan genggam tangan.
Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 64 karyawati obesitas RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Massa otot diukur menggunakan body impedance analysis dan skeletal muscle index dihitung menggunakan massa otot dibagi dengan tinggi badan (m2). Kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan dinamometer tangan. Analisis hubungan massa otot dan skeletal muscle index dengan kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan uji korelasi Pearson.
Hasil: Dari 64 subjek perempuan dewasa obesitas, 85,7% di antaranya memiliki massa otot yang rendah, dengan korelasi yang positif terhadap kekuatan genggam tangan kiri (p < 0,05, r = 0,354) dan tangan kanan (p < 0,05, r = 0,401). Namun hasil juga menunjukkan bahwa SMI subjek tidak memiliki korelasi dengan kekuatan genggam tangan mereka (p > 0,05), yang dapat disebabkan karena tinggi badan subjek yang lebih pendek dibandingkan standar tinggi sesuai usia.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa perempuan obesitas memiliki kadar massa otot yang rendah, yang jika menetap dapat menyebabkan penurunan kekuatan genggam tangan, sehingga meningkatkan kerentanan mereka untuk mengidap sarkopenia obesitas.

Background: Obesity is a condition prevalent in Indonesian adults, in which 29,3% of them are women. Obesity may come with decreased muscle mass due to inactivity and inhibition of protein synthesis by fat. In women, decreased muscle mass may also be caused by reduced estradiol. Obesity may lead to complications such as diabetes mellitus type 2, heart disease, stroke, osteoarthritis, and sarcopenic obesity. Sarcopenic obesity is a condition characterized by obesity and a decrease muscle mass and function, seen through body mass index of > 25 kg/m2, reduced skeletal muscle index (SMI), and reduced handgrip strength or physical performance. Sarcopenia is more prevalent in the elderly, but previous studies have proven that decreases in muscle mass begins earlier. This study was done to see if adult obese female workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital have already experienced a decrease in muscle mass, SMI, and their correlation with handgrip strength.
Method: This cross-sectional study was done on  64 obese female adult workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Their muscle mass was measured using body impedance analysis and their skeletal muscle index was calculated by their muscle mass divided by their height (m2). Their handgrip strength was measured using a hand dynamometer. Analysis of the correlation of muscle mass and skeletal muscle with their handgrip strength was done using Pearson correlation.
Result: Of 64 obese female subjects, 85,7% of them have decreased muscle mass. Their muscle mass has positive correlation with both their left handgrip strength (p < 0,05, r = 0,354) and right handgrip strength (p < 0,05, r = 0,401). However, this study shows that SMI of subjects are not correlated with their handgrip strengths (p > 0,05). This can be caused by the subjects’ height being lower than the national age-standardized height.
Conclusion: Therefore, the results of this study supports the hypothesis that obesity is associated with lower muscle mass which could subsequently reduce handgrip strength, which increases their risk of having sarcopenic obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>