Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22984 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Hayati
"The adoption of Law Number 22 Year 1999 led to the expansion of regional governments? autonomy,
applying autonomy in the broadest sense of the word, by focusing merely on ?decentralization?,
while disregarding the principle of de-concentration. Governmental affairs submitted based on
decentralization refer to authority by attribution, whereas de-concentration refers to authority by
delegation. Prior to the reform era, the management of mining was based on Law Number 11 Year
1967, whereby the basis of management authority was the classification of excavated materials
namely category a, category b, and category c. Subsequently, with the implementation of the
reform era, Law Number 11 Year 1967 was negated by the adoption of Government Regulation
Number 75 Year 2001, granting mining management authority to the Minister, Governor, Regent
or Mayor concerned in accordance with their authority respectively. As a result of the above, the
concept as provided for in Law Number 11 Year 1967 became inapplicable. This continued to be the
case up to the adoption of Law Number 4 Year 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which in
principle adopts the concept which has been adjusted to the concept of granting autonomy to the
regional government as set forth in Law Number 22 Year 1999.
Berlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, membawa dampak pembesaran otonomi
pemerintah daerah, terutama pada Kabupaten dan Kota, dengan diterapkannya otonomi seluasluasnya,
dimana asas yang diterapkan hanya ?desentralisasi? semata, tanpa penerapan asas
dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang diserahkan berdasarkan desentralisasi merujuk
pada kewenangan atribusian, sedangkan dekonsentrasi merujuk pada kewenangan delegasian.
Sebelum era reformasi pengelolaan pertambangan didasarkan pada Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967, dimana kewenangan pengelolaan didasarkan pada penggolongan bahan galian
golongana, golongan b, dan golongan c. Kemudian setelah berlangsungnya era reformasi, Undangundang
Nomor 11 Tahun 1967 ternegasikan dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor
75 Tahun 2001, yang memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan kepada Menteri,
Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai kewenangan masing-masing. Dengan demikian konsep
sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 menjadi tidak dapat diterapkan. Hal
ini berlangsung sampai terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, yang pada dasarnya menganut konsep yang disesuaikan dengan konsep
pemberian otonomi kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidir Arief
"Tujuan kemerdekaan Indonesia, salah satu diantaranya adalah memajukan kesejahteraan umum berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.Salah satu harapan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut dapat diperoleh melalui pengusahaan kekayaan alam Indonesia yang sangat beragam, baik kekayaan yang berada di permukaan bumi, di dalam perut bumi maupun yang terdapat di dalam laut. Batubara merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih yang besar dalam mewujudkan tujuan negara tersebut, sehingga di dalam pengelolaan dan penambangannya diperlukan suatu pengaturan yang dapat mencapai tujuan negara atau setidak-tidaknya mendekati apa yang ingin dicapai oleh negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD), yang telah mengalami amandemen sebanyak 4 (empat) kali, telah menetapkan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan beberapa prinsip, salah satunya adalah prinsip kebersamaan.Dengan demikian semua arah dan kebijakan perekonomian Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan pertambangan batubara harus dilaksanakan sesuai konsensus nasional tersebut. Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (UU Minerba), sebagai landasan hukum pengelolaan penambangan batubara di Indonesia ternyata tidak mencantumkan prinsip kebersamaan tersebut, sebagai dasar pertimbangan pembentukan dan pemberlakuannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apa yang dimaksud dengan prinsip kerbersamaan di dalam UUD tersebut, bagaimana penerapan prinsip kebersamaan dalam pengelolaan pertambangan batubara dan apa kendala-kendala yang dihadapi dalam menerapkan prinsip kebersamaan dalam pengelolaan pertambangan batubara di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian jenis penelitian yuridis-normatif, yang bertumpu pada studi kepustakaan serta dianalisa secara kualitatif.

One of the Indonesia independence purpose to thrive the public prosperity is based on the independence, enduring peace, and social justice. One of the nation`s hope to increase the society prosperity can be obtained throughthe cultivation of various Indonesia`s natural resources, both the natural resources on surface of the earth, in the bowels of the earth, and to get in the sea. Coal mine is one of the natural resources in Indonesia. It expect to be afford a lot contribution to bring into realize Indonesia independence purpose. That, in the management and the activity of coal mining needs the regulation to bring into realize the nation`s purpose or at the least come near to strive nation`s purpose.
The Indonesia Constitution, 1945 Constitution Of The Republic Of Indonesia, was experience fourth times amendment. The last amendment determined is national economy implementation must based on economics democracy. One of the principles of economics democracy is mutualism principles. In such all the Indonesia economy directions and policies be related to activity of coal mining must carried out based on constitution.Law No. 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, is basis for the activity of the coal mining in Indonesia. However, the act does not attach mutualism principles, as the basis of consideration to establishment and enforcement.
The aim of this research to analyze what is meant of the mutualism principles from the Constitution, how the application of the mutualism principles in the management activity of coal mining, and what the obstacles application of mutualism principles in the management activity of coal mining in Indonesia. This uses a juridical-normative research as research method based on literature study which qualitative analysis.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42114
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiera Ulfa
"Pengaturan pengelolaan sumber daya migas yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengatur bahwa dalam melakukan pengelolaan sumber daya migas saat ini dilakukan berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Adapun Kontrak Kerja Sama saat ini dilakukan dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) yang dilakukan antara SKK Migas dan Kontraktor yang berasal dari perusahaan minyak nasional maupun asing. Namun rupanya sistem pengelolaan sumber daya migas saat ini dianggap tidak sesuai dengan amanah yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai cita-cita Indonesia dalam melakukan penguasaan atas sumber daya migasnya. Diantaranya adalah karena terdapatnya pengusahaan asing yang melakukan pengelolaan sumber daya migas, sistem pengelolaan yang dilakukan berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), dan sumber daya migas yang tidak dikelola langsung oleh Perusahaan Negara. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah pemahaman atas perkembangan sistem pengelolaan sumber daya migas, bentuk kerja sama pengelolaan sumber daya migas berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, serta analisis pengelolaan sumber daya migas saat ini yang sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Metode yang digunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut adalah yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini yaitu pemahaman terhadap sistem pengelolaan migas dengan berbasis Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) saat ini tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Namun, penguasaan negara yang terkandung dalam cita-cita Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi saat ini tidak memenuhi unsur pengelolaan langsung yang dilakukan oleh Negara.

Oil and gas operation Natural Oil and Gas Act No. 22 year 2001 regulate that in managing oil and gas is performed based on Contract. The contract is currently performed in the form of Production Sharing Contracts that made between SKK Migas and Contractors that come from both national and foreign oil companies. But apparently the oil and gas operation system is currently considered not in accordance with the mandate contained in Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, as the ideals of Indonesia in controlling the oil and gas resources. The reason told among them are due to the presence of foreign that conduct oil and gas resource operation, operation system that been done under Production Sharing Contracts, and oil and gas resources that has been not managed directly by the State Company. The issue in this thesis are the understanding of the history of oil and gas resource operation system, forms of cooperation operation of oil and gas resources under Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, as well as the analysis of the operation of today's oil and gas resources in accordance with Article 33 paragraph (3) 1945 Constitution. The method used in analyze this thesis is a normative juridical. The result of this study is the understanding of the oil and gas operation system based on production sharing contracts today is not contrary to Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution. However, the control of the state contained in the ideals of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution as interpreted by the Constitutional Court does not currently meet the elements of direct operation by the State.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54124
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salampessy, Muhammad Yahdi
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengelolaan sumber daya mineral
dan batu bara di Indonesia berdasarkan kedaulatan Negara dan Hak Menguasai
Negara Negara sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI
1945. Penulis mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi
kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI
1945 memberikan landasan konstitutional terhadap Negara untuk menguasai
seluruh kekayaan alam yang ada di Indonesia, termasuk sumber daya mineral
dan batu bara. Hak Menguasai Negara memberikan kewenangan kepada Negara
untuk melakukan Pengelolaan secara langsung melalui mekanisme izin,
pengurusan, pengaturan, pengendalian melalui mekanisme izin, dan pengawasan
terhadap kegiatan pertambangan Minerba. Kewenangan tersebut merupakan
kewenangan konstitutional Pemerintah Pusat dan merupakan bagian dari
kedaulatan Negara atas sumber daya alam.

ABSTRACT
This research aims to evaluate the management of coal and mining sector in
Indonesia based on the theory of state sovereignty and the rights of state control
over natural resources as stated in Article 33 (3) of the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia. The author uses juridical-normative research method,
which is combined with literature studies. The research shows that Article 33 (3)
gives a constitutional basis for the State to control all natural resources in
Indonesia, including coal and mining. The rights of state control legitimates the
State authority to perform a direct control over natural resources by conducting
permits, management, legislation, control, and surveillance of mining activities.
The authority to control natural resources is a constitutional authority that is
given to the Indonesian central government as a manifestation of State
sovereignty over natural resources."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38688
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Urai Zulhendri
"Pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia telah diatur dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pengaturan tersebut terdapat konsepsi penting terkait pengelolaan minyak dan gas bumi yaitu konsep ?hak menguasai negara?. Pada perjalanan sejarah peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan minyak dan gas bumi sejak awal Indonesia merdeka dan hingga kini, konsepsi ini masih selalu menjadi perdebatan. Hingga akhirnya terjadi judicial review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 22 tahun 2001. Putusan Mahakamah Konstitusi yang tertuang pada putusan Nomor 36/PUU-X/2012 memiliki ekses besar dengan dibubarkannya BP Migas sebagai badan pelaksana pengelolaan sektor hulu migas Indonesia. Oleh karena itu akhirnya melalui Peraturan Presiden No. 9 tahun 2013 dibentuklah SKK Migas untuk menggantikan peran dari BP Migas. Dalam Perpres No. 9 tahun 2013 ini kemudian akan terlihat implementasi pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pada tugas dan kewenangan SKK Migas sebagai pelaksana pengelolaan sektor hulu migas di Indonesia terutama terkait konsepsi hak pengusaan oleh negara.

Management of oil and gas in Indonesia is regulated in Article 33 paragraph (3) of the Constitution of 1945. In these regulation, there is an important concept related to the management of oil and gas specifically the concept of "right of control by the state". In the history of legislation governing the management of oil and gas since the beginning of Indonesia's independence, and until now, this concept is still always a debate. Until finally happened judicial review filed with the Constitutional Court against the Law No. 22/2001 contained in the Constitutional Court decision No. 36/PUU-X/2012 have large excesses with the dissolution of BP Migas as the executing agency management of upstream oil and gas sector in Indonesia. Therefore finally through Presidential Regulation. No. 9/2013, SKK MiGas was formed to replace the role of BP Migas. In Perpres. 9/2013 will then be visible implementation of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution on the duties and authority of the executive management of oil and gas SKK upstream oil and gas sector in Indonesia is mainly related to ?right of control by the state.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Anugroho
"Tesis ini membahas tentang penormaan asas efisiensi berkeadilan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diperbarui pada peraturan perundang-undangan bidang ketenagalistrikan. Pembahasannya dilakukan dengan menganalisis bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan unsur "efisiensi berkeadilan" dalam pengujian konstitusional Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Penelitian ini merupakan penelitian Normatif dengan pendekatan filsafat hukum, ilmu ekonomi, dan singkronisasi hierarki hukum Negara Republik Indonesia yang dilengkapi dengan analisa pengujian konstitusional yang relevan.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa makna dari "efisiensi berkeadilan" dalam Pasal 33 ayat (4) adalah perekonomian nasional diselenggarakan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Penormaan unsur tersebut terwujudkan dalam berbagai aspek pengelolaan, termasuk pengelolaan secara bersama, pengelolaan dengan baik, pengalaman dengan tepat guna, boleh merugi (untuk itu disubsidi) dan pengelolaan yang tidak boros biaya dan sumber daya sosial. Dalam penormaan dalam bidang ketenagalistrikan Indonesia, ditemukan bahwa setiap peraturan perundang-undangan bidang ketenagalistrikan telah mengandung paling tidak salah satu aspek prinsip "efisiensi berkeadilan".

This thesis discusses the implementation of the principle of "equitable efficiency" as contained in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution After the 4th Amendment in legislations concerning electricity. This research is conducted by analyzing how the Constitutional Court interpret the element of "equitable efficiency" in the constitutional reviews of Law Number 20 Year 2002 and Law Number 30 Year 2009 on Electricity.
This research is a normative study which uses legal philosophy and economics in synchronizing the hierarchy of laws of the Republic of Indonesia and the relevant constitutional reviews.
The outcome of this research concludes that the meaning of "equitable efficiency " in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution After the 4th Amendment is that the national economy should be organized to use the least amount of resources to achieve the greatest amount of welfare which could be enjoyed equitably by the all citizens. The concept is embodied in various aspects of management, including joint management, with good management, efficient managment, management which is allowed to make losses (and therefore is subsidised) and management which is not wasteful in costs and social resources. In regards to Indonesia's electricity sector, it was found that each electricty regulation has embodied at least one aspect of the principle of " equitable efficiency"."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Fitriyani
"Konstitusi sebagai hukum tertinggi melalui Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945 telah mengamanatkan negara untuk melakukan penguasaan terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagai panafsir konstitusi, Mahkamah Konstitusi melahirkan Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003. Dalam putusan ini, Mahkamah menyatakan bahwa penilaian terkait sifat dari cabang produksi menjadi kewenangan Pemerintah dan DPR untuk menentukannya. Permasalahan kemudian muncul akibat tidak adanya pengaturan mengenai kriteria untuk menentukan cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga, menimbulkan ketidakpastian hukum, sebab tidak dapat diprediksi tindakan apa yang akan diambil dalam menilai cabang produksi tersebut oleh Pemerintah dan DPR. Hal ini dikarenakan tiadanya rambu-rambu hukum dalam melakukan penilaiannya. Akibatnya timbullah ketidaktransparan dalam penilaian, dan berujung pada penilaian yang tidak objektif dari Pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, tulisan ini hadir untuk menjawab 2 (dua) persoalan, pertama, penilaian Pemerintah dan DPR terhadap cabang produksi yang dikuasai oleh negara dalam undang-undang. Kedua, menganalisis dan menawarkan materi dan bentuk pengaturan yang seharusnya terhadap kriteria cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara. Metode penelitian hukum doktrinal merupakan metode penelitian yang digunakan dengan pengumpulan data studi kepustakaan untuk menjawab permasalahan. Melalui tulisan ini ditemui bahwa, hingaa saat ini belum terdapat pengaturan kriteria cabang produksi. Adapun setelah menelusuri 13 undang-undang terkait hak menguasai negara, tidak ada kriteria penilaian baku yang digunakan oleh Pemerintah dan DPR. Hal ini dapat berkibat pada keleluasaan Pemerintah dan DPR dalam menentukan cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara sehingga legislasi perekonomian Indoneisa ke depan jatuh ke dalam inkonstitusionalitas. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan mengenai kriteria cabang produksi, yang digali dari Putusan Mahkamah Konstitusi dan perbandingan konstitusi. Pengaturan ini nantinya akan dimuat dalam revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara.

The Constitution as the supreme law through Article 33 paragraph (2) of the 1945 Constitution has mandated the state to exercise control over branches of production that are important to the state and control the livelihood of many people. As the interpreter of the Constitution, the Constitutional Court issued Decision No. 001-021-022/PUU-I/2003. In this decision, the Court stated that the assessment of the nature of the branch of production is the authority of the Government and the Parliament to determine. Problems then arose due to the absence of regulation regarding the criteria for determining branches of production important to the state and controlling the livelihood of many people. Thus, it creates legal uncertainty, because it cannot be predicted what actions will be taken in assessing the branch of production by the Government and the DPR. This is due to the absence of legal guidelines in conducting the assessment. As a result, there is a lack of transparency in the assessment, leading to unobjective assessments from the Government and the DPR. Therefore, this paper is present to answer 2 (two) issues, first, the assessment of the Government and the DPR on the branches of production controlled by the state in the law. Second, analyses and offers materials and forms of regulation that should be applied to the criteria for branches of production that should be controlled by the state. Doctrinal legal research method is a research method used with literature study data collection to answer the problem. Through this paper, it is found that until now there has been no regulation of the criteria for the branches of production. After tracing 13 laws related to the right to control the state, there are no standardised assessment criteria used by the Government and Parliament. This may result in the discretion of the Government and the Parliament in determining the branches of production that should be controlled by the state so that future Indonesian economic legislation falls into unconstitutionality. Therefore, it is necessary to regulate the criteria for branches of production, which are explored from the Constitutional Court Decision and constitutional comparison. This arrangement will later be contained in the revision of the State-Owned Enterprises Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Darmayanti
"ABSTRAK
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam lainnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Atas dasar hak menguasai negara tersebut, negara melalui pemerintah berhak untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber daya air salah satunya melalui pemberian izin penggunaan dan izin pengusahaan sumber daya air yang diberikan berdasarkan hak guna air. Kewenangan pemberian izin diberikan secara atribusi oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air kepad Pemerintah dan pemerintah daerah berdasarkan pembagian wilayah sungai dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012. Lebih lanjut lagi, saat ini Pemerintah sedang mengatur kembali hak atas air dan perizinannya melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Hak Guna Air. Pengaturan dalam RPP ini selain menjabarkan mengenai hak guna air yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air juga mengakomodir amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 mengenai Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

ABSTRACT
Article 33 verse (3) Indonesian?s Constitution Year 1945 stated that earth, water, dan other natural resources controlled by the State dan used for the maximum welfare of the people. Based on such right, the state through government have rights to manage water resources, one of the method is by issued water resources utilization and water resources beneficial use permit which given based on water use right. The authority to issued such permit attributively given by Law Number 7 Year 2004 Regarding Water Resources to Central Government and Regional Government based on the classification of river basin in President?s Decree Number 12 Year 2012. Furthermore, currently Central Government is readjusting water rights and its permit system through the Government Regulation Draft of Water Use Right. Regulation in the Government Regulation Draft other than elucidate water use right in the Law Number 7 Year 2004 also accomodate Constitutional Court?s Decree on Case Number 058-059-060-063/PUU-II/2004 and Case Number 008/PUU-III/2005 Regarding Judicial Review of Law Number 7 Year 2004 Regarding Water Resources."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigita Purnawati Manohara
"Negara penghasil minyak dan gas (migas) sangat ditopang oleh regulasi dan institusi. Baik regulasi dan institusi dibutuhkan dalam rangka membangun iklim investasi industry termasuk industri migas yang memiliki karakteristik high risk, high technology dan high cost. Tingginya nilai investasi dan risiko di industry migas khususnya sektor hulu migas menjadikan regulasi sebagai landasan kegiatan usaha dibutuhkan kestabilannya. Apalagi bisnis migas merupakan bisnis dengan durasi kerja sama hingga puluhan tahun. Sementara institusi berkaitan erat dengan negara tempat sumber daya berada yang di beberapa wilayah, negara merupakan pemegang hak penguasaan atas sumber daya alam. Institusi inilah yang kemudian menjadi wakil negara sebagai pemegang hak penguasaan sumber daya dalam menyelenggarakan kegiatan hulu migas. Kehadiran institusi pada pengelolaan hulu migas memiliki peran penting karena dengan fungsi dan kewenangannya institusi dapat menjadikan migas sebagai penggerak kemajuan negara atau justru sebaliknya. Hal ini dikarenakan institusi terdiri dari beragam karakteristik sumber daya manusia sehingga dimungkinkan terjadinya mis-management atau perilaku koruptif yang dapat menjadikan kelimpahan sumber daya alam sebagai resource curse (kutukan sumber daya) bagi negara pemilik sumber daya. oleh karenanya penelitian ini menjawab pertanyaan mengenai: 1. Bagaimana pengelolaan sektor hulu minyak dan gas di sejumlah negara dalam perkembangan regulasi dan institusi?; 2. Bagaimana pengelolaan hulu minyak dan gas di Indonesia dalam perkembangan regulasi dan institusi berdasarkan Pasal 33 UUD NRI 1945?; dan 3. Bagaimana optimalisasi regulasi dan institusi dalam pengelolaan hulu minyak dan gas untuk kesejahteraan rakyat?. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dan deskriptif kualitatif. Perbandingan juga dilakukan terhadap perkembangan pengelolaan hulu migas khususnya regulasi dan institusi di negara penghasil migas lain yakni Venezuela, Arab Saudi, Malaysia, Rusia, dan Norwegia. dari penelitian ini diketahui bahwa pengelolaan sektor hulu migas di negara penghasil migas terus mengalami perkembangan sebagai wujud adaptasi terhadap kondisi sosial, politik, ekonomi dan terutama perubahan di industri migas global. Indonesia sebagai negara penghasil migas mengalami perkembangan regulasi dan institusi dalam usaha mewujudkan kesejahteraan sosial dan mencapai tujuan pemanfaatan migas yakni untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 UUD NRI 1945. Namun demikian terdapat tantangan yang masih perlu dituntaskan dalam rangka mendorong perkembangan industri hulu migas nasional terutama berkaitan dengan implementasi regulasi dan kepastian mengenai lembaga pengelola hulu migas. Usaha optimalisasi regulasi dan institusi sudah dilakukan dalam rangka mengatasi tantangan dalam pengelolaan hulu migas untuk kesejahteraan rakyat meskipun implementasi regulasi belum simetris dengan kinerja institusi sehingga kesejahteraan sosial belum tercapai.

Oil and gas producing countries are strongly supported by regulations and institutions. Both regulations and institutions are needed in order to build an industrial investment climate, including the oil and gas industry, which has the characteristics of high risk, high technology and high costs. The high investment value and risk in the oil and gas industry, especially the upstream oil and gas sector, means that regulations as a basis for business activities require stability. Moreover, the oil and gas business is a business with a collaboration duration of up to decades. While institutions are closely related to the country where the resources are located, in some areas, the state is the holder of control rights over natural resources. This institution then becomes the state's representative as the holder of resource control rights in carrying out upstream oil and gas activities. The presence of institutions in upstream oil and gas management has an important role because with their function and authority institutions can make oil and gas a driver of the country's progress or vice versa. This is because institutions consist of various characteristics of human resources so that it is possible for mis-management or corrupt behavior to occur which can make the abundance of natural resources a resource curse for resource-owning countries. Therefore, this research answers questions regarding: 1. How is the management of the upstream oil and gas sector in a number of countries in terms of regulatory and institutional developments?; 2. How is upstream oil and gas management in Indonesia related to the development of regulations and institutions based on Article 33 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia?; and 3. How to optimize regulations and institutions in upstream oil and gas management for people's welfare? This research is a normative and descriptive qualitative juridical research. Comparisons were also made with the development of upstream oil and gas management, especially regulations and institutions in other oil and gas producing countries, namely Venezuela, Saudi Arabia, Malaysia, Russia and Norway. From this research it is known that the management of the upstream oil and gas sector in oil and gas producing countries continues to experience development as a form of adaptation to social, political, economic conditions and especially changes in the global oil and gas industry. Indonesia as an oil and gas producing country is experiencing developments in regulations and institutions in an effort to realize social welfare and achieve the goal of utilizing oil and gas, namely for the greatest prosperity of the people in accordance with Article 33 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. However, there are challenges that still need to be resolved in order to encourage the development of the national upstream oil and gas industry. especially related to the implementation of regulations and certainty regarding upstream oil and gas management institutions. Efforts to optimize regulations and institutions have been carried out in order to overcome challenges in upstream oil and gas management for people's welfare, although the implementation of regulations has not been symmetrical with institutional performance so that social welfare has not been achieved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Anugroho
"Pengujian Terhadap Undang-Undang Ketenagalistrikan). Skripsi ini membahas tentang kesesuaian makna dari unsur ?efisiensi berkeadilan? yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diperbarui dengan niat awal para Bapak Bangsa mengenai perekonomian Indonesia. Pembahasan tersebut dilakukan dengan menganalisis bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan unsur "efisiensi berkeadilan" dalam Uji Materil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa makna dari ?efisiensi berkeadilan? dalam Pasal 33 ayat (4) adalah perekonomian nasional diselenggarakan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Dalam kaitanya dengan sektor ketenagalistrikan Indonesia, interpretasi tersebut sesuai dengan niat awal para Bapak Bangsa selama diartikan bahwa efisiensi dalam penyediaan penyediaan tenaga listrik demi kepentingan umum dicapai melalui penguasaan negara dalam bentuk pengurusan, pengaturan, pengelolaan, serta pengawasan terhadap sektor usaha ketenagalistrikan Indonesia. Penguasaan negara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjamin keadilan bagi rakyat, yaitu tidak adanya penindasan ekonomi dan terjaminya ketersediaan listrik bagi seluruh rakyat dengan harga terjangkau.

This paper discusses whether the meaning of "equitable efficiency" contained in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution After the 4th Amendment is in line with the original intent of the Founding Fathers regarding the Indonesian economy. Discourse is conducted by analyzing how the Constitutional Court interpret the element of "equitable efficiency" in the judicial review of Law Number 20 Year 2002 and Law Number 30 Year 2009 on Electricity.
The outcome of this research concludes that the meaning of "equitable efficiency" in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution after the 4th Amendment is that the national economy should be organized to use the least amount of resources to achieve the greatest amount of welfare which could be enjoyed equitably by the all citizens. In regards to Indonesia's electricity sector, such interpretation is in accordance with the original intent of the Founding Fathers as long as it is interpreted that efficiency in regards to the provision of electrcity for the public is achieved state control in the form management, regulation, and supervision of the Indonesian electricity sector. The aim of such state control is to ensure justice for the people; namely freedom from economic oppression and the guarantee that electricity is available to all members of society at affordable prices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43103
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>