Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160123 dokumen yang sesuai dengan query
cover
F.X. Rahyono, 1956-
""Reformasi Total", demikianlah sebuah slogan yang dihadirkan dalam wacana publik pada masa pascaorde baru. Kecaman, keluhan, atau kemarahan itu pun hadir di berbagai media wacana, baik dalam dialog formal maupun informal. Pada masa pascaorde baru, memori yang ada pada masyarakat adalah memori tentang peristiwa-peristiwa yang tidak terkendali. Memori itu kemudian terrepresentasikan dalam wacana yang berbunyi "Reformasi yang
kebablasan". Sebuah kata, frasa, serta kalimat pada dasarnya berpotensi menampilkan makna referensial maupun kontekstual. Secara pragmatis, sebuah kata, frasa, atau kalimat memiliki kemungkinan untuk menyatakan maksud kearifan atau maksud ketidakarifan. Ketidakarifan ? yang dimaksudkan dalam penelitian ini - merupakan tindakan pelanggaran terhadap etika dan etiket yang berlaku di masyarakat. Bagaimana mewacanakan gerakan reformasi secara arif? Perlukah memanfaatkan kosakata ketidakarifan secara produktif dalam wacana publik? Siapakah yang bertanggung jawab dalam menumbuhkembangkan kearifan masyarakat? Kearifan dalam bahasa tidak berkaitan dengan tindakan manipulatif dalam penyampaian informasi. Kearifan dalam bahasa berkaitan dengan strategi pemilihan satuansatuan bahasa. Kearifan adalah tanggung jawab bersama. Bahasa yang arif tidak akan hadir secara menyeluruh jika pihak-pihak terkait dan segala peristiwa yang dihasilkannya tidak menuju ke kearifan. Kearifan tidak memperdebatkan tuntutan hak dan kebebasan berwacana.

The Wisdom of Language A Pragmatic Study on the Profile of the Post-New Order Era Mass Media Language. "Total Reformasi" is the slogan circulated in the public discourse of the post-New Order era. All kinds of condemnation, grievances, and anger have been raised in various discourses, from formal to informal dialogues. In such an era, people?s collective memory is mostly associated with uncontrollable events, and it is eventually represented in the discourse of ?the overdosed Reformasi? (Reformasi yang kebablasan). A word, phrase, and sentence basically have the potential of expressing both referential and contextual meanings. From a pragmatic point of view, a word, phrase, or sentence has a capacity to express either wise or unwise intentions. "Unwise intention" in the context of this research is defined as an act of transgressing or violating the ethics and etiquettes of a society. How can the discourse of Reformasi be constructed wisely? Is it necessary to appropriate unwise vocabulary in public discourses? Who holds the responsibility for fostering public wisdom? The wisdom of language has nothing to do whatsoever with manipulative acts in information dissemination. The wisdom of language relates to strategies of choosing certain linguistic features. Wisdom is a collective responsibility. A wise language would not be able to fully exist unless all of the related parties and resulting events make a concerted effort towards wisdom. Wisdom does not involve itself in the tug of war between the right and freedom of participating in discursive formations."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
""Reformasi Total", demikianlah sebuah slogan yang dihadirkan dalam wacana publik pada masa pascaorde baru. Kecaman, keluhan, atau kemarahan itu pun hadir di berbagai media wacana, baik dalam dialog formal maupun informal. Pada masa pascaorde baru, memori yang ada pada masyarakat adalah memori tentang peristiwa-peristiwa yang tidak terkendali. Memori itu kemudian terrepresentasikan dalam wacana yang berbunyi "Reformasi yang kebablasan". Sebuah kata, frasa, serta kalimat pada dasarnya berpotensi menampilkan makna referensial maupun kontekstual. Secara pragmatis, sebuah kata, frasa, atau kalimat memiliki kemungkinan untuk menyatakan maksud kearifan atau maksud ketidakarifan. Ketidakarifan - yang dimaksudkan dalam penelitian ini - merupakan tindakan pelanggaran terhadap etika dan etiket yang berlaku di masyarakat. Bagaimana mewacanakan gerakan reformasi secara arif? Perlukah memanfaatkan kosakata ketidakarifan secara produktif dalam wacana publik? Siapakah yang bertanggung jawab dalam menumbuhkembangkan kearifan masyarakat? Kearifan dalam bahasa tidak berkaitan dengan tindakan manipulatif dalam penyampaian informasi. Kearifan dalam bahasa berkaitan dengan strategi pemilihan satuan-satuan bahasa. Kearifan adalah tanggung jawab bersama. Bahasa yang arif tidak akan hadir secara menyeluruh jika pihak-pihak terkait dan segala peristiwa yang dihasilkannya tidak menuju ke kearifan. Kearifan tidak memperdebatkan tuntutan hak dan kebebasan berwacana.

The Wisdom of Language A Pragmatic Study on the Profile of the Post-New Order Era Mass Media Language. "Total Reformasi!" is the slogan circulated in the public discourse of the post-New Order era. All kinds of condemnation, grievances, and anger have been raised in various discourses, from formal to informal dialogues. In such an era, people?s collective memory is mostly associated with uncontrollable events, and it is eventually represented in the discourse of "the overdosed Reformasi" (Reformasi yang kebablasan). A word, phrase, and sentence basically have the potential of expressing both referential and contextual meanings. From a pragmatic point of view, a word, phrase, or sentence has a capacity to express either wise or unwise intentions. "Unwise intention" in the context of this research is defined as an act of transgressing or violating the ethics and etiquettes of a society. How can the discourse of Reformasi be constructed wisely? Is it necessary to appropriate unwise vocabulary in public discourses? Who holds the responsibility for fostering public wisdom? The wisdom of language has nothing to do whatsoever with manipulative acts in information dissemination. The wisdom of language relates to strategies of choosing certain linguistic features. Wisdom is a collective responsibility. A wise language would not be able to fully exist unless all of the related parties and resulting events make a concerted effort towards wisdom. Wisdom does not involve itself in the tug of war between the right and freedom of participating in discursive formations."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2005
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rinayanti
"Diese Einleitung enthalt den Hintergrund des Themas, das Ziel der Analyse, die Datenquellen, und die Arbeitsweize. Im Zweiten Abschnitt beschreibe ich dei theorje von Haralad Weydt Uber Abtonungspartikeln, ihre Funktionen, die Satztypen, in dene sie auftreten konnen und ihre Stellung in dem Satz. lm dritten Abschnitt analysiere ich einzelne Abtonungsipartikeln anhand der Theorie im zweiten Abschnitt. Diese Analyse hat den Zweck, die Verwendung von Abtonungspartikeln in einem Satz pragmatisch und syntaktisch zu beschreiben. Dadurch werden die Funktion, die Satztypen, in denen Abstonungspartikeln vorkommen und ihre Stellung im Satz klar. Im vierten Abschnitt stelle ich die Ergebnisse meiner Analyse dar. Die Ergebnisse der Analyse sind u,a : btonungspartikeln sind die Partikeln, die die Subjektivitat des Sprechers usdrucken. Durch die Verwendung dieser: Abtonungspartikelnkaan der Sprecher seine Aussage abtonen. Die Stellung von Abtonungspartikeln in cinem Satz ist nach dem finiten Verb und vor dom Rhema. Nach der Analyse kommen Abtonungspartikeln am haufigsten in dem Aussagesatstyn vor Abtonungspartikeln, die am meisten benutzt wardon , sind : genn, .j a, und doch."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S16212
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feby Tandiary
"ABSTRAK
Psikopat fiktif telah dianalisis sebagai realistis atau tidak realistis. Praktisi klinis, psikolog forensik, dan psikiater forensik juga telah menggunakannya sebagai contoh dan alat pengajaran. Karakter the Joker yang digambarkan pada film 2008 ldquo;The Dark Knight rdquo; dideskripsikan sebagai seorang kriminal yang memiliki gangguan mental. Sesuai dengan hal tersebut, ia telah didiagnosis oleh psikiatris forensik di kehidupan nyata sebagai seorang psikopat. Oleh karena itu, para penonton berkemungkinan mereferensikan dirinya sebagai contoh para psikopat dan tingkah lakunya sebagai indikasi-indikasi psikopati. Namun, jika the Joker bukanlah psikopat fiktif yang realistis, gambarannya dalam film ini dapat membawa para penonton ke fakta yang salah. Untuk memahami betapa realistisnya the Joker, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis fitur-fitur linguistik yang menandai the Joker sebagai seorang kriminal dan/atau seorang psikopat: manipulasi dan ancaman. Penulis tulisan ini menekankan analisis pada penggunaan penipuaan lisan the Joker karena penipuan lisan adalah sebuah tipe manipulasi, dan karena pada umumnya, psikopat cenderung pengguna baik manipulasi. Penulis menemukan bahwa the Joker lebih menggunakan penipuan lisan daripada ancaman. Namun, perbedaan frekuensi penggunaan fitur-fitur linguistik ini tidaklah signifikan. Dalam kata lain, the Joker tidak memiliki preferensi antara menggunakan penipuan lisan atau ancaman sebagai strategi linguistik untuk mencapai tujuannya. Ini merefleksikan karakteristik sebuah sub-tipe psikopati, the macho, yang cenderung menggunakan ancaman untuk mencapai tujuannya. Oleh sebab itu, berdasarkan fitur-fitur linguistiknya, the Joker adalah seorang psikopat fiktif yang realistis, terutama untuk sub-tipe the macho. Berdasarkan penemuan ini, implikasi praktis dan teoretisnya adalah para psikopat mungkin menggunakan ancaman hampir sama banyaknya dengan menggunakan manipulasi, dan para pembuat dan para konsumen karya fiksi sebaiknya lebih memperhatikan penggambaran karakter-karakter psikopat dan karakter-karakter yang berkecenderungan menggunakan ancaman, terutama jika mereka juga berkecenderungan menggunakan manipulasi.

ABSTRACT
Fictional psychopaths have been analysed to be either realistic or non realistic. Clinical practitioners, forensic psychologists, and forensic psychiatrists have also used them as examples and teaching tools. The character of the Joker as portrayed in the 2008 ldquo The Dark Knight rdquo movie is described as a criminal with a mental disorder. Accordingly, he has been diagnosed by a real life forensic psychiatrist to be a psychopath. Therefore, the movie audience may refer to him for an example of psychopaths and to his behaviours for indications of psychopathy. However, if the Joker is not a realistic fictional psychopath, his portrayal in this movie may lead the audience to false facts. To understand how realistic the Joker is, this paper aims to analyse the linguistic features which mark the Joker as a criminal and or a psychopath manipulations and threats. The writer of this paper emphasizes the analysis on the Joker rsquo s uses of verbal deception as verbal deception is a type of manipulation, and because generally, psychopaths tend to be really good users of manipulation. The writer finds that the Joker uses more verbal deceptions compared to threats. However, the differences in frequency of his using these linguistic features are not significant. In other words, the Joker has no preference when it comes to using verbal deceptions or threats as a linguistic strategy to achieve his goals. This reflects the characteristics of a subtype of psychopathy, the macho, which tends to utilize threats to achieve his goal. Thus, based on his linguistic features, the Joker is a realistic fictional psychopath, especially of the macho subtype. On the basis of these findings, the practical and theoretical implications are that psychopaths may use threats about as much as they use manipulation, and that creators and audience of fictional works should pay more attention to portrayal of psychopathic characters and characters who have a tendency of using threats, especially if they also have a tendency of using manipulation."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
"Selama kampanye Pemilu 1999 umumnya media massa Indonesia mengkonstruksikan partai politik ibarat grup musik; dan menjadikan para tokohnya sebagai selebritis. Pada masa itu, koran-koran nasional menggambarkan partai politik sebagai alat pengumpul massa. Sementara fungsi parpol sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas) dalam kehidupan berdemokrasi tidak terlihat dalam pengkonstruksian tersebut. Menariknya, hal itu terjadi dalam kondisi dimana setiap media memiliki motivasi yang berbeda-beda, entah itu ideologis, idealis, politis, ataupun ekonomis, dalam membuat berita politik.

During the 1999-campaign period generally the mass media in Indonesia constructed political parties like a music group; and present the politicians acts as celebrities. At that time, national newspapers describe political parties as the instrument to harvested masses. Meanwhile the political party functions, as broker within the clearinghouse of ideas in the democratic lives didn?t appear within the political party?s discourse. In spite of the media have different interests one each other in news making the political parties, such as ideological, idealism, political, and economic or market factors."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990
499.222 PEM (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Media massa selain sarana penyampaian berita juga menjadi sarana pembina bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam media massa merupakan keharusan yang perlu ditingkatkan. Media massa yang mengabaikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu akan memberi kesan bahwa media massa tersebut tidak "cendekia". Untuk itu, media massa perlu meningkatkan mutu bahasa Indonesia dengan membangun kesadaran akan pentingnya penyampaian dan penyajian berita yang efektif melalui bahasa yang efektif pula. Penerapan kaidah bahasa dalam penyampaian dan penyajian berita akan mewujudkan kesetiaan berbahasa Indonesia sehingga kedisiplinan berbahasa Indonesia akan terbentuk pula."
MBUNTAR 14:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Hemalini
"Penelitian jurnal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya bahasa Arab yang diadopsi dalam bahasa Indonesia oleh para jurnalis di Media Massa. Namun pembentukan serapan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia cukup menarik. Seperti contohnya adalah kata Mutilasi yang digunakan oleh jurnalis. Kata mulitasi merupakan serapa dari bahasa Arab, yang sebelumnya disebutkan dalam sebuah Hadist atau perkataan Nabi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi. Penulis meneliti kata serapan kosakata dalam Media Masssa selama kurun waktu 2 sampai 5 tahun terakhir pada Media Massa Kompas dan Media Indonesia. Dalam metode deskripsi tersebut penulis menemukan ada beberapa kosakata yang cukup menarik dalam pembentuka konstruksi morfologis pembentukan kosakata tersebut.
Pendekatan yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan konten analisis. Melalui konten analisis tersebut penulis membaca Media Massa seperti Koran, Surat Kabar kemudian penulis mengeluarkan kosakata yang akan diteliti lebih dalam mengenai makna dan asal mula kosakata tersebut. Hipotesa jurnal ini menyimpulkan bahwa banyak kosakata bahasa Indoensia yang berasal dari bahasa Arab dan memiliki pembentukan kosakata yang menarik. Hal yang menarik dalam pembentukan kosakata bahasa Indonesia dapat dilihat dari hasil yang berasal dari pengucapan bahasa Arab kemudian digunaka sebagai bahasa sehari-hari, bahkan tak jarang kosakata tersebut digunakan oleh jurnalis dalam Media Massa.

Journal research is motivated by the Arabic number adopted in Indonesian by journalists in the mass media. However, the formation of uptake of Arabic into Indonesian quite interesting. Mutilation such example is the word used by journalists. Mulitasi word is serapa from Arabic , previously mentioned in a Hadith , or sayings of the Prophet . The method used in this study is a description of the method. The author examines the uptake of vocabulary words in the mass media during the period of 2 to 5 years at Compass Mass Media and Media Indonesia. In the description of the method the authors found that there are some good interesting vocabulary in construction pembentuka morphological formation of the vocabulary.
The approach used is to use a content analysis approach. Through the analysis of the content authors read like a newspaper Mass Media, Newspapers later issued a vocabulary authors to be studied more deeply about the meaning and origin of the vocabulary. The hypothesis of this journal concluded that many premises vocabulary derived from Arabic and has an interesting vocabulary formation. The interesting thing in the formation of Indonesian vocabulary can be seen from the results derived from the Arabic pronunciation then digunaka as everyday language, even the vocabulary often used by journalists in the mass media.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
"Analisis mengenai tingkat kesopansantunan dalam kalimat impositif permintaan balk dari segi pragmatis maupun sintaksis, faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan tingkat yang sesuai, dan bagaiinana penerapan tingkat itu dalam Bahasa Belanda adalah pertanyaan yang muncul dalam skripsi ini. Penelitian yang dilakukan terbagi menjadi studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Dalam studi kepustakaan diterapkan gambaran tentang tingkat kesapansantunan dalam kalimat impositif permintaan yang dikemukakan oleh Leech (1983), sedangkan dalam penelitian lapangan diajukan pertanyaan kepada sepuluh orang penutur asli untuk melihat sejauh mana penggunaan tingkat kesopansantunan bagi masyarakat Belanda golongan menengah. Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa pemakaian tingkat kesopansantunan tidak lagi serumit tingkat kesopansantunan yang dikemukakan oleh Leech."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S15880
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>