Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54208 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Junaedi
"The law on human rights court has brought the new hopes for certain people have suffered because of the human rights violation happened in the past government (before the law enacted in the years of 2000). The demand for justice does not only focus on human rights violations, which occurred in the past but also similar human rights violations that will occur in the future. The existence of a permanent Human Rights Court seems to imply that human rights will be upheld and protected. The resolution of past human rights violations through extra-judicial organizations is an advanced step towards resolving the case, whereas a conflict approach can be used to settle the case. The existence of the Human Rights Law provides a new frontier in implementing the principle of restorative justice in the approach of case settlement. It is hoped that such restorative justice can create a political balance between the past and the future.

Undang-undang tentang Pengadilan HAM telah membawa harapan baru bagi orang-orang tertentu yang menderita karena pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam pemerintahan masa lalu (sebelum hukum diberlakukan pada tahun 2000). Tuntutan keadilan tidak hanya fokus pada pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu, tetapi juga pada pelanggaran HAM serupa yang akan terjadi di masa depan. Keberadaan Pengadilan HAM permanen tampaknya menyiratkan bahwa hak asasi manusia akan dijunjung tinggi dan dilindungi. Resolusi pelanggaran HAM masa lalu melalui organisasi ekstra-yudisial merupakan langkah maju menuju penyelesaian kasus ini, sedangkan pendekatan konflik dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus ini. Keberadaan UU Hak Asasi Manusia memberikan sebuah perbatasan baru dalam melaksanakan prinsip keadilan restoratif dalam pendekatan penyelesaian kasus. Diharapkan bahwa keadilan restoratif tersebut dapat menciptakan keseimbangan politik antara masa lalu dan masa depan."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Washington, DC: United States International Communication Agency, 1982
323.4 SUP
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Washington: National Public Radio, 1982
323.4 SUP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Oceana: Manchester University Press, 1968
323.4 HUM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Selby, David
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1988
323 SEL h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Suciati
"ABSTRAK
Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc di Indonesia menjadi sebuah harapan baru bagi para korban dan keluarganya yang tengah menanti keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Akan tetapi, sejauh ini pengadilan ini dinilai kurang memberikan kepuasan atau bahkan gagal dalam memenuhi tututan keadilan. Di sisi lain, munculnya hybrid courts dalam tatanan hukum pidana internasional diharapkan mampu mengakhiri praktek impunitas dan menjadi alternatif baru ketika negara dianggap tidak mau atau tidak mampu unwilling or unable menyelesaikan kasus-kasus kejahatan internasional yang terjadi di wilayahnya. Skripsi ini membahas mengenai komparasi mekanisme pendirian pengadilan HAM ad hoc di Indonesia dan hybrid courts didirikan, yang mana sama-sama merupakan pengadilan ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan sumber data sekunder berupa studi kepustakaan melalui buku-buku dan jurnal ilmiah, serta menggunakan sumber bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan instrumen-instrumen hukum internasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam proses pendirian Pengadilan HAM ad hoc di Indonesia, terdapat unsur campur tangan DPR sebagai lembaga politik yang banyak memunculkan perdebatan tentang kewenangan DPR yang seolah-olah turut menentukan ada atau tidaknya pelanggaran HAM dalam suatu kasus. Di sisi lain, hybrid courts memiliki model-model tertentu dalam pendiriannya yang tak lepas dari campur tangan organisasi internasional. Akan tetapi, bagaimanapun model maupun mekanisme dalam pembentukan suatu pengadilan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM, diperlukanlah kehendak dan kerjasama dari negara yang bersangkutan. Bagi Indonesia pun, segala kekurangan dalam mekanisme pendirian Pengadilan HAM ad hoc tersebut bukanlah suatu penghalang dan seharusnya menjadi dorongan kuat bagi pembuat kebijakan untuk mengembangkan mekanisme dan memperbaiki loopholes dalam instrumen hukum yang telah ada, sehingga Indonesia mampu menjadi negara berdaulat yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan penegakan HAM dalam negerinya.

ABSTRACT
The existence of ad hoc human rights court in Indonesia granted a new expectation for the victims and the families who are still hoping for justice upon gross violation of human rights happened in the past. So far, the court is considered to give less satisfactory or even it is considered failed in fulfilling the demands of justice. On the other hand, hybrid courts emerged in the order of transitional justice with a high expectation to eradicate impunity and such a new alternative when a state is considered to be unwilling or unable to bring the perpetrator of international crimes to justice. This thesis analyzes the comparison on the establishment of an ad hoc human rights court in Indonesia and hybrid courts. The research conducted in this thesis is using a juridical normative approach with secondary data in the form of literature study books and journals , and primary legal materials in the form national regulations and international legal instruments. The results of the analysis showed that in the process of establishing an ad hoc Human Rights Court in Indonesia, there is an element of interference from the House of Representatives DPR as a political institution that raises the debate about the authority of the House of Representatives DPR which seems to contribute in determining whether or not human rights violations committed in a case. On the other hand, hybrid courts have certain models in its establishment that cannot be separated from the interference of international organizations. However, regardless of the model or mechanism in the establishment of a court for cases of human rights violations, the will and cooperation of the concerned state are extremely required. For Indonesia, any shortcomings in the mechanism of the establishment of the ad hoc Human Rights Court shall not be a barrier and must be a strong impetus for decisions makers to develop mechanisms and fix the loopholes in the existing legal instruments, thus Indonesia can become a sovereign state that can solve its own enforcement human rights issues."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muladi, 1943-
"Membandingkan Konvesi Roma mengenai ICC (International Criminal Court) dengan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan sualu langkah awal yang harm dilakukan apabila ada niat pemerintah unluk meratifikasi Kovensi Roma. Sebagai syarat utama meratifikasi Konvensi Roma adalah menghindari adanya sualu ketidaksesuaian antara hukum nasional yang berlaku dengan Kovensi Roma Negara mempunyai tanggung jawab untuk melakukan penuntutan dan menyelaraskan hukum pidana dan hukum acara pidananya sesuai dengan konvensi. Konvensi Roma menyatakan "No reservations may be made to this Statute". Namun dalam UU No. 26/2000 penyelasaran yang dilakukan secara parsial telah menimbulkan suatu permasalahan dalam praktiknya, Komunilas hukum di Indonesia sangat mengerti kosekuensi dan meratifikasi Konvesi Roma seperti melakukan kerjasama dengan ICC dalam hal penyelidikan, penangkapan, dan pemindahan tersangka. Akan tetapi harusjuga dipikirkan foktor lain seperti dimungkinkannya ekstradiksi terhadap warga negara sendiri, menjamin berlakunya yurisdiksi universal. Dengan demikian beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan ratifikasi terhadap Konvesi Roma, agar tidak terjadi kesalahan dalam mengabil kebijakan."
2004
JHII-1-4-Juli2004-659
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
New York : Human Rights Watch, 1994
323.4 LIM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
JK 11:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"MKRI adalah badan pemerintah baru yang dibentuk berdasarkan perubahan ketiga UUD NRI 1945. Sesuai dengan itu maka artikel ini membahas tentang fungsi seyogyanya yang mendasari kewenangan MKRI dalam menguji konstitusionalitas undang-undang. Sesuai dengan isu tersebut maka artikel ini berargumen bahwa MKRI harus diposisikan sebagai human rights court manakala menjalankan kewenanganya untuk menguji konstitusionalitas undang- undang. Fungsi MKRI sebagai human rights court menjustifikasi eksistensinya dan juga mempreskripsi prinsip operasionalnya. Hal ini bermakna bahwa dalam menguji konstitusionalitas undang-undang MKRI seyogyanya memajukan perlindungan HAM melalui judical policy dan interpretasi konstitusinya"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>