Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136100 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fransisca Putri Tungga Dewi
"ABSTRAK
Secondary iron overload pada thalassemia mayor terjadi karena eritropoiesis inefektif dan tranfusi berkala. Besi melebihi transferin sehingga banyak non transferin bound iron NTBI yang mengkatalisasi terjadinya ion radikal bebas yang merusak jaringan. Pengendapan besi pada saluran cerna mengakibatkan perubahan fungsi, kerusakan organ, gangguan ketersediaan asam amino. Iron overload dikurangi dengan kelasi besi. Transferin merupakan kelator alami tubuh terdiri asam amino dominan alanin, leusin, glisin, asam aspartat. Berdasarkan penelitian, pasien iron overload memiliki transferin lebih rendah dibandingkan non iron overload. Penelitian bertujuan mengetahi perubahan status besi, profil asam amino dan hubungan iron overload dengan profil asam amino. Parameter yang diteliti : besi serum, unsaturated iron binding capacity UIBC , total iron binding capacity TIBC , feritin, saturasi transferin, indeks transferin, alanin, leusin, glisin, asam aspartat. Desain penelitian kohort dengan 21 subjek, yaitu 13 thalassemia beta mayor dan 8 thalassemia beta HbE. Hasil penelitian didapatkan perubahan status besi bermakna yaitu peningkatan feritin pasca transfusi, penurunan feritin pasca kelasi 1 bulan, peningkatan kadar besi pasca kelasi 3 bulan. Perubahan asam amino bermakna yaitu penurunan alanin, leusin, serta peningkatan glisin pasca kelasi 1 bulan Terdapat hubungan kuat, bermakna searah antara indeks transferin dan alanin pre transfusi. Terdapat hubungan kuat, bermakna, searah antara indeks transferin dengan alanin dan glisin pasca transfusi.

ABSTRACT
Secondary iron overload in thalassemia major occurs due to ineffective erythropoiesis and periodic transfusions. The excess of iron exceed transferrin so there are many non transferrin bound iron NTBI that induce tissue damaging free radical ion. Accumulation of iron in intestine can lead to changes in the function, organ damage, lack of amino acid availability. Iron overload can be reduced by iron chelation. Transferrin is the body 39 s natural chelator comprising of dominant amino acid alanine, leucine, glycine, aspartic acid. Research found that transferrin were lower in iron overload patients. This study aims to acquire the changes of iron status, amino acid profile, and correlation between iron overload and amino acid profile. Studied parameter were serum iron, unsaturated iron binding capacity UIBC , total iron binding capacity TIBC , ferritin, transferrin saturation, transferrin index, alanine, leucine, glycine, aspartic acid. The study design were cohort with 21 subjects consisted of 13 beta major thalassemia and 8 beta Hbe thalassemia. The result showed significant iron status changes ferritin increased post transfusion, ferritin decreased after 1 month chelation and serum iron increased after 3 months chelation. Significant amino acid profile changes decreased of alanine and leucine, and glycin increased after 1 month chelation. There rsquo s significant correlation between transferrin index and alanine pre transfusion. There rsquo s significant correlation between transferrin index and alanine, glycine after 3 month chelation. "
2017
T55642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Natalia
"ABSTRAK
Latar belakang: Protein merupakan salah satu nutrisi penting dalam pertumbuhan yang kualitasnya dipengaruhi oleh asam amino pembentuknya. Asam amino merupakan bahan baku pembangun semua jenis sel, berperan dalam homeostasis, pertahanan tubuh, pertumbuhan, dan perkembangan. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan gambaran profil asam amino meliputi glisin, alanin, prolin, valin, leusin, ornitin, metionin, fenilalanin, arginin, sitrulin, tirosin, aspartat, dan glutamat menggunakan metode LC-MS/MS pada anak undenutrition dan anak normal di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Metode: Desain penelitian adalah deskriptif analitik dengan 60 subjek, penelitian berlangsung pada bulan Desember 2016 sampai April 2017. Sampel menggunakan dry blood spot dan diperiksa dengan metode LC-MS/MS. Hasil: Hasil penelitian didapatkan 12 anak undernutrition dan 18 anak normal dengan rerata berat badan, tinggi badan dan ketiga z-score BB_TB, BB_U, dan TB_U didapatkan lebih rendah secara bermakna pada kelompok undernutrition. Hasil CV uji ketelitian within run asam amino dengan LC-MS/MS berkisar 1.76 ndash; 12.03 . Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara profil asam amino esensial anak undernutrition dan anak normal, namun didapatkan perbedaan untuk asam amino non esensial kadar glisin dan glutamat lebih tinggi pada kelompok undernutrition dan bermakna secara statistik.

ABSTRACT
Background Protein is one of the nutrients needed for child rsquo s growth, of which quality is affected by its constituent amino acids. Amino acids are essential to all types of cells, playing a role in homeostasis, the body 39 s defenses, growth, and development. This study is a preliminary study that aims to determine the profile of amino acids consisting of glycine, alanine, proline, valine, leucyne, ornithine, methionine, phenylalanine, arginine, citruline, tyrosine, aspartic acid, and glutamic acid using LC MS MS method in normal and undernutrition child at RSUPN CM. Method This was a descriptive analitic study conducted on 60 subjects, the study was held on December 2016 until April 2017. Sample using dry blood spot and analyzed with LC MS MS method. Result Study subjects consisted of 12 undernutrition and 18 normal children with a mean weight, height, and all z score W H, W A, H A are lower in undernutrition group. Within run result demonstrated a CV amino acid with LC MS MS ranged from 1.76 ndash 12.03 . Conclusion There were no difference between normal child rsquo s essential amino acid profile with undernutrition child rsquo s, but there were difference for non essential amino acid glisine and glutamate gives a significantly higher result in undernutrition group. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitta Suryanthie
"Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) disebabkan oleh infeksi virus SARS CoV-2, dan telah dilaporkan banyak menyebabkan kematian di berbagai negara. Pada pasien COVID-19, ditemukan perubahan kadar asam amino, baik asam amino esensial maupun non esensial, yang dikaitkan dengan proses inflamasi dan infeksi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui profil asam amino esensial dan non esensial, serta mengetahui perbedaannya pada pasien terkonfirmasi COVID-19 severe dan non severe. Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Laboratorium HGRC pada Januari-Desember 2021. Total subjek adalah 128 subjek, terdiri dari 70 subjek (54,7%) kelompok severe dan 58 subjek (45,3%) kelompok non severe. Profil asam amino pada pasien terkonfirmasi COVID-19 severe dan non-severe, secara klinis ditemukan sedikit perbedaan dengan rentang effect size d 0,08-0,48. Tidak terdapat perbedaan bermakna keseluruhan profil asam amino antara kelompok severe dan non severe (p>0,05). Temuan ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam proses penyembuhan pasien terutama pada kondisi infeksi/inflamasi akut, serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas melalui penambahan asupan makanan atau terapi suplementasi potensial pada penderita dengan kadar asam amino yang lebih rendah

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is an infection, caused by SARS CoV-2 virus infection, and had been reported that cause death in many countries. Patients with COVID-19 infection, could have amino acid alteration, both in essential and non essential, which are associated in inflammation and infectious processes. The main objective of this study, was to know the essential and non essential amino acid profile, and to determine the differences in severe and non severe COVID-19 patients. This cross sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Public Hospital and HGRC Laboratory, from January-December 2021. There were 128 subjects, consisted of 70 subjects (54.7%) in severe group and 58 subjects (45.3%) in non severe group. The amino acid profile in severe and non-severe COVID-19 patients, clinically were found slight different, with the effect size range d 0.08-0.48. There was no significant difference in all amino acid, between severe and non severe group (p>0.05). These findings were expected to contibute in recovery process especially in infection/acute inflammation state, decreased the morbidity and mortality, through additional intake and potential supplementation therapy in lower amino acid patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Canda Insyira Tamarahen
"Ivermectin merupakan obat yang telah disetujui FDA untuk digunakan pada Strongyloidiasis dan Onchocerciasis, yaitu dua kondisi yang disebabkan oleh cacing parasit. Namun ivermectin banyak disalahgunakan sebagai obat COVID-19 yang sebenarnya membutuhkan dosis berkali lipat agar konsentrasi plasma yang dibutuhkan untuk efikasi antivirus tercapai. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji profil farmakokinetika untuk mengetahui keamanan, efikasi, serta toksisitas suatu obat. Pengujian ini dilakukan dengan menganalisis kadar ivermectin pada plasma 6 orang subjek Indonesia sehat yang telah mengonsumsi tablet ivermectin 12 mg secara oral menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Ultra Tinggi Tandem Spektrometri Massa (KCKUT-SM/SM). Pengambilan darah subjek dilakukan sebanyak 16 titik pada beberapa interval waktu hingga jam ke-72. Kondisi kromatografi yang digunakan adalah kolom Acquity UPLC BEH C18 (2,1 x 100 mm x 1,7 µm); suhu kolom 40oC; fase gerak amonium format 5 mM pH 3 – asetonitril dengan perbandingan 10:90; laju alir 0,2 mL/menit; dan doramectin sebagai baku dalam. Profil farmakokinetika dalam sampel plasma menghasilkan; AUC0-t 518,43 ± 71,89 ng/mL; AUC0- 582,92 ± 114,28 ng/mL; Cmaks 47,79 – 53,31 ng/mL; tmaks 4,50 ± 0,00 jam; dan t½ 23,15 ± 6,81 jam. Berdasarkan penelitian sebelumnya, Cmaks in vitro yang dibutuhkan untuk mematikan virus COVID-19 yaitu sebesar ± 5 µg/mL, apabila dibandingkan dengan Cmaks yang diperoleh pada penelitian ini, memperoleh kesimpulan bahwa konsentrasi untuk mematikan virus COVID-19 tidak tercapai.

Ivermectin is a drug approved by FDA that used for Strongyloidiasis and Onchocerciasis, two conditions caused by parasitic worms. However, ivermectin is widely misused as a COVID-19 drug which requires multiple doses to achieve the plasma concentration required for antiviral efficacy. Therefore, it is necessary to test the pharmacokinetic profile to determine the safety, efficacy, and toxicity of the drug. This test was done by analizing the ivermectin levels in the plasma of 6 healthy Indonesian subjects who had taken 12 mg of ivermectin tablet orally by using Ultra High Performance Liquid Chromatography Tandem – Mass Spectrmetry (UHPLC-MS/MS). Subjects’ blood sampling was collected as many as 16 points at several time intervals up to 72 hours. The chromatographic conditions used was Acquity UPLC BEH C18 column (2.1 x 100 mm x 1.7 µm); 40oC column temperature; mobile phase consists of ammonium formate 5 mM pH 3 – acetonitrile with 10:90 comparison; 0,2 mL/minute flow rate; and doramectin as an internal standard. The pharmacokinetic profile in plasma results were; AUC0-t was 518,43 ± 71,89 ng/mL; AUC0- was 582,92 ± 114,28 ng/mL; Cmax ranged from 47,79 to 53,31 ng/mL; tmax was 4,50 ± 0,00 hours; and t½ was 23,15 ± 6,81 hours. Based on previous research, the in vitro Cmax required to kill the COVID-19 virus is ± 5 g/mL, when compared with the Cmax obtained in this study, it is concluded that the concentration to kill the COVID-19 virus was not achieved."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cyril Muhammad
"ABSTRAK
Siklofosfamid merupakan obat antikanker yang umum digunakan dalam regimen kemoterapi untuk penyakit kanker payudara. Namun, penggunaan siklofosfamid dapat menyebabkan efek samping yaitu sistitis hemoragik yang dapat menyebabkan pendarahan saat berkemih dan berkembang menjadi kanker kandung kemih. Efek samping tersebut disebabkan oleh hasil samping dari metabolisme siklofosfamid yaitu akrolein. Akrolein akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk metabolit yaitu 3-HPMA. Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran kadar 3-HPMA dalam urin pasien kanker. Sampel urin diambil 4 jam setelah pemberian siklofosfamid dan urinalisis dilakukan untuk melihat resiko terjadinya hematuria. Analisis dilakukan secara KCKUT-SM/SM fase terbalik yang dilengkapi dengan sistem deteksi spektrometri massa triple quadrupole ESI positif. Preparasi sampel dilakukan dengan pengasaman dan dilusi. Metode analisis yang digunakan linier dengan rentang analisis 40-10000 ng/mL untuk 3-HPMA. Hasil analisis kadar 3-HPMA dalam 40 pasien kanker menunjukkan hasil yang sangat bervariasi, dengan konsentrasi terukur berkisar antara 113-9495 ng/mL dan kadar ternormalisasi kreatinin berkisar antara 650-5596 ng/mg kreatinin.
Pasien dengan hasil positif hematuria menunjukkan rata-rata kadar 3-HPMA yaitu 4839 ng/mg kreatinin, sementara untuk pasien dengan hasil negative hematuria menunjukkan rata-rata kadar yaitu 2419,431 ng/mg kreatinin.

ABSTRACT
Cyclophosphamide is an alkylating agent commonly used in chemotherapy regimens for breast cancer, non-Hodgkins lymphoma, leukemia, and lung cancer. However, the use of cyclophosphamide can cause toxic side effects on the bladder, namely hemorrhagic cytitis which can cause hematuria and can later develop into bladder cancer. These side effects are caused by the byproduct of cyclophosphamide metabolism, acrolein. 3-HPMA is a stable metabolite of acrolein found in urine that serves as biomarker of acrolein. In this study, we developed a method to quantify 3-Hydroxy Propyl Mercapturic Acid (3-HPMA) in cancer patients urine. Urine samples were taken 4 hours after cyclophosphamide administration and urin alysis was done to observe the risk of hematuria. Analysis of 3-HPMA was performed by reversed phase UPLC-MS/MS equipped with triple quadrupole mass spectrometer positive ESI mode detection. The mobile phase used for analysis is 0,1% formic acid in water and in acetonitrile (90:10 v/v). The MRM was set at m/z 222.10>90.97 for 3-HPMA and 164.10 > 122.02 for the internal standard NAC. Sample preparation was done by acidification and simple dilution. The analytical method used is linear within the consentration range of 40-10000 ng/mL. The results showed varied levels of 3-HPMA in 40 cancer patients urine, with measured concentrations ranging from 113-9495 ng/mL and creatinine-adjusted levels ranging from 650-5596 ng/mg creatinine. Patients with positive results of hematuria showed 3-HPMA levels that were relatively high with mean level of 4839 ng/mg creatinine."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Nur Amalia
"Penggunaan doxorubicin pada pasien kanker payudara digunakan sebagai terapi tambahan dan akan dimetabolisme menjadi metabolit utama, yaitu doxorubicinol. Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan, doxorubicinol yang terakumulasi dalam tubuh manusia dapat meningkatkan risiko kelainan jantung atau memiliki efek kardiotoksik. Polimorfisme dalam karbonil-1-reduktase (CBR1) dapat mempengaruhi kadar doxorubicinol dalam tubuh. Dalam studi ini, analisis doxorubicin hidroklorida dan doxorubicinol dalam sampel Dried Blood Spot (DBS) dari 25 pasien kanker payudara yang menerima doxorubicin dalam rejimen terapeutik mereka telah dilakukan untuk memantau efek toksisitas doxorubicinol. Sampel DBS diekstraksi dengan metode presipitasi protein dan dianalisis menggunakan Ultra Performance Liquid Chromatography tandem Mass Spectrometry (UPLC-MS/MS). Deteksi massa dilakukan dengan mode ESI (+) tipe Multiple Reaction Monitoring (MRM) dengan nilai m/z 544,22> 397,06 untuk doxorubicin m/z 546.22> 363.05 untuk doxorubicinol dan m/z 180.03> 135.16 untuk hexamethylphosphoramide. Metode ini linier dalam kisaran konsentrasi 10-200 ng/mL untuk doxorubicin dan 4-100 ng/mL untuk doxorubicinol. Hasil analisis pada 25 pasien kanker payudara menunjukkan bahwa kadar doxorubicin berada pada kisaran 11,01 ng/mL hingga 93,75 ng/mL dan doxorubicinol adalah 5,80 ng/mL hingga 58,57 ng/mL. Dosis kumulatif semua pasien berada dalam kisaran 49,11 mg/m2 hingga 303,70 mg/m2 yang memiliki tingkat kejadian kardiomiopati <4% (tingkat kejadian kardiomiopati adalah 4% pada 500 hingga 550 mg/m2, 18% pada 551 hingga 600 mg/m2 m2, dan 36% pada> 600 mg/m2).

The use of doxorubicin in breast cancer patients is used as additional therapy and will be metabolized into the main metabolite, namely doxorubicinol. According to several studies that have been done, doxorubicinol which accumulates in the human body can increase the risk of heart abnormalities or have a cardiotoxic effect. Polymorphisms in carbonyl-1-reductase (CBR1) can affect doxorubicinol levels in the body. In this study, analysis of doxorubicin hydrochloride and doxorubicinol in Dried Blood Spot (DBS) samples from 25 breast cancer patients who received doxorubicin in their therapeutic regimen was carried out to monitor the doxorubicinol toxicity effect. DBS samples were extracted by the protein precipitation method and analyzed using Ultra Performance Liquid Chromatography tandem Mass Spectrometry (UPLC-MS/MS). Mass detection is done by ESI (+) type Multiple Reaction Monitoring (MRM) mode with a value of m/z 544.22> 397.06 for doxorubicin; m/z 546.22> 363.05 for doxorubicinol and m/z 180.03> 135.16 for hexamethylphosphoramide. This method is linear in the concentration range of 10-200 ng/mL for doxorubicin and 4-100 ng/mL for doxorubicinol. Analysis of 25 breast cancer patients showed that doxorubicin levels were in the range of 11.01 ng/mL to 93.75 ng/mL and doxorubicinol was 5.80 ng/mL to 58.57 ng/mL. The cumulative doses of all patients are in the range of 49.11 mg/m2 to 303.70 mg/m2 which have a cardiomyopathy rate <4% (cardiomyopathy incidence rate is 4% at 500 to 550 mg/m2, 18% at 551 to 600 mg/m2 m2, and 36% at> 600 mg/m2).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspitasari Ardiningsih
"Doksorubisin adalah antibiotik golongan antrasiklin yang digunakan sebagai agen antikanker. Doksorubisin merupakan salah satu terapi antikanker lini pertama yang memiliki aktivitas klinis pada penyakit kanker payudara. Doksorubisin dimetabolisme menjadi doksorubisinol sebagai metabolit utama. Pada penggunaannya, doksorubisin memberikan beberapa efek samping akibat terbentuknya doksorubisinol. Akumulasi doksorubisinol jangka panjang dalam tubuh dapat menyebabkan kardiomiopati, atau lemah jantung, karena doksorubisinol bersifat kardiotoksik. Efek kardiotoksik ini bergantung pada jumlah doksorubisin dan doksorubisinol yang terbentuk dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis doksorubisin dan doksorubisinol yang terbentuk dalam tubuh pasien kanker payudara. Partisipan penelitian ini adalah tiga puluh pasien kanker payudara yang menggunakan doksorubisin dalam regimen terapinya. Sampel dianalisis menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Ultra Tinggi-Tandem Spektrometri Massa (KCKUT-SM/SM). Preparasi sampel plasma darah sebanyak 250 mL dilakukan menggunakan pengendapan protein dengan metanol. Fase gerak terdiri dari asam asetat 0,1% (eluen A) dan asetonitril (eluen B) dengan elusi gradien, laju alir 0,15 mL/menit. Metode ini linier pada rentang 1-1000 ng/mL untuk doksorubisin dan 0,5-500 ng/mL untuk doksorubisinol. Analisis sampel menghasilkan data berupa rentang kadar terukur untuk doksorubisin sebesar 12,54-620,01 ng/mL serta doksorubisinol sebesar 1,10-27,00 ng/mL. Dosis kumulatif pada pasien untuk doksorubisin memiliki rentang 48,76-290,34 mg/m2, sehingga dapat disimpulkan risiko pasien pada penelitian ini terkena kardiomiopati berada di bawah angka kejadian 4% menurut literatur.

Doxorubicin was an anthracycline antibiotic used for anticancer agent. This anticancer agent was one of the first line anticancer therapies which had clinical activity in breast cancer. Doxorubicin was metabolized in the body into its main metabolite, doxorubicinol. The metabolite and caused cardiomyopathy, or hearts failure, due to its cardiotoxicity. This cardiotoxicity effect depended on the amount of doxorubicin and doxorubicinol accumulated in the body. This study aimed to analysis the level of doxorubicin and doxorubicinol in the blood plasma of breast cancer patients. Participants of this study were 30 breast cancer patients who received doxorubicin in their therapy regiment. The samples were analyzed using Ultra High Performance Liquid Chromatography-Tandem Mass Spectrometry (UHPLC-MS/MS). Sample preparation of 250 mL plasma was performed by protein precipitation using methanol. The mobile phase consisted of acetate acid 0,1% (eluent A) and acetonitrile (eluent B) with gradient elution, and the flow rate of 0,15 mL/min. This method was linear in the range of 1-1000 ng/mL for doxorubicin and 0,5-500 ng/mL for. Results showed that the measured concentration values of doxorubicin and doxorubicinol ranged between 12,54-620,01 ng/mL and 1,10-27,00 ng/mL respectively. The measured cumulative doses of doxorubicin ranged between 48,76-290,34 mg/m2, thus the risk of cardiomyopathy in the surveyed patients was under 4% according to the literature."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Callista Andinie Mulyadi
"Tamoksifen merupakan obat golongan Selective Estrogen Receptor Modulator SERM yang digunakan sebagai terapi adjuvan kanker payudara ER. Setelah administrasi, tamoksifen dimetabolisme menjadi dua metabolit utama: endoksifen yang dapat memberikan efek terapi, dan 4-hidroksitamoksifen yang menurut beberapa penelitian dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker endometrium. Efektivitas terapi tamoksifen yang diterima pasien dapat ditinjau melalui pencapaian kadar ambang batas dari endoksifen, dimana pasien yang memiliki kadar endoksifen > 3,3 ng/mL memiliki kemungkinan kekambuhan 26 lebih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis tamoksifen, endoksifen dan 4-hidroksitamoksifen dalam sampel dried blood spot DBS dari 14 orang pasien kanker payudara yang mendapatkan tamoksifen sebagai terapi adjuvan, sebagai bentuk aplikasi klinis metode analisis senyawa dan untuk mengevaluasi efektivitas terapi tamoksifen yang diterima pasien. Sampel DBS diekstraksi dengan metode pengendapan protein dan dianalisis menggunakan kromatografi cair kinerja ultra tinggi-tandem spektrometri massa KCKUT-SM/SM. Metode ini telah divalidasi parsial dan linear pada rentang 5 ndash; 200 ng/mL untuk tamoksifen, 1 ndash; 40 ng/mL untuk endoksifen dan 0,5-20 ng/mL untuk 4-hidroksitamoksifen. Pada sampel DBS dari 14 pasien kanker payudara yang dianalisis, kadar tamoksifen terukur berkisar antara 58,27 ng/mL hingga 183,53 ng/mL, kadar endoksifen terukur berkisar antara 4,55 ng/mL hingga 28,77 ng/mL, kadar 4-hidroksitamoksifen terukur berkisar antara 0,72 ng/mL hingga 8,19 ng/mL. Seluruh pasien memiliki kadar endoksifen di atas ambang batas 3,3 ng/mL.

Tamoxifen is a Selective Estrogen Receptor Modulator SERM that is used as an adjuvant therapy for ER breast cancer. Upon administration, tamoxifen is metabolized to two main metabolites endoxifen which is responsible for its therapeutic effect and 4 OHT which can increase the risk of endometrial cancer according to some researches. Efficacy of tamoxifen therapy can be assessed from clinical threshold of endoxifen, in which patients with endoxifen level above 3,3 ng mL have a 26 lower recurrence rate. This research aims to analyze tamoxifen, endoxifen and 4 hydroxytamoxifen in dried blood spots from 14 breast cancer patients who received tamoxifen as an adjuvant therapy, as clinical application of developed method and to evaluate the effectivity of the therapy received by patients. DBS samples are extracted by protein precipitation method and are analyzed using UPLC MS MS. This method is partially validated and linear within range of 5 ndash 200 ng mL for tamoxifen, 1 ndash 40 ng mL for endoxifen, and 0,5 ndash 20 ng mL for 4 hydroxytamoxifen. The result on 14 breast cancer patients showed that tamoxifen levels were in the range of 58,27 ng mL to 183,53 ng mL, endoxifen 4,55 ng mL to 28,77 ng mL, and 4 hydroxytamoxifen 0,72 ng mL to 8,19 ng mL. All patients showed endoxifen level above the clinical threshold 3,3 ng mL.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yesa Crystalia
"Siklofosfamid merupakan antineoplastik golongan agen pengalkilasi yang banyak digunakan dalam kemoterapi kanker. Siklofofamid bekerja dengan mengalkilasi basa DNA pada posisi N7 guanin menghasilkan N7-metilguanin. Siklofosfamid bersifat tidak selektif dan dapat mengalkilasi gugus nukleofil lain pada DNA yaitu O6 guanin menghasilkan O6-metilguanin yang berpotensi menyebabkan mutasi yang dapat memicu kanker sekunder. Pendeteksian O6-metilguanin sebagai salah satu contoh alkilguanin dapat menjadi salah satu cara monitoring terapi untuk menghindari risiko kanker sekunder pada pasien kanker yang diberikan siklofosfamid. Pada penelitian ini dilakukan analisis O6-metilguanin dalam darah pasien kanker. DNA sampel diisolasi menggunakan QIAgen DNA Mini Kits, lalu dihidrolisis menggunakan asam format. Hasil hidrolisis diinjeksikan ke KCKUTSM/ SM dengan kolom C18 Acquity UPLC BEH (1,7 μm, 2,1×100 mm) menggunakan elusi isokratik, fase gerak asam asetat 0,05% dalam aquabidestasetonitril (95:5), laju alir 0,3 mL/menit, metode ionisasi ESI+, kuantitasi MRM 166,1>149,1 dan 166,1>134,1, volume injeksi 10,0 μL. O6-metilguanin muncul pada 1,46 menit. Perhitungan menurut kurva kalibrasi memberikan batas deteksi 1,05 ng/mL dan batas kuantitasi 3,50 ng/mL. Dari 72 sampel yang dianalisis, O6-metilguanin terdeteksi pada 17 sampel, dan dapat dikuantitasi pada 1 sampel dengan kadar 5,8680 ng/mL.

Cyclophosphamide is one of the alkylating agents that widely used in cancer chemotherapy. It alkylates N7-guanine on DNA as major target, forming N7- methylguanine. Cyclophosphamide is not selective and can alkylate other nucleophilic groups such as O6-guanine forming O6-methylguanine which is potencial to causes mutation leading to secondary cancer in patients who administered it. O6-methylguanine detection as one of alkylguanine can be one way to monitor chemotherapy, therefore secondary cancer risk can be avoided. This research analyzes O6-methylguanine in cancer patients? blood. DNA samples were isolated by QIAgen DNA Mini Kits, and hydrolyzed using formic acid. The hydrolysate was injected to UPLC-MS/MS, column C18 Acquity UPLC BEH (1.7 μm, 2.1×100 mm), isocratic elution in 3 minutes, mobile phase consisted of acetic acid 0.05% in aquabidest - acetonitrile (95:5), flow rate 0,3 mL/min, ionization method ESI+, quantification traces 166.1>149.1 and 166.1>134.1, injection volume 10,0 mL. O6-methylguanine?s peak showed in 1,46 min. Extrapolation from calibration curve data gave limit of detection 1.05 ng/mL and limit of quantitation 3,50 ng/mL. Among 72 analyzed samples, O6-methylguanine was detected on 17 samples, and could be quantified on 1 sample at concentration 5.8680 ng/mL."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S47613
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firda Zakiatun Nufus
"Etinil estradiol dan levonorgestrel merupakan salah satu kombinasi kontrasepsi oral gabungan dosis rendah yang banyak digunakan di masyarakat. Namun, obat ini memiliki konsentrasi yang rendah dalam plasma, sehingga dibutuhkan metode analisis yang tepat dan sensitif. Saat ingin mendapatkan plasma dari darah dibutuhkan adanya penambahan antikoagulan. Ketika melakukan studi in vitro untuk pengembangan metode dan validasi metode analisis, antikoagulan yang digunakan yaitu sitrat. Namun, antikoagulan yang umum digunakan untuk studi in vivo adalah EDTA dan heparin, sehingga perlu dilakukan validasi parsial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh jenis antikoagulan terhadap analisis etinil estradiol dan levonorgestrel dalam plasma menggunakan kromatografi cair kinerja ultra tinggi tandem spektrometer massa. Kondisi analisis optimal diperoleh menggunakan kolom BEH C18 1,7 m; 50 x 2,1 mm fase gerak 0,1 asam formiat dalam air - asetonitril; metode elusi gradien; laju alir 0,3 mL/menit; suhu kolom 40 C volume penyuntikkan 10,0 L waktu analisis 5 menit dan prednison sebagai baku dalam. Aliquot diperoleh dengan kombinasi metode preparasi pengendapan protein dan ekstraksi cair-cair. Metode yang diperoleh mendapatkan hasil yang linear pada rentang konsentrasi 5-500 pg/mL untuk etinil estradiol dan 100-10.000 pg/ml untuk levonorgestrel.
Hasil menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan untuk parameter stabilitas dan recovery p > 0,05; ANOVA, namun peak area ratio menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan p < 0,05 Kruskal Wallis untuk sitrat, heparin, dan EDTA. Secara keseluruhan, analisis dengan plasma sitrat dan heparin memberikan hasil yang lebih baik dari plasma EDTA.

Ethinyl estradiol and levonorgestrel is one of low dose oral contraception combinations that commonly used. However, this medication is known to have low concentration in plasma therefore an appropriate and sensitive analysis to identify it, should be taken into account. In order to obtain plasma from blood, an addition of anticoagulant is needed. A research about in vitro study for method development and validation method analysis used citrate as anticoagulant. But, anticoagulants that regularly used for in vivo study are EDTA and heparin, therefore partial validation is needed.
This research objective is to evaluate the different types of anticoagulant to ethinyl estradiol and levonorgestrel in plasma by using ultra performance liquid chromatography tandem mass spectrometry. Optimal analysis condition is obtained with column BEH C18 1,7 m 50 x 2,1 mm mobile phase consisting 0.1 formic acid in water ndash acetonitrile gradient elution method flow rate of 0.3 mL minute column temperature of 40 C injection volume of 10,0 L 5 minutes analysis time and prednisone as internal standard. Aliquot is resulted by combining preparation method of protein precipitation and liquid liqud extraction. There was a linear result with the range of 5 500 pg mL concentration of ethinyl estradiol and 100 10.000 pg ml concentration of levonorgestrel.
There was no significant difference for stability and recovery of ethinyl estradiol and levonorgestrel in citrate, heparin, and EDTA plasma p 0.05 ANOVA, but it showed significant difference for peak area ratio p 0.05 Kruskal Wallis, between citrate, EDTA, and heparin plasma. In general, citrate and heparin plasma analysis had better result than EDTA plasma analysis.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>