Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142784 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Teknik Renografi menggunakan Alat Renograf adalah salah satu modalitas pemeriksaan fungsi ginjal selain dengan pemeriksaan laboratorium dan teknik Sinar-X. Renograf IR-03 untuk pemeriksaan fungsi ginjal hasil rancangbangun BATAN telah dikonstruksi dan menjalani uji laboratorium di PRPN-BATAN Serpong dan uji klinis di RSUP DR.Sardjito Jogyakarta. Biaya yang berkaitan dengan pemakaian klinik Alat Renograf di rumahsakit telah dianalisis yang terdiri dari komponen nilai radiofarmaka dan nilai investasi alat Renograf. Perhitungan biaya radiofarmaka hippuran 131Iodine per tahun dengan estimasi jumlah pasien 2000 orang sebesar Rp. 30 juta, Total Direct Cost adalah Rp. 212,5 juta dan biaya modal satu Alat Renograf sebesar Rp. 250 juta. Nilai Titik Impas (Break Event Point) Investasi satu Alat Renograf adalah 1194 (0,597%) atau setara Rp. 209,475 juta, dengan biaya per prosedur adalah Rp. 85.000,-. Harga ini tergantung pada beberapa variable terutama volume (kapasitas pelayanan pasien).
Perhitungan analisis Cash-Flow untuk melihat seberapa jauh investasi tersebut menarik dan memberi prospek ke masa depan menunjukkan nilai Rate of Return yang diperoleh yaitu ROR ( i*) adalah 22,6%, jauh diatas suku bunga simpanan Bank saat ini yaitu <10%. Perhitungan analisa Payback Period menunjukkan nilai 1,818 tahun, sangat prospektif secara ekonomi. "
610 JKY 20:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Suparman
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1991
S18175
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitta Yustisia
"Anggaran berbasis kinerja merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang berorientasi pada kinerja, kebijakan ini bertujuan untuk menumbuhkan fleksibilitas pengelolaan anggaran dalam mencapai hasil yang optimal. Dalam hal ini, program dan kegiatan harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan dalam rencana. Badan Layanan Umum merupakan kebijakan yang dibuat pemerintah sebagai program dari Anggaran Berbasis Kinerja yang memiliki arti untuk mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat, pelaksanaan anggaran berbasis Badan Layanan Umum berawal dari dibuatnya Rencana Strategis Bisnis yang kemudian diimplementasikan ke dalam Rencana Bisnis dan Anggaran. Pada kebijakan Badan Layanan Umum ini pemerintah memberikan fleksibilitas kepada RSUP Fatmawati dalam mengelola keuangannya, akan tetapi pemerintah memiliki tanggungjawab kepada masyarakat untuk mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat dengan memberikan anggaran kepada RSUP Fatmawati. Anggaran yang diberikan oleh pemerintah hanya 20% dari dana APBN, hal tersebut menuai permasalahan dalam RSUP Fatmawati dan membuat RSUP Fatmawati menarik pendapatan dari jasa pelayanan dan lain-lainnya.

Performance-based budgeting is a policy made by government performanceoriented,this policy aims to foster flexibility in budget management to achieve optimal results. In this case, programs and activities should be directed to achieve the outcomes and outputs specified in the plan. Public Service Board is a policy made by the government as a program of Performance Based Budgeting that has meaning to the intellectual and the welfare of society, the implementation of the Public Service Board based budgeting starts from a Business Strategic Plan made then implemented in the Business Plan and Budget. In the Public Service Board's policy gives the government the flexibility to RSUP Fatmawati in managing its finances, but the government has a responsibility to the public to educate and welfare of the community by providing a budget to RSUP Fatmawati. Budget provided by the government only 20% of the state budget, it is reaping the problems in RSUP Fatmawati interesting and make revenue from services and others."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46014
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Eka Nuryanto A.
"Penelitian ini bermaksud untuk melakukan analisa biaya untuk memperoleh harga pokok jasa pelayanan kesehatan cuci darah di Unit Hemodialisa Rumah Sakit "X". Tujuan akhir yang hendak dicapai dari analisa biaya yang dilakukan adalah untuk membantu penetapan tarif jasa pelayanan kesehatan cuci darah di Unit Hemodialisa Rumah Sakit "X" sehingga penetapan tarif jasa pelayanan kesehatan cuci darah dapat dilakukan dengan lebih baik. Penelitian dilakukan dengan melakukan observasi langsung di lapangan. Yang menjadi objek penelitian dari penulisan ini adalah Unit Hemodialisa di Rumah Sakit "X". Tarif jasa pelayanan kesehatan cuci darah di Unit Hemodialisa selama ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Penulis melakukan analisa biaya volume laba atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan untuk membantu penetapan tarif yang lebih baik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, penulis menyimpulkan bahwa penetapan tarif jasa pelayanan kesehatan cuci darah di Unit Hemodialisa selama ini kurang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya, dimana penetapan tarif tersebut kurang memperhatikan biaya untuk menghasilkan jasa tersebut. Penulis menyarankan agar pihak manajemen dalam mengusulkan penetapan tarif jasa pelayan cuci darah memperhatikan dengan baik besarnya biaya operasi Unit Hemodialisa sehingga tidak mengalami kerugian dalam operasinya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1996
S19115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Almost all district public hospital already has their own formulary. The aims of study are to obtain percentage of noncompliance with the public hospital formulary, to obtain the average additional cost be paid by outpatients as a result of noncompliance with the hospital formulary, and to obtain the average of the outpatient?s
ability to pay for treatment. A cross sectional study has been carried out to 120 patients in RSU Kabupaten K and 100 patients in RSU Kabupaten B. Subjects of the study were adult outpatients
with TB, hypertension and diabetes. Data were collected by well-trained district public hospital staff in interviewing patients. The questioner was first tried out to patients at RSU Kota Jakarta Timur. Data were analyzed by cost analysis. Results of the study are
Difference in drug item with formulary in RSU Kabupaten K is 66,7% for TB, 96,6% for hypertension; where as in RSU Kabupaten B 44,8% for TB, 82,3% for hypertension and 76,7% for diabetes.Average additional cost that must be paid by outpatients per encounter in RSU
Kabupaten K is Rp 10.060 for TB, Rp 26.552 for hypertension; while in RSU Kabupaten B is Rp 5.818 for TB, Rp 8.956 for hypertension and Rp 15.218 for diabetes. The average outpatient?s ability to pay for treatment in RSU Kabupaten K is Rp 19.807 and in RSU Kabupaten B is Rp 15.301, which are both less than outpatient treatment cost per encounter."
[Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Puslitbang Farmasi Badan Litbangkes Depkes RI], 2005
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sumiarsih Pujilaksani
"Peningkatan biaya pelayanan kesehatan merupakan permasalaban yang dihadapi oleh banyak negrua di belaban dunia. Di Indonesia, pada kurun waktu antara tahun 1995 1arnpai dengan tahun 2002, teloh teljadi kenaikan biaya pelayanan kesehatan yang !rastis. Biaya pelayanan kesehatan indonesia tahun 1995 tercatat 5.8 trilyun dan neningkat menjadi 41 ,8 tri1yun pada tahun 2002. Pengeluaran biaya pelayanan kesehatan li Amerika Serikat pada tahun 2011 nanti diperkirakan meneapai 2.8 trilyun usd, yang berarti naik dari 1.3 trilyun di tahun 2000.
Sehagai respons terhadap biaya pelayanan kesebatan yang terus meningkat, baik pemerintah ataupun perusahaan asuransi besar di berhagai negara mengembangkan berbagai upaya pengendalian biaya. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan nengembangkan sistem pembayaran prospektif sebagni altematif sistem pembayaran jasa per pelayanan (JPP).
Di Indonesia sistem pembayaran prospektif telah direrapkan oleh beberapa pihak penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan seperti PT. Jamsostek (persero) yang nenerapkan sistem pembayaran paket per hari (PPH) untuk kasus rawat inap, dan Dinas Cesehatan DKI Jakarta yang menerapkan sistem pemhayaran paket per diagnosis yang lisebut sebagai paket pelayanan kesebatan esensial (PPE).
Hasil yang diharapkan dari penerapan sistem pembayaran di atas adaloh biaya kasebatan menjadi lehih efisien ibandingkan dengan sistem JPP. Apakah sistem pembayaran tersebut efektif dalam 1engendalikan biaya rawat inap dibandingkan dengan sistem JPP l belum diketahui.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan di atas. Rancangan penelitian ini ada.iah penelitian survey yang analisisnya dilakukan ecara kuantitatif. Data yang digunakan adalah data primer berupa basil penelusuran okurnen rumah sakil. Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya illltuk kasus demam tphoid (tilus) dan demam berdarah denue (DBD) di kelas Ill RS X tahun 2005. Sampel enelitian adalah semua kasus tifus dan DBD yang dirawat di ke!as Ill yang tidak 1empunyai penyulit atau penyakit penyerta.
Penelitian ini melibatkan 437 kasus, yang terdiri dari 379 kasus DBD dan 54 asus tifus. Dari 437 kasus, ada sejumlah 298 merupakan jaminan Dinkes DKI, 92 kasus uninan PT. Jamsostek dan sisanya merupakan jaminan asuransi kesehatan atau erusahaan lain yang menerapkan sistem pembayaran JPP. Berdasarkan basil analisis cara univariat dan bivariat, didapatkan bahwa secara statistik ditemukan perbedaan ang signifikan antara lain hari rawat kasus DBD, pada kelompuk kasus yang dijumlah dengan sistem paket per hari dengan JPP. Berdasarkan hasil uji t independen antara kelompok sistem paket per diagnosis (PPE) dengan JPP, diperoleh basil adanya erbedaan yang signi:fikan antara rata-rata biaya rawat inap kelompok sistem PPE dengan PP. Hal ini berarti bahwa secara statistik terbukti sistem PPE yang diterapkan oleh tinkes DKI efektif untuk mengendalikan biaya rawat inap pada kasus tifus
Disarankan bagi universitas untuk beketjasama dengan organisasi profesi asuransi kesehatan, untuk melakukan penelitian serupa dengan ruang lingkup penelitian yang iperluas~ sebagai dasar pengembangan sistem pembayaran prospektif di Indonesia. Kepada Dinkes DKI Jakarta, disarankan agar seluruh tagihan rumah sakit dapat didokumentasikan secara lengkap dalam sistem data base sehingga dapat dimanfaatkan ntuk evaluas dan merubuat standar obat seperti yang dilaknkan oleh PT. Jamsostek sebagai tambahan usaha pengendalian biaya selain penerapan sistem pembayaran paket or diagnosis. Kepeda PT Iamsostek disarankan dapat meruperluas cakupan pelayanan kehatan dalam paket per hari, sehingga dapat lebih efektif. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T32463
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardo Rudy Surjanto
"ABSTRAK
Rumah Sakit HUSADA (dahulu bernama Rumah Sakit "Jang Seng Ie") yang terletak di Jalan Raya Mangga Besar 137-139 merupakan salah satu rumah sakit tertua di Jakarta yang didirikan pada tanggal28 Desember 1924 oleh Dr. Kwa Tjoan Sioe dengan tujuan membantu masyarakat miskin yang membutuhkan pertolongan khususnya dalam bidang kesehatan. Dalam perkembangannya sejalan dengan tujuan sosial dari pendiri, Rumah Sakit HUSADA menjadi sebuah Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat (IPSM) dibawah naungan Perkumpulan HUSADA sebagai suatu organisasi nirlaba. Kedudukan Rumah Sakit HUSADA sebagai Rumah Sakit Umum Pusat II wilayah Jakarta Pusat bagian Utara memegang peranan penting dalam fungsi dan tugas rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam sistem kesehatan nasional.
Dengan kapasitas sejumlah 530 (lima ratus tiga puluh) tempat tidur dan 164 diantaranya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu, Rumah Sakit HUSADA mencoba menerapkan sistem subsidi silang dalam penetapan tarif ruang perawatan rawat inap. Namun berdasarkan perhitungan tarif dan unit cost dari setiap kelas ruang perawatan tersebut diperoleh hasil bahwa pihak rumah sakit mengalami kerugian mencapai Rp 3 milyar per tahun. Artinya pendapatan dari tarif yang dikenakan kepada pasien tidak dapat menutup biaya operasional atas ruang perawatan rawat inap tresebut. Keadaan ini jelas tidak sehat bagi suatu organisasi terlebih dengan semakin minimnya sumbangan dari kaum dermawan ataupun pemerintah yang diterima oleh rumah sakit, hal ini jelas akan menyebabkan terhentinya kegiatan operasional pada suatu ketika pada saat rumah sakit tidak mampu lagi menutup defisit keuangan yang terjadi terus menerus.
Break even analysis terhadap jumlah hari rawat maupun tingkat pengisian tempat
tidur (BOR) serta tarif dibutuhkan untuk mengetahui secara pasti titik impas (break
even). Dengan mengetahui break even point (BEP) tersebut maka hasil tersebut dapat
dijadikan acuan guna mengurangi kerugian yang timbul dengan berusaha meningkatkan
jumlah pasien maupun penyesuaian tarifruang perawatan rawat inap sampai pada tingkat
tertentu. Perhitungan BEP tarif baik pada kondisi saat ini (BOR rata-rata 60%) maupun
skenario BOR rata-rata 50%, 70%, 80%, dan 90% dibuat sebagai asumsi dalam analisis.
Pada kenyataannya penetapan tarif tidak hanya berdasarkan unit cost semata tetapi juga harus memperhatikan marked based atau tarif rumah sakit swasta lain, sehingga tarif yang ditetapkan merupakan tarif yang kompetitif dan juga berada dalam aturan-aturan yang dibuat oleh Kanwil Depkes DKI Jakarta. Berdasarkan 3 (tiga) alternatifyang dibuat dengan memperhatikan situasi pesimis (BOR 50%), situasi normal (BOR 60%) serta situasi optimis (BOR 70%) diperoleh 3 macam tarifyang disarankan untuk ditetapkan oleh rumah sakit berdasarkan situasi yang diproyeksikan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah perlu adanya penyesuaian tarif ruang perawatan rawat inap di Rumah Sakit HUSADA sesuai dengan hasil analisis yang dilakukan guna mengurangi tingkat kerugian yang di alami saat ini dan dapat menjalankan konsep subsidi silang serta meningkatkan efisiensi penggunaan tempat tidur agar dapat menekan unit cost serendah mungkin."
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutauruk, Susi Mariana
"Survey BPS menunjukkan ballwa secara nasional, rata~rata biaya perbulan yang dikeluarkan rumah tangga untuk rawat jalan adalah Rp l5.667,00.- dan propinsi yang memiliki rata-rata biaya rawat jalan perbulan tertinggi adalah DKl Jakarta (Rp36.506,00.-). Sebenarnya biaya-hiaya tersebut dapat dikurangi hila masyarakat memiliki perilaku yang menguntungkan kesehatan dirinya dan keluarganya misalnya dengan menyusui bayinya secara ASI eksidusif srunpai 6 bulan tanpa makanan dan minuman lain kecuali obat dan vitamin, Pemerintah menargetkan penggunaan ASI eksklusif menjadi 80% pada tahun 2000 namun keoyataannya data SDKJ menUI1iukkan bahwa pada tahun 2002 terdapat hanya 39~5% ibu yang menyusui bayinya secara eksklusif dan bayi Indonesia rata-rata hanya mendapat ASI eksklusif sampai usia I ,6 bulan saja. Bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 4-5 bulan hanya 14%. Penelitian yang dilakukan Yayasan HeUen KeUer Intemasional tahun 2002 menunjukkan bahwa persentase Jama pemberian ASI ekslusif di Jakarta selama 4-5 bulan hanya 3%.
Penelitian ini merupakan evaluasi ekonomi yang bertujuan metlhat gambaran dan perbandingan biaya pemberian AS! eksklusif dan pemberian susu fonnuia pada bayi umur 4 bulan, perbandingan dan perbedaan biaya rawat jalan kedua kelompok tersebut temmsuk. pcrbt:daan frekuensi sakit, lama hari sakit, frekuensi rawat jalan antara kedua kclompok itu dan menghitung penghematan biaya rawar jalanflya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan stud! cross~secOonal, dengan jumlah sampEL minimum masing-masing kelompok adalah 21 orang bayi berumur 4 bulan yang datang ke praktek dokter spesialis anak RB Alvernia RaWlU!Iangun Jakarta Timur bulan Maret April2007.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biaya pemberian ASI eksldusif adalah Rp 2.164.219.- dan rata-rata biaya pemberian susu fonnula Rp 3.558.470.-. Sedangkan rata-rata biaya rawat jalan bayi dengan ASI eksklusif adalah Rp 98.720, dan rata-ratanya pada bayi dengan susu formula adalah Rp 165.857.- (rntio I : 1,7) Perhitungan cost saving adalah selisih antara cost without programe dan cost with programe yang besamya adalah Rp 1.461.388.-. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbadaan bermakna antam kedua biaya rawat jalan ini.
Rata-rata frekuensi sakit dan frekuensi rawat jalan pada bayi ASI eksldusif adalah 0,7 dan susu formula adalah 1,0. Sedangkan rata-rata lama bali sakit pada bayi dengan ASI eksklusif adalah 2 bali, dan susu formula adalab 4 bali. Hasil uji statistik menunjukkun tidak ada perbedaan bermakna frekuensi sakit, frekuensi rawat jalan dan lama hari sakit antara bayi dengan ASI eksklusif dan bayi dengun susu formula 0-4 bulan. Artinya semua perbedaan yang teljadi hanyalah by clumce atau faktor kebetulan belaka dan diduga disebabkan jurniah sampel yang kecil.
Akkirnya disarankan agar penelitian ini dapat diianjutkun oleh peneliti lain untuk menghitung cost benefit ASI eksklusif secara komperhensif baik rawat inap dan mwat jalan, dengan menggunakan opportunity cost yang sebenamya. Juga diharapkun penelitian ianjutan dengan sampel yang lebih besar dan variatif yang mungkin dapat rnenghasilkan uji statistik yang signifikan.

BPS survey shows that nationally, average month expenditure that domestic expend for outpatient is Rp. 15.667 .00.- and province that bas the highest average outpatient expenditure is DKI Jakarta (Rp. 36.506,00.-). Actually those costs could decreased if public has health benefit behavior and their family such as breast: feeding with exclusive ASI to 6 months without foods and other drinks except medication and vitamins, Government 1s targeting exclusive ASI to 80% in 2000 but apparently SDKI data shows that in 2002 there's only 39,5% mother who breastfeeding their children exclusively and averagely Indonesian baby only got exclusive ASI only until 1,6 months. Baby that got exclusive ASI for 4-5 months is only 14%. Research conducted International Hellen Keller Foundation year 2002 shows that exclusive ASI duration percentage in Jakarta for 4-5 months only 3%.
This research is an economical evaluation that aim to see description and equivalent cost of ASI exclusive t,-,}ver and giving formula milk to 4 months baby, equivalence and difference of outpatient cost those two groups include sick frequency difference. sick day duration. outpatient frequency between those two groups and calculating economize outpatient cost. Tills research conducted by using cross sectional study design, with minimal total sample from each groups are 21 babies with 4month ages that come to specialty doctor practice of children at RB Alvernia Rawamangun East Jakarta month March-April 2007.
Research result shows average exclusive ASI cost giver is Rp. 2.164.219 and average formula of milk giver is Rp. 3.558.470. While average outpatient cost of haby with exclusive ASI is Rp. 98.720, and average on baby with formula milk ir.Rp. 165.857 {ratio 1 : J, 7). Cost saving calculation is difference between costs without program and cost with program as much as Rp. l.46L388. Statistical test result shows that there is no significance difference between those two outpatient cost.
Average sick frequency and outpatient frequency on baby with exclusive ASI is 0,7 and formula milk is 1,0. While average sick duration on baby with exclusive ASI is 2 days, and formula milk is 4 days. Statistic test result shows that there is no significance difference of sick frequency~ outpatient frequency and sick duration between baby with exclusive ASI and baby with formula milk 0-4 months. It means all the difference that occurred is only by chance or completely coincidence and estimated cause by minor total samples.
Finally, suggested for other researcher continue this research to determine cost benefit of exclusive ASI comprehensively include inpatient and outpatient with using the real opportunity cost. Suggested too the continues research using a larger samples and more variative. so that maybe statistical test result become significant.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T32488
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Suwenda
"Dukungan dana merupakan salah satu faktor yang penting (Key Acres Mini) dalam peningkatan manajemen Rumah Sakit dalam upaya mengantisipasi perubahan yang terjadi. Asset Rumah Sakit baik yang sudah dimiliki maupun yang akan diperoleh perlu diamankan agar dapat meningkatkan kemampuan finansial Rumah Sakit dalam peningkatan manajemen Rumah Sakit, agar tetap survive dan dapat berkembang.
RSUD Swadana merupakan satu cara efektif dalam menanggulangi kendala peraturan perundangan (ICW) agar manajemen RSUD mempunyai keleluasaan penuh dalam mengelola keuangan untuk tumbuh dan berkembang.
RSUD Majalaya dalam upaya menuju konversi menjadi RSUD swadana mempunyai permasalahan dalam bidang penerimaan biaya pelayanan Rumah Sakit khususnya akibat adanya pasien pulang tidak membayar dan adanya sebagian biaya pelayanan yang tidak tertagihkan.
Untuk mengatasi hal tersebut disusun SOP yang akan dapat memonitor transaksi harian biaya pelayanan sekaligus merupakan instrumen pengawasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penerapan SOP dengan efektivitas penerimaan biaya rawat inap dengan cara membandingkan proporsi pasien pulang tidak membayar dan proporsi biaya pelayanan rawat inap tidak tertagihkan sebelum dan sesudah SOP di berlakukan.
Metode penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Sampel yang diambil untuk meneliti fenomena pasien pulang tidak membayar sebesar 420 sampel, sedangkan untuk meneliti fenomena biaya pelayanan rawat inap yang tidak tertagih dipilih sampel sebesar 170 dengan pemilihan besar sampel dengan menggunakan modifikasi methode Luts. Proporsi diambil dari penelitian pendahuluan yang dilakukan bulan Agustus 1996 terhadap data 1-14 Juni 1996.
Analisa data dengan menggunakan uji statistik beda proporsi pada dua sampel independen. Hasil penelitian menemukan bahwa SOP penerimaan biaya rawat inap berhubungan secara bermakna dengan masalah penurunan proporsi pasien pulang tidak membayar, demikian juga dengan fenomena biaya pelayanan rawat inap tidak tertagihkan dengan tingkat kepercayaan 95 %.
Disarankan untuk RSUD Majalaya agar melakukan evaluasi periodik terhadap SOP untuk keperluan penyesuaian terhadap perubahan yang mungkin terjadi, melanjutkannya kepada pengembangan komputerisasi sistem informasi akuntansi serta melakukan pemberdayaan Sumber Daya Manusia.
Bagi Kepala Daerah Tingkat II Bandung diharapkan agar membantu pembiayaan Komputerisasi Sistem Informasi Akuntansi, mengatasi kelambatan pencairan anggaran serta mendukung upaya mengkonversi RSUD Majalaya menjadi unit Swadana.

One of the key factors in hospital management in the 21st century, is the hospital ability to anticipate changes in their environment. To be able to survive and grow in the fast environmental changes, one of the key competences is the hospital ability to manage their asset especially their financial resources.
The Swadana Hospital is one example of government's policy initiate change for public hospital, where the hospital can manage their own operational revenues instead of submit the revenue to the government as stated in the old policy. One of the objectives of swadana hospital is to increase hospital efficiency and effectiveness through the flexibility in using their own resources.
Majalaya General Hospital status is not yet a swadana hospital. To reach the swadana status several problems should be solved. One of the problems is the high percentages of unpaid hospital bills and ineffective debt collection procedure. To solve this problem the hospital developed standard operating procedure (SOP) for Inpatient's billing procedure.
The study objective is to compare the proportion of unpaid hospital bills and unpaid debt collected bills before (July & August 1996) and after (October & November 1996) the introduction of Inpatient billing's SOP. Design of this study is cross sectional using quantitative and qualitative survey methodology. Sample for unpaid hospital bills is 420 cases, while sample for unpaid debt collection procedure is 170 cases. Data analysis was done using analysis of proportion difference with two independent samples.
The study found that Inpatient billing's SOP significantly reduced the total number of unpaid hospital bills, and also increased the effectively of debt collection process. Suggestion is made for the hospital to evaluate the implementation of the SQP periodically, at least once in three months. Another suggestion for the hospital is to improve the hospital information system using a computerized system, so that data monitoring and evaluation can be done effectively. To be able to implement those activities, training and education to improve the skill and knowledge of hospital personnel should be given a first priority."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
S. Bambang Widoyono
"Salah satu dampak dari meningkatnya proporsi populasi usia lanjut adalah meningkatnya proporsi penyakit degeneratif termasuk stroke. Hingga saat ini berapa besar rata-rata biaya rawat inap stroke dan berapa besar biaya tambahan (Out of pocket) untuk pasien Askes di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek belum diketahui.
Analisis biaya dilakukan dengan membandingkan rata-rata biaya rawat inap dari 50 pasien stroke yang dirawat inap sejak 1 April -- 15 Juni 2004 di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, dengan menggunakan variabel Jenis Kelamin, Umur, Kelas Perawatan, Lama Hari Rawat dan komponen biaya rawat inap dengan menggunakan metode cross sectional pendekatan kuantitatif.. Analisis biaya dilakukan dengan menggunakan daftar tilik terhadap data rekam medik dan administrasi keuangan rawat inap di semua kelas perawatan (Kelas Utama, Kelas I, Kelas II dan Kelas III).
Rata-rata biaya rawat inap pasien Askes per pasien per hari adalah sebesar Rp-189.400; lebih besar dibanding pasien Non Askes Rp.169.552,-. Meskipun demikian secara statistik tidak menunjukkan ada perbedaan bermakna (p= 0,195). Komponen biaya yang paling besar yaitu biaya akomodasi rawat inap sebesar 29,0 % diikuti oleh biaya bahan dan obat sebesar 19,5 % dari total biaya rawat inap pasien stroke.
Faktor/variabel yang berpengaruh terhadap rata-rata total biaya rawat inap stroke adalah Kelas Perawatan (p = 0,014) dan Lama Hari Rawat (p = 0,000), sedangkan untuk variabel Jenis Kelamin dan Umur tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap rata-rata total biaya rawat inap (p = 0,466 dan 0,950).
Hasil dari analisis regresi ganda dengan metode enter diperoleh persamaan garis sebagai berikut:
Tagihan Biaya Rawat Map = Rp.159.310,6 - Rp.237.733 (Kelas Perawatan) + Rp.157.819,7 (Lama Hari Rawat) Kesimpulan dari analisis biaya rawat inap ini adalah tidak ada perbedaan rata-rata biaya rawat inap menurut jenis pembayar, jenis kelamin, umur namun ada perbedaan rata-rata biaya rawat inap untuk variabel Kelas Perawatan dan Lama Hari Rawat, dengan faktor yang paling berpengaruh yaitu Lama Hari Rawat dengan beta sebesar 0,608
Bahan bacaan : 32 (1968- 2004)

The Influencing Factors Analysis of Stroke Health Care Cost at RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung 2004Impact of aging population in a public health are degenerative diseases proportion increased , included stroke and how much average strokes health care cost and out of pocket cost stroke patient of PT. Askes at RSUD Dr. H. Abdul Moeloek are unknown.
Cost Analysis in strokes were compared mean health care cost for 50 stroke patients who hospitalization 1 April - 15 June 2004 at RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Bandar Lampung variables sex, age, class of health care, Length of Stay and all costs health care component, with prospective cross sectional study.
Cost analysis based on medical record, admission used checklist of patient healthcare cost in all class (VIP, I, II and III). The mean stroke cost Askes patient per patient per day are (Rp.189.400,-) more than Non Askes health care cost (Rp.169.552,-). The cost difference was not statistically significant (p = 0,195). Cost component that most influence is accommodation cost (29,0 °ro) and Medicine cost (19,5 %) of total strokes cost health care.
Patient factors that influencing to total health care cost with statistically significant were health care class (p = 0,014) and Length of Stay (p = 0,000) but sex and age variables were not statistically significant (p = 0,466 and 0,950).
The result of regression analysis have got regression lines :
Tagihan Biaya Rawat Inap = Rp.159.310,6 - Rp.237.733 (Kelas Perawatan) + Rp.157.819,7 (Lama Hari Rawat)
Stroke health care cost at RSUD Dr. H. Abdul Moeloek was not statistically
Significant difference between Askes patient and Non Askes Patient, Male and Female, Age < 60 years and > 60 years but were statistically significant difference between health care class and length of stay. Length of Stay was variable that most influenced to total strokes health care cost with beta 0,608.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13072
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>