Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199470 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Viany Francisca
"ABSTRAK
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan gerakan swasta masyarakat
yang terpanggil untuk melakukan sesuatu yang nyata bagi masyarakat, terutama ekonomi
lemah. Di Indonesia, LSM mulai berkembang sejak awal tahun ?70-an, seiring dengan
semakin terbatasnya peranan partai politik.
PESAT merupakan salah satu contoh dan LSM yang banyak membantu di dalam
meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat ekonomi lemah di Kotamadya
dan Kabupaten Bandung melalui pengadaan kebutuhan sarana air bersih. Kegiatan
dilaksanakan dengan cara swadaya, dan memanfaatkan potensi sumber daya alam serta manusia yang ada secara optimal.
Kelangsungan hidup LSM, termasuk PESAT, tergantung pula kemampuannya
dalam menyediakan dana bagi pengembangan kegiatan dan organisasi. Peran para
donatur masih cukup besar bagi LSM-LSM di Indonesia di dalam pengadaan dana untuk
pelaksanaan proyek-proyek sosialnya. Karena itu kepercayaan donatur harus dijaga
dengan cara mempertanggungjawabkan setiap penggunaan dana.
Untuk mengetahui seberapa besar manfaat suatu proyek sosial terhadap masyarakat yang dibantunya, dalam hal ini proyek pembangunan sarana air bersih, PESAT perlu melakukan analisis finansial untuk mengetahui kelayakan setiap proyek sosialnya dibandingkan dengan dana dan potensi yang digunakan. Hal ini juga untuk menanggapi pendapat bahwa proyek sosial bukanlah merupakan proyek yang menguntungkan dari segi investasi. Melalul analisis dan evaluasi kelayakan tersebut,
PESAT dapat mengetahui apakah proyek sosial tersebut memberikan nilai investasi
positif, yang artinya Iayak untuk dilaksanakan.
Dengan mengambil beberapa kasus atau proyek yang telah dilaksanakan oleh
PESAT, yaitu proyek pembangunan sarana air bersih di Kampung Cihanja, Kotamadya
Bandung; serta di Kampung Babakan Leungsir dan Kampung Pasir Kuning, Kabupaten
Bandung; proses analisis dilakukan dengan menggunakan metode Net Present Value.
Data-data diperoleh dan catatan arus kas yang dimiliki oleh PESAT, ditambah hasil
wawancara terhadap pengurus PESAT dan karyawan dan instansi-instansi yang terkait.
Awalnya analisis dilakukan berdasarkan data-data hasil estimasi pada saat proyek
akan dilaksanakan. Kemudian dilakukan evaluasi kelayakan berdasarkan data-data aktual
yang dimiliki pada saat ini. Hal ini dilakukan untuk melihat kondisi sesungguhnya dari
masing-masing proyek, sehingga dapat memberikan masukan bagi PESAT dalam
pengambilan keputusan untuk pengembangan proyek selanjutnya.
Hasil analisis dengan menggunakan Net Present Value, tanpa mempertimbangkan
faktor-faktor sosial yang dimiliki oleh masing-masing proyek, memberikan hasil negatif,
yang artinya proyek tidak cukup layak dilaksanakan dari sudut investasi. Tetapi dengan
mengkuantifikasikan faktor-faktor sosial proyek sebagai bagian dari arus kas meaIui
perhitungan Net Present Social Value, maka diperoleh Total Net Present Value yang
positif untuk masing-masirig proyek. Artinya proyek pembangunan sarana air bersih oleh
PESAT tersebut layak untuk dilaksanakan.
Dari hasil perbandingan antara perhitungan estimasi dan aktual, maka terlihat
adanya perbedaan hasil perhitungan yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
perekonomian masyarakat yang melemah belakangan ini, kurangnya kesadaran
masyarakat untuk menepati kesepakatan yang telah disetujui bersama, dan fakior
eksternal lainnya. Hal ini perlu dicermati oleh PESAT, sehingga lebih bijak di dalam
melakukan estimasi bagi proyek pembangunan lainnya.
Selain itu, perhitungan kelayakan proyek ini masih belum akurat, karena faktor
faktor sosial tidak dapat dikuantifikasi seluruhnya akibat keterbatasan data. Agar PESAT
dapat melakukan analisis kelayakan yang Iebih balk, maka dibutuhkan inisiatif
pengumpulan data langsung kepada masyarakat yang terkait sejak awal sebelum proyek
dilaksanakan, sehingga perubahan yang disebabkan keberadaan sarana air bersih dapat
terdeteksi.
"
Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T1906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Witjaksono Sridadi
"ABSTRAK
Pada dasarnya pembangunan merupakan suatu proses kegiatan masyarakat dan pemerintah untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan dukungan sepenuhnya kepada program-program pembangunan Program perbaikan kampung (proyek MHT) yang dilaksanakan oleh Pemerintah DKI Jakarta diharapkan dapat menstimulir dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi yang dinyatakan dengan keikutsertaan mereka dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan sarana hasil program perbaikan kampung (proyek MHT) tersebut Tulisan ini ingin mengetahui tingkat partisipasi masyarakat Menteng Tenggulun dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan sarana hasil program perbaikan. kampung (proyek MI-IT) dan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi partisipasi masyarakat Menteng Tenggulun tersebut Perolehan data dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dan rnetode penelitian lapangan dengan mengambil kepala keluarga sebagai responden dan aparat BAPPEM MHT dan aparat Kelurahan Menteng sebagai informan Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tingkat partisipasi masyarakat Menteng Tenggulun dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan sarana hasil program perbaikan kampung (proyek MHT) ternyata rnasih rendah Dan variabel usia, penghasilan, pendidikan dan lama tinggal mempengaruhi partisipasi masyarakat Menteng Tenggulun dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan sarana hasil program perbaikan kampung (proyek MHT) dengan tingkat hubungan yang lemah Hasil penelitian juga memperlihatkan temuan baru berupa adanya faktor lain yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat Menteng Tenggulun yaitu antara lain faktor ketentuan formal tentang perencanaan proyek MHT dari BAPPEM MHT yang kurang membeni kesempatan kepada masyarakat Menteng Tenggulun untuk berpartisipasi, faktor tersedianya tenaga untuk pelaksana proyek MHT, dan faktor kurang berperannya organisasi-organisasi sosial di kampung Menteng Tenggulun"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmalia Rifandini
"ABSTRACT
Gagasan pembangunan desa pasca otoritarian dipandang sebagai transformasi pembangunan desa, karena tidak lagi menempatkan desa sebagai objek pembangunan yang ditandai adanya tuntutan penyusunan instrumen pembangunan desa. Namun secara praktik, instrumen pembangunan tersebut ternyata tidak mengakomodasi perbaikan produktivitas pertanian dan peternakan di Kampung Pasir Angling Desa Suntenjaya Kabupaten Bandung Barat. Sebab, petani-peternak tidak memiliki kapasitas pengetahuan dengan daya dukung tatanan administratif untuk menghendaki arah perbaikan. Pada kenyataannya, mekanisme musyawarah dusun secara tersirat diarahkan untuk menghendaki perbaikan dari negara. Dengan menggunakan perspektif pembangunan kritis, penelitian ini berpandangan bahwa transformasi pembangunan desa dapat berlaku apabila tidak terbatas pada perubahan strategi kebijakan publik, melainkan melingkupi perubahan sosial di berbagai sektor kehidupan masyarakat desa. Berangkat dari hal itu, penelitian ini menarasikan pendekatan dan bentuk pemberdayaan petani-peternak Yayasan Walungan dalam rangka menemu kenali transformasi pembangunan desa. Penelitian ini berargumen bahwa transformasi pembangunan desa yang memiliki karakteristik pemberdayaan dapat tercapai apabila terdapat penempatan elemen masyarakat sipil sebagai pihak yang menginisiasi artikulasi kebutuhan dan mengaktifkan kesadaran petani-peternak dalam praktik pembangunan desa. Gagasan mengenai artikulasi, dalam penelitian ini, diupayakan melalui perbaikan relasi yang bersifat egaliter, aktivitas kolektif, dan pengorganisasian masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualititatif dalam mendeskripsikan pemberdayaan petani-peternak di Kampung Pasir Angling, Desa Suntenjaya, Kabupaten Bandung Barat.

ABSTRACT
The idea of post authoritarian rural development is seen as the transformation of rural development, since it no longer places the village as an object of development characterized by the demand for the preparation of rural development instruments. However, in practice, the development instrument did not accommodate the improvement of agricultural and livestock productivity in Kampung Pasir Angling Suntenjaya Village, West Bandung regency. Since, farmers do not have the capacity of knowledge with the carrying capacity of the administrative order to require direction of improvement. In fact, the mechanism of deliberations of the hamlet is implicitly aimed at seeking improvement from the state. Using a critical development perspective, the study argues that village development transformation may apply if not limited to changes in public policy strategies, but rather to social change in various sectors of village life. Departing from that, this research narrates approach and form of the community development of farmer breeder that initiated by Yayasan Walungan in order to find the transformation of village development. This study proposes arguments that the transformation of the rural development mdash which has the characteristics of empowerment mdash can be achieved when there is a placement of the civil societys elements as the party that initiates the articulation of needs and activates the consciousness of farmer breeders in the practice of rural development. The idea of articulation in this study is attempted through relations improvement in egalitarian way, collective activities, and community organizing. This research used qualitative research approach in describing the community development of farmer breeders in Kampung Pasir Angling, Desa Suntenjaya, Kabupaten Bandung Barat. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kambuy, Edoardus
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan peranan pemerintah Kabupaten Merauke dalam pelaksanaan proyek pembangunan, dalam rangka melestarikan kembali hutan tanaman sagu pada alam habitatnya sebagai pembangunan yang berkelanjutan (suistainability development) serta menyiapkan bahan makanan "pati sagu" (basic need) bagi masyarakat kampung Wapeko. Lokasi yang dipilih adalah Kampung Wapeko, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Propinsi Papua.
Secara spesifik, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan peranan pemerintah kabupaten dalam pelaksanaan proyek pembangunan budidaya tanaman sagu dan mengidentifikasi serta menjelaskan faktor-faktor pendukung dan penghambatnya.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukan bahwa (1) penerapan prinsip-prinsip partisipatoris dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan budidaya tanaman sagu di Kampung Wapeko memperoleh antusiasme yang besar dan masyarakat Kampung Wapeko, (2) Peran pemerintah dalam pelaksanaan proyek pembangunan budidaya tanaman sagu di Kampung Wapeko yang langkah-langkahnya didasari pada kewenangan pemerintah dalam administrasi penyelenggaraan pemerintahan yang meliputi: tersusunnya struktur organisasi proyek, tersedianya aparat pelaksana, tersedianya dana, serta pelaksanaan proyek pembangunan disusun melalui proyek, yang dilakukan melalui pelelangan proyek kepada para pengusaha (swasta) dalam pelaksanaannya. Di samping itu, hasil penelitian lapangan menunjukan bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan yaitu faktor pendukung dan penghambat.
(1) Faktor pendukung dalam pelaksanaan pekerjaan dilokasi antara lain: Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pekerjaan, lahan penanaman telah disiapkan oleh masyarakat, tersedianya dana oleh pemerintah, aparat pemerintah kampung serta organisasi masyarakat kampung mendukung pelaksanaan kegiatan proyek, tersedianya bibit anakan sagu oleh masyarakat, serta aparat pelaksana proyek telah ditunjuk oleh kepala Dinas Kehutanan untuk melaksanakan kegiatan proyek, dukungan sarana kerja yang memadai oleh Dinas Kehutanan, pelaksana proyek dilapangan oleh CV. Shindra Jaya dan pengawasan yang ketat oleh manejer baik secara vertikal maupun secara horizontal dalam pelaksanaan pekerjaan. (2) Faktor penghambat dalam pelaksanaan kegiatan proyek pada lokasi penelitian antara lain, kebijakan perencanaan pelaksanaan proyek oleh bupati tidak disesuaikan dengan pedoman umum DAK-DR dari pemerintah pusat, sehingga banyak hambatan dalam pengawasan secara langsung melalui monitoring proyek, pengawasan lapangan, datangnya musim kemarau anakan sagu yang ditanam mati karena lahan yang ditanam kering, kebakaran, adanya indikasi korupsi, dan juga tergantung penunjukan kontraktor dalam melaksanakan kegiatan proyek sedangkan dilokasi penanaman antara lain, pembibitan serta penyemaian anakan sagu yang kurang memenuhi persyaratan tanam, jangka waktu pelaksanaan maupun persiapan lahan serta pembibitan peluang waktu terlalu sempit, tidak ditempatkan tenaga teknis, kurang adanya pengawasan yang ketat oleh pimpinan, kurang adanya kordinasi kerja, lahan tanaman anakan sagu tanah agak tinggi dan tanah tanah hujan sehingga sewaktu musim panas tanah kering.
Dari hasil penelitian lapangan dapat disimpulkan bahwa pembangunan sosial melalui kebijakan proyek pembangunan budidaya tanaman sagu, pada pelaksanaan pekerjaan dari awal hingga akhir kegiatan telah dilaksanakan oleh CV. Shindra Jaya, baik secara administrasi proyek maupun pelaksanaan phisik lapangan, kebijakan pembangunan melalui proyek budidaya tanaman sagu merupakan salah satu kegiatan pembangunan sosial, waktu pelaksanaan kegiatan terlalu sempit antar waktu pembibitan dan kegiatan lahan, tata cara pelaksaaan pekerjaan dilapangan oleh kontraktor asal kerja, perencanaan biaya pelaksanaan melalui dana DAK-DR, kepemimpinan dalam pengawasan kurang ketat, petugas PPL tidak ditempatkan pada lokasi lahan serta merangkap sebagai pengawas lapangan, datangnya musim panas hingga tanaman mati, kontraktor harus serius serta keberpihakan kepada masyarakat dalam kegiatan proyek.
Terhadap hasil penelitian di atas beberapa hasil penting direkomendasikan dafam penelitian ini adalah (1) Peran pemerintah sebagai fasilitator dalam penyiapan dana serta perencanaan sosial untuk kepentingan masyarakat, (2) peran pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia masyarakat kampung untuk Iebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan oleh masyarakat sendiri, (3) perlu adanya koordinasi aparat pemerintah dengan masyarakat tentang atam dan kondisi daerah, (4) perencanaan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat mengarahkan pada perencanaan sosial melalui kebijakan pembangunan, (5) Dukungan dana kelanjutan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk menjaga dan memelihara tanaman anakan sagu, (6) Memberdayakan masyarakat dalam kegiatan proyek swakelola, (7) Kepemimpinan sangat menentukan arah dan strategi pelaksanaan tugas, (8) Pengawasan yang ketat oleh pimpinan baik secara vertikal maupun horizontal, (9) penunjukan kontraktor yang harus berkualitas dan mampu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T21695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Prawira Satrio Putra
"Permukiman kumuh sudah lama menjadi salah satu permasalahan di perkotaan, salah satunya di Jakarta. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satunya dengan perbaikan permukiman melalui Program Kampung Deret yang saat ini tengah dilakukan di Jakarta. Salah satu lokasi pembangunan Program Kampung Deret ialah di Kampung Petogogan, Jakarta Selatan. Dalam penelitian ini menggunakan metode Studi Kasus dengan pendekatan kualitatif untuk menganalisis aspek utama dari Program Kampung Deret serta mengkaji dampak pembangunan Program tersebut bagi warga Kampung Petogogan.
Dari hasil pembangunan Kampung Deret Petogogan, aspek utama yang menjadi tujuan perbaikan dalam Program Kampung Deret, yaitu aspek fisik bangunan dan ketersediaan PSU. Dengan kondisi permukiman yang ada saat ini membuat warga lebih merasa nyaman. Namun beberapa kebiasaan buruk masih dilakukan oleh warga yang kedepannya dapat berdampak negatif terhadap kondisi permukiman saat ini. Sehingga perlu adanya sosialisasi dan pembinaan serta kontrol dari Pemerintah pasca pembangunan, Agar hasil dari pembangunan Program Kampung Deret dapat bertahan hingga kedepannya.

Slums have long been one a problem in urban areas, including Jakarta. Various attempts have been made to overcome this issue, one is through housing improvement called Kampung Deret Program that is currently being conducted in Jakarta. One site that has done this program is Kampung Petogogan, South Jakarta. This research uses qualitative approach as the case study method to analyze the main aspects of the program as well as assessing the impacts of the program on the residents of Kampung Petogogan.
From the results of the Kampung Deret Petogogan development, the main aspect, which is the goal of improvement in Kampung Deret Program, is the physical aspect of the building and the availability of public infrastructure, facilities and utillities. The current settlement conditions make the people feel more comfortable. However, the residents? bad habits could adversely affect the condition of the settlement in the future. Therefore, socialization, supervision and control by the government after the development are much needed so that the results of Kampung Deret development program can last until the future.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sumarno
"Begitu besarnya dana yang dibutuhkan untuk proyek, banyak sekali kriteria-kriteria pendanaan untuk membiayai proyek, salah satunyu dengan cara project financing, project financing merupakan suatu metode yang sangat sesuci untuk pembiayaan jangka panjang, dimana proyek baru tersebut padat modal dan dimana arus kasnya mudah diprediksi dan pembayaran kembali pinjaman tersebut berasal dari pendapatan proyek tersebut, sedangkan aset-aset dari proyek dijadikan untuk jaminan.
Project financing bisa mendapatkan modal dari funder, investor maupun pemerintah. Untuk langkah pertama pencetus ide proyek mengajak atau merangkul para investor untuk mendanai proyek tersebut, di dalam studi kasus ini karena proyek terlalu besar untuk dana maka pendanaan proyek tersebut belum bisa di tutupi oleh investor, oleh karena itu pemilik proyek mengambil keputusan untuk meminjam kepada para bank. Dalam penelitian ini akan membahas lebih lanjut tentang funder yang berasal dari bank, dimana pemilik proyek akan membuat analisa-analisa yang disyaratkan oleh peminjam khususnya pihak bank baik bank umum maupun bank syariah sebagai alternatif begitu pula rasio-rasio yang dibutuhkannya.
Dari analisa-analisa akan didapatkan apakah proyek ini bankable untuk didanai, jika bankable maka proyek ini merupakan proyek yang berpotensi besar dan sangat menguntungkan, selain itu karena bankable maka bisa saja bukan bank yang menjadi fundertetapi juga semua pihak, itu dilihat dari standar bank yang sangat kompleks.
Dari hasil analisa studi kasus ini didapatkan adanya perbedaan analisis finansial antara bank umum dengan bank syariah yaitu lebih baiknya hasil dari MR, NPV, dan Payback yang di dapat bank syariah dibanding bank umum, dan dari hasil tersebut didapat kesimpuln bahwa pendanaan melalui bank syariah merupakan pilihan yang paling tepat."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S35847
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pizonial Sasrihila
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
TA2701
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andrie Priandiri Sudarwanto
"Foodbank menjadi salah satu organisasi berperan dalam pengentasan masalah kelaparan dan kerawanan pangan akibat kemiskinan, serta menjadi organisasi kontroversial dengan kritik ditujukan kepada foodbank karena dianggap sebagian besar pendekatannya hanya dapat dikategorikan sebagai bantuan darurat. Namun hal tersebut berbeda dengan yang ditemukan pada foodbank di Indonesia, khususnya Foodbank of Indonesia (FOI). Dalam konteks kesejahteraan sosial, studi ini merupakan studi pertama terkait bank makanan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan strategi pembangunan sosial yang digunakan Foodbank of Indonesia dalam membantu mengatasi masalah kelaparan dan gizi buruk akibat kemiskinan melalui program Kampung Anak Sejahtera di Desa Cibatok, Kabupaten Bogor. Selain itu, menggambarkan manfaat yang diterima oleh stakeholder yang terlibat menjadi tujuan yang kedua. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif, lebih menitikberatkan pada deskripsi aktivitas dan fenomena sosial. Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumenter dan studi pustaka, wawancara mendalam, dan observasi. Informan terdiri dari staf FOI, pemerintah daerah dan penerima manfaat dengan teknik pemilihan purposive sampling. Hasil dari penelitian ini adalah FOI memiliki karakteristik pembangunan sosial dan juga memiliki sinergi dari tiga strategi pembangunan sosial, yaitu strategi individu, komunitas dan pemerintah.

Foodbank is one of the organizations playing a role in alleviating the problem of hunger and food insecurity due to poverty, as well as being a controversial organization with criticism aimed at foodbank because its approached is considered be categorized as emergency assistance. However, different thing found in food banks in Indonesia, especially the Foodbank of Indonesia (FOI). In the context of social welfare, this study is pioneer research related to food banks in Indonesia. The purpose of this study is to describe social development strategies used by Foodbank of Indonesia helping to overcome the problem of hunger and malnutrition due to poverty through the Kampung Anak Sejahtera program in Cibatok Village, Bogor Regency. In addition, describing the benefits received by the stakeholders involved becomes the second objective. This study uses qualitative methods with descriptive research, with more emphasis on the description of social phenomena and activities. The data was collected through documentary and literature studies, in-depth interviews, and observations. The purposive sampling technique uses as sampling method. The result is that FOI has the characteristics of a social development and also has a synergy of three social development strategies, individual, community and government strategies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Farida Swasono
"Disertasi ini mengkaji masalah kesehatan jiwa, khususnya masalah stres yang dialami oleh penduduk miskin yang tergusur oleh proyek pembangunan yang dilaksanakan di tempat tinggal mereka. Obyek penelitian adalah masyarakat Marunda Besar di Kelurahan Marunda, Jakarta Utara.
Kajian disertasi ini menunjukkan bahwa kompensasi material berupa biaya pindah tempat, yang kadangkala juga ditambah dengan penyediaan lokasi pemukiman baru sebagai suatu paket penggusuran, tidak menjamin penyelesaian masalah yang menimpa penduduk tergusur itu. Penggusuran ternyata memerlukan penyelesaian yang lebih terintegrasi, cermat dan penuh kepekaan, yang meliputi kesehatan jiwa mereka.
Peningkatan stres dan disintegrasi sosial-budaya terjadi pada pihak yang tergusur karena proyek pembangunan mengakibatkan perubahan lingkungan fisik dan sosial-budaya yang cepat. Terdapat lebih banyak respons maladaptif daripada respons adaptif, karena adanya keterbatasan kemampuan budaya masyarakat dalam beradaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan yang terlalu berat; yang muncul karena kehadiran proyek pembangunan dan segala akibatnya itu_ Karena itu kajian mengenai masalah stres yang dialami oleh masyarakat yang sedang membangun menjadi obyek yang relevan dan merupakan suatu tuntutan bags penelitian antropologi.
Penelitian ini mengacu kepada model teoritis yang dihasilkan oleh D.P. Lumsden mengenai sistem terbuka yang mengalami stres (amnen system under stress) dan teori integrasi-disintegrasi sosial-budaya yang diajukan oleh A.H. Leighton.
Untuk mengukur tingginya stres, digunakan instrumen penelitian Daftar Isian Kesehatan Cornell Medical Index (CMI) yang telah dimodifikasi oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Depkes RI untuk digunakan di Indonesia. Dengan memodifikasi pula indikator-indikator Leighton agar sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat Marunda Besar, dapat dihasilkan perhitungan korelasi antara skor disintegrasi sosial-budaya dan skor CMI.
Dari penelitian ini telah diperoleh hasil yang mencakup empat pokok, yaitu:
Pertama, berbagai masalah lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya yang berat yang harus dihadapi oleh Marunda Besar, berpengaruh negatif pada kesehatan jiwa mereka.
Kedua, hasil pengukuran stres yang menggunakan kuesioner CMI menemukan adanya 73 orang dari 166 orang responden (43,98%) yang mengalami gangguan psikofisiologi yang bermakna. Angka persentasi ini cukup tinggi diperbandingkan dengan ukuran WHO yang menentukan prevalensi gangguan jiwa ringan dalam masyarakat pada umumnya hanya berkisar antara 40-80 orang di antara 1000 penduduk (4-8%).
Ketiga, perhitungan korelasi antara skor dieintegrasi sosial-budaya dan skor CMI lebih rendah (0,271) daripada penemuan hasil penelitian Leighton yang menunjukkan korelasi yang lebih tinggi (sekitar 0,45). Korelasi yang lebih rendah ini tampak berkaitan dengan konsepsi tentang nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang menimbulkan rasa aman, yang sebenarnya bersifat semu.
Keempat, pembangunan di lingkungan itu ternyata telah menimbulkan penderitaan psikologi, sosial-budaya dan ekonomi pada penduduk setempat. Hal ini dapat dilihat sebagai kekurangtepatan orientasi pembangunan dalam bentuk model pembangunan yang mengutamakan manfaat ekonomi secara makro, umat kurang memperhatikan kepentingan masyarakat di tingkat mikro, spasial dan sektoral. Kajian tentang stres, disintegrasi sosial-budaya, dan respons maledaptif yang bersumber pada hambatan kemampuan budaya masyarakat dalam mengatasi berbagai tantangan dalam lingkungan, menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa tidak dapat diabaikan dalam penanganan masalah penggusuran. Masalah penggusuran dan kesehatan jiwa harus diperlakukan sebagai bagian integral dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan.

Development Project, Relocation of Kampungs and Stress among the Marunda Besar Population, Northern JakartaThis dissertation examines the mental health problem, particularly stress, suffered by the poor facing relocation of their living quarters. The object of research was the population of Marunda Besar, Kelurahan Marunda, Northern Jakarta.
The research pointed out that material compensation in the form of moving expenses which sometimes was supplemented by the preparation of new location as a relocation package, did not guarantee in solving the problems' faced by the people. It turned out that re-location needed a more integrated 'solution, which is meticulous and subtle, towards the people's mental health.
An increase of the degree of stress and socio-cultural disintegration had been experienced by the relocated people, as the development project in the area created rapid environmental as well as socio-cultural changes. There were more maladaptive responses to these changing physical and socio-cultural environments than adaptive responses, since the existence of the project and its entire consequences had turned to be beyond the people's cultural ability to overcome_ Therefore the study on stress experienced by a developing community becomes a relevant one, which calls for an anthropological research.
This dissertation is based on the theoretical model by D.P. Lumeden concerning an open system under stress and the theory of socio-cultural integration-disintegration put forward by A. H. Leighton.
In measuring the degree of stress, the research instrument Cornell Medical Index (CMI) has been used. The instrument has been modified by the Directorate of Mental Health of the Department of Health of the Republic of Indonesia, for its use in Indonesia. With further modification on Leighton's indicators to make it relevant to the socio-cultural conditions of the Marunda Besar population, a correlation of the score of socio-cultural disintegration and CMI score could be made.
Four major findings have been gained as the following:
First, several grave environment as well as socio-cultural problems faced by the Marunda Besar population had a negative effect to the people's mental health.
Second, the results of the measurement of stress utilising CMI research instrument had proven that 73 out of 166 respondents {43.98%) suffered from psycho-physiological disorders. The percentage is much higher compared to the WHO measurements stating that the prevalence of mild mental disturbances in a community ranges between 40-80 people in every 1000 (4%-8%).
Third, the correlation between the socio-cultural disintegration score and the CMI score was lower (0.271) than the finding in the Leighton's study (around 0.45). The lower correlation is closely related to the conception on the people's cultural values of mutuality and brotherhood that create the sense of safety which is mostly imaginary.
Fourth, the development around the area turned out to have caused psychological, socio-cultural as well as economic sufferings to the local population. This can be viewed as an improper development orientation relying on the macro-economic development model with an emphasis on economic growth and gain, less sufficiently concerns with the interest of people at the micro, spatial and sectoral dimensions. The research on stress, socio-cultural disintegration, and maladaptive responses due to cultural constraints in overcoming environmental barriers, showed that mental health problem in connection with the management of relocation of people's living quarters demands serious attention. Relocation and the mental health of the relocated people should be treated as an integral part of the implementation of development projects.
Four major findings have been gained as the following:
First, several grave environment as well as socio-cultural problems faced by the Marunda Besar population had a negative effect to the people's mental health.
Second, the results of the measurement of stress utilising CMI research instrument had proven that 73 out of 166 respondents {43.98%) suffered from psycho-physiological disorders. The percentage is much higher compared to the WHO measurements stating that the prevalence of mild mental disturbances in a community ranges between 40-80 people in every 1000 (4%-8%).
Third, the correlation between the socio-cultural disintegration score and the CMI score was lower (0.271) than the finding in the Leighton's study (around 0.45). The lower correlation is closely related to the conception on the people's cultural values of mutuality and brotherhood that create the sense of safety which is mostly imaginary.
Fourth, the development around the area turned out to have caused psychological, socio-cultural as well as economic sufferings to the local population. This can be viewed as an improper development orientation relying on the macro-economic development model with an emphasis on economic growth and gain, less sufficiently concerns with the interest of people at the micro, spatial and sectoral dimensions. The research on stress, socio-cultural disintegration, and maladaptive responses due to cultural constraints in overcoming environmental barriers, showed that mental health problem in connection with the management of relocation of people's living quarters demands serious attention. Relocation and the mental health of the relocated people should be treated as an intregral part of the implementation of development projects.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
D356
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>