Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105490 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiwien Heru Wiyono
Jakarta: UI-Press, 2009
PGB 0289
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Rahmawati
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama morbiditi dan mortaliti penyakit kronik, dilaporkan PPOK menjadi penyebab kematian keempat di dunia dan diperkirakan prevalens dan mortalitinya akan terus meningkat pada dekade mendatang. Tahun 2020 diperkirakan PPOK akan menempati urutan ketiga penyebab kematian dan urutan kelima penyebab hilangnya disability adjusted life years (DALYs) di dunia. Pertambahan jumlah perokok, perkembangan industrialisasi dan polusi udara akibat penggunaan slat transportasi meningkatkan jumlah penderita PPOK dan menimbulkan masalah kesehatan.
Pedoman yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2003 menyatakan bahwa PPOK adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun dan berbahaya.
Penurunan fungsi paru pada PPOK lebih progresif dibandingkan paru normal pertahunnya, penurunan tersebut akan diperburuk oleh eksaserbasi. Eksaserbasi pada PPOK harus dapat dicegah dan ditangani semaksimal mungkin untuk mengurangi perburukan fungsi paru. Eksaserbasi ditandai dengan sesak, batuk dan produksi sputum atau perubahan warna sputum yang meningkat dibandingkan keadaan stabil sehari-hari. Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan fungsi paru set-La meningkatkan kualiti hidup penderita.
Penderita PPOK eksaserbasi dapat diberikan pengobatan dengan antibiotik, bronkodilator dan antiinflamasi tetapi untuk menurunkan frekuensi dan lama eksaserbasi memerlukan pemberian mukolitik dan antioksidan sehingga diharapkan dapat memperbaiki fungsi paru. Eksaserbasi PPOK yang berulang tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dasar atau beratnya eksaserbasi. Antibiotik secara bermakna menurunkan relaps eksaserbasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leleulya, Marlond Rainol
"Gangguan fungsi seksual dapat terjadi pada laki-laki di segala usia, suku dan latar belakang budaya. Diperkirakan lebih dari 152 juta laki-laki di dunia menderita disfungsi ereksi pada tahun 1995 dan jumlahnya terus meningkat sehingga diperkirakan akan mencapai 322 juta di tahun 2025. Pengetahuan tentang fisiologi, patofisiologi fungsi seksual laki-laki dan melode diagnostik serta pengobatan dalam 3 dekade terakhir mengalami kemajuan bermakna. Keterlibatan fisiologi, sifat dan elemen-elemen yang terlibat dalam respons seksual normal dan aktiviti fungsional struktur penis telah berhasil diketahui. Mekanisme pasti komponen sistem saraf yang terlibat dalam proses ereksi jugs telah dapat dimengerti. Dalam bidang patofisiologi perkiraan kontribusi relatif faktor psi kogenik dan organik diketahui menjadi penyebab disfungsi ereksi pada laki-laki serta banyak faktor risiko yang menjadi penyebab disfungsi ereksi berhasil diidentifikasi. Pemeriksaan fisis dan laboratorium berkembang dengan pesat dengan berbagai pemeriksaan psikometri, hormonal, vaskular dan neurotogis.
Pedoman yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2003 menyatakan PPOK adalah penyakit paru obstruktif kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun dan berbahaya. Pertambahan jumlah perokok, perkembangan industrialisasi dan polusi udara akibat penggunaan slat transportasi meningkatkan jumlah penderita PPOK dan menimbulkan masalah kesehatan. Diperkirakan 14 juta orang menderita PPOK di Amerika Serikat pada tahun 1991, meningkat 41,5 % dibandingkan tahun 1982 sedangkan mortalitinya menduduki peringkat ke-4 penyebab kematian terbanyak yakni 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9 % dari tahun 1979 sampai 1991. Laki-laki dan perempuan mempunyai angka mortaliti yang sama sebelum usia 55 tahun sedangkan laki-laki usia 70 tahun angka kematian meningkat dua kali dari perempuan. Studi pada 12 negara di Asia Pasifik oleh Chronic Obstructive Pulmonary Disease Working Group mendapatkan prevalens PPOK bervariasi mulai dari 3,5% di Hong Kong dan 6,7% di Vietnam sedangkan di Indonesia sebesar 5,6%. World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalens PPOK akan meningkat pada tahun 2020 dari peringkat 12 ke 5 penyebab penyakit tersering di seluruh dunia.
Koitus merupakan proses alamiah dan dibutuhkan manusia. Penyakit kronik selain mengganggu kemampuan menikmati hidup jugs mengganggu fungsi seksual. Disfungsi ereksi yang terjadi berkisar dari gangguan kecii sampai bencana bagi keluarga. Hudoyo dkk. menemukan disfungsi ereksi pada penderita PPOK mencapai 62,5%. Selama ini layanan medis dalam penanganan penderita PPOK terbatas pada keluhan-keluhan penderita yang berhubungan dengan sesak napas, faktor-faktor penyulit dan komplikasinya sedangkan masalah psikososial kurang mendapat perhatian. Walaupun masalah psikososial secara langsung tidak mempengaruhi angka harapan hidup, tetapi kondisi ini sangat mempengaruhi kualiti hidup penderita beserta pasangannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurvidya Rachma Dewi
"Latar belakang: Gangguan kognitif memiliki prevalens yang tinggi pada orang dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan dapat menunjukkan hambatan kognitif di berbagai aspek, termasuk waktu reaksi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbandingan waktu reaksi pada kelompok pengemudi taksi PT “X” di Jakarta yang PPOK dan bukan PPOK.
Metode: Total 99 orang pengemudi taksi PT “X” di Jakarta dilibatkan dalam penelitian potong lintang ini dan menjalani beberapa pemeriksaan. Kuesioner dan wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang karakteristik dasar, latar belakang pendidikan, faktor pekerjaan dan status merokok. Pemeriksaan spirometri dan uji bronkodilator dilakukan untuk menilai faal paru dan mendeteksi gangguan saluran napas. Versi Indonesia dari uji Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) digunakan untuk menilai adakah gangguan kognitif pada subjek. Waktu reaksi subjek diukur dengan menggunakan alat reaction timer Lakassidaya L-77 (Biro Konsultasi Departemen Kesehatan, Keselamatan dan Produktivitas Kerja, Yogyakarta, Indonesia).
Hasil: Proporsi PPOK pada pengemudi taksi PT “X” di Jakarta adalah 9,47%, dengan 84,62% dari pengemudi taksi dengan PPOK memiliki gangguan kognitif. Hasil rerata waktu reaksi pada kelompok PPOK lebih lambat bila dibandingkan dengan kelompok bukan PPOK yaitu sebesar 252,18 milidetik dibandingkan dengan 202,73 milidetik.
Kesimpulan: Proporsi PPOK pada pengemudi taksi PT “X” di Jakarta adalah sebesar 9,47%. Sebagian besar dari pengemudi taksi yang PPOK tersebut memiliki gangguan kognitif yang dapat mempengaruhi waktu reaksi dan selanjutnya dapat berpengaruh terhadap performa mengemudi.

Background: Cognitive impairment is prevalent in chronic obstructive pulmonary disease (COPD) and is detrimental to work performance, including reaction time. This study investigates the comparison of reaction times between taxi drivers with COPD and without COPD.
Method: This cross-sectional study included 99 male taxi drivers of a taxi company in Jakarta, Indonesia, as subjects. Subjects were questioned and examined to obtain their basic characteristics, educational backgrounds, occupational factors, and smoking status. Lung function tests were used to detect respiratory airway disorders. The Indonesian version of the Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) test was used to determine cognitive impairment. The reaction times were measured using reaction timer Lakassidaya L-77 (The Occupational Health, Safety, and Work Productivity Consultative Bureau, Yogyakarta, Indonesia).
Result: The proportion of COPD was 9.47%, and 84.62% of which had cognitive impairment. The mean reaction time of the COPD group was slower than the non-COPD group (252.18 ms vs. 202.73 ms).
Conclusion: The proportion of taxi drivers with COPD in this study was 9.47%. Most of them had a cognitive impairment, which affected their reaction time and ultimately impaired their driving performance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Riyadi
"Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara menahun di saluran napas, bersifat progresif nonreversibel atau reversibel sebagian. Penyakit ini merupakan salah satu gangguan pernapasan yang menyebabkan kecacatan dan kematian. Tahun 199I di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 14 juta orang menderita PPOK, meningkat 41,5% dibandingkan tahun 1982. Angka kematiannya menduduki peringkat ke-4 dari sebab kematian terbanyak yaitu 18,6 setiap 100.000 penduduk. Laki-laki dan perempuan angkanya sama sebelum usia 55 tahun, laki-laki terus meningkat dan saat usia 70 tahun menjadi dua kali perempuan.
Tahun 1995 di Indonesia PPOK dan asma menduduki peringkat kematian ke-5 berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI. Tahun 1997 Yunus memberikan gambaran pola kasus PPOK yang mengalami eksaserbasi akut dan dirawat di bagian Pulmonologi RS Persahabatan yaitu 104 kasus didiagnosis PPOK dan hanya 65 kasus memenuhi kriteria PPOK. Di Rumah Sakit Persahabatan sebagai pusat rujukan paru nasional, PPOK menduduki peringkat ke-5 dari jumlah penderita yang berobat jalan serta menduduki peringkat ke-4 dari jumlah penderita rawat.
Tahun 1990 Sherrill dick. menyatakan statistik kesehatan sulit mencatat prevalensi PPOK ini karena definisi, pengenalan dan salah mengklasifikasikan. Tahun 2000 di Inggris terdapat 600.000 penderita PPOK dan keluhan mulai timbul setelah usia 40 tahun. Prevalensi laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan laki-laki akan meningkat 5% saat usia 65-75 tahun serta meningkat 10% saat usia lebih dari 70 tahun. Di negara berkembang prevalensi PPOK meningkat terus seiring dengan peningkatan konsumsi rokok.
Stadium akhir PPOK didahului oleh suatu disability (ketidakmampuan) yang progresif yaitu penurunan kapasiti latihan dan berbagai gejala yang tidak hanya terbatas masalah pemapasan saja misalnya cepat lelah, sukar tidur, cepat marah dan putus asa. Akhimya penderita akan masuk ke dalam lingkaran masalah yang berkelanjutan yang berakibat handicap (kacacatan) menetap, mulai dari sesak berkepanjangan, inaktiviti sampai dekondisi yang berat, keterbatasan dalam aktiviti psikososial yang diikuti oleh depresi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58469
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikalius
"Penyebab tersering terjadinya PPOK adalah karena kebiasan merokok, polusi udara, defisiensi antitripsin alfa-1 dan faktor genetik. Penyakit ini akan terus berlanjut secara progresif lambat. Obat-obatan seperti bronkodilator tidak banyak membantu kecepatan penurunan faal paru, faktor lain yang memperberat seperti seringnya eksaserbasi, kebiasan merokok dan faktor lingkungan.
Penderita PPOK cenderung menghindari aktiviti fisik sehingga penderita mengurangi aktiviti sehari-hari menyebabkan imobilisasi, hubungan penderita dengan lingkungan dan sosial menurun sehingga kualiti hidup menurun dan kapasiti fungsional juga menurun. Kualiti hidup adalah kemampuan individu untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat serta merasa puas dengan peran tersebut sedangkan kapasiti fungsional adalah hal-hal yang berhubungan dengan aktiviti sehari-hari seperti merawat diri, makan, berpakaian dan kegiatan rumah tangga.
Salah satu program yang dapat meningkatkan kualiti hidup dan kapasiti fungsional adalah program rehabilitasi paru. Tujuan rehabilitasi paru meningkatkan dan mempertahankan tingkat kemampuan tertinggi seseorang untuk hidup mandiri dan berguna bagi masyarakat. Rehabilitasi paru yang diberikan adalah fisioterapi dada dan latihan memakai ergometer sepeda. Fisioterapi dada yang diberikan adalah Pemberian sinar infra merah daerah dada dan punggung masing-masing 7,5 menit, pernapasan diafragma dilanjutkan pernapasan pursed lip, latihan elevasi otot-otot bahu, sendi leher,dan sendi lengan atas, vibrasi dilakukan saat ekspirasi 5x napas dalam dan latihan batuk. Kemudian dilanjutkan latihan dengan ergometer sepeda. Latihan dilakukan 3 kali seminggu 10 menit minggu pertama dan kedua kemudian dinaikkan 5 menit setiap minggu,minggu ke enam sampai ke delapan 30 menit.
Tujuan utama penelitian ini adalah membuktikan peranan rehabilitasi paru penderita PPOK, metode prospective study membandingkan kelompok perlakuan (mendapat rehabilitasi paru) dan kontrol (tidak mendapat rehabilitasi paru). Pengambilan sampel menggunakan cara quota sampling. Penelitian ini dilakukan terhadap 43 penderita PPOK stabil rawat jalan di RSUD Dr Moewardi Surakarta yang dibagi 2 kelompok, terdiri 21 kelompok perlakuan dan 22 kelompok kontrol. Penilaian kualiti hidup menggunakan St George's respiratory Questionnare (SGRQ) dan kapasiti fungsional dinilai dengan uji jalan 6 menit dilakukan penilaian sebelum rehabilitasi paru dan setelah 8 minggu.
Hasil penelitian didapatkan pada kelompok perlakuan (n=21; 15 laki-laki, rerata umur 61,9±8,7 tahun) dibandingkan kontrol (n=22;18 laki-laki, rerata umur 59,9±8,3 tahun). Terjadi penurunan SGRQ antara perlakuan (-21,8%) dan kontrol (0,9%) setelah dilakukan uji beda secara statistik berbeda bermakna p< 0,005. Nilai SGRQ menurun menunjukkan kuali hidup meningkat. Peningkatan jarak pada uji jalan 6 menit kelompok perlakuan ( 55±26,6 meter), kelompok kontrol (3,4 ± 15,2 meter). Uji beda antara kelompok perlakuan dan kontrol secara uji statistik berbeda bermakna p<0,005. Reningkatan jarak pada uji jalan 6 menit berarti kapasiti fungsional meningkat.
Kesimpulan, penderila PPOK setelah diberi rehabilitasi paru selama 8 minggu dapat meningkatkan kualiti hidup dan kapasiti fungsional.

Study objective : to assess the benefit of Pulmonary Rehabilitation to the COPD patients
Setting : COPD Patients at the Medical Rehabilitation Unit DR Moewardi Surakarta Hospital
Methods : Prospective study, comparing treatment group and control group who underwent 8 weeks administration of pulmonary rehabilitation programs. The patients in the treatment groups received chest physiotherapy and ergo-cycle exercise 3 times a week within 8 weeks.
Measurement : The quality of life was assessed by SGRQ, functional capacity was assessed by six minutes walking test (SMWT)
Results : Total SGRQ patient in the treatment group (n=21, 15 male; mean age 61,9± 8,7 yrs) compare with control group (n=22, 18 male; mean age 59,9 ± 8,3 yrs) had statistically significant decreased (-21,8 ± 9,1% ; 0,9± 2,7% respectively, p<0,005).There are statistically significant improving of six minute walking test (SMWT) in treatment group compare to control group (55±26,6 m ; 3,4 ±15,2m respectively, p<0,005).
Conclusions: The pulmonary rehabilitation programs 3 times a week within 8 weeks improve the quality of life and functional capacity of COPD patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58479
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Talesu, Johan
"Tujuan : Untuk menilai efikasi latihan intensitas rendah Hairmyres terhadap kapasitas fungsional menggunakan Uji Jalan Enam Menit (UJ6M) dan kualitas hidup menurut St. George's Respiratory Questionnaire (SGRQ) pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Metode : Studi intervensi pre-eksperimental pra dan pasca perlakuan pada satu kelompok. Sampel dilatih senam Hairmyres selama delapan minggu, 5 kali per minggu, 2 kali dihadapan peneliti. Data UJ6M diambil sebelum, pada empat minggu dan akhir latihan, data SGRQ diambil sebelum dan sesudah latihan .
Tempat : RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSU Persababatan.
Subyek : Didapat 17 pasien PPOK sedang dan berat yang mengikuti latihan, tiga orang gugur sehingga sisa 14 orang dari minimum sampel delapan orang.
Hasil : Selisih rerata jarak UJ6M antara awal dan akhir perlakuan dan antara minggu keempat dan akhir perlakuan menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p=0,000), selisih antara awal dan minggu keempat perlakuan menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,016). Selisih rerata nilai SGRQ pada awal dan akhir perlakuan menunjukkan perbedaan bermakna pada komponen Aktivitas, Dampak dan Total (p<0,05), sedangkan pada komponen Gejala tidak didapat perbedaan bermakna (p>O,05).
Kesimpulan : Kapasitas fungsional berdasarkan UJ6M dan kualitas hidup menurut SGRQ pada pasien PPOK meningkat secara sangat bermakna setelah melakukan senam Hairmyres.
Kata kunci : PPOK, Latihan intensitas rendah, UJ6M, SGRQ.

Objective : To evaluate the efficacy of low-intensity Hairmyres exercises on the functional capacity using Six Minutes Walking Test (6MWT) and quality of Life according to St. George's respiratory questionnaire (SGRQ) on Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) patients.
Method : Pre-experimental intervention, before and after on one subject group. Samples use Hairmyres exercise for eight weeks, 5 times a week, of which two are done in front of the researcher. 6MWT is taken pre, on week four, and post exercise periods. SGRQ is taken pre and post exercise periods.
Location : RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo and RSU Persahabatan.
Subject : 17 moderate to severe COPD patients participated in the study. Three dropped out leaving 14 patients out of eight minimum samples.
Result : Mean difference of 6MWT between pre and post intervention, and between fourth week and post intervention shows highly significant results (p=0.000). Mean difference between pre and fourth week intervention shows significant results (p=0.016). Mean difference of SGRQ between pre and post intervention shows significant results on Activity, Impact and Total components (p0.05)
Conclusion : The functional capacity based on 6MWT and quality of life according to SGRQ on COPD patients significantly increases after doing Hairmyres exercises.
Key words : COPD, low-intensity exercise, 6MWT, SGRQ
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Oktavia
"Latar belakang: Disfungsi ventrikel kanan merupakan salah satu komplikasi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penilaian fungsi ventrikel kanan penting, karena berkaitan dengan keterbatasan kemampuan kerja pasien serta prognosis yang buruk.
Tujuan: Untuk mengetahui proporsi disfungsi sistolik dan diastolik ventrikel kanan pada PPOK stabil, serta untuk mengetahui korelasi forced expiratory volume in one second (FEV1) % prediksi dengan nilai Tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) dan nilai titik potong kedua variabel tersebut.
Metode: Dilakukan pemeriksaan spirometri terhadap 30 pasien PPOK stabil (rerata usia: 65 ± 6 tahun). Kemudian semua pasien menjalani pemeriksaan ekokardiografi standar, TAPSE, mengukuran dimensi ruang jantung kanan dan inflow trikuspid.
Hasil: Rerata nilai rerata FEV1 28 ± 8% prediksi. Tidak terdapat pasien dengan derajat obstruksi yang ringan, 57% subjek mengalami derajat obstruksi yang sangat berat. Semua pasien menunjukan pola spirometri campuran obstruktif dan restriktif. Rerata dimensi ruang jantung kanan pasien dalam batas normal. Terdapat 40% pasien yang mengalami disfungsi diastolik. Rerata nilai TAPSE 16, 96 ± 96 mm. Terdapat 60% pasien yang mengalami penurunan nilai TAPSE. Tidak terdapat beda rerata nilai TAPSE antara kelompok dengan derajat obstruksi sedang-berat dengan derajat obstruksi sangat berat. Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara FEV1 % prediksi dengan TAPSE, sehingga titik potong kedua variabel tidak dapat ditentukan.
Simpulan: Proporsi disfungsi sistolik ventrikel kanan 60% dan disfungsi diastolik 40%. Tidak terdapat korelasi nilai FEV1 % prediksi dengan nilai TAPSE, sehingga nilai titik potong kedua variabel tidak dapat ditentukan pada PPOK stabil.

Background: Right ventricular dysfunction is one of the common complication of chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Right ventricular assessment is importance, since it related with exercise intolerance and poor prognosis.
Objective: To determine the proportion of systolic and diastolic dysfunction of right ventricle in stable COPD patients and to determine the correlation between forced expiratory volume in one second (FEV1) % prediction and Tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) and also to determine the cut-off value between the two variables.
Methods: Thirty stable COPD men (mean age: 65 ± 6 yr) underwent spirometry. In addition to conventional echocardiographic parameters, TAPSE, right heart chambers, and trans tricuspid inflow were determined.
Results: The mean value of FEV1 was 28 ± 8% of the predicted value. There was no subject with mild airflow limitation, 57% subjects were with very severe airflow obstruction. All of pulmonary function test showed mixed restrictive-obstructive pattern. Mean of right chamber was in normal limit. Forty percent of the patients suffered right ventricular diastolic dysfunction. Means of TAPSE was 16.96 ± 96 mm. Sixty percent of the patients suffered right ventricular systolic dysfunction. There was no significant difference in TAPSE between groups with moderate-severe flow obstruction and very severe airflow obstruction. There was no significant correlation between FEV1 % prediction and TAPSE, so the cut-off value between the two variables cannot be determined.
Conclusions: The proportion of right ventricular systolic dysfunction was 60% and diastolic dysfunction was 40%. There was no correlation between FEV1 % prediction and TAPSE. The cut-off value between the two variable in stable COPD patients cannot be determined.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Mulyantari
"Penyakit paru obstruksif kronik PPOK merupakan penyakit paru dengan karakteristik hambatan aliran udara yang progresif, karena peningkatan reaksi peradangan kronik berlebihan pada saluran napas dan parenkim paru. Stres oksidatif terutama akibat pajanan rokok dalam jangka waktu lama berperan sentral pada patogenesis PPOK. Beta karoten suatu karotenoid punya peran pada stres oksidatif dengan kemampuan mereduksi paling tinggi dan lebih efisien mengikat radikal yang berasal dari dalam dinding liposom pada kompartemen lipofilik dinding sel. Di Indonesia bahan makanan sumber β-karoten mudah didapat. Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara kadar β-karoten dan MDA serum pada penderita PPOK. Penelitian pontong lintang ini mengikutsertakan 47 penderita PPOK melalui metode consecutive sampling. Data sosio-demografi, riwayat merokok, asupan β-karoten secara FFQ semikuantitatif diperoleh dengan wawancara. Data skor CAT, kekerapan kekambuhan dan uji fungsi paru terbaru didapatkan dari rekam medik. Dilakukan pengukuran IMT, kadar MDA serum dengan spektrofotometri dan β-karoten serum dengan HPLC. Subjek paling banyak berusia 60-74 tahun, bekas perokok, dengan IMT normal. Asupan dan kadar ?-karoten serum rendah pada sebagian besar 63,8 subjek. Kadar MDA serum cenderung lebih tinggi daripada orang sehat, menandakan adanya penngkatan stres oksidatif pada penderita PPOK. Tidak didapatkan adanya korelasi antara kadar β-karoten dan MDA serum.

Chronic obstructive pulmonary disease COPD is a lung disease, characterized by progressive air flow resistance, which increase chronic inflammatory reactions of the airways and lung parenchyma. A history of exposure to risk factors, especially smoking, for long term contribute to the central role of oxidative stress in the pathogenesis of COPD. Beta carotene as one of the antioxidants may play a role in oxidative stress among COPD patients, carotene's food source is abandon in Indonesia. This cross sectional study aimed to investigate relationship between levels of serum carotene and MDA in COPD patients. Consecutive sampling was applied to recruit 47 COPD subjects, who mainly subjects elderly with history of heavy smoking. Socio demographic data, smoking history, intake of carotene by semiquantitative FFQ was obtained by interview. CAT score, frequency of exacerbations and lung function tests were obtained from medical records. Nutritional status by BMI, concentration of carotene by HPLC and MDA serum by spectrophotometry were assessed. More than 50 subjects'carotene intake and serum level were lower than reference. Serum MDA level was higher than healthy person's, indicating an increase oxidative stress among COPD patients. There was no correlation between serum carotene and MDA levels. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>