Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97247 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Iqbal
"Penelitian Hukum ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami konsep dan teoritis akademis agar dapat mengantisipasi timbulnya berbagai masalah bila hendak menerapkan ajaran perbarengan tindak pidana atau concursus dilapangan secara praksis; Bahwa ajaran perbarengan tindak pidana terdiri dari berbagai bentuk, antara lain, @ Perbarengan tindak pidana dalam satu perbuatan; @ Perbarengan tindak pidana sebagai perbuatan yang berlanjut; @ Perbarengan tindak pidana dalam beberapa perbuatan. Dan rumusan berbagai bentuk perbarengan tindak pidana ini telah dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, dan digunakan sebagai kerangka dasar hukum dalam sistem pemidanaan bagi setiap pelanggar aturan dan undang-undang tentang perbarengan tindak pidana di bidang perindustrian. Bahwa dalam era pembangunan ekonomi dan industri, seringkali elemen-elemen masyarakat terutama tingkat usaha kecil dan/atau mungkin tingkat menengah bidang perindustrian, dan secara berbarengan juga melanggar ketentuan pidana lainnya yang terkait, secara concursus; Permasalahan yang timbul adalah mengenai batasan-batasan perbuatan terlarang tersebut kedalam salah satu bentuk perbarengan tindak pidana.
Terkait dengan itu sesuai hasil penelitian, telah menunjukkan bahwa dari segi konsep dan teoritis akademis, pemenuhan beberapa syarat yang diperlukan bagi berbagai bentuk perbarengan tindak pidana itu telah menimbulkan banyak permasalahan, antara lain pelanggaran ketentuan yang terabaikan dan selain itu ada juga ketentuan persyaratan yang rumusannya kurang jelas. Sehingga hal itu berpengaruh pada perumusan dakwaan yang disusun oleh Penuntut Umum dalam membuat konstruksi hukum perbuatan perbarengan tindak pidana, dan konstruksi hukum yang disusun jaksa bagi penjatuhan hukum pidana ditingkat pengadilan; Hal ini tampak adanya kekurang jelian dan/atau terabaikan oleh jaksa, yaitu adanya bentuk perbuatan pidana lainnya dalam rangkaian perbuatan yang melanggar pidana selama dan sesudah proses produksi barang, dalam hal ini diawali dengan pelanggaran ketentuan pidana dalam perindustrian.
Sistem pemidanaan dalam berbagai bentuk perbarengan tindak pidana ternyata juga tidak atau kurang diperhitungkan di dalam penjatuhan pidana oleh putusan pengadilan, dalam hal ini terutama terkait berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan pengadilan; terlepas dari pertimbangan adanya hal-hak meringankan dan hal-hal yang memberatkan, serta unsur keyakinan hakim pengadil; Sehingga seringkali tidak sesuai dengan ancaman hukuman yang seharusnya menurut pasal-pasal aturan perundang-undangan yang berlaku, terkait dengan ajaran perbarengan tindak pidana di bidang perindustrian.

ABSTRACT Legal research is aimed to know and understand the theoretical concepts and academia in order to anticipate problems if you want to apply the theory of joinder of offenses or concursus field in practical terms The doctrine of joinder of offense consists of various forms, among other things, Joinder of offenses in one criminal action Joinder of offense as continue criminal action Joinder of offenses in several criminal action. And the formulation of various forms of joinder of offenses is set forth in the Code of Penal Indonesia, and is used as the basic framework of law in the criminal system for any violators of rules and laws on joinder of offenses in the field of industry. That in an era of economic and industrial development, often elements of society, especially the level of small business and or maybe a mid level industrial field, and simultaneously also violates other related criminal provisions, it concursus Problems that arise are the boundaries of the forbidden actions into one form joinder of offences.
The research have shown that in terms of concept and theoretical academic, fulfillment of certain conditions that are required for various forms joinder of offense that have caused a lot of problems, among other violations of the provisions of the neglected and apart from that there is also provision requirements of the formulation is less clear. So it has an impact on the formulation of the indictments filed by the Public Prosecutor in making acts legal construction joinder of offences, and construction law prepared by the prosecutors for the imposition of criminal law court level It appears the lack of accuracy and or ignored by the prosecution, namely the existence of other forms of criminal acts in the series of criminal acts that violated during and after the production process of goods, in this case starting with the criminal offense provisions in the industry.
Criminal system in many forms joinder of offeces or less was also not considered in the sentences by a court decision, in this case mainly related to the severity of criminal penalties imposed by a court regardless of their consideration of the rights of ease and things are burdensome, as well as elements of the judge 39 s conviction of the court So often did not correspond to the penalty that should have been according to the articles of the rules of law applicable, related to the teaching of joinder of offenses in the field of industry.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T47194
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naila Rahmania
"Skripsi ini membahas ketentuan di Indonesia tentang bergabungnya sebuah pihak ketiga yang bukan merupakan pihak dari perjanjian arbitrase dalam sebuah proses arbitrase beserta analisis yuridis terhadap pandangan majelis hakim di Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung No. 367.K/Pdt.Sus-Arbt/2013. Dalam tulisan ini digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan.
Hasil penelitian yang ditemukan adalah bahwa pengaturan dalam hukum positif Indonesia tentang penggabungan pihak ketiga benar ada dan berlaku, dan sesuai dengan asas-asas dalam hukum perdata dan arbitrase pada umumnya. Namun, lembaga peradilan di Indonesia masih gagal dalam mengakui dan menerapkan peraturan ini. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung dalam kasus antara PT. Royal Industries Indonesia melawan PT Identrust Security Internasional dan PT. Komoditi dan Derivatif Indonesia mengenai arbitrase di lembaga Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi, dimana sebuah pihak ketiga yang telah sah bergabung dalam suatu proses arbitrase menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak diakui penggabungannya oleh majelis hakim di Mahkamah Agung.

This paper analyzes the positive law in Indonesia regarding the joinder of a third party originally not a party to an arbitration agreement to an arbitration process and the view of a panel of judges in the Indonesian Supreme Court in Supreme Court Decision No. No. 367.K/Pdt.Sus-Arbt/2013. This paper uses the juridical-normative research method with literature studies.
From the resulting research, it is concluded that the regulation regarding joinder of a third party in Arbitration in Indonesia truly valid and exists, and this part of the regulation is consistent with the applicable principles of private law and arbitration in general. However, the Indonesian judicial body fails in upholding these principles. This can be seen in the Indonesian Supreme Court decision in the case between PT. Royal Industries Indonesia against PT. Identrust Security International and PT. Komoditi dan Derivatif Indonesia regarding an arbitration held before Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi, where a third party validly joining an arbitration process satisfying the requirements in Law No. 30 Year 1999 was not recognized by the Indonesian Supreme Court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55427
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Arto Koesoemo
"Dalam undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) tersebut diatur bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kelanjutan pokok ini ialah beban pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dipertanggungjawabkan kepada pihak pencemar dan perusak, sehingga sanksi hukum dipertanggungjawabkan kepada pihak yang mencemari dan rnerusak lingkungan hidup.
Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka pembangunan berkesinambungan.
Fungsi dari UUPLH adalah merupakan "payung" (umbrella provision) yang dalam ketentuannya hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, maka sebelum ada peraturan pelaksananya sudah barang tentu dalam penerapannya akan menghadapi hambatan. Dalam kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup terdapat kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP. Di samping itu, pembuktian unsur hubungan kausal merupakan kendala tersendiri. pencemaran lingkungan hidup sering terjadi secara kumulatif, sehingga sulit untuk membuktikan sumber pencemaran, terutama yang bersifat kimiawi. Selain menyediakan alat bukti, penyidik juga harus cermat dalam menentukan tersangkanya yang ternyata sulit untuk menempatkan korporasi sebagai tersangka. Kesulitan ini dirasakan oleh penyidik pada saat menghubungkan antara tindak pidana dengan bukti-bukti yang mengarah pada suatu pelaku tindak pidana yang notabene adalah fiksi hukum.
Pada tingkat penuntutan kesulitan yang dihadapi oleh Penuntut Umum sebagai pihak yang membawa perkara tersebut di muka pengadilan adalah memenuhi persyaratan formil dan materiil KUHAP khususnya Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Apabila ketentuan pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP tersebut tidak dipenuhi maka pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa surat dakwaan tersebut batal demi hukum. Dihubungkan dengan korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup, jaksa harus mempertahankan hasil penyidikan yang disertai dengan bukti-bukti kuat yang nantinya bisa membawa pada putusan final hakim yang menyatakan korporasi bersalah.
Dalam penelitian ini penulis berusaha untuk mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi serta untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi oleh Kepolisian dan Kejaksaan dalam penerapan aturan pidana dalam rangka penuntutan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia. Pada akhir penelitian, penulis mampu untuk menemukan permasalahan-permasalahan pokok yang menjadi penghambat dalam penuntutan korporasi untuk tindak pidana lingkungan hidup."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14555
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chidir Ali
Bandung: Binacipta, 1982
340.1598 CHI y
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Faisal Salam
Bandung: Mandar Maju, 1996
343.014 3 MOC h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bassiouni, M. Cherif
Boston: Martinus Nijhoff Pulishers, 1987
341.77 BAS d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Jan Hider Osland
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S22416
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
Depok: Rajawali Pers, 2023
364.1324 TOP h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Adhimas Putrastyo Hutomo
"ABSTRAK
Skripsi ini mengkritik pengaturan dan penerapan pertanggungjawaban pidana lingkungan untuk Korporasi dan Pengurus Korporasi dalam tindak pidana kebakaran hutan dalam peradilan pidana di Indonesia. Tulisan ini menguraikan bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya yang mengatur mengenai tindak pidana lingkungan hidup dan kebakaran hutan (UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) dalam mengkonstruksikan pertanggungjawaban pidana bagi Korporasi dan Pengurus Korporasi. Selanjutnya, tulisan ini mengkritik konstruksi vicarious/derivative individual liability yang digunakan oleh dua undang-undang tersebut dalam membebankan pertanggungjawaban pidana kepada Pengurus Korporasi, sebab tidak memenuhi nilai etis dan keadilan dalam konteks penjatuhan pidana. Kemudian, tulisan ini juga menguraikan beberapa konstruksi pertanggungjawaban pidana yang seharusnya dapat digunakan untuk membebankan pertanggungjawaban pidana kepada Pengurus Korporasi dengan tetap memperhatikan adanya elemen ?kesalahan?, dan asas-asas serta nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam dimensi penegakan hukum pidana.

ABSTRAK
This thesis criticizes the vanishing distinction between corporate criminal liability and directors? criminal liability. This thesis explores the basis of liability to determines the criminal liability of corporate officers, in environmental regulations in Indonesia. This thesis criticizes the failure of such regulations to make a clear distinction between criminal liability for corporation and its officers, and after that, points out vicarious/derivative individual liability as the cause of the problem. Vicarious or derivative individual liability notoriously known scapegoats the corporate officers, solely by virtue of position they hold in corporation, upon the imposition of criminal liability that does not meet the ethical values and justice in the context of criminal punishment. Then, this thesis recommends some bases of liability that can be used to determine the blameworthiness of corporate officers in the context of corporate crime, with regard to the element of personal fault and principles which highly upheld in the criminal law."
2016
S64271
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Laila
"Penelitian ini bermaksud melakukan penelitian mengenai peranan hakim ketika menjatuhkan sanksi pidana pencemaran lingkungan hidup khususnya dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, selain itu karena hakim yang sekarang kedudukannya sudah menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung berdasarkan Undang-undang No.4 /2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim dalam lembaga pengadilan memberikan gambaran kompleksitas tentang kedudukan yang merdeka, sehingga kajian tentang hakim dalam mengambil putusan perkara pidana pencemaran lingkungan hidup dilakukan dengan menggunakan pendekatan kritis, dimana dengan pendekatan kritis ini adalah "cara pandang" yang lebih mengarah pada proses terbentuknya realitas sosial. Melalui pendekatan kritis ini akan menjelaskan konfigurasi faktor-faktor determinan didalam suatu organisasi lembaga peradilan dalam menjalankan tugas dan mewujudkan citra wibawa pengadilan melalui putusan yang didalamnya memperhatikan aspek nilai-nilai dalam masyarakat.
Atas dasar dan latar belakang diatas, permasalahan yang perlu diteliti adalah PERANAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKKSI PIDANA PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP: Studi Kasus pada Pengadilan Negeri Bale Endah Bandung dan Pengadilan Negeri Sumedang Jawa Barat, adalah bagaimana peranan hakim pidana dalam memelihara melestarikan lingkungan hidup melalui putusan-putusan perkara tindak pidana lingkungan hidup."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19839
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>