Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19410 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suharto, 1944-
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan fenomena di Keresidenan Banten setelah daerah itu diduduki oleh
Belanda. Penelitian ini melalui empat tahap, yaitu mencari sumber sejarah (heuristik), kritik, interpretasi, dan penulisan
sejarah (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pemerintahan di kedua pemerintahan sipil
yang saling bermusuhan itu berjalan tidak sempurna. Tidak lama setelah Banten diduduki oleh Belanda, beberapa tokoh
Banten khususnya yang pro-Belanda membicarakan status daerah itu di masa datang. Dinas Penerangan Keresidenan
Banten pro-Belanda menyediakan beberapa alternatif agar dipilih rakyat Banten. Alternatif yang dikemukakan adalah:
(1) Banten sebagai Propinsi ke-13 dari Kerajaan Belanda, (2) Banten masuk Negara Indonesia Serikat secara langsung
sebagai negara atau daerah istimewa, atau (3) Banten masuk NIS secara tidak langsung dengan terlebih dahulu
bergabung dengan negara Pasundan atau Distrik Federal Jakarta. Jika bergabung dengan negara Pasundan, ada dua cara,
yaitu daerah itu sebagai keresidenan, atau sebagai negara, atau sebagai daerah istimewa. Beberapa alternatif tersebut
disampaikan kepada Badan Perwakilan Rakyat Banten untuk dipilih dan menetapkan suatu delegasi yang tugasnya
menyampaikan pilihan mereka ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Ternyata badan tersebut tidak mengikuti
keinginan Dinas Penerangan, tetapi menunggu hasil konferensi. Putusannya, Banten tetap masuk wilayah RI sebagai
salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.
The aim of this researh is to expose the phenomenon in Banten Residency after the Dutch occupied the region. There
are four steps used in this research, i.e. collecting historical sources (heuristic), critique, interpretation and
historiography (writing the history). This research result that the two sides of the civil government did not work well.
Not long after Banten was occupied by the Dutch, several prominent Bantenese figures, especially those who were pro-
Dutch discussed the future status of the region. The Information Department of Banten Residency who was pro-Dutch
offered several alternatives for the people of Banten to choose. The alternatives were: (1) Banten became the 13th
province of the Dutch Kingdom; (2) Banten joined the United States of Indonesia as a state or got a special status; (3)
Banten indirectly joined the United States of Indonesia. First this region joined the state of Pasundan or the Federal
District of Jakarta. If Banten joined the state of Pasundan, there are two options, firstly this district as a residency or
secondly, as a state or an exclusive territory. Those alternatives were presented to the People Representative Board of
Banten for the people to choose and to appoint a delegation who would present their choice to the Round Table
Conference in the Hague (Den Haag). But the body did not follow the aspiration of the representative board. This body
just had to wait for the conference decision. Based on the conference decision, Banten remained as a part of the
Republic of Indonesia which was a state in the United States of Indonesia."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suharto
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan fenomena di Keresidenan Banten setelah daerah itu diduduki oleh Belanda. Penelitian ini melalui empat tahap, yaitu mencari sumber sejarah (heuristik), kritik, interpretasi, dan penulisan sejarah (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pemerintahan di kedua pemerintahan sipil yang saling bermusuhan itu berjalan tidak sempurna. Tidak lama setelah Banten diduduki oleh Belanda, b eberapa tokoh Banten khususnya yang pro-Belanda membicarakan status daerah itu di masa datang. Dinas Penerangan Keresidenan Banten pro-Belanda menyediakan beberapa alternatif agar dipilih rakyat Banten. Alternatif yang dikemukakan adalah: (1) Banten sebagai Propinsi ke-13 dari Kerajaan Belanda, (2) Banten masuk Negara Indonesia Serikat secara langsung sebagai negara atau daerah istimewa, atau (3) Banten masuk NIS secara tidak langsung dengan terlebih dahulu bergabung dengan negara Pasundan atau Distrik Federal Jakarta. Jika bergabung dengan negara Pasundan, ada dua cara,
yaitu daerah itu sebagai keresidenan, atau sebagai negara, atau sebagai daerah istimewa. Beberapa alternatif tersebut disampaikan kepada Badan Perwakilan Rakyat Banten untuk dipilih dan menetapkan suatu delegasi yang tugasnya menyampaikan pilihan mereka ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Ternyata badan tersebut tidak mengikuti keinginan Dinas Penerangan, tetapi menunggu hasil konferensi. Putusannya, Banten tetap masuk wilayah RI sebagai salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.

Abstract
The aim of this researh is to expose the phenomenon in Banten Residency after the Dutch occupied the region. There are four steps used in this research, i.e. collecting historical sources (heuristic), critique, interpretation and historiography (writing the history). This research result that the two sides of the civil government did not work well. Not long after Banten was occupied by the Dutch, several prominent Bantenese figures, especially those who were pro- Dutch discussed the future status of the region. The Information Department of Banten Residency who was pro-Dutch offered several alternatives for the people of Banten to choose. The alternatives were: (1) Banten became the 13th province of the Dutch Kingdom; (2) Banten joined the United States of Indonesia as a state or got a special status; (3) Banten indirectly joined the United States of Indonesia. First this region joined the state of Pasundan or the Federal District of Jakarta. If Banten joined the state of Pasundan, there are two options, firstly this district as a residency or secondly, as a state or an exclusive territory. Those alternatives were presented to the People Representative Board of Banten for the people to choose and to appoint a delegation who would present their choice to the Round Table Conference in the Hague (Den Haag). But the body did not follow the aspiration of the representative board. This body just had to wait for the conference decision. Based on the conference decision, Banten remained as a part of the Republic of Indonesia which was a state in the United States of Indonesia."
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia], 2009
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suharto
"ABSTRAK
Banten yang terletak di bagian paling barat dari Pulau Jawa, terkenal karena kefanatikannya dalam agama dan sikapnya yang suka memberontak. Dalam abad ke-19 tradiei revoluaionernya menemukan ungkapannya dalam serangkaian pemberontakan yang berpuncak pada pemberontakan petani Banten tahun 1888. Tahun 1928, Banten kembali menjadi ajang pemberontakan komunis yang meresahkan pemerintah kolonial. Pemberontakan itu gagal, namun akibatnya keberanian mereka yang tak kunjung padam terhadap orang-orang Belanda dan pangreh praja. Banten oleh Belanda dibiarkan bodoh dan terbelakang. Pada Jaman Jepang
beberapa ulama Banten diangkat dalam Jabatan-Jabatan resmi. Pengangkatan ini nampaknya dimaksudkan untuk menenteramkan perasaan mereka.
Setelah Indonesia merdeka, di daerah ini kembali terjadi pergolakan soaial. Setelah Balanda melanoarkan agresi militernya pertama, daerah ini tidak diserang dan
diduduki, dan baru diduduki tahun 1948 dengan agresi militernya kedua. Nampaknya, untuk melemahkan Banten, Belanda memblokade daerah Banten eecara ketat. Bagaimana Banten dapat memenuhi kebutuhan sendiri? Bagaimana sikap dan uaaha pemerintah daerah Banten dalam
mengatasi keadaan itu? Dari hasil penelitian dapat diuampaikan hal-hal sebagai berikut.
Blokade yang dilakukan Belanda merupakan blokade total, dengan makaud untuk melemahkan Banten yang terkenal keras itu. Banten ditutup sama sekali dari arua orang dan
barang. Orang yang keluar dan masuk daerah Banten diperiksa aecara ketat oleh Balanda.
Akibat blokade itu, Banten harue memenuhi kebutuhan sendiri. Beberapa barang yang dibutuhkan, dipenuhi dengan berbagai cara, seperti dengan cara membuat sendiri barang
itu, mencarinya barang kebutuhan itu di daerah Jakarta lewat seseorang, membeli barang-barang selundupan, dan lain sebagainya.
Untuk menghindari menipisnya barang produksi aendiri, pemerintah daerah Banten membuat aturan terhadap hasil produkai itu seperti hasil bumi dan ternak yang akan di
bawa ke luar daerahnya. Dalam kaitan' dengan jual-beli barang dan_ untuk pengawasan, dibentuk polisi ekonomi. Untuk memperkuat perekonomian daerah Banten, oleh kalangan
pedagang dan Jawatan terkait dibentuk Majelis Perniagaan Daerah Banten. Untuk mengatasi kesulitan alat pembayaran, pemerintah daerah mencetak uang kertas sendiri yaitu URIDAB atas ijin pemerintah pusat. Oleh karena begitu sederhananya ujud mata uang itu, akibatnya muncul uang palsu yang cukup meresahkan masyarakat- Selain itu bertambahnya mata uang itu, maka inflasi pun tidak dapat dihindari. Untuk mengatasi kesulitan komunikasi ke luar
daerah terutama ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah Jawa Barat maupun di dalam daerah itu sendiri, dibuatlah pemancar radio di Serang.
Banten dapat mengatasi keadaan yang sulit itu dengan tekad dan perjuangan keras. Blokade itu ternyata tidak dapat melemahkan semangat rakyat Banten. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa akibat blokade itu kemadian di bidang sosial ekonomi daerah ini ketinggalan dibandingan dengan daerah lainnya. Namun ketinggalan itu kemudian dikejar setelah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Heijboer, Pierre
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, KITLV, 1998
959.8 HEI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Abdul Haris, 1918-2000
"Berisi kisah sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang ditulis dari sudut pandang Abdul Haris Nasution, yang pada masa tersebut menjabat sebagai kolonel. Buku ini berisi interpretasi Nasuiton mengenai Perang Kemerdekaan Indonesia."
Bandung: Angkasa, 1978
959.8 NAS s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2011
959.8 RUT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kurniati
"Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, begitu banyak masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan, diantaranya masalah diplomasi modern yang sama sekali baru bagi bangsa Indonesia. Meskipun menurut ukuran kondisi dan situasi waktu itu masalah mempertahankan kelangsungan hidup negara lebih banyak menyangkut bidang kesiap-siagaan fisik, namun unsur diplomasi sebagai salah Satu alat untuk mempertahankan negara menduduki tempat yang juga sangat menentukan. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk melihat sejauh mana keberhasilan perjuangan diplomasi Indonesia di forum PBB. terutama setelah agresi militer II Belanda hingga pengakuan kedaulatan. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan, berupa buku-buku, dokumen, artikel majalah, Surat kabar, hasil-hasil sidang PBB, Serta wawancara. Masalah pertikaian Indonesia dengan Belanda telah masuk agenda PBB sejak: bulan Juli 1947 hingga bulan Desember 1949. Pengajuan masalah ini ke forum EBB, karena Pemerintah Indonesia beranggapan, bahwa masalah pertikaiannya dengan Belanda tenting siapa yang berdaulatan terhadap wilayah Indonesia, tidak dapat lagi diselesaikan melaui perundingan bilateral dengan Pemerintah Belanda. Dari hasil panelitian penulis, penulis melihat bahwa ada dua tahap perjuangan diplomasi Indonesia di PBB. Tahap pertama dari bulan Juli 1947 hingga Juli 1948, yang ternyata tidak berhasii. Ketidakberhasilan tersebut disebabkan adanya Perang Dingan antara Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya yang beraliran demokrasi berhadapan dengan Uni Soviet dan kelompoknya, yang berpahamkan komunis, yang melanda juga situasi persidangan di PBB. Akibatnya, usaha Indonesia untuk menggunakan PBB sebagai media panyelesaian pertikaiannya dengan Belanda dalam prakteknya selaluterbentur oleh kepentingan nasiona1 dari kedua negara adikuasa, tersebut, dan pada akhirnya juga mempengaruhi sikap yang harus diambil negara-negara anggota PBB 1ainnya. Dalam perkembangan kemudian, terutama setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua dan kemampuan Indonesia menumpas pemberontakan komunis di Madiun, Indonesia baru dapat menggunakan forum PBB secara efektif. Keberhasilan tersebut juga dipengaruhi oleh kemampuan delegasi Indonesia di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat (PBB) membentuk suatu pendapat masyarakat dunia yang mendukung perjuanggan Indonesia melawan Belanda. Serangan Umum 1 Maret 1949 yang mengejutkan dunia internasional. Dan tak kalah pentingnya adalah kemampuan Indonesia memanfaatkan situasi Penang Dingin yang mengakibatkan perubahan sikap Amerika Serikat dari pasif' menjadi lebih aktif mendukung Indonesia dan mendesak Belanda agar mau berunding kembali kesemua faktor di atas akhirnya memudahkan Indonesia menggunakan PBB sebagai media diplomasina, guna menyelesaik.an pertikaiannya dengan Belanda rea1isasinya adalah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada bulan Desember 1949 melalui konperensi Meja Bundar yang diadakan di negeri Belanda."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12178
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anto Dwiastoro Slamet
"Aksi-aksi gerilya dan anti-gerilya dari dua kekuatan yang bertarung merebut dominasi tidak bisa dilepaskan dari sebuah perang revolusioner. Fenomena demikian turut mewar_nai perjalanan sejarah Perang Kemerdekaan RI (1945-1949). Aksi-aksi gerilya RI, bagaimanapun, menampilkan suatu kecenderungan unik, yakni aspek pertempuran yang merupakan sisi yang tidak terlalu menonjol ketimbang aspek psikologis yang diwujudkan sebagai sebuah senjata nasional. Perbenturan senjata-senjata psikologis antara RI dan Belanda tampaknya menjadi dampak sampingan dari kegagalan--kegagalan di bidang strategi militer dan diplomasi. Perang urat-syaraf lantas menggeser dan menempatkan dirinya sebagai medium alternatif yang membelah perbedaan-perbedaan kepentingan antara penomorsatuan diplomasi atau, sebalik_nya, mengutamakan konflik bersenjata."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12114
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Rifianto
"ABSTRACT
Skripsi ini mengangkat topik pada bidang sejarah Jepang yang membahas mengenai militer Jepang, pada masa pendudukan Amerika antara tahun 1945- 1952. Khususnya mengenai kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Pendudukan Amerika di Jepang terhadap kelompok militer Jepang perihal pembersihan dan pemecatan orang-_orang yang dianggap terlibat dengan penyebaran pengaruh militerisme dan agresi militer Jepang pada kurun waktu antara tahun 1931- 1945. Kebijakan ini dituangkan kedalam dua instruksi Komandan Pasukan Negara Sekutu yaitu SCAPIN No. 548 dan 550 yang dikeluarkan pads tanggal 4 Januari 1946. Kedua instruksi itu berisi perintah penghapusan golongan militer dan menekan organisasi apapun yang mengabdi di militerisme serta. pembersihan beberapa personel dari lingkungan pelayanan masyarakat Jepang.
Keluarnya kedua instruksi tersebut sebelumnya telah didahului oleh suatu masa, yaitu setelah Perang Dunia I, yang memperlihatkan berkembang pesatnya kelompok militer di Jepang dalam menanamkan pengaruhnya pada peta politik, sosial dan ekonomi .domestik Jepang. Dalam kebangkitannya kelompok militer kemudian menjadi penentu yang terpenting bagi kebijakan dalam negeri dan luar negeri Jepang. Kondisi ini dijelaskan dalam bab II skripsi ini yang menerangkan tentang kekuatan militer Jepang setelah Perang Dunia I sampai dengan penyerahan diri Jepang tanggal 2 September 1945. Melalui kurun waktu tersebut diterangkan mengenai gerak invasi militer Jepang ke benua, timbulnya pemikiran dan tingkah laku berpolitik yang reaksioner dari kelompok militer dan para pendukungnya serta serangkaian peristiwa sejarah seperti; penyerbuan Manchuria sebagai aksi langsung keterlibatan kelompok militer, gerakan mobilisasi nasional, perang Jepang- Cina maupun keputusan Jepang untuk terjun dalam kancah perang Pasifik.
Selanjutnya pada bab III diterangkan mengenai pembersihan golongan militer dan para pendukungnya yang merupakan inti pembahasan skripsi ini. Didahului dengan tujuan kebijakan pembersihan terhadap golongan militer tersebut dilakukan. Kemudian dilanjutkan kepada isi dari instruksi No. 550 dan 548 yang menerangkan mengenai pelaksanaan kebijakan tersebut disertai pula dengan data-data, tabel, serta fakta sejarah melalui serangkaian peristiwa seperti pengadilan militer yang menggambarkan langkah konkrit dari pelaksanaan kedua instruksi tersebut. Untuk menjelaskan isi dari skripsi ini disertakan pula lampiran berupa dokumen-dokumen yang digunakan sebagai pendukungnya.
Masalah militer memang sangat menarik, memancing perhatian dan keingintahuan orang untuk dikaji lebih lanjut. Tak kurang dari beberapa pengamat militer, peneliti dan penulis. sendiri yang mengangkat topik militer ini. Topik ini dapat dikaji dari sudut institusinya atau melalui tokoh-tokoh militer yang kemudian dikaitkan dengan tugas dan peranannya dalam kancah politik. Kekuatan militer Jepang sendiri yang merupakan satu bagian sejarah yang tidak dapat dipisahkan dalam sejarah Jepang dari jaman feodal sampai dengan jaman modern saat ini dapat pula menjadi satu subjek yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

"
1999
S13457
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Achmad Sunjayadi
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>