Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180105 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyah Untari
"ABSTRAK
Pneumonia aspirasi sering terjadi pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran. Salah satu pencegahannya adalah dengan perawatan mulut. Pemilihan bahan perawatan mulut perlu mempertimbangkan efektifitas bahan dan keamanan. Penelitian kuantitatif ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain Pre dan Post test control group design. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas perawatan mulut dengan madu dan dengan Clorhexidine 0,2 terhadap risiko pneumonia aspirasi pada pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran. Pada desain ini 46 responden dibagi menjadi 23 responden kelompok yang mendapatkan perawatan mulut dengan madu dan 23 responden menjadi kelompok yang mendapatkan perawatan mulut dengan chlorhexidine 0,2 . Perawatan mulut dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari selama 30 menit dalam waktu 3 hari. Hasil : Risiko pneumonia aspirasi lebih rendah sebesar 2,522 dengan perawatan mulut menggunakan madu dibandingkan menggunakan Clorhexidine 0,2 . Simpulan: Perawatan mulut menggunakan madu efektif mencegah peningkatan risiko pneumonia aspirasi pada pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran. Saran: Perawatan mulut dengan madu dapat dijadikan bahan untuk perawatan mulut.

ABSTRACT
Aspiration pneumonia can occur in unconciousness stroke patients. One way prevention aspiration pneumonia is oral care. Selection of materials for oral care need to consider the effectiveness of materials and security. This quantitative study using a quasi experimental design with pre and post test control group design. This research aims comparation between effectiveness of oral care using honey and clorhexidine 0,2 to the risk of aspiration pneumonia in unconsciousness stroke patients. In this design 46 respondents 23 respondents were divided into intervention group with oral treatments using honey and 23 respondents to a group who received oral treatment with chlorhexidine 0.2 . Oral care performed twice daily in the morning and afternoon for 30 minutes within 3 days. Result The risk of aspiration pneumonia was lower by 2,522 with oral treatments using honey instead of using Clorhexidine 0.2 . Conclusion Oral care using honey to effectively prevent the increased risk of aspiration pneumonia in stroke patients. Suggestion Oral care with honey can be used as material for oral care"
2017
T46861
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Widani
"Perbandingan Tindakan Keperawatan Oral Care menggunakan Povidone-iodine 1% dengan Chlorhexidine 0.2% Terhadap Jumlah Bakteri di Mulut Klien Penurunan Kesadaran di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus Jakarta Oral care klien penurunan tingkat kesadaran tidak boleh diabaikan dan membutuhkan antiseptik oral yang mempunyai sifat antibakteri (Timby, 2009). Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain quasi eksperimen dengan kelompok kontrol, pre dan post test untuk mengidentifikasi perbandingkan povidone iodine 1% dengan chlorhexidine 0.2% terhadap jumlah koloni bakteri di mulut klien penurunan kesadaran.
Hasil penelitian pada 30 responden yang diambil secara consecutive sampling dibagi tiga kelompok. Didapatkan ada perbedaan yang signifikan penurunan jumlah koloni bakteri sebelum dan setelah oral care pada povidone iodine (p=0.007), chlorhexidine (p=0.001) dan air (p=0.001). Perbandingan selisih jumlah bakteri povidone iodine 1% dengan chlorhexidine 0.2% tidak signifikan (p=0,343). Disimpulkan chlorhexidine 0.2% , povidone iodine 1% dan air minum masing-masing mempunyai kemampuan yang signifikan menurunkan koloni bakteri dan dapat digunakan sebagai pembilas oral care. Disarankan secara ekonomis air minum digunakan dalam oral care apabila klien penurunan kesadaran tidak mengalami infeksi mulut, dan chlorhexidine 0.2% atau povidone iodine 1% digunakan bila ada infeksi mulut.

The oral care of unconscious patient should not be ignored and requires the oral antiseptics that have antibacterial properties (Timby, 2009). This research was quantitative research study with quasi experimental design with control groups, using pre-post test design the study was aimed to compere the amount of bacteria colonies after povidone iodine 1% and chlorhexidine 0.2% on the patient with disturbance of consciousness level. Using consecutive sampling technique, 30 eligible respondences were devided into three group.
The results of this study identifided that t - test of pre-post test of povidone iodine with p= 0.007, chlorhexidine with p=0.001 and water oral care with p=0.001. Mean while there was no significan different betwent povidone iodine with chlorhexidine with p value 0,343. Concluded chlorhexidine0.2%, povidone iodine 1% and water each has a significant ability to reduce colonies of bacteria and can be used as an oral care. Economically advisable to the water used in oral care if clients do not experience a decrease awareness of oral infections, and chlorhexidine 0.2% or povidone iodine 1% is used when there is infection of the mouth."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T28423
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
A`an Haryono
"Stroke merupakan penyakit neurologi yang dapat menyebabkan berbagai kerusakan neurologis seperti paralisis, afasia, disfagia, gangguan sensorik. Suwita (2012), mengatakan bahwa 30-50% pasien stroke sering mengalami disfagia. Tingginya kejadian disfagia, membuat penderita stroke memiliki resiko tinggi dalam aspirasi dan terjadinya infeksi pernapasan. Sehingga perawatan mulut (Oral Hygiene) sangat diperlukan bagi pasien stroke. Studi kasus ini merupakan penerapan oral hygiene menggunakan Chlorhexidine 0,2 % dalam menjaga kebersihan mulut dan mencegah infeksi. Metode yang dilakukan dalam melakukan studi ini adalah dengan melakukan pengkajian tentang tingkat kebutuhan perwatan pasien. Kemudian dilakukan dengan pengkajian tingkat kebersihan mulut pasien dengan instrument AOG (oral assessment guide ), dan pasien dilakukan perawatan mulut menggunakan sikat gigi anak dan menggunakan Chlorhexidine 0,2%. Perawatan mulut dilakukan selama 3-5 menit dua kali dalam sehari dan dievaluasi setelah 6 hari. Evaluasi dilakukan menggunakan AOG (oral assessment guide). Setelah dilakukan perawatan mulut selama 6 hari didapatkan nilai AOG menurun yang menandakan terjadi perbaikan dalam tingkat kebersihan mulut

Stroke is a neurological disease that can cause various neurological damage such as paralysis, aphasia, dysphagia, sensory disorders. Suwita (2012), said that 30-50% of stroke patients often experience dysphagia. The high incidence of dysphagia, making stroke patients have a high risk of aspiration and respiratory infections. So that oral care (Oral Hygiene) is very necessary for stroke patients. This case study is the application of oral hygiene using Chlorhexidine 0.2% in maintaining oral hygiene and preventing infection. The method used in conducting this study is to conduct an assessment of the level of patient needs. Then it was carried out by assessing the level of oral hygiene of the patients with the AOG instrument (oral assessment guide), and the patients having oral care using a childs toothbrush and using Chlorhexidine 0.2%. Oral care is carried out for 3-5 minutes twice a day and evaluated after 6 days. Evaluation is done using AOG (oral assessment guide). After 6 days of oral care, the AOG value was decreased which indicated improvement in the level of oral "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianah
"Stroke merupakan salah satu penyebab utama kematian. Stroke memiliki berbagai faktor risiko mayor yang dapat diubah (modifiable risk factor) antara lain hipertensi, diabetes melitus, atrial fibrilasi, dan hiperkolesterol. Pengetahuan mengenai tanda dan gejala stroke, faktor risiko, dan perilaku pencegahan faktor risiko stroke dapat dikembangkan menjadi sikap waspada yang menjadi dasar dalam mengambil tindakan yang sesuai apabila terjadi serangan stroke sehingga menurunkan kejadian morbiditas dan mortalitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan kewaspadaan pada pasien risiko tinggi stroke dengan penanganan prehospital stroke. Kewaspadaan pada pasien risiko tinggi stroke diukur menggunakan kuesioner Knowledge, Attitude, and Practice (KAP) of Stroke. Sedangkan, penanganan prehospital stroke menggunakan kuesioner The Stroke Action Test (STAT). Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan teknik purposive sampling yang melibatkan 144 responden. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia terbanyak responden berada pada rentang 36-40 tahun, sebanyak 56,3% berjenis kelamin perempuan, 53,5% memiliki jenjang pendidikan perguruan tinggi, 42,4% adalah suku jawa, 43,8% memiliki penghasilan perbulan �Rp3.300.000, sebanyak 45,8% mengenal seseorang yang mengalami stroke, 87,5% bukan perokok dan 38,2% adalah pasien hipertensi. 47,9% responden memiliki kewaspadaan tinggi, 52,1% responden memiliki kewaspadaan yang rendah, sebanyak 49,3% memiliki penanganan prehospital yang sesuai dan 50.7% responden memiliki sikap penanganan prehospital yang tidak sesuai.  Terdapat hubungan bermakna antara kewaspadaan pada pasien risiko tinggi stroke dengan penanganan prehospital stroke (p=0,000; �±=0,05). Edukasi mengenai tanda gejala dan faktor risiko stroke penting dilakukan untuk meningkatkan kemampuan penanganan prehospital stroke apabila terjadi serangan stroke.

Stroke is one of the major cause of death. Stroke has a variety of major risk factors that can be changed (modifiable risk factors), including hypertension, diabetes mellitus, atrial fibrillation, and hypercholesterolemia. Knowledge about the signs and symptoms of stroke, risk factors, and prevention behaviour of stroke risk factors can be developed into awareness that is the basis for taking appropriate action in the event of a stroke to reduce the incidence of morbidity and mortality. This study aims to identify the relationship between awareness among patients at high risk for stroke and prehospital stroke action. Stroke awareness was measured by the Knowledge, Attitude, and Practice (KAP) of Stroke instrument. Meanwhile, prehospital stroke action was measured by the Stroke Action Test (STAT) instrument. This study used a cross-sectional design and purposive sampling technique involving 144 respondents. The result shows that most respondents were in the range of 36-40 years, 56.3% were female, 53.5% had tertiary education, 42.4% were Javanese, 43.8% had a monthly income of � IDR 300,000, 45.8% knew someone who had stroke, 87.5% were non-smokers, and 38.2% were hypertensive patients. 47,9% of respondents had high awareness, 52,1% of respondents had low awareness, 49,3% respondent had corresponding prehospital stroke action, and 50,7% of respondents had noncorresponding prehospital stroke action. There was a significant relationship between awareness among patients at high risk for stroke and prehospital stroke action (p-value = 0,000; �± = 0.05). The higher awareness stroke, the better management of prehospital. Based on these findings, Education and information are needed among patients at high risk for stroke to increase stroke awareness and develop their ability of prehospital stroke action."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shela Rachmayanti
"ABSTRAK
Latar Belakang: Hipertensi dan diabetes melitus merupakan faktor risiko penyakit stroke yang paling dominan. Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor risiko stroke, hipertensi dan diabetes melitus, dengan ketergantungan pasien stroke fase kronis di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM. Metode: Penelitian dilakukan dengan metode observasional analitik menggunakan studi potong lintang. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 44 yang dipilih berdasarkan sistem quota sampling. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji bivariat Chi Square dan analisis multivariat uji Regresi Logistik. Hasil: Dari hasil uji Chi Square didapatkan faktor risiko hipertensi dan diabetes melitus terhadap nilai MSBI, bernilai p=0,122 dan p=0,002. Dari uji Regresi Logistik didapatkan faktor risiko hipertensi p=0,076 OR 4,076; IK95 0,861-19,297 dan faktor risiko diabetes melitus p=0,007 OR 22,690; IK95 2,332-220,722 terhadap nilai MSBI. Diskusi: Diabetes melitus merupakan faktor risiko utama yang menyebabkan ketergantungan berat pasien stroke fase kronis.

ABSTRACT
Background Hypertension and diabetes melitus are the most common risk factors of stroke. Objective The study aimed to determine the relationship between stroke risk factors, hypertension and diabetes melitus, with dependency of chronic stroke patients in Department of Medical Rehabilitation RSCM. Methods The study is conducted by using the analytical observational cross sectional study. The samples used in this study were 44 respondents selected by quota sampling method. The relationship between variabels was analyzed by bivariate test Chi Square and multivariate analysis Logistic Regretion. Results . Based on Chi Square test, relationship between MSBI scoring with hypertension and diabetes melitus as stroke risk factors, sequentiallly p 0,122 and p 0,002. Furthermore, Logistic Regression test suggested that hypertension and diabetes melitus as stroke risk factors related to MSBI scoring, respectively hypertension p 0,076 OR 4,076 IK95 0,861 19,297 and diabetes melitus p 0,007 OR 22,690 IK95 2,332 220,722 . Discussion Diabetes melitus is the most prominent risk factor in severe dependecy of chronic stroke patients."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atit Puspitasari Dewi
"Latar belakang: Pneumonia menjadi penyebab infeksi tersering yang meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasien kanker paru. Serum procalcitonin (PCT) merupakan penanda hayati yang sering digunakan untuk mendiagnosis infeksi terutama pneumonia. Nilai titik potong kadar PCT untuk mendiagnosis pneumonia pada kanker paru sampai saat ini belum diketahui. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran PCT dalam diagnosis pneumonia pada pasien kanker paru.
Metode: Penelitian uji diagnostik dengan desain potong lintang terhadap pasien kanker paru dan terduga pneumonia di Instalasi Gawat Darurat dan ruang perawatan paru RSUP Persahabatan Jakarta bulan Agustus-Oktober 2018. Pneumonia ditegakkan berdasarkan panduan pneumonia yang dikeluarkan oleh Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pemeriksaan PCT dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar PCT pada kanker paru dengan dan tanpa pneumonia serta dilakukan analisis untuk menentukan titik potong optimal kadar PCT untuk diagnosis pneumonia pada pasien kanker paru dengan menggunakan ROC.
Hasil: Sebanyak 60 pasien kanker paru diikutsertakan. Pasien kanker paru dengan pneumonia sebanyak 31 orang (51,7%) dengan karakteristik laki-laki sebanyak 77,4% dan rerata usia 54,68±10,59 tahun, jenis kanker terbanyak adenokarsinoma (51,6%), stage IV (83,9%), skala tampilan 3 (45,2%), status gizi kurang (45,2%), dan bekas perokok (54,8%). Terdapat perbedaan bermakna median kadar PCT pasien kanker paru dengan pneumonia dibandingkan tanpa pneumonia [1,81 (0,08-200)μg/L berbanding 0,30 (0,05-3,67) μg/L;p<0,001]. Terdapat peningkatan kadar PCT pasien kanker paru dengan metastasis, komponen neuroendokrin, jumlah metastasis ≥ 2, metastasis hepar meskipun hasil ini tidak bermakna secara statistik. Serum PCT berperan lebih baik dibandingkan kadar leukosit dan hitung jenis neutrofil untuk membedakan antara pneumonia dan bukan pneumonia pada pasien kanker paru (p <0,001, p=0,297; p=0,290). Serum PCT memiliki akurasi yang baik dengan AUC 0,829 (IK 95% 0,722-0,935]. Titik potong optimal kadar PCT untuk mendiagnosis pneumonia pada pasien kanker paru adalah 0,65 μg/L dengan sensitivitas 77,4% dan spesifisitas 79,3%.
Kesimpulan: Kadar PCT pada pasien kanker paru dengan pneumonia lebih tinggi dibandingkan tanpa pneumonia. Titik potong optimal kadar PCT untuk diagnosis pneumonia pada kanker paru adalah 0,65 μg/L.

Background: Pneumonia accounts for higher morbidity and mortality than any other infections in lung cancer patients. Procalcitonin (PCT) is a clinical biomarker to diagnose infection including pneumonia. Cut off point to diagnose pneumonia in lung cancer patient still unclear. The study aims to determine the roleof PCT in diagnosing pneumonia in lung cancer patients.
Methods: Diagnostic test with cross sectional design was conducted in lung cancer patients with suspected pneumonia admitted to emergency and pulmonary ward of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August – October 2018. A diagnosis of pneumonia was complying to the guideline provided by the Indonesian Society of Respirology. Serum PCT level (sPCT) between lung cancer patients with and without pneumonia was measured followed by statistical analysis. The optimal sPCT cut off point to diagnose pneumonia in lung cancer was determined using ROC curve.
Result: From sixty patients, lung cancer patients presented with pneumonia was found in 31 patients (51.7%) with mean age 54.68±10.59 yo, which 77.4% were males, 51.6% were adenocarcinomas, 83.9% were stage IV cases, 45.2% were patients with ECOG performance status of 3, 45.2% were underweight and 54.8% were ex-smokers. The sPCT were significantly higher in lung cancer with pneumonia compared to those without pneumonia [1.81 (0.08-200)μg/L vs 0.30 (0.05-3.67) μg/L; p<0.001]. The sPCT were higher in lung cancer accompanied with metastasis, neuroendocrine component, ≥2 metastatic sites and liver metastatic, although these results were not statistically significant. The sPCT showed a better performance in differentiating pneumonia in lung cancer compared to leucocyte count and absolute neutrophil count (p <0.001, p=0.297; p=0.290, respectively). The sPCT showed a good accuracy to diagnose pneumonia in lung cancer with AUC 0.829 (CI 95% 0.722-0.935). The optimal cut off point of sPCT to diagnose pneumonia in lung cancer was 0.65 μg/L with 77.4% sensitivity and 79,3% specificity.
Conclusion: The sPCT was significantly higher in lung cancer with pneumonia than those without pneumonia. The optimal cut off point of sPCT to diagnose pneumonia in lung cancer was 0.65 μg/L.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Afriani
"Stroke menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak sehingga menimbulkan gangguan fungsi neurologis dan fungsi kognitif yang dapat meningkatkan risiko jatuh. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan gangguan kognitif dengan risiko jatuh pada pasien stroke. Desain penelitian adalah analitik cross sectional dengan jumlah sampel 68 pasien stroke di Sumatera Barat, yang didapatkan dengan teknik consecutive sampling. Metode pengumpulan data dengan cara data primer didapatkan melalui pemeriksaan dan penilaian langsung pada responden, sedangkan data sekunder didapatkan dari rekam medis responden. Analisis hasil penelitian menggunakan Chi-square, Pooled T-test, dan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara gangguan kognitif dengan risiko jatuh pada pasien stroke p=0,000, usia p=0,000, lama menderita stroke p=0,044, IMT p=0,000, keseimbangan fungsional p=0,000, lokasi lesi p=0,001, kekuatan otot ekstremitas bawah p=0,000 dan latihan atau aktivitas fisik p=0,006 dengan ? =0,05. Penelitian ini merekomendasikan perawat untuk melakukan deteksi dini risiko jatuh pada pasien stroke yang mengalami gangguan kognitif secara rutin.

Stroke causes to the brain tissue damage resulting in impaired neurology functions and cognitive functions that may increase the risk of falls. This study aims to determine the relationship of cognitive impairment with the risk of falling in stroke patients. The study design was cross sectional analytic with a total sample of 68 stroke patients in West Sumatera, obtained with consecutive sampling. Data collection methods by primary data obtained through direct examination and assessment on the respondents, while secondary data obtained from the respondent s medical records. Analysis of research results using Chi square, Pooled T test, and multiple logistic regression. The results showed a relationship between cognitive impairment and risk of falling in stroke patients p 0,000, age p 0,000, stroke length p 0.044, BMI p 0,000, functional balance p 0,000, location of lesions p 0.001, lower extremity muscle strength p 0,000 and exercise or physical activity p 0.006 with 0.05. This study recommends nurses to perform early detection the risk of falling in stroke patients with of cognitive impairment on a regular basis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
T51376
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Aryanti
"Kejadian disfagia ditemukan 19% sampai 81% pada pasien stroke. Perawat merupakan salah satu dari tenaga kesehatan yang memegang peranan penting dalam manajemen disfagia Keterlambatan manajemen disfagia akan mengakibatkan terjadinya komplikasi disfagia. Komplikasi akibat disfagia adalah terjadinya pneumonia, malnutrisi, dehidrasi bahkan kematian. Tujuan dari karya tulis ini adalah untuk menganalisis kegiatan pemberian intervensi oral motor exercise pada Tn. R dengan stroke iskemik yang mengalami paresis NVII sinistra sentral dan paresis NXII sinistra sehingga terganggu dalam proses menelan. Oral motor exercise merupakan latihan pergerakan lidah, bibir, dan rahang. Skrining yang digunakan menggunakan format Massey Bedside Swallowing Screen (MBSS) dan evaluasi intervensi menggunakan format Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke (RAPIDS). Latihan oral motor exercise dilakukan sehari sekali dalam 10 menit selama 6 hari. Hasil dari karya ilmiah ini menunjukan adanya peningkatan fungsi menelan yang dinilai dengan Tes RAPIDS (Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke). Skor RAPIDS sebelum dilakukan intervensi adalah 79, dan skor RAPIDS setelah dilakukan intervensi menjadi 91. Karya ilmiah ini diharapkan dapat digunakan menjadi salah satu dasar untuk dijadikan panduan dalam pembuatan Standar Prosedur Operasional latihan menelan untuk pasien disfagia oral.

Incidence of dysphagia found 19% to 81% in stroke patients. Nurses are one of the health workers who play an important role in the management of dysphagia. Delay in the management of dysphagia will result in complications of dysphagia such as pneumonia, malnutrition, dehydration and even death. The purpose of this paper to analyze the activities of oral motor exercise intervention in stroke patients in restoring swallowing function. Mr. R with ischemic stroke who has central NVII sinistra paresis and NXII sinistra paresis so that it is disturbed in the swallowing process. Oral motor exercise is an exercise in the movement of the tongue, lips, and jaw used for swallowing exercises. Oral motor exercise is done once a day in 10 minutes for 6 days. Screening used Massey Bedside Swallowing Screen (MBSS) and evaluation of intervention using royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke (RAPIDS). The results showed an improvement in swallowing function assessed by the RAPIDS Test (Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke). The RAPIDS score before the intervention was 79, and the RAPIDS score after the intervention was 91. This paper expected to be used as one of the bases to be used as a guide in the creation of Standard Operating Procedures for swallowing exercises for patients with oral dysphagia."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Olyva Cessari Laras Seruni
"Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) termasuk penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi pada anak, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah terkait obat (MTO) pada pasien ISPA anak berdasarkan parameter MTO dari Cipolle, Strand, Morley, meliputi ketepatan pemilihan obat yaitu terapi obat tambahan dan terapi obat kurang, ketepatan indikasi, kesesuaian dosis terdiri dari dosis berlebih dan dosis kurang, serta kemungkinan reaksi yang tidak diinginkan (ROTD) berupa interaksi obat. Desain penelitian menggunakan metode cross-sectional bersifat deskriptif dengan pengambilan data retrospektif. Sampel pada penelitian ini meliputi resep pasienpasien di Poli MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) Puskesmas Kecamatan Tebet pada periode Juli – Desember 2018, dengan teknik pengambilan data total sampling. Sampel yang diperoleh sejumlah 179 lembar resep pasien dengan total 498 peresepan obat. Hasil penelitian MTO pada pasien ISPA anak untuk masing – masing parameter antara lain ketidaktepatan pemilihan obat (9,5%), ketidaktepatan indikasi (12,8%), ketidaksesuaian dosis (79,9%), dan potensi interaksi obat (0,6%). Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tingginya kejadian MTO pada pasien ISPA anak menyebabkan perlu dilakukan perbaikan peresepan obat dan pemantauan penggunaan obat untuk meminimalisasi kejadian MTO dan mengaplikasikan penggunaan obat yang rasional.

Acute Respiratory Tract Infection (ARTI) were common to cause the highest death rate in children, especially in growing countries such as Indonesia. The aim of the research is to identify DRPs in ARTI paediatric based on DRPs classification by Cipolle, Strand, Morley, that were being categorized as unnecessary drug therapy, need additional therapy, ineffective drug, dosage adjustments such as too low or too high,  and adverse drug reaction which is drug interaction. The design of the study was cross-sectional with a retrospective method and descriptive study. The sample of the study was the overall prescription to URTI (Upper Respiratory Tract Infection) patient in Puskesmas Kecamatan Tebet Period July – December 2018 that fulfilled all the inclusion criteria, using total sampling method. Total sample that was analysed from 179 sheets of prescription with total prescription of 498 prescription. The result of the research based on each parameter: inaccurate drug selection (9.5%), inaccurate indication (12.8%), mismatched dose (79.9%), and drug interaction (0.6%). To conclude, DRPs in ARTI paediatric were in a high risk condition so the health facilities needed to improve their prescription, monitor and manage each therapy, also to do a routine prescription assessment to minimize the condition and to achieve a rational drug usage."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kiki Hardiansyah Safitri
"Stimulus sensorik merupakan salah satu dari intervensi keperawatan komplementer yang membantu mengatasi masalah gangguan kelemahan (hemiparesis). Hipnoterapi merupakan terapi potensial yang menggunakan sugesti positif sebagai input sensoris dalam merangsang pusat somatosensoris untuk perencanaan dan pemrograman gerakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi pengaruh hipnoterapi terhadap peningkatan kekuatan otot dan rentang pergerakan sendi pada ekstermitas. Desain penelitian kuasi-eksperimen dengan pendekatan nonequivalent control group pre?posttest design dengan purposive sampling sebanyak 44 responden. Kelompok kontrol diberikan perlakuan latihan range of motion (ROM) sedangkan kelompok intervensi diberikan latihan ROM dan hipnoterapi.
Terdapat peningkatan kekuatan otot dan rentang pergerakan sendi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi sesudah 10 kali intervensi. Namun analisa lebih lanjut juga terdapat perbedaan yang signifikan diantara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p value < 0,05). Diperlukan penelitian lanjutan dengan homogenitas sampel yang lebih baik dan situasi yang lebih terkontrol.

Sensory stimulus exercise is one of activity in the complementary nursing interventions to overcome weakness (hemiparesis). Hypnotherapy is a potential therapy utilizes art of persuasive communication as the sensory input to provoke the somatosensory center in planning and programming movement.
This study aimed to identify the effect of hypnotherapy to increase muscle strength and range of motion the joints extremity. Quasi-experimental designs with purposive sampling 44 samples. Control group were given range of motion (ROM) exercise and experiment group were given ROM exercise and hypnotherapy.
There were significant effect in both experiment and control group to increase muscle strength and range of motion. Further analysis also getting significant differences between control and experiment group (p value < 0,05). Require further research with better homogeneity sample and more controlled situation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
T45499
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>