Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 223 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996
920.71 PEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
U. Maman Kh.
"Terdapat dua pemikiran global tentang sistem demokrasi, sekaligus sistem kabinet di Indonesia, yang muncul sejak tahun 1930-an sampai tahun 1950-an, yaitu: yang cenderung menginginkan sistem demokrasi parlementer dan yang tidak menginginkan sistem demokrasi parlementer dan yang tidak menginginkan sistem demikian. Dalam sidang-sidang BPUPKI dan dalam masa peralihan dari RIS ke Negara Kesatuan terjadi perdebatan antara dua kelompok tersebut. Soekarno, Supomo, dan Mansyuni memiliki pendapat yang sama _ atau hampir sama _ dalam hal bentuk kabinet: cenderung non-parlementer. Sementara Hatta dan Syahrir menginginkan sistem parlementer, yaitu system pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen. Mereka _ yang memiliki titik temu pendapat itu _ seringkali berangkat dari kerangka dasar pemikiran yang berbeda. Dalam sidang-sidang BPUPKI, kelompok non- parlementer Nampak mendapat kemenangan. Kemenangan ini ditunjang oleh: Indonesia masih berada di bawah pemerintahan Jepang dan belum membuka hubungan dengan Barat; partai-partai politik yang cenderung ingin memperoleh kekuasaan belum terbentuk; posisi Sukarno dan Supomo sangat efektif untuk memperjuangkan cita-cita politiknya dalam penyusunan UUD 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, keadaan berubah. Pengaruh Barat boleh dikatakan besar, dan RI menunjukkan hasrat ingin berunding dengan Belanda. Keadaan demikian dimanfaatkan oelh Syahrir untuk memperjuangkan cita-cita politiknya dengan alas an untuk menyelamatkan negara dari kesulitan. Titik temu pemikiran antara Hatta dengan Syahrir menyebabkan usaha Syahrir berhasil dengan mudah. Maka, terjadilah sistem demokrasi parlementer walaupun UUD 1945 _ yang menginginkan non-parlementer _ masih tetap berlaku. Sukarno tidak bekeberatan terhadap perubahan ini karena ia menginginkan diplomasi dengan dunia Barat. Perubahan yang diusulkan oelh Syahrir itu menimbulkan akibat yang besar. Yaitu : elit politik Indonesia menjadi terbiasa dengan sistem parlementer; Indonesia mengenal sistem banyak partai. Mereka _ partai-partai politik _ tentunya memiliki kepentingan masing-masing. Dan sistem parlementer melicinkan jalan bagi mereka untuk memperjuangkan kepentingan mereka _ atau berkuasa. Dalam Konferensi Inter-Indonesia dan perundingan RIS-RI, ketika membentuk negara kesatuan, arus parlementer Nampak mengalir dengan derasnya. Tampilnya Hatta sebagai perdana menteri bahkan dianggap menghalangi untuk melaksanakan sistem parlementer secara penuh. Dalam perundingan RIS-RI, Masyumi mencoba menentang arus sistem parlementer tetapi tidak berhasil. Setelah tidak berhasil, Masyumi pun harus memperjuangk.an kepentingan mereka. Oleh karena itu, Natsir -- yang semula tidak setuju terhadap sistem Parlementer -- menerima mandat menjadi formatur kabinet. Dengan denikian, terwujudlah sistem demokrasi parlementer bedasarkan UUDS 1950, yang di awali oleh Kabinet Natsir."
Depok: Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salman Alfarizi
Jakarta: Garasi, 2009
920 SAL m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Deliar Noer
Jakarta: LP3ES, 1991
320.092 HAT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rose, Mavis
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991
923.259 8 ROS i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Alamsjah
Bukittinggi: Mutiara, 1952
923 ALA s (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rose, Mavis
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991
959.803 ROS i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pepen Irpan Fauzan
"Tesis ini membahas perbedaan pemikiran dan sikap politik Natsir berhadapan dengan Isa Anshary tentang negara yang berlandaskan Pancasila versus Islam. Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan pengalaman politik keduanya yang berbeda. Penelitian ini menemukan bahwa Natsir dapat berkompromi menerima Pancasila sebagai dasar negara. Pandangan dan sikap politik Natsir moderat disebabkan pengalaman aktivitas politiknya dalam praktik pemerintahan. Berbeda dengan Natsir, Isa Anshary menolak Pancasila sebagai dasar negara. Pandangan dan sikap politik Isa Anshary berorientasi fundamentalistik disebabkan pengalaman aktivitas politiknya dalam revolusi fisik yang selalu berada di luar sistem pemerintahan. Tujuan penelitian ini ingin menunjukkan bahwa politik Islam yang dipresentasikan elite Persis tidak monolitik. Studi ini memanfaatkan sumber tulisan (pustaka) untuk melihat dan mendeskripsikan pandangan politik Persis yang tidak monolitik. Hubungan antara struktur lingkungan politik dengan individu-individu elite menjadi fokus uraian tesis ini.

The focus of this study is the difference of political view and attitude between Natsir and Isa Anshary about State which is grounded by Pancasila versus Islam which is caused by the effect of their both environment and political activities. This study found that Natsir's view about Pancasila was moderate caused by his political experience in goverment. The opposition of Natsir's political view was Isa Anshary's. His politival view about Pancasila was radical caused by his political experience in revolution and his activity always out of goverment system. The purpose of this study is to understand that Islamic politic which is presented by Persis's ellite is not monolitic. This study mainly using the written sources to find out and describe political view of Persis's ellite which is not monolitic. The main focus of this thesis is explaining the relations between stucture of political environment and ellite's political view and attitude."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
T30249
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Natsir
Djakarta: Pustaka Pendis, 1957
297.04 MOH c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Bahar, 1964-
Yogyakarta: Pena Cendekia, 1996
920.72 Bah b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>