Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142155 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sang G. Purnama,a author
"Kecamatan Denpasar Selatan merupakan salah satu daerah dengan kasus demam berdarah dengue paling tinggi di
Provinsi Bali. Jumlah tempat perkembangbiakan nyamuk dan kepadatan jentik dapat menjadi salah satu faktor risiko
yang mempengaruhi penyebaran nyamuk. Maya index merupakan indikator untuk mengukur jumlah tempat
penampungan air yang dapat sebagai tempat berkembang biak nyamuk. Mengetahui hubungan antara tingkat maya
index serta kepadatan jentik dan pupa Ae. aegypti terhadap infeksi dengue di Kecamatan Denpasar Selatan. Penelitian
ini adalah observasional analitik dengan rancangan penelitian kasus-kontrol. Pengambilan data dilakukan dengan
wawancara dan observasi lapangan pada 150 responden. Survei entomologi dengan indikator maya index, house index
(HI), container index (CI), Breteau index (BI), dan pupa index (PI) untuk melihat kepadatan larva dan pupa di daerah
survei. Risiko penularan DBD dikategorikan ringan, sedang, dan berat bedasarkan density figure. Tempat penampungan
air yang diperiksa pada sebanyak 1.215 kontainer, yaitu pada kasus 675 buah dan pada kontrol 540 buah. Tempat
penampungan air (TPA) paling banyak jentik yakni bak mandi (29,27%), dispenser (18,29%), wadah tirta (10,98%),
sumur (10,98%). Status Maya index rendah pada kasus (24%) lebih kecil dibandingkan dengan kontrol (37,33%). Nilai
HI = 23,33; CI = 10,69; BI = 55; PI = 15,33. Berdasarkan indikator HI dan CI Kecamatan Denpasar Selatan berarti
memiliki risiko penularan sedang terhadap penyebaran penyakit DBD. Berdasarkan BI, memiliki risiko penularan tinggi
terhadap penyebaran penyakit demam berdarah dengue. Berdasarkan maya index menunjukkan rumah kasus berisiko
tinggi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk dibandingkan dengan rumah kontrol. House index, Breteau index,
container index, pupa index dan maya index memiliki hubungan dengan kejadian DBD. Jenis tempat penampungan air
yang paling berisiko adalah bak mandi.
Maya Index and Larva Density Aedes Aegypti Toward Dengue Infection. South Denpasar District was of there as
with the highest dengue cases in Bali province. The number of mosquito breeding places and larvae density become risk
factor that influenced the spreading of mosquitoes. Maya index was an indicator to measure the amount of water
reservoirs can be breeding places for mosquitoes. Knowing the relationship between maya index and density of larvae
and pupae of Ae.aegypti toward dengue infection in South Denpasar District. The study was observational analytic with
case-control design. Data was collected through interviews and field observations to 150 respondents. The survey
entomologist with indicators maya index, house index (HI), container index (CI), breteau index (BI) and pupa index
(PI) to see the density of larvae and pupae in survey area. Dengue transmission risk was categorized mild, moderate and
severe based on density figure. Water storage containers inspected in 1215 containers that as many as 675 containers in
the case and 540 containers in control. Water reservoirs (TPA) that the most larvae was tub (29.27%), dispenser
(18.29%), container tirta (10.98%), wells (10.98%). Maya index status was lower in the case (24%) smaller than
controls (37.33%). Value of HI = 23.33; CI=10.69; BI=55; PI=15.33. Based on HI and CI indicator South Denpasar
District means have moderate the risk of transmission spread of dengue disease. Based on the BI, have a high risk of
transmission to the spread of dengue disease. Based on the maya index showed house cases have highest risk as
breeding place compare than control house. House index, Breteau index, container index, pupa index and maya index
have correlation with dengue infection. Kind of breeding place have the high risk is bath tub."
Universitas Udayana. Fakultas Kedokteran ; Universitas Gadjah Mada. Program Studi Kedokteran Tropis, 2012
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Qurrota A'yun
"Demam berdarah (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Insidensi lebih dominan di daerah tropis dan subtropis. Terdapat berbagai faktor yang diduga berkontribusi pada penyebaran DBD, seperti kepadatan penduduk, perubahan iklim, dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara kepadatan penduduk, iklim, dan larva nyamuk secara bersamaan di Jakarta Utara. Studi ini menggunakan uji cross sectional yang membandingkan insidensi demam berdarah di wilayah Jakarta Utara pada tahun 2019 hingga 2022 dan diuji hubungannya dengan faktor iklim, seperti temperatur udara, curah hujan, kelembaban udara, serta kepadatan penduduk dan angka bebas jentik. Uji dilakukan dengan uji korelasi Pearson dan Spearman. Pengaruh terhadap insidensi demam berdarah, antara lain kelembaban udara pada bulan yang sama (p=0.037, r=0.303 pada Non TL), curah hujan pada satu bulan setelah curah hujan diukur (p=0.038, r=0.303 pada TL-1). temperatur udara pada 2 bulan setelah temperatur udara diukur (p=0.005, r=-0.405). Kepadatan larva pada bulan yang sama (p=0.006, r=-0.547). Kepadatan penduduk pada bulan yang sama (p=0.036, r=0.431). Kelembaban udara, kepadatan larva, dan kepadatan penduduk memiliki pengaruh terhadap insidensi demam berdarah pada bulan yang sama, sedangkan curah hujan pada 1 bulan setelah pengukuran, dan temperatur udara tidak memiliki korelasi signifikan.

Dengue fever (DF) is a disease caused by the dengue virus and transmitted by the Aedes aegypti and Aedes albopictus mosquitoes. The incidence is more dominant in tropical and subtropical areas. Various factors are believed to contribute to the spread of DF, such as population density, climate change, and environmental conditions. Therefore, this study aims to analyze the relationship between population density, climate, and mosquito larvae concurrently in North Jakarta. This study uses a cross-sectional design comparing the incidence of dengue fever in North Jakarta from 2019 to 2022 and examines its relationship with climatic factors such as air temperature, rainfall, humidity, as well as population density and the larval index. The analysis was performed using Pearson and Spearman correlation tests. Factors influencing the incidence of dengue fever include humidity in the same month (p=0.037, r=0.303 for Non TL), rainfall one month after it is measured (p=0.038, r=0.303 for TL-1), air temperature two months after it is measured (p=0.005, r=-0.405), larval density in the same month (p=0.006, r=-0.547), and population density in the same month (p=0.036, r=0.431). Humidity, larval density, and population density have an influence on the incidence of dengue fever in the same month, while rainfall measured one month later and air temperature doesn’t have significant temperature."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Erminda
"Latar Belakang: Pengendalian vektor merupakan upaya utama yang dilakukan guna memutus rantai penularan penyakit DBD. Dalam penelitian ini digunakan 2 macam insektisida golongan piretroid sintetik yaitu Alfametrin dan Sipermetrin, dan tujuannya adalah untuk mengetahui efektivitas ke 2 macam insektisida tersebut terhadap larva Ae. aegypti dengan mencari dosis letal melalui bioassay dan mengetahui daya residu ke 2 macam insektisida ini di lapangan.
Metode: Penelitian eksperimental di laboratorium secara bioassay (berdasarkan Lee HL dan WHO) dan uji di lapangan dalam skala kecil. Uji efektivitas alfametrin dan sipermetrin terhadap larva Aedes aegypti dengan konsentrasi yaitu 0,01; 0,02; 0,03; 0,04 dan 0,05 untuk alfametrin sedangkan untuk sipermetrin dengan konsentrasi 0,01 sampai 0,08. Larva Ae. aegypti yang diuji adalah larva instar III akhir dan instar IV awal dari hasil kolonisasi di laboratorium. Pengamatan dilakukan setelah perlakuan 24 jam dan dicatat jumlah larva yang mati.
Hasil : LC50 dan LC90 dari sipermetrin adalah 0,045mg/l dan LC90 adalah 0.124mg/l sedangkan alfametrin adalah 0,001 mg/l dan 0.058mg/l. Pengamatan daya residu sipermetrin di lapangan diperoleh bahwa insektisida ini mampu membunuh larva lebih dari 80% hanya pada hari pertama. Alfametrin mempunyai kemampuan untuk membunuh larva diatas 80% hingga hari ke -15 dan menurun hingga 60% - 80% pada hari ke 16 ? 17. Hal ini membuktikan bahwa alfametrin memiliki tingkat kemampuan yang lebih tinggi dalam membunuh larva.
Kesimpulan :
1. Alfametrin dan sipermetrin mempunyai kemampuan untuk membunuh larva Ae. aegypti, dan daya bunuh alfametrin lebih tinggi daripada sipermetrin.
2. Letal konsentrasi (LC50) dan LC90 alfametrin adalah 0,001mg/l dan 0,058mg/l. Sedangkan LC50 dan LC90 sipermetrin adalah 0,045mg/l dan 0,124mg/l dapat dikatakan daya bunuh alfametrin 2x lebih kuat dibandingkan dengan sipermetrin.
3. Daya residu alfametrin di lapangan dapat bertahan sampai 3 minggu sedangkan daya residu sipermetrin hanya bertahan kurang dari 1 minggu.Latar Belakang: Pengendalian vektor merupakan upaya utama yang dilakukan guna memutus rantai penularan penyakit DBD. Dalam penelitian ini digunakan 2 macam insektisida golongan piretroid sintetik yaitu Alfametrin dan Sipermetrin, dan tujuannya adalah untuk mengetahui efektivitas ke 2 macam insektisida tersebut terhadap larva Ae. aegypti dengan mencari dosis letal melalui bioassay dan mengetahui daya residu ke 2 macam insektisida ini di lapangan.

Vector control is a major effort that is to break the chain of transmission. This study used two classes of synthetic pyrethroid of insecticides, namely Alphamethrin and Cypermethrin. The purpose of this study were to determine the effectiveness of the two classes of these insecticides against Ae. aegypti through bioassay; to know the lethal dose; and to seek the residual power of these 2 classes of insecticides in the field.
Methods: The study used experimental research both in laboratory bioassays (based on Lee HL and WHO) and in the field on a small scale. Alphamethrin against larvae of Aedes aegypti was effective with a concentration of 0.01 to 0.05, while Cypermethrin was effective with a concentration of 0.01 to 0.08. Larva Ae. aegypti that was tested was in final third instars and in early fourth instars. The research used the results of reproduced larva in the laboratory.
Results: The research found that Cypermethrin with a concentration 0.08 mg/l was effective to kill 77% larva Ae. aegypti and Alphamethrin with a concentration 0.05 mg/l was effective to kill 92% larva Ae. aegypti. Based on regression probit, the research also found that LD50 of Cypermethrin was 0.045 mg/l dan LD90 of Cypermethrin was 0.124 mg/l. In addition, LD50 of Alphamethrin was 0.001 mg/l and LD90 of Alphamethrin was 0.045 mg/l. The research also found that Cypermethrin was able to kill over 80% larva only on the first day, but more larva were still alive on the following days. Alphamethrin was able to kill over 80% larvae until on the fifteenth days and the ability to kill the larva was decreasing 60% to 80 % on the sixteenth and seventeenth days.
Conclusion:
1. Alphamethrin and Cypermethrin has the ability to kill the larvae of Ae. aegypti , and the power to kill Alphamethrin higher than Cypermethrin
2. Lethal Dose (LD50) and LD90 Alphamethrin is 0.001 mg / l and 0.058 mg / l. While the LD50 and LD90 Sipermetrin is 0.045 mg / l and 0.124 mg / l can say killing power Alphamethrin 2x stronger than Cypermethrin.
3. Power Alphamethrin residue in the field can last up to 3 weeks while the residual power Cypermethrin lasted less than 1 week
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasril
"Pengendalian vektor penyakit Demam Berdarah sampai saat ini, masyarakat masih menggunakan insektisida dan larvasida sintetis. Penggunaan Insektisida sintetis yang tidak bijaksana dapat mengakibatkan timbulnya resistensi vektor, matinya hewan lain yang bukan sasaran dan mencemari lingkungan. Untuk mengurangi masalah ini perlu dicarikan alternatif lain dengan memanfaatkan pestisida nabati.
Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya daya bunuh ekstrak biji Sirsak terhadap larva Aedes aegypti, pada berbagai konsentrasi sehingga diketahui konsentrasi yang efektif untuk membunuh larva Aedes aegypti. Ekstrak biji Sirsak (Annona muricata Linn) mempunyai kandungan bioaktif yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan bioaktif yang terdapat di dalam biji sirsak adalah senyawa alkaloid yang terdiri dari Acetogenin dan Annonaine.
Jenis penelitian ini adalah experiment murni dengan rancangan post-test only control group design, dimana subjek dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan 5 konsentrasi ekstrak biji Sirsak dan lima replikasi. Konsentrasi yang digunakan yaitu konsentrasi 400 ppm, 500 ppm, 600 ppm, 700 ppm dan 800 ppm.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak biji Sirsak yang telah diberikan ternyata terdapat ada perbedaan kematian larva Aedes aegypti pada setiap konsentrasi yang telah diberikan. Kematian larva setelah 6 jam pengamatan pada konsentrasi terendah 400 ppm terdapat kematian sebanyak 20% dan pada konsentrasi tertinggi 800 ppm terdapat kematian sebanyak 75,5%. Sedangkan kematian larva setelah 12 jam pengamatan pada konsentrasi terendah 400 ppm terdapat kematian sebanyak 34% dan pada konsentrasi tertinggi 800 ppm terdapat kematian sebanyak 89%.
Dari hasil uji probit, nilai LC50 dari konsentrasi ekstrak biji Sirsak terdapat pada konsentrasi 503,230 ppm. Hasil uji anova pada Cl 95% menunjukkan ada perbedaan kematian larva Aedes aegypti yang signifikan setelah pemberian berbagai konsentrasi ekstrak biji Sirsak (p < 0,05). Setelah dilakukan Uji keamanan, Ekstrak Biji Sirsak tidak memberikan efek toksik terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpro L).
Dari penelitian ini terbukti bahwa ekstrak biji Sirsak mempunyai daya bunuh terhadap larva Aedes aegypti. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan jenis senyawa bioaktif yang paling toksik sebagai pestisida nabati dengan cara melakukan pemisahan zat bioaktif yang terkandung dalam biji Sirsak.

Toxicity Test of Sour sop (Annona muricata.Linn) Seed Extract to Aedes aegypti LarvaVector control of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), until now in society still use synthetic insecticide and larvicides. The use of insecticide synthetic which is unwise can cause resistant vector, the death of other animals which are not target, and environment pollution. In order to reduce this problem, it is necessary to find other alternative with the use of vegetable pesticide.
The purpose of this research is to know the effect of Sour sop seed extract toward Aedes aegypti larva. Extract of Sour sop (Annona muricata.Linn) seed has bioactive content which can use as effective vegetable pesticide. This bioactive is classified to the alkaloid compound like Acetogenin and Annonaine. Kind of this research is pure experiment with design post-test only control group design, that the subject devided into two groups with five treatments and five replication. The numbers of concentration which use in this research are 400 ppm, 500 ppm, 600 ppm, 700 ppm and 800 ppm.
The result of this research shown that Sour sop seed extract added to the larva in this experiment cause a different death of larva in each concentration. The six hours death of the larva after treatment at the lowest concentration 400 ppm give 20% number of death, and at the higher concentration 800 ppm give 75.5% number of death. While at the twelve hours death of the larva after treatment, at the lowest concentration 400 ppm give 34% number of death and at the higher concentration 800 ppm give 89% number of death.
From the probit test result, the number of LC50 of Sour sop seed extract is given at concentration 503.230 ppm. The Anova result test with CI 95% shown the significant different number of death from Aedes aegypti larva after gave several concentration sour sop seed extract (p< 0,05). After doing the safety test, Sour sop seed extract didn't give the death effect to the gold fish (cyprinus carpio.L)
From this research proved that sour sop seed extract has killed potency to the death of Aedes aegypti larva, ft is important to do some advance research to get the specific bioactive compound which most toxic as vegetable pesticide, by the extraction of bioactive compounds which contain in Sour sops seed."
2000
T10350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sungkar, Saleha
"Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di Kecamatan Bayah, Provinsi Banten sehingga perlu dilakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD. Agar PSN tepat sasaran warga perlu dibekali pengetahuan dengan penyuluhan mengenai PSN. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efek penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan warga serta kepadatan vektor DBD. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan intervensi penyuluhan. Pre-test dilakukan pada bulan Agustus 2009 terhadap 106 warga desa Bayah dan post-test pada bulan Oktober 2009. Data dikumpulkan dengan wawancara dilanjutkan survei entomologi dengan single larval method lalu diidentifikasi secara mikroskopis. Data dianalisis dengan marginal homogeneity test. Hasil pre-test menunjukkan, 64,2% warga berpengetahuan kurang hanya 11,3% yang baik; sesuai dengan tingkat pendidikan yang rendah dan ekonomi yang kurang. Setelah penyuluhan 14% warga berpengetahuan baik dan 54% kurang yang secara statistik bermakna (p = 0,001). Dari survei entomologi diperoleh container index (CI) 18% dan house index (HI) 52% yang menunjukkan tingginya kepadatan dan penyebaran vektor. Setelah penyuluhan CI menjadi 16% dan HI 42% tetapi penurunan tersebut tidak berbeda bermakna (CI, p = 0,523; HI, p = 0,174) dan masih di atas index WHO. Disimpulkan penyuluhan meningkatkan tingkat pengetahuan warga mengenai PSN tetapi tidak menurunkan kepadatan vektor sehingga Bayah masih tetap berisiko tinggi DBD.

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is a public health problem in Bayah, Banten Province thus, control of mosquitoes breeding sites (CMBS) and health education is necessary. This study aimed to evaluate the effect of health education on people?s level of knowledge on CMBS and the density of Ae. aegypti. This study involved 106 villagers from Bayah in August (pretest) and October (postest) 2009. Data was collected through questionnaires, followed by observation of containers available in the house using single larval method and identified microscopically. Data was analyzed using marginal homogeneity test. The result showed, 64.2% and 1.3% villagers had poor and good knowledge on CMBS. This finding was in accordance to their education level and socio-economic status. After education, there were 14% had good and 54% poor knowledge (p = 0,001). Container index (CI) and house index (HI) were 18% and 52% respectively, suggesting high density of Ae. aegypti in that area. Following health education, CI and HI became 16% and 42% which were still above WHO level of indicator; which gave no significant difference in CI (p = 0,523) and HI (p = 0,174). In conclusion, the level of knowledge increased after health education which was not followed by significant decrease in vector density, suggesting Bayah is still categorized as highly transmitted area of DHF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pesik Lucky R.D.
"ABSTRAK
Penanggulangan penyakit demam berdarah sampai saat inii masih ditujukan kepada pengendalian vektornya. Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit demam berdarah di Indonesia. Pengendalian Ae. aegypti dengan menggunakan Toxorhynchites amboinensis sebagai jasad pengendali-hayati, belum pernah dilakukan di Indonesia.
Dalam penelitian ini, dilakukan pengujian efektivitas daya predasi 1, 2, 4, 6, 8, dan 10 larva instar IV Tx. amboinensis sebagai perlakuan terhadap 100 larva instar III-IV Ae. aegypti selama 48 jam pengamatan. Hasil penelitian diperoleh dengan cara mengarnati persentase larva Ae. aegypti yang menjadi korban predasi, persentase larva Tx. amboinensis yang menjadi korban kanibalisme, dan perkembangan larva Ae. aegypti pada kontrol.
Efektifitas setiap perlakuan ditentukan oleh kemampuan kolektif terbesar membunuh mangsa dengan resiko kanibalisme terkecil. Korban predasi rata-rata 29,33; 50,16; 98; 88,66; 90,33; 90,83; 0 larva Ae. aegypti, dan korban kanibalisme rata-rata 0; 0; 0,16; 2,83; 5,50; 6,83 larva Tx. amboinensis pada perlakuan 1, 2, 4, 6, 8, dan 10 larva Tx. amboinensis.
Dari penelitian ini dapat dikemukakan bahwa perbandingan yang paling tepat dan efisien dalam pengendalian pepulasi larva Ae. aegypti dengan menggunakan larva Tx. amboinensis sebagai jasad-pengendali- hayati adalah 1 larva Tx. arnboinensis untuk setiap 25 larva Ae. aegypti."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alifia Daariy
"Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Populasi nyamuk Aedes aegypti dewasa yang padat adalah faktor risiko dari kejadian DBD. Keadaan ini juga bisa dipengaruhi oleh karakteristik individu dan diperparah dengan kondisi lingkungan, perilaku individu dalam memberantas sarang nyamuk serta mencegah gigitan nyamuk. Penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kepadatan nyamuk Ae. aegypti dewasa di rumah dengan kejadian DBD di Kelurahan Tegal Alur, Kalideres, tahun 2019. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara pada 152 responden dan menangkap nyamuk di 55 rumah terpilih di 4 RW dengan kasus terbanyak. Pengukuran kepadatan dilakukan dengan menghitung sampel nyamuk Ae. aegypti menggunakan rumus angka istirahat per rumah (RR). Hasil studi memperlihatkan bahwa ada hubungan bermakna antara kepadatan nyamuk Ae. aegypti di rumah dengan kejadian DBD. Analisis juga menunjukkan faktor lingkungan yang berhubungan signifikan dengan kejadian DBD adalah penggunaan AC (3,77; 1,67-8,51), sedangkan karakteristik individu yang berhubungan termasuk usia (36,14; 11,84-110,29), jenis kelamin (5,01; 2,24-11,22), dan keberadaan individu (14,04; 5,06-39,01). Faktor perilaku yang memiliki hubungan dengan kejadian DBD ialah penggunaan kawat anti nyamuk (2,74; 1,28-5,87).

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of the main public health concerns in Indonesia. Aedes aegypti mosquito abundance is a risk factor for DHF. This condition is also influenced by individual characteristics and worsened by environmental factors, eradication of mosquito nests and prevention of mosquito bites practice. This quantitative study with a cross-sectional design aims to analyze the correlation of adult Ae. aegypti density in houses with DHF in Tegal Alur, Kalideres, 2019. The data were obtained from interviewing 152 study subjects and collecting adult mosquitoes in 55 selected houses in 4 high incidence RW. Adult Ae. aegypti density were determined by resting rate (RR) formula which defined as the number of resting mosquitoes per house.
The result showed that there is a significant relationship between Ae. aegypti mosquito density with DHF incidence. There are also significant correlation between environmental factor which is air-conditioner use (3,77; 1,67-8,51); individual characteristics including age (36,14; 11,84-110,29), sex (5,01; 2,24-11,22), and
individual whereabouts (14,04; 5,06-39,01); along with behavioral factor which is the use of mosquito nets (2,74; 1,28-5,87).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiba Karlen
"Demam Berdarah Dengue ( DBD ) merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Jakarta antara lain Kelurahan Cempaka Putih Timur dan Cempaka Putih Barat yang merupakan zona merah. Untuk melakukan pengendalian vektor DBD, perlu diketahui penyebaran dan kepadatan vektor dalam suatu wilayah. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan House Index, yang merupakan ukuran penyebaran vektor pada wilayah Kelurahan Cempaka Putih Timur dan Cempaka Putih Barat dalam upaya persiapan pengendalian vektor penyakit DBD.
Survei larva vektor DBD pada tanggal 28 maret 2010 di Kelurahan Cempaka Putih Timur dan Cempaka Putih Barat yang merupakan zona merah kasus DBD. Pengambilan data dilakukan pada 100 rumah dengan metode single larvae, yaitu mengambil satu larva di tiap container lalu diidentifikasi menggunakan mikroskop. Setelah itu, diidentifikasi rumah yang positif larva dan rumah yang negatif larva di kedua kelurahan tersebut. Dari data yang terkumpul lalu dianalisis menggunakan uji chi square untuk mengetahui perbedaan penyebaran larva pada kedua wilayah.
Dari 100 rumah yang diteliti pada masing-masing kelurahan, didapatkan house index di Kelurahan Cempaka Putih Timur sebesar 38 % dan di Kelurahan Cempaka Putih Barat 17 %. Tingkat penyebaran larva di kedua wilayah ini tergolong tinggi karena nilai house index > 10 %. Dari analisis menggunakan metode chi-square ditemukan perbedaan house index yang bermakna antara Kelurahan Cempaka Putih Timur dan Cempaka Putih Barat, dengan nilai p sebesar 0,003. Kesimpulannya, penyebaran larva Aedes aegypti di Kelurahan Cempaka Putih Timur lebih luas daripada Kelurahan Cempaka Putih Barat

Dengue Hemoragic Fever (DHF) is a disease that cause public healt problem in Jakarta including Cempaka Putih Timur and Cempaka Putih Barat districts that have become red zone. To control DHF vector, it’s necessary to determine the distribution and density of the vector in the regions. The aim of this research is to determine the comparation of house index which’s a parameter of vector distribution in Cempaka Putih Timur and Cempaka Putih Barat for preparation of DHF vector control.
DHF larvae survey was conducted at 28 March 2010 in Cempaka Putih Timur and Cempaka Putih Barat districts that have been a red zone. The data was collected from 100 houses using single larvae method, ie. collect one larvae from each container found, then identify the larvae by microscope. After that, identification is done for both districts to determine which houses the larvae-positive are and which houses the larvae-negative are. Chi square’s test is used to analyze the data that’s collected from both districts.
From 100 house surveyed in each district, the house index was 38% for Cempaka Putih Timur, and 17% for Cempaka Putih Barat. The distributions of larvae in the districts are considered high because the house index > 10%. Based on chi square’s analysis, it’s found that there’s significant difference in house index between Cempaka Putih Timur and Cempaka Putih Barat districts, with p count was 0,003. In conclusion, the distribution of Aedes aegypti larvae in Cempaka Putih Timur district was higher than those in Cempaka Putih Barat district.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfrizan Imaro Finekri Abidin
"Latar Belakang: Demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit infeksi ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Insiden dan angka kematian Demam Berdarah Dengue (DBD) terus meningkat di Indonesia. Belum penemuan vaksin untuk penyakit ini, menjadikannya satu-satunya cara untuk mencegahnya penyebarannya adalah dengan mengontrol vektor propagasi, yaitu menggunakan insektisida sintetis. Beberapa daerah di Indonesia sudah melaporkan Kasus resistensi terhadap insektisida sintetik, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Tengah DI. Yogyakarta, hal ini dikarenakan pemakaian yang berlebihan dan dalam waktu yang lama panjang. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan Insektisida herbal. Selain tidak banyak digunakan, dibuat dari bahan insektisida tanaman juga lebih ramah lingkungan. Salah satu tanaman yang bisa dipilih merupakan tumbuhan manggis (Garcinia mangostana). Kandungan metabolit sekunder Tanaman manggis termasuk alkaloid, flavonoid, terpenoid, tanin dan saponin yang diketahui memiliki efek larvasida yang tinggi terhadap A. aegypti. Tambahan Nanokomposit Ag-TiO2 dapat digunakan untuk mempercepat kematian larva.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk melihat aktivitas insektisida ekstrak kulit manggis dan nanokomposit AgTiO2 terhadap larva dan nyamuk dewasa A. aegypti.
Metode: Penelitian ini menggunakan dua subjek yaitu: 1) larva instar III dan IV dan 2) nyamuk A. aegypti dewasa yang terpapar ekstrak kulit manggis (Konsentrasi 500, 1000, 1500, 2000, dan 2500 ppm), nanokomposit Ag-TiO2 dan campuran ekstrak kult manggis dengan nanocompsite Ag-TiO2 diulang lima kali) Nyamuk dewasa A. Aegypti yang terkena ekstrak kulit manggis (Konsentrasi 2500, 5000, 10000, dan 20000), nanokomposit AgTiO2 (konsentrasi 5, 10, 20, dan 30 ppm), dan campuran Konsentrasi ekstrak kulit manggis dengan konsentrasi 2500, 5000, 10000, dan 20000 ppm nanokomposit (15 ppm) diulang tiga kali.
Hasil: Uji Coba Pearson Ditemukan nilai r = +0.843 dan p = 0.001 pada konsentrasi penelitian campuran Ekstrak kulit manggis mengandung nanokomposit. Ini menandakan hubungan kuat dan positif (+) di antara konsentrasi campuran ekstrak kulit manggis mengandung nanokomposit dengan jumlah kematian nyamuk A. aegypti dewasa.
Kesimpulan: Ekstrak kulit manggis dikoordinasikan dengan nanokomposit yang telah terbukti efektif dalam meningkatkan aktivitas insektisida terhadap larva dan nyamuk dewasa A. aegypti.

Background: Dengue hemorrhagic fever is an infectious disease transmitted through the bite of Aedes aegypti mosquitoes. The incidence and mortality rate of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) continues to increase in Indonesia. There has not been a vaccine for this disease yet, making it the only way to prevent its spread is to control the propagation vector, namely using synthetic insecticides. Several regions in Indonesia have reported cases of resistance to synthetic insecticides, such as in Central Java and Central Java, DI. Yogyakarta, this is due to excessive use and for a long time. One solution that can be done is to use herbal insecticides. Besides not being widely used, it is made from plant insecticides which are also more environmentally friendly. One of the plants to choose from is the mangosteen plant (Garcinia mangostana). Secondary metabolite content Mangosteen plants include alkaloids, flavonoids, terpenoids, tannins and saponins which are known to have a high larvicidal effect against A. aegypti. Additional Ag-TiO2 nanocomposites can be used to accelerate larval mortality.
Objective: This study was conducted to determine the insecticidal activity of mangosteen peel extract and AgTiO2 nanocomposites against A. aegypti larvae and adult mosquitoes.
Method: This study used two subjects, namely: 1) instar larvae III and IV and 2) adult A. aegypti mosquitoes exposed to mangosteen peel extract (concentration 500, 1000, 1500, 2000, and 2500 ppm), Ag-TiO2 nanocomposites and a mixture of mangosteen culture extract and Ag-TiO2 nanocomposites were repeated five times) Adult mosquitoes A. Aegypti were exposed to mangosteen peel extract (Concentrations 2500, 5000, 10000, and 20000), AgTiO2 nanocomposites (concentrations of 5, 10, 20, and 30 ppm), and mixed concentrations of mangosteen peel extract with concentrations of 2500, 5000, 10000, and 20000 ppm nanocomposites (15 ppm) were repeated three times.
Results: Pearson Trial It was found that the value of r = +0.843 and p = 0.001 in the research concentration mixture of mangosteen peel extract contained nanocomposites. This signifies relationship strong and positive (+) among the concentrations of the mangosteen peel extract mixture containing nanocomposites with the number of deaths of adult A. aegypti mosquitoes.
Conclusion: Mangosteen peel extract coordinated with nanocomposites had been shown to be effective in increasing insecticidal activity against larvae and adult mosquitoes. aegypti.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulhasril
"ABSTRAK
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), merupakan salah satu penyakit viral yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Sampai saat ini penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius, karena pada waktu-waktu tertentu dapat menyebabkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering berakibat fatal (P2M & PLP,1981). Insiden tertinggi kasus DBD di Indonesia terjadi pada tahun 1987 dan tahun 1988 yaitu 23846 kasus dan 47573 kasus, dengan angka kematian 4,7 % dan 3,2 % Pada tahun 1990 dan tahun 1991 kembali terjadi ledakan kasus DBD walaupun angkanya tidak setinggi seperti tahun sebelumnya, yaitu hanya 20692 kasus dan 21120 kasus dengan angka kematian 3,7 % dan 2,7 %. Dalam tahun 1992, terdapat 17620 jumlah penderita yang terjangkit DBD di Indonesia namun angka kematian hanya 2,9 % (cumber P2M & PLP yang dikutip dari Suroso 1991 dan Hoedojo 1993)
Nyamuk yang berperan sebagai penular utama penyakit DBD di Indonesia adalah Aedes aegypti. Selain sebagai penular penyakit DBD, nyamuk ini diketahui dapat pula menularkan demam chikungunya ( Oda, dkk, 1983 ), filariasis (Taylor, 1960 ), juga beberapa penyakit karena virus seperti demam-kuning dan ensefalitis (Faust, et.a1.,1973).
Pada umumnya di Asia Tenggara termasuk Indonesia, wabah DBD dikaitkan dengan distribusi Aedes Aegypti, karena nyamuk ini sangat dekat hubungannya dengan manusia seperti misalnya dalam berkembang biak, memilih tempat perindukan yang terdapat di dalam rumah dan nyamuk ini lebih bersifat antropofilik (Halstead, 1975 dalam Sumarmo, 1989). Kepadatan populasi Ae.aegypti yang tinggi merupakan faktor yang dapat menunjang terjadinya wabah penyakit DBD . Dengan melakukan pemantauan dan menekan populasi nyamuk ini memungkinkan untuk dapat membantu mengevaluasi adanya ancaman penyakit DBD, dan tnencegah terbentuknya suatu daerah endemik (P2M & PLP,1981) Salah satu program dalam upaya pemberantasan penyakit DBD adalah dengan memutuskan mata rantai penularan antara manusia sebagai hospes dan nyamuk penularnya.
Berbagai cara telah diupayakan oleh Instansi Pemberantasari Penyakit Menular (P2M), untuk mengendalikan vektor penyakit DBD ini antara lain: melakukan pengendalian lingkungan terutama meniadakan tempat perindukan nyamuk, yaitu dengan membersihkan Tempat Penampungan Air (TPA) satu minggu sekali. Program ini ternyata kurang berhasil dalam mencapai sasaran, terbukti masih adanya ledakan wabah penyakit DBD yang sering terjadi pad waktu-waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena masih kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya arti kebersihan dan kesehatan lingkungan, sehingga masyarakat kurang berperan aktif dalam mebabantu program. Faktor ini yang menyebabkan populasi vektor penyakit DBD meningkat, terutama pada waktu musim hujan karena lebih banyak terdapat tempat-tempat perindukan nyamuk tersebut, sehingga kasus penyakit DBD cenderung meningkat.
Selain Cara pengendalian tersebut di atas, telah pula dilaksanakan program pengendalian vektor penyakit DBD dengan menggunakan insektisida, terutama fogging dengan malation dan abatisasi dengan temefos. Keuntungan cara pengendalian ini hasilnya dapat terlihat dengan cepat, tetapi bila dalam pelaksanaan program hanya digunakan satu macam insektisida secara terus menerus, tanpa memperhitungkan dosis yang digunakan dengan tepat dan tanpa pengawasan yang baik memungkinkan terjadinya resistensi nyamuk vektor terhadap insektisida tersebut. Kerugian lain yang mungkin timbul dari cara pengendalian ini adalah terjadinya polusi terhadap lingkungan, sehingga dapat mengakibatkan kematian pada organisme yang bukan sasaran dan menyebabkan gangguan keseimbangan lingkungan."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>