Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3436 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Purpose: We evaluated cultured specimens from silicone tubes removed from patients with congenital nasolacrimal duct obstruction and determined the antibiotic sensitives of the specimens.
Methods: This study included 26 eyes of 22 patients who had received endonasal silicone tube intubation for congenital nasolacrimal duct obstruction. The removed silicone tubes were divided into canalicus, lacrimal sac, nasolacrimal duct and nasal cavity parts according to insertion state. Then, bacteria and fungus cultures were performed and rheir antibiotic sensitivity was tested.
Results: Bacteria culture rate was 80.8% in the canaliculus and the lacrimal sac, and 88.5% in the lacrimal duct, and the nasal cavity, which was not significantly higher in the nasal cavity than in the nasolacrimal duct and in the nasolacrimal duct than in the lacrimal sac and the canaliculus (p-value < 0.05). The species of cultured Gram-positive bacteria were in the following order: Staphylococcus aureus, streptococcus pneumonia and coagulase negative staphylococcus. Common species of cultured Gram-negative bacteria were Pseudomonas and Serratia marcescenes. All six species of cultured fungi were candida. Among 12 Staphylococcus aureus cultured, eight species showd resistance to methicillin (MRSA). In all patients, the symptomps and the signs of nasolacrimal duct obstruction improved after the tube removal.
Conclusions: Bacterial and fungal infection of the silicone tube in patients with congenital nasolacrimal duct obstruction does not appear to affect directly the outcome of silicone tube intubation. Further studies of bacterium and fungi in the nasolacrimal duct before silicone tube intubation are needed for determining the infection causing nasolacarimal duct obstruction J Korean Ophthalmol Soc 2014;55(8): 1121-1125"
Seoul: SKY1004 Building #701,50-1 Jungnim-ro, Jung-gu, Seoul 100-808, Korea,
610 JKOS
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Eunike Hanna Dameria
"Latar Belakang : Meropenem, salah satu antibiotik yang paling efektif terhadap bakteri gram negatif dan bakteri gram positif, dianggap sebagai pengobatan terakhir yang paling dapat diandalkan untuk infeksi bakteri. Penyebaran yang cepat dari resistensi meropenem, terutama diantara bakteri gram negatif, merupakan masalah kesehatan yang sangat penting. Berbagai faktor diketahui berhubungan dengan kejadian resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif, namun penelitian yang dilakukan pada pasien infeksi intra abdomen masih terbatas.
Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan resistensi antibiotik meropenem terhadap bakteri gram negatif pada pasien infeksi intra-abdomen di RSCM tahun 2013-2017.
Metode : Penelitian desain cross sectional dengan mengambil data dari rekam medis pasien infeksi intra abdomen pada rentang waktu tahun 2013-2017 sebanyak keseluruhan populasi terjangkau.
Hasil : Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik dari faktor-faktor yaitu, usia, jenis kelamin, penyakit yang menyertai, riwayat antibiotik, jumlah leukosit dan jumlah albumin yang berhubungan dengan resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif.
Kesimpulan : Usia, jenis kelamin, penyakit yang menyertai, riwayat antibiotik, jumlah leukosit dan jumlah albumin bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif pada pasien infeksi intra abdomen. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif pada pasien infeksi intra abdomen.

Background : Meropenem, one of the most effective antibiotics against gram-negative bacteria and gram-positive bacteria, is considered to be the most reliable last treatment for bacterial infections. The rapid spread of meropenem resistance, especially among gram negative bacteria, is a very important health problem. Various factors are known to be associated with the incidence of meropenem resistance to gram-negative bacteria, but studies conducted on patients with intra-abdominal infections are still limited.
Objectives : To determine the factors associated with meropenem resistance against gram-negative bacteria in patients with intra-abdominal infections at Cipto Mangunkusumo Hospital in the year of 2013-2017.
Methods : A cross sectional design study by taking data from medical records of intra-abdominal infection patients in the period of 2013-2017 as much as the entire affordable population.
Results : There were no statistically significant differences in factors, namely age, sex, accompanying disease, history of antibiotics, number of leucocyte and amount of albumin associated with meropenem resistance against gram-negative bacteria.
Conclusion : Age, sex, accompanying disease, history of antibiotics, number of leucocytes and amount of albumin are not factors associated with meropenem resistance against gram-negative bacteria in patients with intra-abdominal infections. Further research is needed to determine the effect of other factors related to meropenem resistance against gram-negative bacteria in patients with intra-abdominal infections.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arfan Awaloeddin
"Rurnah sakit sebagai mata rantai sistern kesehatan diharapkan dapat mencapai pelayanan yang bermutu, berdaya guna, serta didirikan dan dijalankan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperlukan oleh masing-masing penderita dalam batas kemampuan teknologi dan sarana yang tersedia di rumah sakit. Salah satunya adalah instalasi farmasi yang merupakan sarana penting dalam proses penyembuhan dan merupakan salah satu komponen biaya operasional yang besar dari seluruh biaya operasional rumah sakit.
Anggaran yang dibelanjakan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Awal Bros untuk obat dan alkes sebanyak 46.65 % (Rp 5.155.680.986) dari total pengeluaran rumah sakit, dari jumlah tersebut 37.88% (1.952.881.880) adalah investasi untuk obat antibiotika.
Penelitian dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Awal Bros pada pemakaian obat-obatan antibiotika periode Januari hingga Juni tahun 2001, dengan tujuan mengidentifikasi tingkat persediaan obat antibiotika di instalasi farmasi, merencanakan dan mengendalikan jumlah pemesanan obat yang efisien dan efektif.
Perencanaan yang tepat diharapkan dapat menghasilkan suatu jumlah dan jenis persediaan perbekalan di instalasi farmasi, dalam hal ini khusus obat antibiotika. Persediaan obat-obatan antibiotika dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan nilai pemakaian, nilai investasi dan nilai indeks kritis dengan memakai analisis ABC. Pengelompokkan ini merupakan salah satu cara untuk mengendalikan persediaan, dengan demikian dapat diketahui jenis obat mana yang perlu diperhatikan karena mempunyai investasi yang tinggi dengan nilai kritis yang tinggi pula. Indeks kritis dapat diketahui melalui pendapat dari para dokter full timer yang berada di Rumah Sakit Awal Bros yang memakai obat tersebut.
Hasil analisis indeks kritis ABC didapatkan basil bahwa kelompok A untuk 75-20-5 yang memerlukan investasi paling tinggi (66.51 % dari seluruh biaya) terdiri dari 32 item obat (9.33 %), kelompok B menelan biaya 28.99% terdiri dari 126 item obat dan kelompok C menelan biaya 4.50% dari seluruh biaya. Jenis obat antibiotika kelompok A 75-20-5 berdasarkan pemakaian, investasi dan indeks kritis berjumlah 74 item, jika dikelompokkan dengan kelompok nama generik akan dapat berkurang menjadi 60 item. Hal ini setidaknya rumah sakit Awal Bros dapat melakukan efisiensi sehingga biaya yang hares diinvestasikan akan berkurang.

Hospital is the part of health system chain which might be expected to provides quality services, efficient, and was established, operated to achieve various level of health services including promotion, prevention, curative and rehabilitation to meet patient needs in accordance to both technologies and facilities availabilities in the respective hospital.
In particularly, pharmaceutical department is one of the important facilities in patient care that consume the biggest part of operational cost. In Awal Bros hospital, drugs and consumable goods spent 46.65% of total hospital expenditure. (Rp 5.155.680.986.-). In addition the hospital spent 37.88% of their total drugs expenditure for antibiotic (1.952.881.880 rupiahs).
This study took place in Pharmaceutical Department of Awal Bros hospital during January 2001 thorough June 2001 period that aimed to identify the availability of antibiotic, and to develop the most economical procurement plan as well as to manage the availability.
By doing so it was expected the hospital could manage the availability of antibiotic in terms of amount and type. The availability of antibiotic was grouped into different categories according to level of utilization, investment as well as critical index by using ABC analysis. This approach aimed to control level of antibiotic availability, an effort to identify priority in next procurement by considering its investment level and critical index. Information on critical index was gathered from selected residence physicians that had been known as frequent users.
The ABC critical index analysis revealed that group A (75- 20-5) represented the highest investment totaling 66.51% of total expenditure, consisted of 32 item of antibiotic (9.33%); group B represent 28.99% of total expenditure (126 items) and group C represent 4.50% of total expenses. The total group A 75-20-5 with categories according to level of utilization, investment as well as critical index consisted 74 items, if grouped to generic drugs the least would decrease to 60 items. This approach which aimed to control level of antibiotic availability, can be utilized to identify priority in next procurement by considering its investment level.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Siswati
"Penggunaan obat yang tidak rasional seperti antibiotika pada ISPA bukan pneumonia merupakan masalah yang mengkhawatirkan karena dapat menghambat penurunan angka morbiditas dan mortalitas penyakit, menyebabkan pemborosan karena pemakaian yang tidak perlu serta menimbulkan efek samping dan resistensi terhadap bakteri, Penggunaan antibiotika untuk kasus ISPA bukan Pneumonia dan diare di Kota Padang masih tinggi yaitu rata-rata 28 %, dengan target ideal 0 % dan target propinsi kecil dart 20 %.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan Pneumonia di puskesmas se-Kota Padang, dan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen yang meliputi umur, latar belakang pendidikan, pengetahuan, sikap terhadap pedoman pengobatan, keterampilan dalam penetapan diagnosis, adanya tenaga kesehatan panutan, permintaan pasien, supervisi serta pelatihan dengan variabel dependen yaitu perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia.
Penelitian ini dilakukan dengan 2 metode yaitu metode kuantitatif dengan desain cross sectional dan metode kualitatif. Proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia 24,3 % dan hasil analisis bivariat pada penelitian kuantitatif diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan responder, sikap responden terhadap pedoman pengobatan, supervisi dan pelatihan dengan perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia . Hasil pada penelitian kualitatif sebagian besar menunjang hasil yang diperoleh pada penelitian kuantitatif.
Dengan hasil penelitian ini diharapkan adanya penurunan penggunaan antibiotika yang tidak rasional, khususnya pada penderita ISPA bukan pneumonia dengan menginterverisi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dalam penggunaan antibiotika ini.

Factors Related to Antibiotic Use Health Center Personal Behavior for Children Under Five Years with Non Pneumonic Acute Respiratory Tract Infections in PadangIrrational drug use such as antibiotic for non pneumonic acute respiratory tract infections is the problem because reduction in the quality of drug therapy leading to increased morbidity and mortality increased cost, adverse reactions and bacterial resistance. Antibiotic use for non pneumonic acute respiratory tract infections and nonspecific diarrhea in Health Center Padang City, average 28,0 % . It is much higher than ideal target of 0 % and still height than province target of less than 20 °/a,
The aim of this study to know how much antibiotic use proportion in children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections, and to know about relationship independent variable such as age, background study, knowledge, attitude of standard treatment, skill of decision diagnoses, prescribes behavior, patients demands, supervision and formal training with dependent variable antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections.
Study with 2 methods, Quantitative method with cross sectional design and Qualitative method. Result of antibiotic use proportion 24,3 %, and bivariat analysis in quantitative method result significant relationship between knowledge, attitude of standard treatment, supervision, and formal training with antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections. Amount of qualitative result support quantitative result study.
Result study may use to decrease irrational antibiotic use behavior, especially to decision making for drug use interventions in non pneumonic acute respiratory tract infections.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistijawati
"Dalam memenuhi tuntutan persaingan rumah sakit pada saat ini, setiap rumah sakit berupaya untuk meningkatkan citranya dengan meningkatkan mutu pelayanan secara menyeluruh. Aspek pembekalan farmasi merupakan hal yang sangat panting untuk diperhatikan. Dalam pengelolaan dan pengendalian obat di rumah sakit diperlukan manajemen yang tepat agar tujuan yang akan dicapai bisa terpenuhi.
Penelitian ini mempunyai tujuan agar manajemen pembekalan farmasi dapat dilaksanakan secara optimal serta identifikasi informasi kelengkapan jenis, kecukupan jumlah serta ketepatan waktu pengadaan obat-obat antibiotik yang masuk dalam kategori kritis. Kemudian dicari metode yang tepat untuk pengadaannya. Penelitian ini adalah survey data sekunder dan data primer mengenai persediaan pembekalan farmasi khususnya obat-obatan antibiotik yang tersedia di Rumah Sakit Puri Cinere. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif melalui analisis indeks kritis dan model persediaan yang bersifat probabilistik. Populasinya adalah seluruh obat antibiotik yang tersedia di bagian farmasi RSPC selama enam bulan terakhir dari Agustus 1997 s.d. Januari 1998. Jumlah jenis obat antibiotik selama enam bulan berjumlah 177 jenis.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa manajemen pembekalan farmasi di Rumah Sakit Puri Cinere belum berjalan dengan baik. Hal ini terlihat masih kerap terjadi stock out, over stock maupun obat kedaluarsa. Disamping itu anggaran yang digunakan untuk belanja obat selalu lebih besar dari pada anggaran yang sudah ditentukan sedangkan pendapatan selalu di bawah target. Mengingat bahwa farmasi merupakan salah satu pusat keuntungan rumah sakit ( profit centre) , maka perlu dilakukan optimalisasi dalam pendayagunaan persediaannya. Optimalisasi ini akan memberi dampak penting terhadap peningkatan pendapatan rumah sakit. Dengan demikian perlu diperhatikan perencanaan jenis obat agar jenis obat yang tersedia adalah yang memang pasti digunakan dalam jumlah yang cukup, sehingga lebih memudahkan dalam melakukan pengendalian obat. Agar dapat berjalan dengan lancar , perlu dilibatkan pihak farmasi untuk ikut merencanakan anggaran sehingga diharapkan perbedaan antara anggaran dan realissi dapat ditekan. Disamping itu perlu bagi Rumah Sakit Puri Cinere untuk mulai menggunakan indikator kinerja persediaan dalam menilai persediaan yang ada.
Berdasarkan analisis kuantitatif ternyata bahwa terdapat perbedaan jumlah jenis obat dan adanya variasi pada analisis ABC berdasarkan pemakaian, investasi dan indeks kritis. Pengambilan keputusan perbandingan persentase kelompok ABC yang diambil, sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari pihak manajerial Rumah Sakit. Semakin besar nilai persentase yang diambil untuk kelompok A, maka semakin besar jumlah item pada kelompok A indeks kritis. Pembagian berdasarkan kategori pemakaian, investasi dan indeks kritis akan memberikan hasil yang berbeda. Kategori pemakaian memberikan hasil untuk kelompok A sebanyak 32 macam (jika diambil 70%) dan 27 macam (jika diambil 75%). Sedangkan apabila dipertimbangkan nilai investasinya, maka akan diperoleh jumlah item kelompok A sebanyak 21 macam (jika diambil 70%) atau 25 macam (jika diambil 75%) dengan biaya investasi Rp. 45.914.003 (jika diambil 70%) atau Rp. 48.938.612 (jika diambil 75%). Apabila dilakukan analisis indeks kritis, maka item untuk kelompok A akan berjumlah hanya 13 (jika diambil 70%) atau hanya 18 (jika diambil 75%) dengan biaya investasi Rp. 26.345.929 (jika diambil 70%) atau sebesar Rp. 30.208.100,- (jika diambil 75%), Dan hasil di atas menunjukkan bahwa Rumah Sakit Puri Cinere dapat melakukan efisiensi dengan adanya pengurangan jumlah item maupun biaya yang harus diinvestasikan apabila menggunakan analisis indeks kritis.
Dalam meningkatkan mutu pelayanan di Rumah Sakit Puri Cinere terutama dalam penyediaan pembekalan farmasi diperlukan manajemen yang baik dalam mengelola perencanaan dan penyediaan obat. Penentuan stok pengaman (safety stock), kapan dilakukan pemesanan (Reorder Point), dan banyaknya pemesanan (Order Quantity) digunakan model persediaan yang tepat. Dengan demikian, pasien rawat inap maupun rawat jalan yang membutuhkan obat dapat terlayani dengan baik.

To survive hospital competition today, every hospital has effort to enhance its image by improving the whole service quality. Pharmaceutical logistic aspect is very significant. In managing and controlling drug in hospital, the right management is needed to achieve the goal.
The purpose of this research is to answer whether the management of pharmaceutical logistic has been performed optimally. The other purpose is to identify information regarding to the item, volume sufficiency and on time procurement of vital antibiotic drug. This research is to survey primary and secondary data relating to pharmaceutical logistic inventory, especially antibiotic drug available in Puri Cinere Hospital. The research uses quantitative analysis approach through critical index analysis and probabilistic inventory model. The population is the entire antibiotic drug available in pharmacy unit of Puss Cinere Hospital during the last six month from August 1997 to January 1998. The number of antibiotic drug item for six month is 177 items.
From the result of research, it is known that management of pharmaceutical logistic in Puri Cinere Hospital has not been performed well because stock out, over stock and expire drug still occur frequently. Beside, the budget spent to buy drugs always higher than its plan and revenue target is never reached. Considering that pharmacy unit is one of profit centre, optimalization of inventory is necessary. This will has significant impact to the increasing of hospital income. Therefore, planning should be done carefully in order to assure that the drug needed is always available. It can ease in controlling inventory. To minimize the gap between budget and expenditure, pharmacist should be involved in budget planning. Furthermore, the hospital has to use inventory performance indicator to evaluate inventory.
Based on quantitative analysis, there is difference in the number of drug item and there is variation in the ABC analysis based on the use, investment and critical index. The decision making to compare the percentage of ABC group is mostly influenced by the policy of hospital management. The higher percentage of A group, the higher number of A group item in critical index. On the basis of using category, investment and critical index has different result. The result of using category is that for A group, it will order 32 items (if it is taken 70 % ) or 27 items (if it is taken 75 % ), whereas if the investment is considered, the result is 21 items for A group (if it is taken 70 % ) or 25 items (if it is taken 75 % ) with the cost of investment Rp. 45.914.003; (if it is taken 70 %) or Rp.48.938.612,- (if it is taken 75 % ). If it is analyzed with critical index, the number of A group will be only 13 items ( if it is taken 70 %) or it is only 28 items (if it is taken 75 % ) with the cost of investment Rp.26.345.929,- (if it is taken 70 %) or Rp.30.208.100; (if it is taken 75 % ). The above result shows that the hospital improve efficiency by saving the number of item or investment cost using critical index analysis.
To increase the service quality in the hospital, especially pharmaceutical logistic, the proper management is needed to manage drug inventory and planning. The determination of safety stock, reorder point and order quantity should use the proper inventory model. This will serve inpatient and outpatient well.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Soemiati
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Streptokok hemolitik beta grup A (SH-A) adalah kuman patogen pada manusia menyebabkan radang tenggorok dan kulit dengan sequelae demam rematik. SH-A mempunyai protein M pada dinding selnya yang menyebabkan kuman tersebut tahan terhadap fagositosis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ampisilin subkadar hambat minimal (sub KHM) terhadap daya fagositosis makrofag. Kuman SH-A dicampur dengan ampisilin sub KHM (1/4 KHM dan 1/8 KHM) dengan makrofag dan diinkubasi selama 60 menit dan 120 menit. Penelitian ini menggunakan SH-A strain standar WHO (Ceko), dan ampisilin trihidrat diperoleh dari PT Kalbe Farma. Makrofag diambil dari peritoneal mencit strain CBR umur 4-8 minggu. Sebagai kontrol dilakukan terhadap kuman yang dibiakkan dalam kaldu Todd Hewitt yang mengandung ampisilin sub KHM tanpa dicampur makrofag.
Hasil dan Kesimpulan: Terdapat penurunan populasi kuman pada perbenihan yang mengandung makrofag tanpa ampisilin setelah diinkubasi 120 menit karena penurunan pH pada media. Populasi kuman menurun setelah kuman dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit dibandingkan dengan kontrol. Prosentase fagositosis makrofag dan indeks fagositosis makrofag terhadap kuman yang dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit meningkat. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa secara in vitro daya fagositosis makrofag meningkat setelah dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit.

ABSTRACT
Effect Of Ampicillin At Sub Mic On The Phagocytosis By Macrophage Of Streptococcus Hemolytic Beta Group AScope and Method of Study: Streptococcus beta-hemolyticus group A (SH-A) is pathogenic for man, the most usual causative agent for acute streptococcal upper respiratory tract and skin diseases with sequelae namely rheumatic fever. The bacterial cell wall contains protein M, a virulence factor, which is responsible for the resistance to phagocytic activity of macrophage. The aim of this research was study the phagocytosis of streptococci grown in subminimum inhibitory concentration (sub MIC) of ampicillin by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes. SH-A was obtained from Ceko Colaboratorium (standard strain of WHO), and ampicillin trihydrate was from Kalbe Farma. The mice were kindly supplied by Central Biomedical Research, Jakarta; age 4-8 weeks, were free from infections, and used as macrophage source.
Findings and Conclusions: The number of bacteria in the medium containing macrophage after incubation for 60 minutes increase, but after 120 minutes decreases, probably due to the low pH medium. The population of bacteria decreases in the medium treated with sub MIC of ampicillin after incubation for 60 and 120 minutes. Percentage of relative effect of phagocytosis and phagocytosis index of macrophage seem to be increasing after incubation of the whole component for 60 and 120 minutes. SH-A treated with sub MIC of ampicillin underwent rapid ingestion by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes. The result showed that the hypothesis of the rapid ingestion of SH-A treated with sub MIC ampicilin by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes could be accepted.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaldy Rusli
"Antibiotik golongan sefalosporin menjadi salah satu solusi terhadap resistensi antibiotik, terutama golongan penisilin. Konversi sefalosprorin C (CPC) menjadi 7-aminocephalosporanic acid (7-ACA), yang merupakan inti aktif sefalosporin, dapat dilakukan menggunakan bantuan enzim D-amino acid oxidase (DAAO) yang dihasilkan oleh Trigonopsis variabilis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pemanfaatan sirup gula singkong sebagai sumber karbon alternatif, memperoleh kondisi optimum untuk produksi enzim DAAO menggunakan sirup gula singkong, serta karakterisasi enzim DAAO yang dihasilkan. Produksi DAAO dilakukan dengan fermentasi menggunakan kultur kocok yang diawali dengan skrining konsentrasi sirup gula singkong dan dilanjutkan dengan optimisasi, purifikasi dan karakterisasi enzim hasil purifikasi. Optimisasi dilakukan melalui skrining Plackett-Burman dan Response Surface Method. Karakterisasi pengaruh pH dan suhu, serta kinetika enzim dilakukan terhadap enzim DAAO yang telah dipurifikasi. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa sirup gula singkong dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon alternatif. Hasil optimisasi proses fermentasi menggunakan kultur kocok diperoleh bahwa konsentrasi sirup gula singkong dan DL-alanin serta waktu fermentasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi DAAO dengan konsentrasi berturut-turut 12.3% dan 0.3% selama 56.1 jam akan menghasilkan enzim dengan aktivitas spesifik sebesar 195.3826 U/g. Enzim DAAO yang dihasilkan memiliki suhu dan pH optimum berturut-turut 4 - 10°C dan 8, serta nilai Vmax sebesar 0.007 µmol/menit dan KM sebesar 78 mM.

The antibiotic of cephalosprorin groups become one of the solution to the antibiotic resistance, especially penicillin groups. Conversion of Cephalosporin C into 7-aminocephalosporanic acid (7-ACA), which is an active core of the cephalosporin groups, can be performed using D-amino acid oxidase from Trigonopsis variabilis. The study was to aimed to analyze the usage of Cassava glucose syrups as an altenative carbon source; to obtain the optimum conditions in the production of DAAO using Cassava glucose syrup; and to obtain the characterization of the products. DAAO production was done by shaking culture fermentation which started with screening of cassava sugar syrup concentration and continued with optimization, purification and characterization of purified enzyme. Optimization is done by using Plackett-Burman screening and Response Surface Method. Characterization of the effect of pH and temperature, and also enzyme kinetics is done on purified DAAO. Optimization is done using Plackett-Burman screening and Response Surface Method. The characterization of the temperature, pH and kinetic parameters was carried out on the purified products. Based on this study, it is known that Cassava glucose syrup can be use as an alternative carbon source. The result of optimization using culture shake was found that the concentration of cassava glucose syrup and DL-alanine and also incubation periods were influencing factors with consecutive concentration was 12.3% and 0.3% for 56.1 hours, will produce enzyme with specific activity 195.3826 U / g.The products has an optimum temperature and pH was 4 - 10 ° C and 8, Vmax value was 0.007 µmol / min and a KM was 78 mM."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
T51979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fathoni
"Albertisia papuana Becc termasuk tumbuhan tropis dari famili Menispermaceae. Tumbuhan ini dikenal berkhasiat obat, diantaranya sebagai antibiotik/antibakteri. Selain tumbuhan, mikroorganisme termasuk jamur endofit juga dapat menghasilkan antibiotik. Jamur endofit termasuk mikroorganisme yang hidup pada tumbuhan inangnya. Jamur endofit di alam jumlahnya melimpah (1,5 juta dibandingkan tumbuhan sekitar 300 ribuan). Jamur endofit dapat memproduksi metabolit bioaktif yang beragam. Di lain sisi, jamur endofit belum tereksplorasi secara maksimal. Penelitian ini dilakukan untuk menskrining dan mengisolasi senyawa bioaktif dari jamur endofit dari tumbuhan A. papuana sebagai antibiotik. Dari kegiatan penelitian didapatkan 15 isolat jamur endofit yaitu dari bagian batang 8 isolat dan daun 7 isolat.
Dari skrining aktivitas antibakteri dengan metode TLC bioassay didapatkan informasi 2 isolat jamur endofit yang bersifat paling aktif yaitu DAP KRI-5 dan BAP KRI-8. Dari pemisahan dan pemurnian didapatkan 2 buah senyawa murni dari DAP KRI-5 yaitu F4.3, dan F2.3.9. Hasil dari elusidasi struktur menggunakan spektr. 1H dan 13C-NMR; UV-Vis; dan GC-MS menunjukkan F4.3 adalah C6H6O3 yaitu floroglusinol. Floroglusinol mempunyai aktivitas antibakteri melawan S. aureus sama kuatnya dengan klorampenikol dengan nilai MIC yaitu 64 𝜇g/mL, namun sampel F4.3 bersifat parsial sebagai antibakteri. Berdasarkan spektr. 1H dan 13C-NMR, 2D NMR dengan DEPT; HMBC; HMQC; dan 1H-1H COSY, spektr. UV-Vis dan IR, dan ToF ESI-MS menunjukkan F2.3.9 mempunyai rumus molekul C30H37NO6 yaitu sitokalasin D.

Albertisia papuana Becc is tropical plants that belong to the family of Menispermaceae. It was known as medicine, such as an antibiotic/antibacteria. Besides plants, microorganisms including endophytic fungi also can produce antibiotics. Endophytic fungi live in their host plant. Endophytic fungi have abundant number in the world (1.5 million compared to approximately 300 thousands of plant). They can produce diversity of bioactive metabolites. The other hand, they have not been maximized exploration yet. This study was conducted for screening and isolating of bioactive compounds of endophytic fungi from A. papuana as antibiotics. This research activities obtained 15 isolates of the endophytic fungi. The isolates are from the stem and leaf, 8 and 7 isolates respectively.
Screening of antibacterial activity with TLC bioassay obtained two isolates which have the most active as antibacterial, there are DAP KRI-5 and BAP KRI-8. Separation and purification obtained two pure compounds from KRI DAP-5, there are F4.3, and F2.3.9. The results of structure elucidation by spectr. 1H and13C-NMR, UV-Vis, and GC-MS showed F4.3 is C6H6O3, phloroglucinol. Phloroglucinol has antibacterial activity against S. aureus as well as chloramphenicol with MIC value are 64 𝜇g/mL, but F4.3 partially activity as antibacterial agent. Based on spectr. 1H and 13C-NMR, 2D NMR with DEPT; HMBC; HMQC; and 1H-1H COSY, spectr. UV-Vis and IR, and ToF ESI-MS showed F2.3.9 is C30H37NO6, cytochalasin D.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T35558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Tilaqza
"ABSTRAK
Sekitar 50% peresepan antibiotik tidak rasional berdasarkan data dari WHO,
dimana hal ini akan menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas, biaya
pengobatan, efek samping dan resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi pola peresepan antibiotik dan faktor-faktor yang berhubungan
dengan peresepan antibiotik yang rasional di seluruh puskesmas kecamatan kota
Depok. Rancangan penelitian yang digunakan adalah potong lintang. Sampel
penelitian terdiri dari seluruh dokter, tenaga kefarmasian, resep antibiotik per oral
dan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) periode Oktober
– Desember 2012. Analisis data dilakukan dengan uji chi square dan analisis
regresi logistik. Berdasarkan hasil analisis diketahui pola peresepan antibiotik
yang paling banyak diresepkan berdasarkan jenis antibiotik adalah amoksisilin
(73,5%) dan kotrimoksazol (17,4%), berdasarkan jenis penyakit adalah faringitis
akut (40,2%) dan ISPA tidak spesifik (25,4%), berdasarkan jenis kelamin pasien
adalah perempuan (54,4%), dan berdasarkan usia yakni antara 19-60 tahun
(45,4%). Dari 392 resep diketahui 56,1% tidak memenuhi kriteria kerasionalan
peresepan antibiotik yakni dalam hal pemilihan antibiotik (22,7%), durasi
pemberian (72,3%), frekuensi pemberian (3,2%), durasi dan frekuensi pemberian
(1,8%).Dokter yang pernah mengikuti pelatihan 2,014 kali lebih rasional
dibandingkan dengan dokter yang tidak pernah mengikuti pelatihan. Dokter
dengan masa kerja singkat (< 7 tahun) 3,952 kali lebih rasional dalam peresepan
antibiotik dibandingkan dengan masa kerja lama (> 7 tahun). Penelitian ini juga
menunjukkan peran tenaga kefarmasian dalam peresepan antibiotik rasional
belum bisa dilakukan karena kendala keterbatasan tenaga. Oleh karena itu perlu
dilakukan pelatihan kepada dokter dalam upaya meningkatkan peresepan
antibiotik yang rasional secara periodik dan penambahan tenaga kefarmasian agar
bisa melaksanakan peran dalam peresepan antibiotik rasional.
ABSTRACT
Approximately 50% of antibiotic prescribing is categorized as irrational according
to the data from the WHO, which will cause an increase in morbidity, mortality,
cost of medication, side effects, and resistance. The aim of this study was to
evaluate antibiotic prescribing patterns and factors associated with rational
antibiotic prescribing at public health care in Depok. Study design used a cross
sectional method. The sample consisted of physicians, pharmacists, oral antibiotic
prescriptions, and LPLPO from October to December 2012. Data were analyzed
by chi-square test and logistic regression analysis. Based on the results of
analysis, the most widely prescribed antibiotic pattern based on type of antibiotic
were amoxicillin (73.5%) and cotrimoxazole (17.4%), based on the type of
disease were acute pharyngitis (40.2%) and non-specific respiratory infection
(25.4%), based on the patient's gender was female (54.4%), and based on the age
was between 19-60 years (45.4%). About 56.1% of 392 prescriptions was found
not to meet the criteria for rational antibiotic prescribing in the case of antibiotic
selection (22.7%), duration of administration (72.3%), frequency of
administration (3.2%), duration and frequency of administration (1.8%).
Physicians who had attended training for rational drug use was 2,014 times more
rational than physicians who had never attended training. Physicians with short
working period (<7 years) was 3,952 times more rational in prescribing of
antibiotics compared to physicians with a longer working period (> 7 years). This
study also indicated that the role of pharmacist in rational antibiotic prescribing
could not be implemented due to the lack of pharmacist staff. Therefore,
periodically training is necessary for physicians in an effort to improve a rational
antibiotic prescribing in public health care. Additional staff of pharmacist in order
to carry out their role in rational antibiotic prescribing is also needed."
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T38415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyana
"Di Indonesia, antibiotik masih sangat mudah didapatkan di apotek-apotek tanpa resep dokter. Perilaku petugas apotek menjadi faktor penting yang berperan dalam maraknya swamedikasi antibiotik di apotek. Edukasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki perilaku petugas apotek dalam praktek swamedikasi antibiotik. Hingga saat ini belum ditemukan jenis media yang paling efektif untuk memperbaiki praktek swamedikasi antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pemasangan media banner dalam memperbaiki praktek swamedikasi di apotek. Penelitian merupakan pre-eksperimental multicenter-one group pre-test post-test design. Sampel terdiri dari 79 apotek yang tersebar di wilayah Depok. Metode pseudopatient digunakan untuk mendapatkan data berdasarkan pelayanan oleh petugas apotek atas permintaan antibiotik tanpa resep untuk penyakit ISPA tanpa komplikasi. Data yang direkam dan didokumentasikan diambil pada sebelum dan 1 bulan sesudah pemasangan banner. Data dianalisis secara statistik menggunakan SPSS 18,0. Antibiotik yang paling sering diberikan adalah amoksisilin 500 mg generik. Terdapat perbedaan bermakna pada pemberian informasi obat oleh petugas apotek pada sebelum dan 1 bulan setelah pemasangan banner (p ≤ 0,05).Pemasangan media edukasi banner tidak terbukti efektif dalam memperbaiki praktek swamedikasi antibiotik di apotek. Informasi dalam media edukasi banner hanya mampu memperbaiki informasi obat yang disampaikan oleh petugas apotek dan tidak memperbaiki perilaku petugas dalam pelayanan swamedikasi antibiotik.

In Indonesia, antibiotics could easily be obtained without a prescription from community pharmacies. Pharmacy workers behavior can be a substantially factor impacting antibiotics self-medication practices in community pharmacies. Education is one of way to improve pharmacy workers behavior in antibiotics self-medication practices. Appropriate media used to improve antibiotics self-medication practices effectively has not provided yet. The aim of this study was to analyse the effectiveness of banner setting to improve antibiotics self-medication practices in community pharmacies. This study was pre-experimental multicenter-one group pre-test post-test design. Sample was 79 community pharmacies spread in Depok. Pseudopatient method was used to obtain data based on pharmacy worker’s behavior to dispense antibiotics without prescription for uncomplicated URTI. Data was recorded and documented before and after the 1 month intervention. Data was analysed with SPSS 18.0. Result showed that antibiotic that mostly given was generic amoxicillin 500 mg. Significant difference was seen in the type of information that provide by pharmacy worker before and after 1 month banner setting (p ≤ 0.05). Banner educational media setting were ineffective to improve antibiotics self-medication practices in community pharmacies. Information provided in banner could improve the drug information that given by pharmacy worker, but could not improve pharmacy worker’s behavior in antibiotics self-medication practices.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T35393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>