Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88837 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Masyarakat Bayan selalu percaya terhadap simbol-simbol tertentu dalam mempertahankan tradisinya. Kebiasaan tersebut membuat masyarakat Bayan lebih tenang, aman dan sejahtera. Kepercayaan yang dilakukan oleh masyarakatnya masih berdasarkan keyakinan tradisional dari leluhur disebut kepercayaan Wetu Telu."
2014
902 JPSNT 21:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Pulau Lombok salah satu pulau dihuni oleh berbagai etnik seperti Sasak, Bali, Madura, Samawa, Mbojo, dan Sunda. Sebelum masuknya pengaruh-pengaruh agama ke Pulau Lombok, bahwa suku asli Lombok sudah memiliki suatu keyakinan seperti melakukan persembahan pada roh atau jiwa dan benda-benda yang dianggap keramat yang tetap menyatu pada tradisi leluhumya yang disebut kepercayaan Wetu Telu. Adanya transformasi pemahaman terhadap Wetu Telu disebabkan adanya perbedaan kajian serta pandangan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam keyakinan penganut Wetu Telu Suku Sasak terhadap budaya Iain dalam suatu ajaran sehingga memunculkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan (das sein) dalam mempertahankan kearifan lokal budaya Suku Sasak. Kesenjangan tersebut menimbulkan resistensi Wetu Telu Suku Sasak yang menyebabkan peneliti tertarik untuk mengkaji hubungan yang terjadi pada masyarakat Suku Sasak di Lombok Nusa Tenggra Barat. Dengan demikian peneliti tenarik mengangkat permasalahan ”Bagaimana resistensi Wetu Telu Suku Sasak terhadap hegemoni pemerintah di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara”. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan resistensi Wetu Telu Suku Sasak terhadap hegemoni pemerintah, sedangkan kegunaan secara teoretis menambah khasanah keilmuan dan secara praktis memberikan kontribusi pembuatan kebijakan yang berdasarkan nilai-nilai budaya Iokal. Kajian pustaka yang digunakan adalah ”melacak akar sejarah Waktu Telu oleh Zaelani, Islam Sasak oleh Budiwanti, Suku terasing di Bayan oleh Adonis, dan Kajian Waktu Telu Suku Sasak oleh Rasti. Metode Penelitian dalam pengambilan data menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumemasi sedangkan teknik analisa data bersifat deskriftif interpretatif. Dari hasil penelitian tentang resistensi Wetu Telu Suku Sasak terhadap hegemoni pemerintah meliputi : Pertama, resistensi Wetu Telu Suku Sasak terhadap wacana politik pemerintah tentang wacana pemerintah bahwa setiap umat beragama agar tetap menerapkan ajaran sesuai petunjuk kitab suci Al-quran dan Hadist; Kedua, resistensi Welu Telu Suku Sasak terhadap kekuasaan pemerintah dalam hegemoni lahan yaitu banyaknya masyarakatl yang tinggal di Desa Senaru Kabupaten Lombok sehingga menimbulkan kecemburuan pada masyrakat setempat. Keliga, resistensi Wetu Telu Suku Sasak terhadap eksploitasi budaya dalam ajang pariwisata terjadi penolakan oleh Tokoh Adat Wetu Telu Suku Sasak resistensi Wetu Telu Suku Sasak terhadap peserta diklat penyuluh agama dan belajardi Pondok Pa yaitu belum sepenuhnya masyarakat Wetu Telu Suku Sasak berkenan anak-anaknya sekolah mau belajar di Pondok Pesantren karena dikhawatirkan dapat merubah bahkan melunturkan tradisi 3 mengakar dari ajaran Ieluhurnya."
JPSNT 20:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Kironosasi W.
"Studi ini mempelajari stereotip dan prasangka dalam komunikasi antar kelompok yang merupakan kajian studi komunikasi antar budaya. Studi yang membahas masalah stereotip dan prasangka antar sukubangsa memang sudah banyak dilakukan, namun studi yang membahas masalah stereotip dan prasangka dari orang Bali dan orang Sasak belum banyak dilakukan. Studi ini lebih menekankan pada masalah situasional, yaitu situasi komunikasi dan situasi kelompok, oleh karena itu unit pengamatannya adalah interaksi antar kelompok--yaitu antara sukubangsa Bali dan sukubangsa Sasak.
Dalam kajian komunikasi (interaksi) antar kelompok, data atau informasi mengenai lawan interaksi menjadi penting terutama stereotip mengenai sukubangsa yang satu terhadap sukubangsa lain merupakan landasan dalam berinteraksi (berkomunikasi).
Mengingat adanya perbedaan dalam hal nilai-nilai (persepsi), bahasa, stereotipstereotip dan prasangka, pandangan hidup, sikap, pola non-verbal serta orientasi nilai antara sukubangsa Bali & Sasak diduga dapat menyebabkan munculnya kesalahpahaman antarbudaya. Oleh karena itu dianggap perlu untuk melakukan suatu kajian ilmiah terhadap interaksi yang terjadi antara kedua sukubangsa tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1) bagaimanakah pandangan stereotip & prasangka sukubangsa Bali terhadap sukubangsa Sasak; 2) bagaimanakah pandangan stereotip & prasangka sukubangsa Sasak terhadap sukubangsa Bali; dan 3) bagaimanakah & mengapa stereotip & prasangka dapat mempelancar atau mengharnbat interaksi antara kedua sukubangsa tersebut; serta 4) bagaimanakah gaya komunikasi antara kedua sukubangsa tersebut di dalam interaksi mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualtitatif.
Temuan penelitian menggambarkan bahwa sukubangsa Bali walaupun sudah menetap di Lombok khususnya di Cakranegara (Mataram-Lombok Barat) sejak lama., namun mereka masih sangat ketat dalam menjalankan nilai-nilai dan aturan-aturan yang berlaku dalam kebudayaan masyarakatnya. Bahkan menggunakan bahasa Bali halus dan sebutan kebangsawanan relatif penting bagi mereka. Pada saat berinteraksi salah dalam menggunakan bahasa terutama bagi orang Sasak yang bukan bangsawanan dengan orang Bali bangsawan dapat menimbulkan kesalahpahaman komunikasi antara kedua sukubangsa tersebut. Sehingga dalam berinteraksi informasi (data kultural, sosiologi dan psikologi) mengenai lawan interaksi menjadi sangat panting. Namun dalam berinteraksi antara sukubangsa Bali dan sukubangsa Sasak stereotip dan prasangka pada situasi-situasi tertentu dapat diredam. Gaya komunikasi mereka cenderung kaku dan resmi. Dalam hal ini perbedaan nilai-nilai, bahasa, serta adanya stereotip & prasangka pada situasi persaingan (konfhk) dapat menghambat komunakasi di antara mereka dan pada situasi keijasama atau akomodasi perbedaan tersebut dapat diredam. Dalam konflik sukubangsa Bali cenderung mengaktifkan kesukubangsaan sementara itu sukubangsa Sasak mengaktifkan keagamaan."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aini Kurniati
"ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi yang ada di dalam Banjar Kaja serta faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukannya. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan metode analisis jaringan komunikasi khusus dalam kaitannya dengan dimensi-dimensi teori yang mengkaji masalah struktur sosial pada arus informasi. Sumbangan praktis penelitian ini adalah memperkaya hasil-hasil penelitian dalam rangka mengidentifikasi hambatan-hambatan bagi berlangsungnya proses di dalam mempertahankan nilai-nilai budaya Bali.
Penelitian ini bersifat deskriptif dan eksploratif, dan merupakan studi kasus, yaitu menggunakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan ("wholeness") dari objek yang diteliti. Informan penelitian ditentukan menurut "sampling intact system", yaitu mengambil satu jaringan komunikasi yang menghubungkan lebih dari 50 titik-titik hubungan dalam satu sistem.
Data untuk penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Data tentang jaringan komunikasi sosial diperoleh melalui metode "survey sociometry". Eksplorasi kualitatif dilakukan untuk menunjang strategi penelitian yang menyeluruh, yaitu selain mengadakan wawancara, juga menjalankan pengamatan langsung atau komunikasi sehari-hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan antara warga anggota Banjar dan bukan ataupun pendatang dalam menentukan anggota-anggota dari pihak kelompok masyarakat lain sebagai pasangan diadik yang menduduki prioritas pilihan utama. Klik-klik yang terbentuk berjumlah seluruhnya 9 klik yaitu 1 klik besar dan 8 klik kecil, yang dihubungan satu dengan lainnya oleh jalinan-jalinan komunikasi yang lemah atau rendah kedekatannya. Identifikasi dari peranan - peranan individual yang ditemukan adalah penghubung (liasion), jembatan (bridge), pemencil (isolate) dan bintang (star). Ada beberapa faktor yang yang mempengaruhi pembentukan jalinan komunikasi yaitu kedekatan jarak fisik, homo dalam latar belakang sosial budaya, dan kesamaan dalam karakteristik-karakteristik sosial budaya yang lebih berperan. Ditemukan kenyataan secara menyolok bahwa faktor usia tidak menentukan bentuk jaringan komunikasi masyarakat Banjar Kaja. Tingkat pendidikan juga tidak mempunyai peran yang cukup berarti dalam menentukan pilihan-pilihan sosial di sini."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iis Yulianti
"Kerangka pemikiran dari penelitian ini menggunakan teori coordinated management of meaning dari Pearce dan Cronen serta dilakukan dengan pendekatan kajian budaya dan teori perubahan sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pikukuh sapuluh merupakan pancaran dari kepercayaan dan agama yang dianut oleh suku Baduy Luar. Isi terpenting dart pikukuh Baduy tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harfiah. Dan ternyata suku Baduy Luar membuat interpretasi dan bertindak berdasarkan aturan-aturan yang telah ditentukan. Suku Baduy bertindak atas dasar pemahaman mereka dengan menggunakan aturan-aturan untuk memutuskan jenis tindakan yang sesuai.
Pengertian suku Baduy terhadap makna teks pikukuh sapuluh dipengaruhi oleh hubungan suku Baduy dengan teks tersebut. Dan hubungan itu pada gilirannya dipengaruhi oleh teks itu sendiri. Pikukuh sapuluh telah memberikan sebuah rasa bagaimana interpretasi dan tindakan suku Baduy tampak logis atau sesuai dalam situasi tertentu.Rasa inilali yang disebut daya logika.
Pada day pregurative, suku Baduy melaksanakan ketentuan adatnya karena adanya daya kausal. Artinya orang-orang terdahulu (nenek moyang atau karuhun) mereka telah mewariskan pikukuh sapuluh ini untuk dijalankan oleh generasi penerus mereka. Pada sebagian generasi muda Baduy tentu saja hal ini menjadi tekanan karena pada satu sisi mereka tak terlepas dari penetrasi sosial masyarakat di filar Baduy. Pengkoordinasian makna terjadi secara baik karena apa yang diwariskan oleh leluhur dilakukan sepenuhnya oleh suku Baduy Luar.
Daya Praktis merupakan sebuah perkaitan tindakan dengan konsekwensi di mana suku Baduy berperilaku dengan suatu cara tertentu untuk mencapai suatu kondisi dimasa depan. Ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada dan terjangan arus globalisasi serta harapan untuk merubah kondisi yang ada, telah membuat adanya berbagai perubahan. Perubahan-perubahan tersebut sebenarnya tidak diperbolehkan karena tidak sesuai dengan ketentuan adat.
Daya kontekstual merupakan sebuah tekanan dari konteks. Di sini, suku Baduy percaya bahwa tindakan atau interpretasi adalah sebuah bagian alamiah dari konteks. Di dalam konteks dari konsep diri suku Baduy, misalnya, pada suku Baduy dilarang untuk bersekolah atau mengenyam pendidikan formal, akan tetapi pada kenyataannya banyak sekali generasi muda Baduy yang pandai membaca dan menulis. Pendidikan formal memang dirasa tidak diperlukan, hanya mungkin sekedar bagian dari siapa suku Baduy. Ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berada di luar mereka, suku Baduy bisa menunjukkan bahwa ternyata mereka juga tak ada bedanya dengan orang di luar mereka. Mereka juga tidak bodoh dan mampu mengimbangi orang-orang yang menyatakan dirinya modern.
Daya implikatif, disini suku Baduy bertindak untuk menciptakan sebuah konteks baru atau merubah konteks yang sudah ada. Tindakan-tindakan yang berimplikasi terhadap kehidupannya dan ini memainkan peranan dalam kehidupan suku Baduy. Untuk proses sosialisasi pikukuh itu sendiri dilakukan melalui penjelasan tetua adat (Puun) yang dilaksanakan setahun sekali dan akhirnya proses transferisasi dilakukan oleh pihak keluarga melalui pola pengasuhan. Sistem kontroling melalui pemberian sanksi sangat membantu juga.
Pada intinya bahwa pikukuh sapuluh tersebut konsisten di sepanjang putarannya, putaran inilah yang disebut dalam teori coordinated management of meaning sebagai charmed atau menyesuaikan diri. Adapun implikasi teoritis dari penelitian ini bagi perkembangan ilmu komunikasi adalah menambah khasanah pada kelompok (cluster) teori pemaknaan yang dipakai di Departemen Ilmu Komunikasi khususnya Program Pascasarjana UI.
Pada akhirnya peneliti berharap teks pikukuh sapuluh bisa menjadi legal drafting di bidang hukum sebagai sebuah kearifan lokal karena ia telah terbukti bisa menjaga keseimbangan alam dan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat Baduy."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutuhatunewa, Alex Robert
"ABSTRAK
Konflik antar kelompok (bukan kelompok agama) bukanlah hal baru bagi masyarakat Maluku. Namun, konflik yang terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999 hingga kini Juni 2000 saat tesis ini diselesaikan), benar-benar hal baru dan memalukan bagi orang Maluku. Demikian tanggapan responden pada saat dilakukan penelitian lapangan (1999). Betapa tidak, selama ini masyarakat Maluku dikenal sangat toleran dan harmonis dalam hidup bersama dengan orang lain yang memiliki latar belakang budaya, etnis dan agama yang berbeda. Orang Maluku telah mempraktekkan bagaimana hidup sebagai manusia antar budaya melalui budaya Pela yang mereka punyai.
Kini, pranata ini (Pela) diragukan perannya, terutama berkaitan dengan konflik yang terjadi yang hingga saat ini belum dapat didamaikan. Padahal, selama ini Pela berhasil memperlihatkan fungsinya sebagai usafety valve" dalam menjembatani perbedaan di masyarakatnya.
Untuk menyelidiki sikap pesimistis masyarakat tentang peran budaya pela tersebut, maka studi ini dilakukan dengan fokus pada model komunikasi antar masyarakat pela serta perannya dalam pengelolaan konflik yang terjadi. Kajian ini dilakukan dengan mengacuh pada model komunikasi konvergensi (Convergence Model of Communication) dari Roger dan Kincaid (1981, dalam Revianti, 1986) sebagai tools of analysis, disamping teori Perubahan Sosial dan Integrasi Sosial dari Durkheim (Laeyendecker, 1983) dan sejumlah pikiran ilmuan Iainnya seperti Samovar dkk.(1981).
Dari hasil studi ini, ternyata ada hal yang mendasar yang perlu dipahami yakni, wilayah konflik dan wilayah dimana pranata pela hidup dan bertumbuh ternyata berbeda. Konflik terjadi pada wilayah masyarakat dengan struktur yang heterogen. Pada masyarakat ini, perubahan sosial terjadi begitu cepat, tetapi tidak diikuti dengan perbaikan struktur (kelembagaan) dan kebijakan yang mendukungnya. Kecuali itu, model komunikasinya pun beragam. Faktor situasi dan tujuan komunikasi sangat berpengaruh terhadap model komunikasi masyarakatnya. Sebaliknya, wilayah dimana pela hidup dan bertumbuh berada pada masyarakat dengan struktur yang homogen.
Masyarakat homogen selalu hidup dalam suasana toleran dan harmonis. Mereka memiliki lembaga-lembaga sosial (lokal) yang kuat yang menopang berjalannya sistem sosial di masyarakat.
Perubahan sosial berjalan lambat dan masyarakatnya begitu taat kepada tatanan norma dan nilai yang berlaku. Model komunikasi masyarakatnya tidak berorientasi pada tujuan, tetapi pada apa yang hendak dicapai bersama.
Dengan demikian, komunikasi yang terjadi tidak banyak menimbulkan persepsi terhadap pesan yang disampaikan karena mereka memiliki kesepakatan bersama terhadap simbol-simbol komunikasi yang mereka gunakan beserta maknanya. Makna atas pesan pun tidak bias. Proses Komunikasinya tidak linear (sumber ke penerima), tetapi sirkuler.
Artinya dengan model sirkuler, maka komunikasi dilihat sebagai suatu proses sampai masing-masing pihak saling memahami (bandingkan: Roger & Kincaid, dalam Revianti,1986).
Untuk mendapat data atas permasalahan yang ada, studi ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan pendekatan ini diharapkan akan dapat ditulis secara sistimatis pela dengan berbagai latar belakang dan perkembangannya, perannya di masyarakat, model komunikasi antar masyarakatnya, persepsi masyarakat tentang pela itu sendiri dan berbagai hal lainnya. Kecuali itu, demikian halnya konflik yang terjadi. Kesemuanya diharapkan dapat dijelaskan secara faktual dan cermat, untuk kemudian menemukan hakekat Pela yang sebenamya dan perannya dalam pengelolaan konflik di Maluku. Dengan tipe penelitian ini diharapkan akan dapat dipahami persoalan pela dan konflik pada latar alamiahnya atau pada konteks dari suatu keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dad. konteksnya.
Studi ini menyimpulkan bahwa, kedepan, model komunikasi pela tetap dapat digunakan untuk mengelola konflik di Maluku dengan dua syarat.
Pertama, Pola hubungan masyarakat pela harus direvitalisasi demi memberi ruang dan kesempatan bagi anggota masyarakat lain dari etnis dan budaya yang ada di Maluku, sebagai akibat berubahnya struktur masyarakat. Dengan demikian, semangat yang melatarbelakangi lahirnya pela tidak lagi sebatas semangat negeri-negeri tetapi harus diartikulasikan bare menjadi semangat masyarakat kebanyakan.
Kedua, Bersamaan dengan proses revitalisasi, maka proses konvergensi harus berjalan bersamaan. Proses ini dimaksudkan untuk mencari kesamaan dari simbol-simbol komunikasi yang ada di masyarakat plural dengan simbol-simbol komunikasi di masyarakat pela, untuk diarahkan pada satu kesepahaman makna serta tujuan komunikasi bersama di masyarakat.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Kirana Fardiansyah
"Kehadiran subkultur dalam kehidupan masyarakat perkotaan merupakan salah satu dampak dari mobilitas yang dinamis dan heterogenitas budaya dalam suatu waktu. Dalam masyarakat secara keseluruhan ada budaya yang diterima dan dipahami, namun ada juga bagian lain dari budaya yang menyimpang dari budaya normatif kemudian menyatu sebagai suatu kelompok masyarakat yaitu subkultur. Salah satu subkultur yang dapat diamati pada media sosial di Indonesia adalah “Jamet”. “Jamet” merupakan singkatan dari “Jawa metal” yang artinya seseorang yang ingin bertingkah keren dengan menggunakan atribut musik metal dan memiliki tampilan visual seperti orang Jawa. Salah satu alasan keberadaan kata “Jamet” adalah video “Badinding” oleh akun @yusuf.shikuyus di platform TikTok yang sukses menghibur penonton. Di sosial media TikTok, “Jamet” ditandai dengan penampilan yang dianggap berbeda dari yang lain; memiliki gaya rambut "lempar poni" yang diwarnai dengan cat cerah, mengenakan kemeja yang berukuran besar, dan celana pensil. Alhasil, istilah “Jamet” kini menjadi sebuah stereotip. Studi ini berusaha memotret penggunaan kata tersebut di TikTok, khususnya bila ditujukan kepada seseorang yang menimbulkan rasisme dan diskriminasi, terutama bagi etnis Jawa.

The presence of subcultures in the life of urban communities is one of the impacts of dynamic mobility and cultural heterogeneity at a time. In a society as a whole, there is a culture that is accepted and understood. Still, other parts of the culture deviate from the normative culture and then unite as a community group, namely subculture. One of the subcultures that can be observed on social media in Indonesia is “Jamet”. “Jamet” is an abbreviation of “Jawa metal”, which means someone who wants to be cool by using metal music attributes and has a visual appearance like the Javanese. One of the reasons for the existence of the word “Jamet” is because of “Badinding” video posted by @yusuf.shikuyus on TikTok platform. On TikTok, “Jamet” is characterized by an appearance that is considered different from the others; has a "throw bang" hairstyle dyed brightly, and wears an oversized shirt and pencil pants. As a result, the term “Jamet” has become a stereotype. This study attempts to portray the use of the word on TikTok, especially when it is directed to someone who causes racism and discrimination, especially the Javanese Ethnic."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisnu Zulianti
"Skripsi ini merupakan suatu penelitian tentang pengaruh perbedaan latar belakang budaya terhadap komunikasi. Skripsi ini terdiri dari empat bab. Bab pertama berisi penjelasan tentang latar belakang tema, permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian, sumber data, prosedur kerja, dan sistematika penyajian. Pada bab kedua, dikemukakan teori-teori yang digunakan untuk menganalisis data, yaitu teori tindak tutur dari Searle dan teori implikatur percakapan dari Grice.
Sumber data skripsi ini berasal dari sebuah karya Rudiger Siebert Wolken uber Borneo. Data yang dianalisis dibatasi hanya pada percakapan antara Siebert dengan orang-orang Indonesia. Analisis data ditempatkan pada bab ketiga. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perbedaan latar belakang budaya tidak selalu menghambat komunikasi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S14647
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Kartini Djojo
"Para ilmuwan dari pelbagai disiplin ilmu membahas fenomena komunikasi. Usaha para ilmuwan di atas sudah menghasilkan pendekatan, definisi, teori, paradigma tentang komunikasi. Studi yang sistematis atas fenomena komuniksi dilakukan dengan cara memfokuskan penelitian pada salah satu dari enam (6) komponen dalam proses komunikasi. Dalam penelitian ini, penulis memusatkan perhatiannya pada komponen komunikator yang terlibat dalam komunikasi massa. Charles Wright mendefinisikan komunikasi massa sebagai komunikasi yang ditujukan pada masyarakat yang heterogen dan anonim.
Membina komunikasi dengan masyarakat yang heterogen dan anonim cukup sulit mengingat masyarakat yang heterogen cenderung memberikan makna yang beragam atas penyajian realitas yang disalurkan lewat interaksi simbolik. Keadaan ini mudah menimbulkan salah paham dan konflik. Untuk mencegah salah paham itu, komunikator harus mempertimbangkan cara-cara yang tepat dalam menyajikan pesan kepada masyarakat yang heterogen dan anonim.
Penelitian ini berupaya mengungkapkan cara komunikator media massa menyajikan pesan kepada kelompok pembaca. Kalau cara penyajian peristiwa lewat media massa bisa terungkap lewat studi ilmiah ini maka hal ini bisa menjadi pegangan bagi studi berikutnya yang juga membahas komunikasi dari sudut pandang komunikator.
Studi ilmiah ini harus dapat menghasilkan mekanisme mengenai cara menyajikan pesan kepada masyarakat yang heterogen. Mekanisme itu didasarkan pada pengamatan empiris yang sistematis dan obyektif sehingga dapat dijadikan pegangan untuk studi yang lain. Dalam upaya menghasilkan mekanisme tentang cara penyajian pesan lewat media massa, penulis melakukan studi komparatif atas tiga (3) media massa yang ada di Jakarta. Studi ilmiah inn didasarkan atas data empiris yang diperoleh melalui metode analisis isi. Studi analisis isi ini difokuskan pada sampel sebanyak 69 berita yang diambil dari populasi 276 berita. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Analisis isi terhadap 69 sampel berita mengungkapkan bahwa ketiga surat kabar itu menggunakan cara yang bervariasi dalam menyajikan pesan kepada kelompok pembaca. Ketiga variasi dalam penyajian pesan diungkapkan lewat studi komparatif yang didasarkan pada konsep High Context (HC) dan Low Context (LC) yang dikemukakan oleh Edward T. Hall. Studi komparatif itu menghasilkan variasi High Context-Medium Context-Low Context dalam penyajian realitas. Analisis isi atas sampel itu juga mengungkapkan bahwa komunikator media massa mempunyai kecenderungan untuk menggabungkan dua variasi penyajian peristiwa. Sebagaimana dikemukakan oleh Edward T. Hill bahwa gejala inkonsisten yang diajukan oleh komunikator dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengatasi krisis dalam penyajian pesan.
Dengan demikian konsep HC dan LC yang dirumuskan oleh Edward T. Hall untuk komunikasi interpersonal ternyata sangat relevan untuk diterapkan dalam komunikasi massa. Dalam mempelajari komunikasi interpersonal, Edward T. Hall mengkaitkan konsepnya dengan sistem organisasi dalam masyarakat yang membina HC atau LC. Studi komparatif atas tiga surat kabar mengungkapkan bahwa sistem organisasi tersebut dapat diterapkan pula pada sistem organisasi media massa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Isnaini
"Penelitian ini membahas tentang komunikasi organisasi, kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu faktor yang menentukan organisasi dapat hidup, sukses dan efektif. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukan yang baik bagi pengelolaan perpustakaan perguruan tinggi khususnya pada komunikasi organisasi, dimana dengan komunikasi yang baik menjadikan kinerja perpustakaan menjadi lebih baik. Pimpinan dengan seluruh anggota organisasi di harapkan dapat berkomunikasi secara terbuka, penuh kejujuran, dan keadilan. Disamping itu yang tidak kalah pentingya dalam suatu organisasi adalah budaya organisasi, dimana dengan komunikasi yang baik di harapkan membantu budaya kerja organisasi menjadi semakin baik. Metode dalam penelitian ini adalah bersipat deskriptif dengan pendekatan secara kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengamatan dan dokumentasi.
This research is about the organizational communication. Communication is one of the factor that determine the successful, effectivity and enduring of the organizational. The objective of this research is to suggest good college library management especially for organizational communication which good communication makes better library performance. The leader and all the employees are expected to do open communication, full of honest and fairness. Besides that last but not least in an organization, organizational culture is also important, which by doing good communication the culture of working organization become better. The research is descriptive with qualitative approach, data collection was conducted by in-depth interviews, observation and documentation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
T28879
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>