Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33591 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Paku Utama
"This study examines problem of money laundering and identifies role of gatekeepers in utilising
their expertise to conceal the proceeds of crime. In order to successfully prevent and investigate
money laundering, we need to understand the development of anti-money laundering regime and
how country like Indonesia adopts this development into its domestic regulations. Nevertheless, it
is crucial to comprehend gatekeepers utilising various money laundering mechanisms and offshore
financial centres. Scrutinised cases from Indonesia and corporate practices from Singapore on
this study highlight how gatekeepers operate in the private sector, wittingly or unwittingly, use
their expert knowledge of the international financial system to facilitate criminals and to secure
the movement of the proceeds of crime globally.
Tulisan ini akan membahas permasalahan pencucian uang dan mengidentifikasi peranan dari
gatekeepers dalam menggunakan kepakaran mereka untuk menyembunyikan tindak kejahatan.
Agar berhasil mencegah dan menyelidiki pencucian uang, perlu memahami perkembagan dari
rezim antipencucian uang dan bagaimana negara seperti Indonesia mengadopsi perkembangan
tersebut ke dalam peraturan nasionalnya. Namun demikian, penting untuk memahami
gatekeepers memanfaatkan berbagai macam mekanisme pencucian uang dan pusat keuangan
di luar negeri. Kasus yang menjadi perhatian di Indoensia dan praktik korporasi dari Singapura
dalam tulisan ini menyoroti bagaimana gatekeepers beroperasi di sektor privat, baik secara sadar
ataupun tidak sadar, menggunakan keahlian dan pengetahuan mereka tentang sistem keuangan
finansial untuk memfasilitasi kejahatan dan mengamankan pergerakan kejahatan secara global."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Reinsch, Paul S.
Shanghai: Commercial Press, 1921
320.1 REI f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 1993
320.513 Mod
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Penetapan suatu negara sebagai negara hukum yang berkesejahteraan memberikan konsekuensi bahwa hukum yang berlaku akan memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, segenap individu dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan hak asasi manusianya terjamin. Dimana hal ini hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan tentang “jaminan” tersebut dituangkan dalam konstitusi. Dalam konsepsi seperti ini, maka politik pembaharuan hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan atau tujuan nasional. Sehingga hukum yang dihasilkan dari mesin legislasi dapat berlaku secara nasional, tidak tumpang tindih, tersusun secara hierarki dan bermuara pada konstitusi. Namun, jika terpaksa dilahirkan perundang-undangan yang menyimpang, maka ia tetap merupakan pelaksanaan tujuan nasional. Untuk itu grand design perlu disusun agar politik hukum perundang-undangan memiliki arah yang jelas dan akselerasi terhadap terwujudnya negara kesejahteraan. Sebab, hakikatnya politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara."
JLI 6:4 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Fritz Edward
"The Constitutional Court of Indonesia plays significant role in securing democracy in Indonesia. In exercising their authorities, including the election result dispute and judicial review, the Court continues to affirm institutional judicial legitimacy and pursue their role to guard 1945 Constitution. The first Chief Justice Jimly Asshiddiqie showed how within five years of the Court?s establishment, he could strategically maximize its momentum and build the Court as a respectful institution. The Chief Justice Mahfud M D was then elected to reduce the judicial activism started by Jimly?s bench. However, against promises and expectations, Mahfud M D brought the Court to a level far beyond the imagination of the Constitution drafters. Parliament and President tried to limit the Court?s authority, not ones, and the Court was able to overcome those constrain. Current various available studies observed only how the Court issued their decisions and solely focus to the impact of the decisions. Scholars slightly ignore other constitutional actors in studying about the Court. In fact, political environment where the Court operated is one of the most important aspects which strengthen the Court?s institutional legitimacy. This paper attempts to discover the rise of the Court from political environment view outside the court. Political parties? maturity and political constraint are the key factors that support the development of the Court?s institutional power.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Mahkamah) memerankan peran yang signifikan dalam mengawal demokrasi di Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya, termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa tentang hasil pemilihan umum dan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah terus membangun legitimasi institutisinya dalam menjalankan peran sebagai pengawal Konstitusi 1945. Ketua Mahkamah yang pertama, Jimly Asshiddiqie, menunjukkan bagaimana dalam jangka waktu lima tahun dari pendirian Mahkamah, beliau dapat secara strategis memaksimalkan momentum pendirian ini dan membangun Mahkamah sebagai institusi yang dihormati. Kemudian Mahfud M D dipilih sebagai Ketua Mahkamah, dengan maksud untuk mengurangi kegiatan yudisial yang dimulai oleh Jimly dan jajarannya. Namun demikian, berlawanan dengan janji-janji dan harapan-harapan, Mahfud M D justu membawa Mahkamah ke tingkat yang jauh lebih tinggi dari yang semula dibayangkan oleh para pencetus pendirian Mahkamah. Perwakilan Rakyat dan Presiden kemudian mencoba untuk membatasi kewenangan Mahkamah, namun Mahkamah berhasil mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Berbagai studi atas Mahkamah saat ini hanya meneliti bagaimana Mahkamah mengeluarkan putusan-putusan dan hanya berfokus pada dampak putusan-putusan tersebut serta acap kali mengesampingkan aktor-aktor konstitusional lainnya. Faktanya, situasi politik di mana Mahkamah berada saat itu merupakan salah satu hal yang terpenting yang dapat memperkuat legitimasi insitusional Mahkamah. Artikel ini mencoba untuk menemukan kebangkitan Mahkamah dari sudut pandang situasi politik di luar Mahkamah. Kedewasaan partai-partai politik dan kendala politis merupakan kunci yang mendukung perkembangan kewenangan institusional Mahkamah."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Richard Loekito
"Pertanggungjawaban pidana korporasi bukan hal yang baru di hukum Indonesia. Terbukti dengan sejak tahun 1951 sudah terdapat perundang-undangan di Indonesia yang menerima korporasi sebagai subjek hukum pidana. Selanjutnya perkembangan pertanggungjawaban korporasi semakin terlihat dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Namun sangat di sayangkan bahwa di dalam KUHP, korporasi belum dianggap sebagai subjek hukum pidana. Ditambah dalam KUHAP yang kita milikipun belum terdapat hukum acara mengenai korporasi. Dengan tidak adanya pedoman pasti mengenai pertanggungjawaban korporasi baik dalam KUHP dan KUHAP, maka dalam setiap perundangundangan pengertian dan sebutan korporasi pun berbeda-beda, sehingga hal tersebut menimbulkan permasalahan.
Dalam tesis ini akan dibahas secara khusus apakah partai politik termasuk kedalam pengertian korporasi, khususnya dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kemudian akan dibahas mengenai bagaimana melakukan pencucian uang melalui partai politik, apa dampak yang ditimbulkan apabila terdapat partai politik yang melakukan pencucian uang serta, apa akibat hukum dari partai politik yang terlibat melakukan tindak pidana pencucian uang. Sebagai bagian terakhir akan diberikan kesimpulan dan saran mengenai permasalahan tersebut agar hukum Indonesia dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum.

Indonesia is already acknowledge Corporate crime responsibility. Its proven that since 1951 indonesia already have a regulation that accepted corporation as a subject of criminal law. After that in the progress about corporate criminal responsibility, theres a lot of regulation outside the criminal code that legislate about it. That makes in Indonesia criminal code, does not have the regulation about corporate criminal. The same goes to the regulation of procedural law in Indonesia. The problem that we have is because the rule about corporate criminal responsibility is spread in many regulations, that makes the definitions about it is based on many regulation.
This thesis will explain about the definition about corporate criminal responsibility especially about political parties. Is the definition of political parties are included in the definition of corporation based on regulation about money laundering. It will be discussed about how to do it in political party. Last but not least it will discuss about legal consequences if political parties are proven doing a money laundering. At the end of this thesis there will be a conclusion and suggestion about the problems so that Indonesia will have a better regulation about corporate criminal responsibility especially about political party criminal responsibility.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pan Mohamad Faiz Kusuma Wijaya
"One of important mechanisms considered effective to protect civil and political rights of the
citizens in Indonesia is constitutional review. This mechanism was created after the constitutional
reform by establishing the new Constitutional Court in 2003 as an independent and separate
court from the Supreme Court. This article examines the development of human rights guaranteed
in the Indonesian Constitution. It also provides a critical analysis of the Constitutional Court?s
role in protecting civil and political rights in Indonesia through its landmark decisions on five
categories, namely: (1) freedom of assembly and association; (2) freedom of opinion, speech and
expression; (3) freedom of religion; (4) right to life; and (5) due process of law. This research
was conducted based on qualitative research methodology. It used a non-doctrinal approach by
researching the socio-political impacts of the Constitutional Court?s decisions. Although there are
still inconsistencies in its decisions, the research concludes that the Constitutional Court has taken
a step forward for a better protection of civil and political rights in Indonesia that never existed
prior to the reform.
Salah satu mekanisme yang dianggap efektif untuk melindungi hak sipil dan politik warga negara
di Indonesia adalah pengujian konstitusional. Mekanisme ini dibentuk pasca reformasi konstitusi
dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi pada 2003 sebagai peradilan yang independen dan
terpisah dari Mahkamah Agung. Artikel ini menganalisa perkembangan hak asasi manusia
yang dijamin di dalam UUD 1945. Selain itu, artikel ini juga memberikan analisa kritis terhadap
peran Mahkamah Konstitusi dalam perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia melalui
putusan-putusan pentingnya (landmark decisions) pada lima kategori, yaitu: (1) kebebasan
untuk bekumpul dan berserikat; (2) kebebasan berpendapat, berbicara, dan berekspresi; (3)
kebebasan beragama; (4) hak untuk hidup; dan (5) proses peradilan yang adil. Penelitian ini
dilakukan berdasarkan pada metodologi penelitian kualitatif dan menggunakan pendekatan
non-doktrinal dengan meneliti dampak sosio-politik dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.
Meskipun masih terdapat inkonsistensi di dalam putusannya, penelitian ini menyimpulkan
bahwa Mahkamah Konstitusi telah memberikan kontribusi satu langkah ke depan yang lebih baik
terhadap perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia yang tidak pernah terjadi sebelum era
reformasi."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rohaida Nordin
"Unaccompanied minor asylum seekers are vulnerable and thus, provided special international law protections. However, in reality, they are being mistreated as illegal immigrants and on the receiving end of ethnic violence, discrimination, restrictions in enjoyment of their rights duly recognised by international human rights law. This article identifies legislative, policy and support mechanisms which encompass the minimum UMAS guardianship standards at international law and which are evidence-based from best practice models for the provision of guardians for UMAS internationally. It presents situation of UMAS in relation to human rights violations with emphasis on the legal framework and practices in Australia and five ASEAN State Members. This article also highlights the various stands taken by various countries providing better legal framework and practices regarding the terms for protection and enforcement of human rights for UMAS. Finally, this article provides recommendations for Australia and ASEAN Member States to adopt in order to realise the international human rights of UMAS with respect to guardianship.

Pencari suaka di bawah umur (Unaccompanied Minor Asylum Seekers (UMAS)) berada dalam keadaan rentan dan karenanya mendapat perlindungan hukum internasional khusus. Namun demikian, atas dasar ras, mereka seringkali diperlakukan sebagai imigran ilegal di banyak dan menjadi korban tindak kekerasan, diskriminasi dan hambatan menerima hak-hak mereka sebagaimana yang telah dijamin dalam hukum hak asasi manusia internasional. Artikel ini mengidentifikasi peraturan legislatif, mekanisme kebijakan dan dukungan, yang memenuhi standar minimum perwalian dalam hukum internasional dan yang terbukti menjadi model praktik terbaik terkait peraturan perwalian UMAS secara internasional. Artikel ini juga menjelaskan situasi yang dialami UMAS dalam kaitannya dengan pelanggaran hak asasi manusia dengan penekanan pada kerangka hukum dan praktik di Australia dan lima negara ASEAN. Selain itu, artikel ini juga menyoroti pandangan negara-negara dalam menyediakan kerangka hukum dan pelaksanaan yang lebih baik terkait persyaratan perlindungan dan penegakan hukum hak asasi manusia bagi UMAS. Pada bagian akhir, artikel ini memberikan rekomendasi bagi Australia dan negara anggota ASEAN untuk mengakui hak asasi manusia internasional UMAS terkait perwalian."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2015
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Hayati
"The adoption of Law Number 22 Year 1999 led to the expansion of regional governments? autonomy,
applying autonomy in the broadest sense of the word, by focusing merely on ?decentralization?,
while disregarding the principle of de-concentration. Governmental affairs submitted based on
decentralization refer to authority by attribution, whereas de-concentration refers to authority by
delegation. Prior to the reform era, the management of mining was based on Law Number 11 Year
1967, whereby the basis of management authority was the classification of excavated materials
namely category a, category b, and category c. Subsequently, with the implementation of the
reform era, Law Number 11 Year 1967 was negated by the adoption of Government Regulation
Number 75 Year 2001, granting mining management authority to the Minister, Governor, Regent
or Mayor concerned in accordance with their authority respectively. As a result of the above, the
concept as provided for in Law Number 11 Year 1967 became inapplicable. This continued to be the
case up to the adoption of Law Number 4 Year 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which in
principle adopts the concept which has been adjusted to the concept of granting autonomy to the
regional government as set forth in Law Number 22 Year 1999.
Berlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, membawa dampak pembesaran otonomi
pemerintah daerah, terutama pada Kabupaten dan Kota, dengan diterapkannya otonomi seluasluasnya,
dimana asas yang diterapkan hanya ?desentralisasi? semata, tanpa penerapan asas
dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang diserahkan berdasarkan desentralisasi merujuk
pada kewenangan atribusian, sedangkan dekonsentrasi merujuk pada kewenangan delegasian.
Sebelum era reformasi pengelolaan pertambangan didasarkan pada Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967, dimana kewenangan pengelolaan didasarkan pada penggolongan bahan galian
golongana, golongan b, dan golongan c. Kemudian setelah berlangsungnya era reformasi, Undangundang
Nomor 11 Tahun 1967 ternegasikan dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor
75 Tahun 2001, yang memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan kepada Menteri,
Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai kewenangan masing-masing. Dengan demikian konsep
sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 menjadi tidak dapat diterapkan. Hal
ini berlangsung sampai terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, yang pada dasarnya menganut konsep yang disesuaikan dengan konsep
pemberian otonomi kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, M. Sofyan
"One of the most observable achievements in the development of liberal democracy in Indonesia after the fall of the Soeharto?s New Order is the flourishing freedom of the press. One notable case was the Indonesian Playboy magazine and court decisions pertaining to it, which was successful in drawing massive public and even international attention. By thoroughly describing thoughts, feelings, values, and beliefs of various actors involved, this article explains the impacts of liberal democracy experimentation in Indonesia after the amendment of 1945 Constitution. This case has provided an excellent opportunity in observing the rule of law in enforcing the freedom of the press in Indonesia facing social cultural elements strongly adhered to by Indonesian people.

Salah satu pencapaian yang terlihat dalam perkembangan demokrasi liberal di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru Soeharto adalah berkembangnya kebebasan pers. Kasus yang kemudian cukup krusial adalah majalah Playboy Indonesia dan putusan pengadilan yang berkaitan dengannya, yang mana berhasil menarik perhatian publik yang masif dan bahkan perhatian dunia internasional. Dengan benar-benar mendeskripsikan pemikiran, perasaan, nilai, dan kepercayaan dari berbagai pelaku yang terlibat, artikel ini menjelaskan dampak-dampak dari percobaan demokrasi liberal di Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Kasus ini telah membuka kesempatan yang sangat baik dalam mengamati rule of law dalam melaksanakan kebebasan pers di Indonesia menghadapi elemen sosial budaya yang sangat ditaati oleh masyarakat Indonesia."
Depok: University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>