Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 219732 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohamed Amshar
"ABSTRAK
Pubertas terlambat merupakan salah satu komplikasi utama pada pasien thalassemia mayor. Penyebab utama pubertas terlambat pada pasien thalassemia mayor adalah penumpukan besi pada kelenjar hipofisis. Selain itu, anemia kronis pada pasien thalassemia mayor juga dapat menyebabkan pubertas terlambat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara profil besi dan kadar hemoglobin pra-transfusi dengan status pubertas pasien thalassemia mayor remaja di Pusat Thalassemia RSCM. Metode: Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang melibatkan 47 pasien thalassemia mayor dengan rentang usia 13-18 tahun untuk pasien perempuan dan 14-18 tahun untuk pasien lelaki di Pusat Thalassemia RSCM. Profil besi subjek ditentukan dari kadar feritin serum dan saturasi transferin subjek. Status pubertas subjek ditentukan berdasarkan Tanner Staging. Hasil & Diksusi: Berdasarkan kadar feritin serum, terdapat 47 (100%) subjek yang mengalami kelebihan besi, dengan 35 (75%) diantaranya mengalami kelebihan besi berat. Nilai median feritin serum subjek adalah 3645 (1415-12636) ng/mL. Berdasarkan saturasi transferin, sebesar 36 (77%) subjek mengalami kelebihan besi, dengan nilai median saturasi transferin sebesar 85 (28-100)%. Terdapat 42 (89%) subjek yang mengalami anemia, dengan nilai median kadar hemoglobin pra-transfusi sebesar 8,0 (4,8-9,5) g/dL. Pubertas terlambat ditemukan pada delapan (17%) subjek. Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara feritin serum dengan status pubertas (p = 0,183), saturasi transferin dengan status pubertas (p = 0,650), dan kadar hemoglobin pra-transfusi dengan status pubertas (p = 0,932). Berdasarkan hasil tersebut, profil besi dan kadar hemoglobin pra-transfusi tidak berhubungan dengan status pubertas pasien thalassemia mayor remaja di Pusat Thalassemia RSCM.

ABSTRAK
Introduction Delayed puberty is a major complication in thalassemia major patients. Delayed puberty occurs due to accumulation of iron in the pituitary gland. In addition, chronic anemia in thalassemia major patients can cause delayed puberty.Objectives This study aims to find the association between iron profile and pre transfusion hemoglobin level with pubertal status in adolescent thalassemia major patients in Thalassemia Centre RSCM.Methods This was a cross sectional study that involved 47 thalassemia major patients aged 13 to 18 years for female patients and 14 to 18 years for male patients in Thalassemia Centre RSCM. Iron profile was determined from serum ferritin level and transferrin saturation. Pubertal status was determined by Tanner Staging.Results Discussion Based on serum ferritin level, 47 100 subjects had iron overload, in which 35 75 subjects had severe iron overload. The median of serum ferritin level was 3645 1415 12636 ng mL. Based on transferrin saturation, 36 77 subjects had iron overload. The median of transferrin saturation was 85 28 100 . Forty two 89 subjects were found anemic. The median of pre transfusion hemoglobin level was 8,0 4,8 9,5 g dL. Delayed puberty occurred in eight 17 subjects. Statistically, no significant associations were found between serum ferritin level and pubertal status p 0.183 , transferrin saturation and pubertal status p 0.650 and pre transfusion hemoglobin level and pubertal status p 0,932 . Based on the results, iron profile and pre transfusion hemoglobin level are not associated with pubertal status in adolescent thalassemia major patients in Thalassemia Centre RSCM."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Akbar
" ABSTRAK
Latar Belakang: Thalassemia merupakan hemoglobinopati herediter yang menyebabkan anemia kronis, sehingga pasien membutuhkan transfusi darah secara rutin yang dapat menyebabkan kelebihan besi. Kelebihan besi dapat memicu beberapa komplikasi, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin dan profil besi dengan gangguan pertumbuhan pada pasien thalassemia. Metode: Studi cross-sectional pada 102 pasien thalassemia di Pusat Thalassemia RSCM Jakarta. Hasil: Empat puluh lima 44,1 subjek adalah perempuan dan 57 55,9 subjek adalah lelaki dengan rentang usia 9-14 tahun. Tiga puluh sembilan 38,2 subjek memiliki perawakan pendek dan 63 61,8 subjek memiliki perawakan normal. Nilai median kadar feritin serum pada pasien perawakan pendek adalah 2062 318-8963 ng/mL dan pada pasien perawakan normal adalah 3315 422,9-12269 ng/mL p.

ABSTRACT
Background Thalassemia is a hereditary hemoglobinopathy which causes chronic anemia, thus the patients need regular blood transfusion which can cause iron overload. It leads to some complications, one of them is growth retardation. Aim To determine the association between hemoglobin level and iron profile with growth retardation on thalassemia patients. Methods cross sectional study on 102 patients in Thalassemia Center of RSCM Jakarta. Results Forty five 44.1 subjects are girls and 57 55.9 subjects are boys. Their age range was 9 14 years old. Thirty nine 38.2 subjects had short stature and 63 61.8 subjects had normal stature. Median of serum ferritin level in the short stature patients was 2062 318 8963 ng mL and normal stature was 3315 422.9 12269 ng mL p 0.001 . Median of transferrin saturation in the short stature patients was 88 19 100 and normal stature was 83 35 100 p 0.94 . Mean of pra transfusion hemoglobin level in the short stature patients was 8.14 SD 0.93 g dL and normal stature was 8.07 SD 0.86 g dL p 0.68 . Conclusion there is a significant association between serum ferritin level and growth retardation, but there is no significant association between transferrin saturation and pra transfusion hemoglobin level with growth retardation."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Yoanita Astriani
"Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan dan penyakit genetik yang paling sering didapati di dunia. Terapi dengan transfusi dan terapi kelasi pada pasien thalassemia memberikan angka survival yang lebih panjang. Salah satu komplikasi transfusi berkala adalah peningkatan kadar besi yang terakumulasi pada hipofisis. Hipogonadotropik hipogonadisme yang memiliki gambaran klinis keterlambatan pubertas merupakan abnormalitas utama pada sistem endokrin pasien thalassemia anak. Pencitraan MRI berguna menilai deposit besi hipofisis.
Tujuan: Mengetahui kemampuan sekuens T2 dan T2 relaksometri dalam menilai deposit besi di hipofisis yang memiliki gambaran klinis keterlambatan pubertas.
Metode: Menggunakan desain komparatif studi potong lintang (comparative cross sectional) dengan data primer, minimal sampel 28 pasien. Analisis data dalam penetuan titik potong menggunakan metode reciver operating curve (ROC) kemudian dihitung tingkan sensitivitas dan spesifitasnya.
Hasil: Nilai T2 dan T2 relaksometri hipofisis pada kelompok pubertas terlambat lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok pubertas normal. Titik potong T2 relaksometri hipofisis untuk membedakan pubertas terlambat dan normal yakni 78,15 ms dengan perkiraan sensitivitas dan spesifitas masing-masing 92,9% dan 75,0%. Titik potong T2 relaksometri hipofisis untuk membedakan pubertas terlambat dan normal yakni 20,19 ms dengan perkiraan sensitivitas dan spesifitas keduanya adalah 100%.
Kesimpulan: Nilai T2 dan T2 relaksometri hipofisis dapat meningkatkan peran MRI dalam mendeteksi status laju pubertas pada pasien transfusion dependent thalassemia sehingga pasien thalassemia dengan deposit besi yang berat di hipofisis serta prediksi keterlambatan pubertas dapat mendapatkan terapi yang lebih optimal.

Thalassemia is an inherited hemolytic anemia disease and is a genetic disease most commonly found in the world. Treatment with transfusion and chelation therapy in thalassemia patients provides a longer survival rate. One of periodic transfusion complications is an increase in iron in the pituitary. Hypogonadotropic hypogonadism which has a clinical picture of delayed puberty is a major abnormality in the endocrine system in pediatric thalassemia patients. MRI imaging is useful in assessing iron deposits in the pituitary.
Purpose: To determine the ability of T2 and T2 relaxometry sequences of pituitary in assessing pituitary iron deposits which have a clinical picture of delayed puberty Methods: Using a comparative cross sectional design with primary data, with minimum sample of 28 patients. Analysis of data in determining the cut point was using the reciver operating curve (ROC) method and then calculated the sensitivity and specificity.
Result : T2 and T2 relaxometry values of pituitary iron deposit in the delayed puberty group were significantly lower than in the normal puberty group. The T2 relaxometry cut-off point for pituitary iron deposit to differentiate delayed and normal puberty is 78.15 ms with estimated sensitivity and specificity of 92.9% and 75.0%, respectively. The T2 relaxometry cut-off point for pituitary iron deposit to delayed and normal puberty is 20.19 ms with an estimated sensitivity and specificity of both is 100%. Conclutions: T2 and T2 relaxometry values of pituitary iron deposit can enhance the role of MRI in detecting the rate of puberty in patients with transfusion dependent thalassemia so patients with severe pituitary iron deposit and whom predicted with delayed puberty could have optimal therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Radhiyanisa Pratisto
"Introduction: Thalassemia is a single genetic disorder that occurs due to an imbalance in the globin chain of the hemoglobin (Hb). It is one of the health problems throughout the world, including in Indonesia. Thalassemia causes ineffective erythropoiesis and will lead to anemia and other complications. To treat anemia, patients need regular transfusion therapy, but it causes iron overload which is characterized by increased serum ferritin levels, so that there is a stigma that frequent transfusions will cause high serum ferritin levels. Therefore, this study aims to determine whether there is any association between Hb before transfusion and ferritin levels.
Method: This research is done by analytical research with a retrospective and the data analysis was done using IBM SPSS software.
Results: There were no significant association between Hb before transfusion and serum ferritin levels (p=0.694).
Conclusion: Pre-transfusion is not the only factor that plays a role in increasing serum ferritin in patients with thalassemia major. Other factors such as availability and adherence to iron chelation therapy and inflammatory conditions also play essential roles in increasing serum ferritin levels. Moreover, there is no significant difference in serum ferritin levels between the pretransfusion Hb group ≥9 g/dL and <9g/dL.

Latar Belakang: Thalassemia merupakan kelainan genetik tunggal yang terjadi akibat ketidakseimbangan rantai globin dari hemoglobin (Hb). Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Thalassemia menyebabkan eritropoiesis tidak efektif dan akan menyebabkan anemia dan komplikasi lainnya. Untuk mengatasi anemia, pasien memerlukan terapi transfusi secara teratur, namun menyebabkan iron overload yang ditandai dengan peningkatan kadar feritin serum, sehingga terdapat stigma bahwa transfusi yang sering akan menyebabkan kadar feritin serum yang tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara Hb sebelum transfusi dengan kadar feritin.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian analitik dengan retrospektif dan analisis data dilakukan dengan menggunakan software IBM SPSS.
Hasil: Tidak ada hubungan bermakna antara Hb sebelum transfusi dengan kadar feritin serum (p=0,694).
Kesimpulan: Pra-transfusi bukan satu-satunya faktor yang berperan dalam peningkatan feritin serum pada pasien thalassemia mayor. Faktor lain seperti ketersediaan dan kepatuhan terhadap terapi kelasi besi dan kondisi inflamasi juga memainkan peran penting dalam meningkatkan kadar feritin serum. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kadar feritin serum antara kelompok Hb pretransfusi 9 g/dL dan <9g/dL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Nanda Arshani Maryadi
"Remaja dengan thalassemia beta mayor mengalami anemia berat sehingga bergantung pada hipertranfusi. Dampak dari hipertranfusi dapat mengakibatkan gangguan pubertas yang menjadi sumber krisis dan menimbulkan berbagai reaksi adaptasi pertahanan diri dalam bentuk mekanisme koping.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan antara gangguan pubertas dengan mekanisme koping pada anak remaja penderita thalassemia beta mayor. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 44 pasien usia 15-20 tahun yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Data dikumpulkan menggunakan kuisioner dan dianalisis dengan Chi Square dan regresi logistic untuk mengontrol variabel perancu.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara gangguan pubertas dengan mekanisme koping pada anak remaja penderita thalassemia beta mayor (p value = 0,005) serta terdapat pengaruh kontribusi jenis kelamin dan usia saat pertama mendapatkan terapi kelasi besi. Berdasarkan temuan ini disarankan agar perawat dan keluarga pasien dapat lebih dini membangun mekanisme koping adaptif dengan mempersiapkan anak penderita thalassemia beta mayor menghadapi pubertas.

Adolescence with beta thalassemia major suffered from severe anemia, that depend on hypertransfussion. The impact of hypertransfussion may result in disorders of puberty as the source of the crisis. It causes a variety of adaptation reaction of self-defense in the conformation of coping mechanism.
The research aimed to identify the relationship between of puberty disorders and coping mechanisms in adolescence with beta thalassemia major. This study design was employed a cross-sectional for 44 adolescence (15 to 20 years old) who were selected with a consecutive sampling technique. Data were collected using a questionnaire and analyzed with Chi Square and logistic regression to control for confounding variables.
The results shown a significant relationship between of puberty disorders and coping mechanisms in adolescence with beta thalassemia major (p value = 0.005), and there were significant contributions among gender and age at first time got iron chelation therapy. This research suggested that the nurse and the patient's family can develop an early adaptive coping mechanisms to prepare children with beta thalassemia major deal with puberty.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S65529
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kyla Putri Nangkana
"Background: Thalassemia is a form of hemoglobin (Hb) disorder affecting the composition of Hb in the body that has a high prevalence in Indonesia and requires large funds for its treatment, categorized as one of the high burden diseases. Thalassemia patients who have anemia as the main characteristic require blood transfusion therapy. However, excess iron is one of the main side effects of this therapy coupled with the pre-transfusion Hb value that is not in accordance with the target set by the Thalassemia International Federation (TIF). This incident can cause growth problems in thalassemia patients, especially in children with thalassemia major. Therefore, this study was carried out to find a relationship between the pre-transfusion Hb levels and thalassemia major children’s anthropometry that can be observed through their anthropometric values.
Method: This study is a cross-sectional study using patient data records and direct anthropometric measurements. Finally, IBM SPSS software was used for data analysis.
Result: The results of the study did not find a significant relationship between pre-transfusion Hb values and anthropometry of pediatric thalassemia patients (p > 0.05). Thus, there are other factors that affect the patient's anthropometry.
Conclusion: Anthropometry of thalassemia major children is not only influenced by pre-transfusion Hb values, but there are also other possible influencing factors such as serum ferritin values, genetic factors, hormonal factors, and nutritional intake.

Latar Belakang: Talasemia sebagai salah satu bentuk kelainan Hemoglobin (Hb) mempengearuhi komposisi dari Hb di dalam tubuh memiliki prevalensi yang tinggi di Indonesia dan memerlukan dana yang tidak sedikit untuk pengobatannya, membuat talasemia dikategorikan sebagai salah satu “high burden diseases”. Pasien talasemia yang memiliki anemia sebagai karakteristik utama memerlukan terapi transfusi darah. Namun, zat besi yang berlebih merupakan salah satu efek samping utama dalam terapi tersebut. Ditambah lagi dengan nilai Hb pre-transfusi yang tidak sesuai dengan target yang telah ditentukan oleh Thalassemia International Federation (TIF). Kejadian ini bisa menyebabkan adanya masalah pertumbuhan pada pasien talasemia khususnya pada pasien anak. Maka dari itu, penelitian ini dilaksanakan untuk mencari hubungan antara nilai Hb pra-transfusi pasien talasemia mayor anak dengan pertumbuhan mereka yang dapat dilihat melalui nilai antropometri.
Metode: Penelitian ini adalah studi cross-sectional yang menggunakan catatan data pasien dan pengukuran antropometri secara langsung. Terakhir, software IBM SPSS digunakan untuk analisis data.
Hasil: Hasil dari penelitian tidak menemukan adanya hubungan bermakna antara nilai Hb pra-transfusi dengan antropometri pasien talasemia mayor anak (p>0.05). Dengan demikian, maka ada faktor lain yang memengaruhi antropometri pasien.
Kesimpulan: Antropometri pasien talasemia mayor anak tidak hanya dipengaruhi oleh nilai Hb pra-transfusi, namun juga ada kemungkinan faktor lain yang berpengaruh seperti nilai feritin serum, faktor genetik, faktor hormonal, dan juga faktor asupan nutrisi dari pasien.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Dewi Sharon
"Latar belakang: Transfusi rutin merupakan terapi utama bagi pasien thalassemia mayor, namun transfusi berulang diikuti masalah baru yaitu beban kelebihan besi yang terakumulasi dalam jaringan. Pemberian terapi kelasi besi adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuka mengetahui hubungan efektivitas terapi, efek samping obat dan biaya antara kelasi besi regimen kombinasi (DFO+DFP dan DFP+DFX) dengan monoterapi DFP dosis ≥ 90 mg/kgbb/hari. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif observasional dengan desain potong lintang, untuk menganalisis hubungan efektivitas terapi, efek samping obat dan biaya antara kelasi besi regimen kombinasi (DFO+DFP dan DFP+DFX) dengan monoterapi DFP dosis ≥ 90 mg/kgbb/hari. Luaran efektivitas dinilai dengan penurunan serum feritin ≥ 500 ng/mL.
Hasil: Setelah 6 atau 12 bulan terjadi penurunan serum feritin pada 16 (34,7%) subyek kelompok kombinasi, dan 22 (27,5%) subyek kelompok monoterapi (p = 0,391). Sembilan (19,5%) subyek kombinasi mengalami efek samping obat, dan 17 (21,2%) subjek pada kelompok monoterapi (p = 0,822). Analisis minimalisisasi biaya menunjukkan bahwa rerata biaya per pasien thalassemia-β mayor anak yang menggunakan rejimen monoterapi selama 6 dan 12 bulan lebih murah Rp 13.556.592,64 (30,46%) dan Rp 20.162.836,10 (25,56%) dari rejimen kombinasi.
Kesimpulan: Rejimen kombinasi sama efektifnya dengan rejimen monoterapi dalam menurunkan serum feritin. Tidak ada perbedaan efek samping obat yang bermakna diantara keduanya.

Background: Blood transfusion is the main therapy for thalassemia major patients, but repeated transfusions are followed by new problems namely the excess iron load accumulated in the body tissue. Iron chelation therapy is the only way to maintain iron balance in the body.
Aim: This study aimed to determine the efficacy, safety , and cost analysis of of combination iron chelation regimen with mono-therapy.
Method:This study was designed as a retrospective observational study with a cross-sectional design, to analyze the relationship between therapeutic effectiveness, drug side effects and the cost of combination iron chelation regimen (DFO+DFP and DFP+DFX) and DFP mono-therapy dose ≥ 90 mg/kg/day. Outcome effectiveness was assessed by decreasing serum ferritin ≥ 500 ng/mL.
Result: After 6 or 12 months there was serum ferritin decreased in 16 (34,7%) subjects in combination group and 22 (27,5%) subjects in mono-therapy group (p = 0,391). Nine (19,5%) subjects in combination group experienced adverse effect, and 17 (21,2%) subjects in the mono-therapy group (p = 0,822). Analysis cost of minimization shows that the average cost per major thalassemia-β patient for children using a mono-therapy regimen for 6 and 12 months is cheaper Rp 13.556.592,64 (30,46%) and Rp 20.162.836,10 (25,56%) compared to combination regimen.
Conclusion: Combination regimens are as effective as a mono therapy regimens in decreasing serum ferritin. There were no significant differences in adverse effect between the two.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Garniasih, examiner
"Latar belakang: Thalassemia adalah kelainan sel darah merah berupa gangguan sintesis hemoglobin (Hb) yang diturunkan secara autosomal resesif. Transfusi PRC pada pasien transfussion-dependent thalassemia (TDT) menyebabkan akumulasi besi pada berbagai organ, salah satunya kelenjar endokrin. Hal tersebut akan menyebabkan hemosiderosis di hipofisis anterior dan keterlambatan pubertas.
Tujuan: Mendeteksi keterlambatan pubertas menggunakan MRI T2* hipofisis di poliklinik Thalassemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Pemeriksaan MRI dilakukan menggunakan MRI Avanto 1,5 Tesla, sekuen T2 SE. Penghitungan nilai MRI T2* hipofisis menggunakan perangkat lunak CMR Tools TM yang berfungsi menghitung deposit besi pada organ. Dilakukan pemeriksaan kadar feritin serum, FSH, LH testosteron (lelaki), dan estradiol (perempuan) menggunakan electro-chemiluminscence immunoassay (ECLIA). Hubungan antara MRI T2* hipofisis dengan kadar feritin serum, saturasi transferin, FSH, LH, testosteron, dan estradiol dianalisis menggunakan analisis korelasi Pearson.
Hasil: Sebanyak 56 pasien TDT dibagi menjadi 27 subyek usia prapubertas, 14 subyek pubertas normal dan 15 subyek pubertas terlambat. Hasil menunjukkan nilai MRI T2* hipofisis pasien TDT pubertas normal lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pubertas terlambat (p=0,000). Terdapat hubungan bermakna antara nilai MRI T2* hipofisis dengan feritin serum (r = -0,502) dan tidak ada hubungan antara MRI T2* hipofisis dengan saturasi transferin, FSH, LH, testosteron, dan estradiol.
Simpulan: Nilai MRI T2* hipofisis TDT pubertas normal lebih tinggi dibandingkan pubertas terlambat.

Background: Thalassemia is an autosomal recessive red blood cells disorder characterized by abnormal hemoglobin (Hb) synthesis. PRC transfusion to transfussion-dependent thalassemia (TDT) patients results in iron accumulation in organs, including endocrine system. It further cause hemosiderosis at anterior hypophysis which leads to delayed puberty.
Objective: To detect patients with delayed puberty using MRI T2* in Thalassemia Clinic Department of Pediatrics Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Method: MRI was assesed with MRI Avanto 1,5 Tesla,T2 SE sequence, whilst T2* hypophysis result being done with CMR Tools TM software, which aims to measure iron deposit. Levels of ferritin serum, FSH, LH, testosterone (male subjects), and estradiol (female subjects) were observed with electro-chemiluminescence immunoassay (ECLIA). Correlation between MRI T2* hypophysis with levels of ferritin serum, transferrin saturation, FSH, LH, testosterone, and estradiol were analyzed with Pearson correlation analysis.
Results: 56 TDT patients were consist of 27 prepuberty subjects, 14 normal puberty subjects, and 15 delayed puberty subjects. Results showed that MRI T2* hypophysis of normal puberty TDT patients was significantly higher compared to delayed puberty patients (p = 0,000). There was significant correlation between MRI T2* hypophysis with ferritin serum (r = -0,502). Meanwhile, there was no significant correlation between MRI T2* hypophysis with transferrin saturation, FSH, LH, testosterone, and estradiol.
Conclusions: Pituitary MRI T2* of TDT patients higher in normal group than that in delayed puberty group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Nelis
"Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia. Penyakit ini dapat menimbulkan berbagai masalah dan kelainan berbagai organ tubuh, termasuk pada rongga mulut.
Tujuan: memperoleh gambaran mengenai kelainan yang terjadi pada rongga mulut pasien thalassemia mayor di Pusat Thalassemia RSCM.
Metode: Penelitian cross-sectional terhadap 76 pasien thalassemia mayor yang berusia diatas 12 tahun. Data didapat dengan melakukan pemeriksaan klinis dan wawancara terstruktur menggunakan panduan kuesioner.
Hasil: Keluhan subyektif dalam rongga mulut yang sering dialami adalah: serostomia, diikuti dengan sariawan berulang, bibir mengelupas dan pecah-pecah, serta gusi berdarah. Prevalensi kelainan klinis yang ditemukan meliputi: inkompetensi bibir (25,0%); malokusi: klas I (40,79%), klas II (51,32%) dan klas III (3,95%); higiene oral buruk (67,11%), dan gingivitis (82,89%). Nilai rata-rata DMF-T adalah 4,97. Kondisi dan lesi patologik mukosa mulut yang paling banyak ditemukan adalah pigmentasi mukosa (69,74%), diikuti dengan depapilasi lidah (56,58%), mukosa ikterik (52,63%), cheilosis/cheilitis (50,0%), mukosa pucat (44,74%), erosi/deskuamasi mukosa (44,74%), stomatitis aftosa rekuren (15,79%), glositis defisiensi (14,47%) dan perdarahan gingiva (11,84%).
Kesimpulan: Maloklusi, higiene oral buruk, gingivitis, serostomia, pigmentasi mukosa, depapilasi lidah, mukosa ikterik, dan cheilosis/cheilitis, merupakan masalah yang paling umum ditemukan pada pasien thalassemia mayor dalam penelitian ini, namun indeks karies gigi terlihat rendah.

Background: Thalassemia is the most common genetic disorders worldwide. The disease can cause various problems and disorders of various organs of the body, including in the oral cavity.
Objective: to describe the oral cavity disorders in patients with major thalassemia in Thalassemia Centre at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: cross-sectional study involved 76 patients with major thalassemia over 12 years of age. Data obtained by clinical examination and structured interviews using guidance from quistionnare.
Results: Oral subjective symptom which is often experienced is xerostomia, followed by recurrent aphthous stomatitis, cheilosis/cheilitis, and gingival bleeding. Prevalence of clinical findings consist of: incompetence of lips (25%); malocclusion: class I (40,79%), class II (51,32%) and class III (3,94%); poor oral hygiene (67,11), gingivitis (82,89%). DMF-T score was 4,97. Conditions and pathologic lesions more frequently seen are pigmentation of mucosa (69,74%), followed by depapillation of tongue (56,58%), icterus of mucosa (52,63%), cheilosis/cheilitis (50%), pallor of mucosa (44,74%), erosion/desquamation of mucosa (44,74%), recurrent aphthous stomatitis (15,79%), glossitis deficiency (14,47%), and gingival bleeding (11,84%).
Conclusion: Malocclusion, poor oral hygiene, gingivitis, xerostomia, pigmentation of mucosa, depapillation of tongue, icterus of mucosa, and cheilosis/cheilitis, were most prevalent problems in patients with major thalassemia in this study; nevertheless, dental caries show low index.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T35045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
King Hans Kurnia
"Latar belakang. Penelitian ini bertujuan menilai gambaran struktur dan fungsi retina serta menilai hubungan antara durasi terapi kelasi besi dan kadar feritin serum dengan abnormalitas struktur retina pada penyandang thalasemia-β mayor yang memperoleh terapi kelasi besi di RSCM. Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan pada penyandang thalasemia-β mayor berusia di atas 10 tahun yang memperoleh terapi kelasi besi dan menjalani kontrol di Pusat Thalasemia RSCM. Subjek dilakukan pemeriksaan oftalmologis, foto fundus, dan fundus autofluorescence. Selanjutnya dilakukan pengambilan subsampel dari subjek awal berdasarkan hasil fundus autofluorescence dan dilakukan pemeriksaan elektroretinografi multifokal dan elektrookulografi. Hasil. Abnormalitas struktur retina didapatkan pada 46,2% subjek sedangkan abnormalitas pemeriksaan fundus autofluorescence didapatkan pada 41,9% subjek. Sebagian besar subjek memiliki tajam penglihatan dan sensitivitas kontras yang normal. Nilai tengah seluruh parameter elektroretinografi multifokal dan rasio amplitudo light peak terhadap dark trough elektrookulografi kedua kelompok subjek berada dalam rentang normal. Didapatkan penurunan sensitivitas kontras yang signifikan pada subjek dengan abnormalitas struktur retina dan makula, namun tidak untuk tajam penglihatan. Kadar feritin serum yang lebih tinggi berhubungan dengan abnormalitas struktur retina. Kesimpulan. Rerata kadar feritin serum dalam periode satu tahun dengan titik potong ≥6.000 ng/ml dapat digunakan sebagai panduan untuk memulai pemeriksaan struktur dan fungsi retina.

Introduction. This study aims to evaluate retinal structure and function and association between iron chelation treatment duration and serum ferritin level with retinal structure abnormality in β-thalassemia major patients treated with iron-chelating agent in Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods. This cross-sectional study was performed on β-thalassemia major patients aged more than 10 years old in Thalassemia Center, Cipto Mangunkusumo Hospital, who received iron-chelating agent for at least one year. Patients underwent ophthalmologic examination, fundus photography, and fundus autofluorescence imaging. Afterwards subsample was chosen based on fundus autofluorescence imaging result, and underwent multifocal electroretinography and electrooculography examination. Results. Retinal structure abnormality was found in 46.2% patients and fundus autofluorescence abnormality in 41.9% patients. The majority of patients had normal visual acuity and contrast sensitivity. Each multifocal electroretinography parameters and light peak to dark trough amplitude ratio in electrooculography had normal median values. Significant contrast sensitivity reduction was found on patients with retinal and macular structure abnormality, but not for visual acuity. Significant association between higher ferritin serum level and retinal structure abnormality was found. Conclusion. Mean ferritin serum level within one year with cutoff point of ≥6.000 ng/ml can be used as a guide to start retinal structure and function evaluation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>