Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159581 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Linda Hanafiah
"ABSTRAK
Undang-undang Perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami, namun dengan beberapa syarat memperbolehkan seorang suami beristri lebih dari seorang. Tesis ini membahas mengenai keabsahan perkawinan poligami yang dilakukan oleh seorang keturunan Tionghoa serta pembagian warisannya. Penulisan tesis ini menggunakan jenis penelitian studi kasus dengan pendekatan yuridis-normatif. Berdasarkan hasil pembahasan atas rumusan masalah yang ada, diketahui bahwa semasa hidupnya Pewaris telah menikah sebanyak tiga kali. Perkawinan pertama dilakukan sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hanya dilakukan berdasarkan ketentuan agama Katolik, sehingga perkawinan Pewaris dan istrinya yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dianggap tidak sah menurut hukum negara karena tidak adanya pencatatan di kantor pencatat perkawinan. Perkawinan kedua pewaris dilakukan setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dilakukan sesuai ketentuan agama Katolik dan dicatatkan di Catatan Sipil adalah tidak sah karena Katolik tidak mengenal adanya perkawinan poligami. Sedangkan perkawinan ketiga Pewaris dilakukan setelah Pewaris berpindah agama menjadi seorang muslim, sehingga perkawinannya yang dilangsungkan di Kantor Urusan Agama adalah perkawinan yang sah menurut hukum agama dan negara. Tidak adanya pencatatan mengakibatkan suatu perkawinan tidak sah menurut undang-undang sehingga tidak memperoleh kepastian ataupun perlindungan hukum. Sehingga dalam hal ini pertimbangan hakim kurang tepat karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penerima warisan dari pewaris yang meninggal dalam keadaan beragama Islam hanyalah ahli waris yang juga beragama Islam, sedangkan ahli waris non-muslim dapat memperoleh bagian dari wasiat wajibah.

ABSTRACT
The 1974 Marriage Act basically adhere to monogamy principle, however for some conditions may be allowed for a husband to have more than one wife. This thesis discusses about the validity of polygamy marriage done by an chinese ethnic and his inheritance allotment. The writing of this thesis is using case study research by normative juridical research approach. Based on the discussion results of the questions, it is known that the heir has married for three times. The first marriage was held before the enactment of the 1974 Marriage Act and done under the Catholic rules, however the marriage which is subject to the Indonesian Civil Law is deemed invalid according to state law because it was not registered at the office of registry marriage. The second marriage held after the 1974 Marriage Act enacted and it was carried out in accordance with the Catholic rules and registered at the Civil Registration, however the second marriage is also invalid because in Catholic rules, it does not recognize polygamy marriage. While the third marriage was done after the heir change his religion into Moslem. The third marriage which was held in The Office of Religious Affairs is a lawful matrimony according to Islamic and state regulations. The absence of marriage registration causes the first marriage was not legitimate and has no legal certainty or legal protection. Therefore in this case, the judges rsquo considerations were inappropriate because it was against the applicable law. The heirs of the heir who died as a Moslem are only they are who also a moslem, while the non muslim heirs can obtain part of the inheritance from wajibah testament."
2017
T47155
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahimah Syamsi
"Salah satu permasalahan dalam perkawinan poligami adalah apabila suami yang meninggal pernah melakukan perceraian pada salah satu istrinya, namun harta bersamanya belum dibagi. Hal ini disebabkan, banyak masyarakat belum mengetahui cara pembagian harta warisan terhadap harta bersama pada perkawinan poligami terutama dalam syariat Islam. Dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor 39/Pdt.G/2020/PTA.Mtr, terdapat perbedaan pendapat Majelis Hakim pada tingkat agama dan tingkat banding. Pada putusan pengadilan tingkat agama, Hakim hanya membagi harta bersama sebagai harta warisan tanpa melibatkan istri pertama. Sedangkan, menurut Majelis Hakim tingkat banding pembagian harta tersebut harus melibatkan istri pertama, lalu setelah itu baru dapat dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Jika tidak melibatkan istri pertama, bisa dianggap tidak adil karena hanya mengungkapkan harta bersama dari salah seorang istri saja. Metode penelitian yang digunakan secara yuridis normatif berdasarkan data sekunder. Alat pengumpulan data yang digunakan dengan studi kepustakaan. Hasil penelitiannya adalah untuk pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami harus melibatkan para istri, setelah itu harta warisan baru dapat dibagikan kepada para ahli waris yang berhak. Cara pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami dapat merujuk pada Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II dan menurut pendapat Neng Djubaedah yaitu dengan equal method dan ratio method.

One of the problems in a polygamous marriage is if the deceased husband has divorced one of his wives, but the joint assets have not been divided. This is because many people do not know how to divide inheritance into joint assets in polygamous marriages, especially in Islamic law. In the case of the Decision of the Mataram Religious High Court Number 39/Pdt.G/2020/PTA.Mtr, there was a difference of opinion of the Panel of Judges at the first-level religious court and the second-level religious high court. In the decision of the first-level religious court, the judge only divided the joint assets as inheritance without involving the first wife. Meanwhile, according to the second-level religious high court, the distribution of assets must involve the first wife, and only then can it be distributed to the rightful heirs. If it doesn't involve the first wife, it could be considered unfair because it only discloses the joint assets of one of the wives. The research method used is normative juridical based on secondary data. Data collection tool used with literature study. The results of his research are that the distribution of joint assets in a polygamous marriage must involve the wives, after which the new inheritance can be distributed to the rightful heirs. The method for dividing joint assets in polygamous marriages can refer to the Guidelines for the Implementation of Duties and Administration of the Religious Courts Book II and according to Neng Djubaedah's opinion, namely the equal method and the ratio method."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Hanifati
"Penelitian ini membahas penyelesaian masalah pembagian harta waris yang tercampur dalam harta bersama perkawinan salah satu ahli waris. Pembagian terhadap harta waris ada baiknya disegerakan agar para ahli waris mendapat bagian yang menjadi haknya. Hal ini disebabkan guna menghindari terjadinya percampuran antara harta waris yang belum dibagi, dengan harta bersama dalam perkawinan ahli waris yang mengelola dan menguasai harta waris berupa usaha. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai kekuatan pembuktian surat pernyataan dengan judul Surat Kerelaan dan Surat Pernyataan Pengelolaan atas harta waris berupa sebuah usaha yang ditinggalkan oleh pewaris, serta bagaimana penyelesaian waris berdasarkan hukum kewarisan Islam terhadap harta waris yang tercampur dalam harta bersama perkawinan salah satu ahli waris. Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif untuk melakukan pengumpulan data melalui studi kepustakaan serta wawancara kepada informan. Hasil analisa penelitian ini adalah bahwa surat pernyataan yang dibuat oleh para ahli waris merupakan alat bukti tertulis yang belum dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah karena tidak disertai pembubuhan meterai pada saat penandatangannya. Namun apabila surat pernyataan tersebut ingin diajukan sebagai alat bukti di pengadilan, maka dapat dilakukan Pemeteraian Kemudian yang memerlukan pengesahan dari pejabat yang berwenang. Mengenai penyelesaian pembagian waris, dilakukan berdasarkan hukum dari pewaris. Apabila pewaris beragama Islam, maka pembagian waris dilakukan berdasarkan ketentuan KHI. Dalam hal ingin membuat surat yang memuat pemberian hak atau segala sesuatu yang bersifat perdata, dan ditujukan sebagai alat bukti, ada baiknya apabila dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang seperti Notaris.

This research discusses the settlement to the problem of the distribution of inheritance mixed in the joint assets of the marriage of one of the heirs. The distribution of the inheritance should be hastened so that the heirs get the share that is their right. This is due in order to avoid the occurrence of mixing between the inheritance that has not been divided, with the joint property in the marriage of the heirs who manage and control the inheritance in the form of a business. The problem in this research is about the strength of proof of a statement with the title Letter of Will and Statement of Management of inheritance in the form of a business left by the heir, as well as how to settle inheritance based on Islamic inheritance law against inheritance mixed in the joint property of the marriage of one of the heirs. To answer these problems, a normative juridical legal research method was used to collect data through literature studies and interviews with informants. The results of the analysis of this study are that the statement letter made by the heirs is a written evidence that cannot be said to be valid evidence because it is not accompanied by the affixing of a seal at the time of signing. However, if the statement is to be submitted as evidence in court, then later sealing can be carried out which requires ratification from the authorized official. Regarding the settlement of the distribution of inheritance, it is carried out based on the law of the testator. If the heir is Muslim, the distribution of inheritance is carried out based on the provisions of the KHI. In the case of wanting to make a letter containing the granting of rights or anything of a civil nature, and intended as evidence, it is better if it is made by or before an authorized public official such as a Notary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liliana Christiani
"ABSTRAK
Masyarakat Tionghoa di Bangka Belitung dan Singkawang masih menggunakan adat
Tionghoa dalam pembagian waris. Hal tersebut menimbulkan kebingungan bagi Notaris
dalam membuat Surat Keterangan Waris yang sesuai dengan ketentuan hukum, dimana
Notaris hanya menyebutkan nama-nama yang menjadi ahli waris tanpa mencantumkan
besar bagian masing-masing ahli waris, yang pada akhirnya mengakibatkan Surat
Keterangan Waris tersebut menjadi tidak sempurna. Permasalahan yang akan dibahas
yaitu mengenai pelaksanaan pembagian harta warisan pada masyarakat Tionghoa di
Bangka Belitung dan Singkawang, penerapan Hukum Waris Perdata dalam Pembuatan
Surat Keterangan Waris bagi masyarakat golongan Tionghoa, dan kewajiban Notaris
dalam membuat Surat Keterangan Waris yang benar dan sesuai dengan ketentuan hukum.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang didukung oleh hasil
wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada masyarakat Tionghoa di Bangka
Belitung, anak laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar dari anak perempuan, istri
dalam kedudukannya sebagai janda berhak mewarisi dan menguasai seluruh harta
peninggalan Pewaris yang tidak dibagi-bagikan sampai ia meninggal dunia, sedangkan
pada masyarakat Tionghoa di Singkawang yang berhak mewarisi harta peninggalan
pewaris hanya anak laki-laki, anak perempuan dan istri tidak mendapatkan bagian baik
dengan jalan hibah maupun wasiat. Dalam pembuatan Surat Keterangan Waris oleh
Notaris tidak dapat menerapkan Hukum Adatnya melainkan harus menerapkan hukum
positif yang berlaku bagi masyarakat golongan Tionghoa dan Notaris berkewajiban
membuat Surat Keterangan Waris atas permintaan seluruh ahli waris, dokumen-dokumen
autentik, dan Akta Pernyataan yang dibuat oleh ahli waris dihadapan Notaris. Notaris
dalam membuat Surat Keterangan Waris bagi masyarakat golongan Tionghoa harus
menentukan ahli waris yang berhak dan besar bagian masing-masing ahli waris yang
sesuai dengan ketentuan dalam KUHPerdata agar menjadi Surat Keterangan Waris yang
sempurna. Bagi masyarakat Tionghoa sebaiknya diberikan sosialisasi mengenai prinsip
pewarisan yang berlaku bagi masyarakat Tionghoa adalah Hukum Waris Perdata yang
berdasarkan KUHPerdata dan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya aebaiknya
terus mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Waris
terutama mengenai Hukum Adat yang berkaitan dengan Hukum Adat daerah setempat.

ABSTRACT
Chinese communities in Bangka Belitung and Singkawang still use Chinese customs in the distribution of inheritance. This caused confusion for the Notary in making a Letter of Inheritance in accordance with the provisions of the law, where the Notary only Mentioned the names of the heirs without including the portion of each heir, which in turn resulted in the Certificate of inheritance becoming imperfect. The problems that will be discussed are regarding the implementation of the distribution of inheritance to the Chinese community in Bangka Belitung and Singkawang, the application of the Waris Perdata Law in the Preparation of Inheritance Certificates for the Chinese community, and the Notarys obligation to make a true inheritance certificate and in accordance with legal provisions. This study uses a normative juridical research method supported by the results of interviews. The results showed that in the Chinese community in Bangka Belitung, boys get a greater share of daughters, wives in their position as widows have the right to inherit and control all inheritance inheritance that is not distributed until he dies, while in the community Chinese in Singkawang who have the right to inherit inheritance inheritance only boys, girls and wives do not get a share either by grant or will. In making a certificate of inheritance by a notary, he cannot apply his customary law but must apply positive law that applies to Chinese groups and notaries are obliged to make inheritance certificates at the request of all heirs, authentic documents, and deed made by heirs before Notary Public. The notary in making a certificate of inheritance for the Chinese group must determine the rightful heirs and the portion of each heir who is
in accordance with the provisions in the Civil Code to become a perfect certificate of
inheritance. For the Chinese community, socialization should be given regarding the
principle of inheritance that applies to Chinese society, namely the Law of Inheritance
based on the Civil Code and for Notaries in carrying out their positions should continue to develop knowledge, especially in the field of Inheritance Law, especially regarding Customary Law relating to local customary law.
"
2019
T53781
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Prisilia Octaviani
"Tesis ini membahas mengenai hak mewaris Anak Luar Kawin secara penggantian terhadap harta peninggalan keluarga ibunya pada golongan Tionghoa Non Muslim setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Hukum Waris yang berlaku bagi golongan Tionghoa Non Muslim adalah sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam KUHPerdata seorang Anak Luar Kawin harus diakui lebih dahulu untuk menimbulkan hubungan hukum antara anak dan ibu yang melahirkannya. Namun setelah UU Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ketentuan Pasal 43 ayat 1 harus dibaca, ldquo;anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. rdquo; Makna hubungan hukum yang diberikan antara anak luar kawin dengan keluarga ibunya menyebabkan banyak interpretasi, apakah kedudukan anak luar kawin menjadi sama dengan anak sah atau sama dengan anak luar kawin yang diakui sah tanpa perlu pengakuan sesuai ketentuan dalam KUHPerdata. Apakah kemudian anak luar kawin khususnya golongan Tionghoa Non Muslim memiliki hak untuk mewaris secara penggantian terhadap harta peninggalan ibu dan keluarga ibu? Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif analitis. Menerapkan asas hukum Lex Specialist Derogat Legi Generali, ketentuan dalam KUHPerdata merupakan ketentuan khusus mengenai hukum waris, sedangkan UU Perkawinan merupakan ketentuan umum, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 842 KUHPerdata, dalam hal mewaris secara penggantian tempat hanya dapat dilakukan oleh keturunan yang sah. Jika kedudukan Anak Luar Kawin ingin diperbaiki dengan memberikan hak-hak waris yang lebih baik, perlu dibuat peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang di bidang hukum waris yang baru agar berlaku asas hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori terhadap KUHPerdata.

This thesis is about the inheritance rights of Children Born out of Wedlock in Place Fulfillment to his her mother rsquo s family inheritance for Non Muslims Chinese Ethnic after the enacted of Article 43 paragraph 1 Law No. 1 Year 1974 concerning Marriage Law and The Constitutional Court Verdict No. 46 PUU VIII 2010. The Law of Inheritance applied for Non Muslims Chinese ethnic is in Indonesian Civil Code. According to Civil Code, a child born out of wedlock must be recognized to create legal relationship between the child and his her mother. But after the enacted of Marriage Law and The Constitutional Court Verdict No. 46 PUU VIII 2010, Article 43 paragraph 1 must be read, ldquo a child born out of wedlock has legal relations with his her mother and the mother rsquo s family, and with a man as his her father who can be proven on the science basis and technology and or other evidence according to the law has blood relations, including legal relationships with his her father rsquo s family rdquo . The meaning of lsquo legal relationship rsquo given between the child born out of wedlock and the family of the mother raise more than one interpretations, whether child born out of wedlock after the Marriage Law has equal rights with the legitimate child or even without recognition from the mother born out of wedlock has the same position as the recognized child as mention in inheritance law in Civil Code. Do child born out of wedlock have the right of place fulfilllment in inheritance from his her mother and mother rsquo s family especially for Non Muslims Chinese Ethnic according to Article 43 1 Marriage Law This research was conducted by normative juridical research method with descriptive analytical and qualitative approach. In accordance to legal principle Lex Specialist Derogat Legi Generali, Civil Code is the special law concerning the inheritance law, whereas the Marriage Law is the general provision. Consequently Article 842 Civil Code, that stated inheritance by place fulfillment can only done by legitimate descendant, is applied to child born out of wedlock. If we are willing to give child born out of wedlock a better inheritance rights, it is necessary to enact legislation at the Law level in order to apply Lex Posterior Derogat Legi Priori principle to Civil Code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T51075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aridho Dzilfy Taukhid
"Penelitian ini menganalisis bagaimana keabsahan pengesahan perkawinan dan pengesahan anak yang dilakukan setelah kematian pewaris serta implikasinya terhadap pembagian harta warisan, khususnya didasarkan pada Putusan Nomor 552/Pdt.G/2018/PN Mdn. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pengesahan perkawinan dan pengesahan anak merupakan sarana untuk memperjelas status suami, istri, dan anak dalam perkawinan sehingga dapat memperoleh hak keperdataan, termasuk hak waris. Namun, terdapat kasus di mana pengesahan perkawinan dan pengesahan anak dilakukan setelah kematian pewaris. Pengesahan perkawinan dan pengesahan anak yang dilakukan setelah kematian pewaris adalah mungkin untuk dilakukan. Pengesahan perkawinan dapat dilakukan setelah kematian pewaris melalui permohonan ke pengadilan negeri dengan membuktikan bahwa perkawinan tersebut telah sah secara hukum agama. Begitu juga terkait pengesahan anak setelah kematian pewaris dapat dilakukan melalui permohonan ke pengadilan negeri dengan membuktikan bahwa perkawinan kedua orang tua anak luar kawin telah sah secara hukum agama dan hukum negara, serta harus dibuktikan juga bahwa anak luar kawin dan ayahnya memiliki hubungan darah, baik berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Adapun implikasi dari pengesahan perkawinan setelah kematian pewaris adalah perkawinan tersebut menjadi diakui oleh hukum negara, sehingga pasangan yang masih hidup berhak menjadi ahli waris suami atau istri yang hidup terlama dalam ikatan perkawinan. Sedangkan, implikasi dari pengesahan anak setelah kematian pewaris adalah anak luar kawin akan berubah statusnya menjadi anak sah, sehingga ia berhak menjadi ahli waris anak sah. Implikasi dari pengesahan perkawinan dan pengesahan anak setelah kematian pewaris terhadap pembagian harta warisan dapat dilihat pada Putusan Nomor 552/Pdt.G/2018/PN Medan.

This research analyzes the validity of marriage legitimization and child legitimization conducted after the deceased's death and their implications for the division of inheritance, particularly based on Decision Number 552/Pdt.G/2018/PN Mdn. This research employs doctrinal legal research. Marriage legitimization and child legitimization are means to clarify the status of the husband, wife, and child in a marriage, enabling them to obtain civil rights, including inheritance rights. However, there are cases where marriage legitimization and child legitimization are carried out after the deceased's death. Marriage legitimization and child legitimization conducted after the deceased's death are possible. Marriage legitimization can be performed after the deceased's death through a petition to the district court by proving that the marriage was valid under religious law. Similarly, child legitimization after the deceased's death can be carried out through a petition to the district court by proving that the marriage of the out-of-wedlock child’s biological parents was valid under religious and state law, along with evidence that the out-of-wedlock child and their father share a blood relationship, supported by scientific and technological methods and/or other evidence admissible by law. The implication of marriage legitimization after the deceased’s death is that the marriage becomes recognized under state law, granting the surviving spouse the right to become the heir as the longest-living spouse in the marital bond. Meanwhile, the implication of child legitimization after the deceased’s death is that the status of the out-of-wedlock child changes to that of a legitimate child, granting them the right to become the heir as a legitimate child. The implications of marriage legitimization and child legitimization after the deceased’s death on the division of inheritance can be seen in Decision Number 552/Pdt.G/2018/PN Mdn. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Garinindya Elrizqitia
"Praktik poligami tidak lepas dari beberapa permasalahan, salah satunya pemalsuan identitas. Tindakan tersebut menimbulkan masalah saat pembagian harta bersama. Berdasarkan permasalahan tersebut maka penulis melihat bahwa harus ditelusuri pengertian poligami dan harta bersama menurut hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam serta melihat pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami yang memalsukan identitas agar dapat menganalisis dengan jelas ketentuan poligami dan pembagian harta bersama sesuai hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya, agar dapat menjelaskan mengenai pembagian harta bersama dalam hal pelaku melakukan pemalsuan identitas dalam poligami. Penelitian tersebut menggunakan metode yuridis normatif yang menghasilkan kesimpulan bahwa dalam Perkawinan Poligami, maka isteri kedua tidak berhak memiliki harta bersama suami dengan isteri pertamanya. Tetapi, hanya diperbolehkan memiliki harta bersama sejak perkawinan dengan isteri kedua dimulai sampai perkawinan berakhir. Perbedaan identitas mengakibatkan seseorang secara materiil berbeda, sehingga isteri yang dinikahi dapat kehilangan haknya atas harta bersama. Dalam skripsi ini, penelitian dilakukan terhadap perkara pembagian harta bersama antara PENGGUGAT I,II,III vs TERGUGAT I,II,III,IV,V,VI yang menghasilkan putusan Pengadilan Agama Nomor 183/Pdt.G/2012/PA.Plk.

The practice of polygamy has several problems, one of which is falsifying identity by some of them. Such actions cause problems when dealing with the marital property. Based on the above problems the writer notice that polygamy should be traced sense and marital property in accordance with Islamic law, Act No. 1 of 1974 on Marriage and Instruksi Presiden RI Islamic Law Compilation No. 1 of 1991 and see the distribution of marital property in a polygamous marriage impersonation in order to analyze the clear provisions of polygamy and appropriate division of marital property of Islamic law, Act No. 1 of 1974 on Marriage and Instruksi Presiden RI Compilation of Islamic Law. Furthermore, in order to clarify the division of joint property in case the perpetrator commits impersonation in polygamy. The method of research is using normative juridical method that produces the conclusion that in Marriage Polygamy, the second wife do not entitle to possession of the property with her husband by his first wife. But it is only permit to own property together since the marriage with second wife started until marriage ended. Different of identity makes its result materially different, so the wife who married could lose her right to obtain a proper joint marital property. This thesis was made by Analysis of Religion Court Adjudication No. 183/Pdt.G/2012/PA.Plk between ACCUSER I, II, III vs. Defendants I, II, III, IV, V, VI."
2014
S53648
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harvin
"Penelitian ini membahas mengenai pengesahan perkawinan dan pengesahan anak yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia dan akibat hukum pengesahan tersebut dalam pembagian harta warisan. Banyak pasangan suami istri yang telah melaksanakan perkawinan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaannya, namun perkawinan mereka untuk alasan tertentu tidak dicatatkan di catatan sipil. Perkawinan yang tidak dicatatkan di catatan sipil tidak diakui oleh negara, sehingga perkawinan tersebut tidak diakui hukum negara dan anak pasangan suami istri dari perkawinan yang tidak dicatatkan akan berstatus sebagai anak luar kawin. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka dapat dilakukan pengesahan perkawinan yang kemudian diikuti oleh pengesahan anak. Permasalahan utama dari pengesahan perkawinan dan pengesahan anak setelah pewaris meninggal dunia adalah ketidakpastian dan kekosongan hukum yang mengatur permasalahan tersebut, seperti yang dapat terlihat dalam Putusan No. 76/PDT/2020/PT.BDG. yang menjadi objek penelitian ini, di mana hakim menyatakan bahwa pengesahan perkawinan dan pengesahan anak setelah pewaris meninggal dunia tidak berpengaruh dan tidak mempunyai kekuatan hukum dalam pembagian harta warisan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah akibat hukum yang timbul dari pengesahan perkawinan dan pengesahan anak setelah pewaris meninggal dunia dalam pembagian harta warisan. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif dengan pendekatan kasus dan peraturan perundangundangan. Tipologi penelitian ini bersifat eksplanatoris, dan pengumpulan data dari penelitian dilakukan melalui studi dokumen. Adapun analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian adalah pengesahan perkawinan setelah pewaris meninggal dunia akan membuat istri diakui oleh negara sebagai ahli waris golongan pertama. Pengesahan anak setelah pewaris meninggal dunia akan membuat anak seolah-olah lahir dalam perkawinan sehingga berhak menjadi ahli waris golongan pertama.

This study discusses the legalization of marriages and legalization of children which are carried out after the testator dies and the legal consequences of the legalization on the distribution of inheritance. Many married couples have married according to their respective religious laws and beliefs, but their marriage for some reason is not registered in the civil registry. Marriages that are not registered in the civil registry are not recognized by the state, so the marriage is not recognized by the law and the children of the married couple from a marriage that are not registered will have the status of children out of wedlock. To solve this problem, the marriage can be legalized which is then followed by the legalization of children. The main problem with the legalization of marriages and legalization of children after the testator dies is the uncertainty and legal vacuum that governs these issues, as can be seen in Decision No. 76/PDT/2020/PT.BDG. which became the object of this research, where the judge stated that the legalization of marriage and the legalization of children after the testator died had no effect and had no legal consequences on the distribution of inheritance. The problems raised in this study are the legal consequences that arise from the legalization of marriages and legalization of children after testator dies in the distribution of inheritance. This research is in the form of juridical-normative with a case and statutory regulations approach. The typology of this research is explanatory, and data collection from research conducted through document studies. The data analysis was carried out qualitatively. The result of the research is that the legalization of marriage and the legalization of children can be carried out and the legalization will result in the spouse and child becoming the heirs of first group."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hans Raynadhi
"Tesis ini meneliti kedudukan anak angkat pada golongan Tionghoa dalam pewarisan orang tua angkat khususnya pada Keterangan Hak Mewaris, mengingat belum ada pengaturan yang jelas terkait kedudukan anak angkat dalam pewarisan kerap kali menjadi pemicu timbulnya konflik di antara ahli waris. Rumusan permasalahan yang diangkat adalah pengaturan hak dan kewajiban anak angkat pada golongan Tionghoa di Indonesia dalam kaitannya dengan pewarisan dan kesesuaian pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 171/Pdt.G/2023/PN.Srg dengan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia terkait kedudukan anak angkat dalam Keterangan Hak Mewaris. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil dari penelitian adalah hak dan kewajiban anak angkat dengan orang tua angkat mendapat pengaturan yang sama seperti antara anak sah dengan orang tua kandungnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan dalam kaitannya dengan pewarisan, anak angkat berhak menjadi ahli waris orang tua angkatnya, sebab pengangkatan anak yang dilakukan secara sah berdasarkan Pasal 12 Staatsblad 1917 Nomor 129 membawa akibat hukum anak angkat dianggap seolah-olah dilahirkan dari perkawinan orang tua angkatnya. Kemudian, pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 171/Pdt.G/2023/PN.Srg yang menyatakan ahli waris dari OGH alias K adalah saudara kandungnya, sedangkan SS sebagai anak angkat bukan merupakan ahli waris tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab berdasarkan Pasal 12 Staatsblad 1917 Nomor 129 dihubungkan dengan Pasal 832 jo. Pasal 852 KUHPerdata, anak angkat berkedudukan sama seperti anak sah, sehingga SS berhak menjadi satu-satunya ahli waris golongan I dari OGH alias K dan menutup hak waris dari saudara kandung pewaris. Adapun terkait Akta Keterangan Hak Mewaris kedua yang dibuat Notaris RD tidak boleh dibuat bahkan tidak boleh terjadi karena apabila ahli waris lain keberatan atas suatu keterangan hak mewaris seharusnya diselesaikan di Pengadilan, bukan malah membuat akta keterangan hak mewaris yang berbeda ahli warisnya atas pewaris yang sama.

This thesis examines the position of adopted children in the Chinese group in the inheritance of adoptive parents, especially in the Statement of Inheritance Rights, considering that there are no clear regulations regarding the position of adopted children in inheritance which often triggers conflicts between heirs. The formulation of the problem raised is the regulation of the rights and obligations of adopted children in the Chinese group in Indonesia in relation to inheritance and the conformity of the judge's considerations in Decision Number 171/Pdt.G/2023/PN.Srg with the Laws and Regulations in Indonesia regarding the position of adopted children in the Statement of Inheritance Rights. This study uses a doctrinal research method. The results of the study are that the rights and obligations of adopted children with adoptive parents are regulated the same as between legitimate children and their biological parents based on Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection and in relation to inheritance, adopted children have the right to become heirs of their adoptive parents, because the adoption of a child carried out legally based on Article 12 of Staatsblad 1917 Number 129 has the legal consequence that adopted children are considered as if they were born from the marriage of their adoptive parents. Then, the judge's consideration in Decision Number 171/Pdt.G/2023/PN.Srg which stated that the heirs of OGH alias K are his siblings, while SS as an adopted child is not an heir is not in accordance with the laws and regulations in Indonesia. Because based on Article 12 of Staatsblad 1917 Number 129 connected with Article 832 in conjunction with Article 852 of the Civil Code, adopted children have the same status as legitimate children, so that SS has the right to be the only heir class I of OGH alias K and closes the inheritance rights of the testator's siblings. Regarding the second Deed of Inheritance Rights made by Notary RD, it may not be made and may not even occur because if other heirs object to a statement of inheritance rights, it should be resolved in Court, not making a deed of inheritance rights with different heirs for the same heir."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Dea Rosa
"ABSTRAK Peristiwa kematian seseorang berakibat timbulnya peristiwa kewarisan terhadap ahli warisnya. Penyelesaian kasus kewarisan terhadap pewaris yang beragama Islam biasanya diselesaikan menurut hukum kewarisan Islam yang jika tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan diselesaikan melalui lembaga peradilan agama, termasuk Mahkamah Syar rsquo;iyah di dalamnya. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penyelesaian kasus putusan kewarisan Islam Mahkamah Syar rsquo;iyah Banda Aceh Nomor 229/Pdt.G/2013/MS.Bna dalam perspektif sistem kewarisan Islam yang berlaku di Indonesia? dan bagaimana peran notaris terhadap kasus kewarisan ini guna mencegah terjadinya sengketa di antara para ahli waris? Metode penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah yuridis normatif. Permasalahan timbul ketika hakim hanya memutus dengan global dan tidak terperinci ke ahli waris yang masih hidup. Sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan peran notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Kewenangan notaris sendiri dalam kasus ini adalah membuat surat keterangan waris yang belum mempunyai landasan hukum yang kuat dan bersifat akta dibawah tangan. Oleh karena itu Penulis memberikan saran bahwa membuat akta partij yang memuat keterangan dari para penghadap dan ditutup dengan kesimpulan dari notaris dengan hak waris sehingga akta tersebut berbentuk akta otentik dan kewenangan tersebut harus dituangkan dalam UUJN.
ABSTRACT The event of a person rsquo s death resulted the inheritance event. The settlement of inheritance cases to Muslim heirs usually settled according to the law of Islamic heritage, which shall be settled through amicably settlement or though religious court, including Mahkamah Syar rsquo iyah. The main problem in this research is how to solve the case of Islamic heritage decision of Mahkamah Syar 39 iyah Banda Aceh Number 229 Pdt.G 2013 MS.Bna in perspective of Islamic inheritance system applicable in Indonesia and what is the role of the notary to this inheritance case to prevent the occurrence of disputes among the heirs The research method used by the author is the normative juridical. Problems arise when judges only break with the global and not detailed to the surviving heirs. So to solve it required the role of a notary as a public official authorized to make an authentic deed. The authority of the notary himself in this case is to make a certificate of inheritance which has not had a strong and deed legal basis under the hand. The authors therefore advise that the making of a partial deed containing the information of the constituents and concluding with the conclusion of the notary with the right of inheritance so that the deed is in the form of an authentic deed and the authority shall be set forth in the UUJN. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48562
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>