Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 215899 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Radifan Khairi Nawir
"Studi yang menggunakan metode penetiltian yuridis normatif ini membahas hubungan antara Hukum Persaingan Usaha dan Hak atas Kekayaan Intelektual HaKI , khususnya Paten. Adapun hubungan antara keduanya dibahas dengan meninjau dan membandingkan ketentuan pengecualian atas perjanjian terkait HaKI dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia dan Uni Eropa, khususnya pengaturan yang mengecualikan perjanjian lisensi paten. Pada umumnya kedua rezim hukum tersebut dianggap bertentangan satu sama lain, dimana HaKI mendorong terciptanya kekuatan monopoli, sedangkan hukum persaingan usaha melihat kekuatan monopoli sebagai sesuatu yang harus dibatas karena berpotensi untuk disalahgunakan abuse of monopoly power . Namun sebenarnya keduanya mempunyai kesamaan tujuan dan bersifat komplementer atau saling melengkapi satu sama lain. Dengan demikian keseimbangan antara keduanya menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan, bahwa pengecualian atas perjanjian lisensi paten dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, kurang memperhatikan keseimbangan antara hak eksklusif paten yang bersifat privat dengan perlindungan terhadap persaingan usaha di pasar yang merupakan kepentingan publik, apabila dibandingkan dengan pengaturan di Uni Eropa.
This normative juridical study discusses the intersection between Competition Law and Intelectual Property Rights IPRs , particularly patent right, by examining regulations that exempts Patent License Agreements from Indonesian and The European Union Competition Laws. General view sees that there may be an instance of conflict between the two law regimes Whereas IPRs encourages monopoly, Competition Law tries to control market power. However, the two actually have common legislative goals and complementary to each other. Which is why a proper balance between the exclusivity of IPRs and fair market competition is necessary. Nevertheless, the result of this study shows that Patent License Agreements exemption from Indonesian Competition Law doesn rsquo t reflect that necessary balance, compared to its European Union counterpart."
2017
S66352
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosef
"Eksistensi Hak Cipta diakui oleh Hukum Persaingan Usaha baik di Indonesia maupun di Uni Eropa. Namun demikian, penerapan Hukum Persaingan Usaha tidak dikecualikan secara absolut terhadap pelaksanaan Hak Cipta. Hal ini terlihat dari adanya Peraturan Komisi No. 2 tahun 2009, pasal 81, dan pasal 82 European Treaty. Kasus mengenai pembatasan pengecualian penerapan Hukum Persaingan Usaha terhadap pelaksanaan Hak Cipta pernah diputus melalui Putusan KPPU No. 3/KPPU-L/2008 dan European Commission Decision Case COMP/C-3/37.792 Microsoft. Dari kedua putusan ini, akan terlihat bagaimana pembatasan pengecualian itu diberlakukan dan perbandingan pembatasan tersebut di Indonesia dan di Uni Eropa.

The existence of Copy Rights is acknowledged by the Competition Law whether in Indonesia or in European Union. But, the application of Competition Law is not exempted absolutely from the exercise of Copy Rights. It can be seen from the existence of Commission Regulation number 2 of 2009, article 81, and article 82 European Treaty. The case of the limitation of exemption the exercise of Competition Law on Copy Rights has been decided by KPPU Decision Number 3/KPPU-L/2008 and European Commission Decision Case COMP/C-3/37.792 Microsoft. From these two decisions, we can see how the limitation is implemented and the comparison of the limitation in Indonesia and in European Union."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62474
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faishal Hakim
"Perjanjian vertikal merupakan perjanjian antara dua atau lebih pelaku usaha yang beroperasi pada tingkat rantai produksi dan/atau distribusi yang berbeda. Dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia, pasal yang mengatur tentang salah satu jenis perjanjian vertikal adalah Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 (UULPM) yang mengatur tentang Integrasi Vertikal. Dalam penerapan Pasal 14 UULPM terdapat kekosongan hukum dalam menetapkan sejauh manakah suatu pelaku usaha dapat melanggar Pasal 14 UULPM dari perhitungan pangsa pasarnya. Dalam PT Grab dan PT TPI melawan KPPU (PN Jakarta Selatan, 2020), Majelis Hakim mempertimbangkan batasan pangsa pasar dalam kasus integrasi vertikal yang tidak memiliki dasar hukum yang tepat. Pertimbangan tersebut juga tidak sesuai dengan teori ekonomi dan doktrin rule of reason yang dianut dalam penegakan Pasal 14 UULPM. Pertimbangan demikian dapat berimplikasi pada ketidakpastian hukum di masa yang akan datang sehingga diperlukan regulasi mengenai batasan pangsa pasar yang dapat menjamin kepastian hukum dalam kerangka doktrin rule of reason. Pasal 3 dan Pasal 8 Vertical Block Exemption Regulation (VBER) Uni Eropa dapat menjadi pertimbangan dalam penegakan hukum mengenai integrasi vertikal. Pertama, terdapat safe harbour yang mana para pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar di bawah ketentuan dapat dikecualikan dari penegakan hukum sehingga terjamin kepastian hukum. Kedua, untuk pelaku usaha yang melebihi ketentuan batasan pangsa pasar, asesmen terhadap mereka tetap berpaku pada doktrin rule of reason ketimbang berpaku pada praduga ilegalitas karena batasan pangsa pasar dalam VBER hanya digunakan sebagai proksi untuk mengestimasi kekuatan pasar. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif untuk menganalisis bagaimana ketentuan batasan pangsa pasar dalam VBER dapat menjadi pertimbangan dalam penegakan Integrasi Vertikal dan bagaimana implikasi ketentuan batasan pangsa pasar yang bersifat safe harbour tersebut dalam penegakan integrasi vertikal.

Vertical agreement is an agreement between two or more undertakings operating at a different level of production and/or distribution chain. In Indonesian Competition Law, Article 14 of Law No. 5 Year 1999 (UULPM) regulates Vertical Integration as one of many types of vertical agreement. A legal vacuum exists in the enforcement of Article 14 UULPM concerning the extent to which an undertaking can violate Article 14 UULPM, judging from the calculation of its market share. In PT Grab and PT TPI v. KPPU (South Jakarta District Court, 2020), the market share threshold for vertical integration which was opined by the Panel of Judges did not have appropriate legal basis. Furthermore, said threshold is also inconsistent with economic theories and the rule of reason doctrine that was adopted to enforce Article 14 UULPM. Such considerations may have legal uncertainty implications in the future so that there is an urgency to regulate market share threshold provision which can guarantee legal certainty within the framework of the rule of reason doctrine. Article 3 and Article 8 of the EU’s Vertical Block Exemption Regulation (VBER) can be taken into consideration in the enforcement of Vertical Integration. Firstly, the safe harbor nature of the provision ensures legal certainty so that undertakings with market shares below the threshold can be exempted from the law. Secondly, rule of reason is still applicable to assess the undertakings’ agreement whose market share exceeded the threshold, rather than assessing it under the presumption of illegality. This is because the threshold in VBER is only used as a proxy to estimate market power. The author uses juridical-normative method to analyze how can the market share threshold provision in VBER be considered to enforce Vertical Integration and how are the implications of said safe harbor provision in the enforcement of Vertical Integration."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinasih Gadisa Nandipinta
"Tulisan ini menganalisis bagaimana kewenenangan lembaga pengawas persaingan usaha di Uni Eropa meninjau dugaan penyalagunaan posisi dominan oleh pelaku usaha yang melaksanakan non reportable transactions berdasarkan hukum persaingan usaha di Uni Eropa dan perbandingannya dengan hukum persaingan usaha Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Transaksi merger antara badan usaha yang memenuhi threshold harus dinotifikasikan kepada lembaga pengawas persaingan usaha. Sementara itu, transaksi yang tidak memenuhi threshold (non-reportable transactions) bebas dari kewajiban notifikasi. Terdapat 2 (dua) jenis sistem notifikasi, yaitu ex-ante dimana notifikasi dilaksanakan sebelum transaksi berlaku efektif, dan ex-post dimana notifikasi dilaksanakan setelah transaksi berlaku efektif secara yuridis. Pada 2023, European Union Court of Justice (ECJ) mengeluarkan preliminary ruling dalam Putusan ECJ Case C-449/21. Pada putusan tersebut terdapat indikasi penyalahgunaan posisi dominan di pasar penyiaran televisi Prancis ketika suatu badan usaha bernama TDF melakukan non-reportable transaction berupa merger dengan kompetitornya yaitu Itas. Kompetitor TDF, yaitu Towercast, mengajukan gugatan menyatakan transaksi tersebut adalah penyalahgunaan posisi dominan dan seharusnya ditinjau kembali. Putusan ECJ menyatakan bahwa non-reportable transactions dapat ditinjau kembali oleh lembaga pengawas persaingan usaha secara ex-post. Putusan tersebut memberi kesadaran bahwa ada kekosongan hukum di hukum persaingan usaha mengenai potensi penyalahgunaan posisi dominan pada non-reportable transactions.

This paper analyzes the authority of business competition authorities in the European Union (EU) reviews allegations of abuse of dominant position by business actors through non-reportable transactions and its comparison with competition law in Indonesia. This paper was written using the normative juridical method. Mergers that meet thresholds must be notified to the business competition authorities. Transactions that do not meet the thresholds and are thus free from notification obligations are referred to as non-reportable transactions. There are two types of notification systems, namely ex-ante, where notification is carried out prior to a transaction becoming legally effective, and ex-post where the notification is carried out after the transaction becomes effective. In 2023, the EU Court of Justice (ECJ) issued a preliminary ruling in the decision of ECJ Case C-449/21. A company named TDF conducted a non-reportable transaction as it merged with its competitor in the television broadcasting market, named Itas. Its other competitor, Towercast, reported the transaction as an abuse of dominant position and therefore must be re-assessed. The results of the preliminary ruling states that non-reportable transactions can be reviewed ex-post by business competition authorities. The ruling raises awareness that an abuse of a dominant position can potentially be conducted through non-reportable transactions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viola Annisa Ikhsan
"Selain dari penegakan hukum yang dilakukan oleh KPPU dan pengaturan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 maka untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dibutuhkan suatu efek jera. Efek jera yang efektif akan menyebabkan pelaku usaha tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan efek jera adalah sanksi berupa denda. Yang menjadi fokus pada skripsi ini adalah Pengaturan Pedoman dan Penerapan denda dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Serta sebagai bahan komparasi akan digunakan Pedoman dan Pengaturan denda Hukum Persaingan Usaha yang ada di Negara Malaysia dan Uni Eropa. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan. Dalam menjatuhkan putusan yang didalamnya terdapat sanksi administratif berupa denda KPPU seringkali tidak mencantumkan penjelasan perhitungan denda dan juga seringkali tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Berbeda dengan Malaysia Competition Commision dan European Commision yang ketika menjatuhkan putusan dengan sanksi berupa denda selalu mencantumkan mengenai langkah dan penjelasan perhitungan denda yang dikenakan. Perlu dilakukan perubahan pengaturan dan pedoman penjatuhan denda dalam Hukum Persaingan Usaha Negara Indonesia karena selama ini pengaturan dan pedoman penjatuhan denda yang diterapkan sudah tidak efektif dan tidak sesuai dengan keadaan yang ada.

In addition to law enforcement carried out by KPPU and regulation regulated by Law Number 5 Year 1999, In order to facilitate a fair business competition, a deterrent effect is needed. Effective detterent effect will cause persons to not do things that cause unfair business competition. One of the factors that can cause a deterrent effect to businesses is sanctions in the form of fines. The focus of this paper is Regulation, Guidelines and Application of fines in Indonesian Competition Law. As a comparison, Regulations and Fining Guidelines of Competition Law in Malaysia and the European Union will be used. This study uses a normative juridical method which carried out by library research. Sometimes KPPU in its decision, which contained administrative sanctions in the form of fines do not include an explanation of the calculation of fines and sometimes the fine imposed is not in accordance with existing provisions. It is very different from Malaysia and the European Union. Malaysia Competition Commision and European Commision when imposing a decision with sanctions in the form of fines always include the steps and explanation of the calculation of fines imposed. Changes in regulation and guidelines for the imposition of fines in Indonesian Competition Law need to be made, because so far the regulations and guidelines for imposing fines applied have been ineffective and not in accordance with existing conditions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabela Betty Nursotyawati
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan akuisisi serta ketentuan pemberitahuan akuisisi dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Uni Eropa dan Singapura. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis dan pendalaman mengenai ketentuan pemberitahuan akuisisi sebagai suatu pengawasan yang dilakukan otoritas persaingan nasional atas akuisisi yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dalam hukum persaingan usaha Indonesia, Uni Eropa dan Singapura, dengan membandingkan ketentuan pemberitahuan akuisisi yang berlaku di Indonesia dengan ketentuan yang berlaku di Uni Eropa dan Singapura. Metode penelitian ini bersifat yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini menyarankan kepada pemerintah untuk memperbaiki dan merubah peraturan perundang-undangan terkait persaingan usaha, terutama mengenai ketentuan pemberitahuan atas akuisisi yang pada saat ini menerapkan post merger notification menjadi pre merger notification agar dapat lebih efektif dalam mencegah terjadi akuisisi yang dapat menyebabkan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat di Indonesia.

This research focuses on the regulation on acquisition and provisions regarding the notification of acquisition in Indonesian, European and Singapore Competition Law. The purpose of this research is to analyze the provisions of the notification of acquisitions as a control used by national competition authority to prevent monopolization and unfair competition within one rsquo s country by comparing provisions implemented in Indonesia with provisions implemented in European Union and Singapore. The method used in this research is juridical normative, a research referring to the rules or legal norms contained in the legislation. The result of this research suggests the Indonesian government to amend the regulation on competition, especially the provision on notification of acquisition which requires the parties involved to notify the acquisition that rsquo s been implemented or known as post merger notification, to pre merger notification which requires the parties involved in the proposed acquisition to notify prior to the implementation of the acquisition.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bobby Rahdyan Andhika Notokoesoemo
"Skripsi ini membahas mengenai penilaian terhadap Perjanjian Lisensi Patent Pooling terkait dengan aspek-aspek hukum persaingan usaha. Kondisi semakin banyaknya teknologi yang diberikan Paten dan dimiliki oleh banyak Pemegang Paten, berpotensi menyulitkan banyak pihak untuk mengembangkan teknologi baru karena terhalang oleh Paten-Paten lain yang saling menghambat (blocking). Perjanjian Lisensi Patent Pooling merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut karena Perjanjian Lisensi Patent Pooling dapat mengintegrasikan teknologi-teknologi yang saling terkait, mengurangi biaya transaksi, menghilangkan Paten-Paten yang menghambat (blocking), dan mengurangi biaya sengketa di pengadilan. Namun demikian, Perjanjian Lisensi Patent Pooling adalah suatu bentuk perjanjian di antara banyak pihak yang juga berpotensi menjadi bersifat anti persaingan dalam kondisi-kondisi tertentu. Pengaturan mengenai pedoman penilaian terhadap Perjanjian Lisensi Patent Pooling di Indonesia masih belum diatur secara jelas, lengkap, dan komprehensif di dalam Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2009. Karenanya, KPPU perlu membandingkan dan mengadaptasi pengaturan mengenai penilaian terhadap Perjanjian Lisensi Patent Pooling dengan pengaturan di Amerika Serikat.

This thesis discusses the assessment on Patent Pooling License Agreement with respect to the antitrust regulation. The increasing number of patented technologies that is owned by many patent holders could potentially complicate many parties to develop new technology because it can block each other. Patent Pooling License Agreement is one of the solution to overcome the condition because it can integrate technologies interrelated, reduce transaction costs, eliminate blocking patent, and reduce the costs of future disputes in court. However, Patent Pooling License Agreement is a form of agreement among many parties that can also be potentially anti-competitive under certain conditions. Regulations regarding guidelines to assess Patent Pooling License Agreements in Indonesia has yet to be arranged in a clear, complete, and comprehensive state in the KPPU Regulation No. 2 Year 2009. Therefore, KPPU should compare and adapt regulations regarding the assessment of Patent Pooling License Agreement based on regulations in the United States. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57132
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Aqilla Cahyaningrum
"Qualcomm melakukan praktik predatory pricing dengan menjual 3 (tiga) jenis baseband chipset kepada Huawei dan ZTE yang merupakan 2 (dua) pelanggan penting dalam pasar baseband chipset UMTS dengan tujuan untuk mengeliminasi Icera yang merupakan pesaing utamanya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ketepatan penerapan hukum persaingan usaha di Uni Eropa dalam memutus tindakan predatory pricing oleh Qualcomm dan penerapan hukum persaingan usaha di Indonesia jika kasus predatory pricing serupa dengan yang dilakukan oleh Qualcomm terjadi di Indonesia. Bentuk penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian karya tulis ini adalah Yuridis-Normatif dengan meninjau putusan European Commission Case AT.39711 dan peraturan perundang-undangan mengenai hukum persaingan usaha di Indonesia dan Uni Eropa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa European Commission telah tepat dalam menggunakan hukum persaingan usaha di Uni Eropa untuk memutus kasus predatory pricing oleh Qualcomm yang terbukti melakukan praktik predatory pricing untuk 3 (tiga) jenis baseband chipset-nya pada periode Juli 2009-Juni 2011 dan jika kasus tersebut terjadi di Indonesia, maka termasuk ke dalam praktik predatory pricing serta terdapat perbedaan pengenaan denda antara hukum persaingan usaha di Indonesia dan Uni Eropa. Saran yang dapat diberikan adalah lebih diawasinya proses kegiatan usaha, ditaatinya prinsip persaingan usaha, serta Indonesia dapat memberikan opsi price-cost test lainnya agar dapat dicapai hasil yang lebih akurat dan diterapkannya denda dengan mempertimbangkan jumlah keuntungan pelaku usaha.

Qualcomm practices predatory pricing by selling 3 (three) types of baseband chipset to Huawei and ZTE which are 2 (two) important customers in the UMTS baseband chipset market, with the aim of eliminating Icera, which is Qualcomm's main competitor. This study was conducted with the aim of knowing the exactness of the application of European Union's competition law in deciding predatory pricing practice by Qualcomm and the application of Indonesia competition law if predatory pricing cases similar to those carried out by Qualcomm occur in Indonesia. The form of research used in conducting this research paper is juridical-normative by reviewing the decision of European Commission Case AT.39711 and the regulation regarding Indonesia and European Union competition law. The results show that European Commission has been right in using the European Union competition law to decide on the predatory pricing case by Qualcomm which was proven to have practiced predatory pricing for the 3 (three) types of baseband chipset in the period of July 2009-June 2011 and if the case is occured in Indonesia, it is included in the practice of predatory pricing but only for one type baseband chipset in the period of July 2010-March 2011 and there is a difference in the imposition of fines between Indonesia and European Union competition law. Suggestions that can be given are more supervised of business processes, adherence to the competition principle, and Indonesia can provide other price-cost test options in order to achieve more accurate results and fines taking by considering the amount of profit earned by undertaking."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caisa Aamuliadiga
"Konflik hukum kekayaan intelektual dengan hukum persaingan usaha dapat terjadi ketika pemegang hak kekayaan intelektual melakukan penolakan memberikan lisensi (refusal to license). Banyak perkara berkaitan dengan penolakan pemberian lisensi dibawa ke pengadilan di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di Indonesia, hal ini secara tidak langsung diatur di dalam Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 dan dijelaskan di dalam Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2009. Penolakan pemberian lisensi menurut Peraturan KPPU tersebut hanya dapat diuji terhadap essential facilities. Padahal, disrupsi pasar tidak hanya terjadi pada fasilitas penting. Di sisi lain, Indonesia hanya memiliki satu perkara yang bisa dikaitkan dengan refusal to license, yaitu putusan KPPU Nomor 03/KPPU-L/2008. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini membahas apakah penolakan pemberian lisensi kekayaan intelektual dikecualikan menurut hukum persaingan usaha, bagaimana Amerika Serikat dan Uni Eropa mengatur penolakan pemberian lisensi, dan bagaimana analisis perjanjian lisensi dalam putusan KPPU a quo. Penelitian ini merupakan yuridis-normatif yang dilakukan terhadap peraturan, putusan, dan literatur terkait. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Hasilnya, penolakan pemberian lisensi di Indonesia dikecualikan hanya terhadap fasilitas penting. Hal yang sama juga terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sementara itu, putusan a quo tidak melihat perjanjian tunggal sebagai pelanggaran hukum persaingan usaha dan hanya menyoroti proses perolehan lisensi. Sebagai saran atas temuan tersebut, hendaknya pengaturan refusal to license diatur secara tegas di dalam undang-undang. Hal ini juga perlu dilakukan di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Berkaitan proses perolehan lisensi dalam Putusan a quo, hendaknya KPPU mengatur secara tertulis agar terdapat kepastian hukum.

Conflict between intellectual property law and competition law arise while IP right holder refuse to license. Many cases pertaining to refusal to license were sent to court in United States and European Union. In Indonesia, this is implicitly regulated under Article 50 letter b of Law Number 5 of 1999 and detailed in KPPU Regulation Number 2 of 2009. According to the KPPU Regulation, refusal to license is only examined to essential facilities. Meanwhile, market disruption does not only happen to essential facilities. On the other hand, Indonesia only has one case related to refusal to license, that is KPPU decision Number 03/KPPU-L/2008. Hence, this research will discuss whether refusal to licen is exempted by competition law, how United States and European Union regulated refusal to license, and the analysist of license agreement in te decision. This is yuridical-normative reseach examining regulation, decisions and related literature. Data collection is done through library research. As result, refusal to license in Indonesia is exempted to essential facilites. The same thing can be seen in United States and
European Union. The decision does not see the license agreement as violation of competition law and only examine the license process. As suggestion, it is better to clearly regulate refusal to license in legislation. This also need to be done in United State and European Union. KPPU shall regulate competitive criteria in written law to achieve legal certainty"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkya Kinanti Nastiti
"Diaturnya ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Desain Industri No. 31 Tahun 2000 (“UU DI”) yang tidak mengatur ukuran jelas mengenai batasan tidak sama dari sebuah desain yang baru menyebabkan timbulnya inkonsistensi penafsiran penilaian kebaruan Desain Industri di Indonesia. Ditambah pengaturan penilaian substantif ditentukan hanya dilakukan apabila terdapatnya sanggahan sebagaimana dalam Pasal 26 ayat (5) UU DI. Kondisi tersebut akhirnya menciptakan celah terjadinya pendaftaran Desain Industri yang tidak baru dan memungkinkan terjadinya sengketa kebaruan Desain Industri. Dengan begitu penelitian ini dilakukan untuk meneliti bagaimana ketentuan penilaian kebaruan Desain Industri sebaiknya diatur agar tercipta kepastian hukum. Penelitian ini juga akan dilihat dari prespektif hukum desain Uni Eropa dan Perjanjian TRIPs sebagai perbandingan untuk mengetahui bagaimana sebaiknya ketentuan perundang-undangan Desain Industri khususnya mengenai nilai kebaruan diatur. Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan bahan pustaka seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku teks hukum serta jurnal sebagai bahan acuan dalam menganalisa permasalahan ini. Hasil dari penelitian ini didapati bahwa pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam menilai kebaruan Desain Industri di Indonesia yaitu pendekatan perbedaan signifikan. Sebab pendekatan tersebut lebih sesuai dalam menilai apakah suatu desain yang dibuat benar-benar memiliki suatu kreasi baru atau tidak. Kemudian guna mewujudkan ketentuan penilaian Desain Industri yang memberi kepastian hukum maka upaya yang perlu dilakukan diantaranya berupa merubah pengaturan pasal yang mengandung ambiguitas seperti dalam 2 ayat (2) UU DI serta mempertimbangkan untuk mengadaptasi mengenai syarat karakter individu yang terdapat dalam hukum desain Uni Eropa agar meningkatkan persyaratan pendaftaran desain. Dengan begitu suatu desain tidak hanya harus baru namun juga harus memiliki karakter khas yang membedakan dengan desain lainnya.

The provisions of Article 2 paragraph (2) of the Industrial Design Law No. 31 of 2000 (“ID Law”) which does not set clear limits on limits not the same as a new design causes inconsistencies in the interpretation of the assessment of the novelty of Industrial Designs in Indonesia. In addition, substantive evaluation arrangements are determined to only be carried out if there is objection as stated in Article 26 paragraph (5) of the DI Law. This condition eventually creates a loophole for registration of Industrial Designs that are not new and allows for disputes over the novelty of Industrial Designs. In this way, this research was conducted to examine how the provisions for assessing the novelty of Industrial Designs should be regulated in order to create legal certainty. This research will also be seen from the perspective of European Union design law and the TRIPS Agreement as a comparison to find out how the provisions of Industrial Design legislation should be regulated, especially regarding the value of novelty. In conducting this research the authors used normative legal research methods by using library materials such as laws and regulations, legal textbooks and journals as reference materials in analyzing this problem. The results of this study found that a more appropriate approach is used in assessing the novelty of industrial design in Indonesia, namely the significant difference approach. Because this approach is more appropriate in assessing whether a design that is made really has a new creation or not. Then, in order to realize the provisions for evaluating Industrial Designs that provide legal certainty, the efforts that need to be made include changing the arrangement of articles that contain ambiguity as in 2 paragraph (2) of the ID Law and considering adapting the individual character requirements contained in European Union design law in order to improve design registration requirements. That way a design must not only be new but must also have a distinctive character that distinguishes it from other designs."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>