Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161014 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Sutan Nadal as the main character of this tale became the Prime Minister of Majapahit kingdom in Java. He was known as Gajah Mada. This is interesting to be studied since the origin of Gajah Mada has not been known yet. This Minangkabau classical tale, in Lévi-Strauss structuralism context, should not been put in controversy based on the history and reality. The story, which is believed by certain society and regarded as a true story, could be regarded as a tale by other societies.
The sintagmatic relation—relation of characters with others in the story—shows paradigmatic relation—relation of the various characters in the same level. The analysis of the story also found two bundles of relations. They are a bundle of aristocracy relation and a bundle of government relation between Minangkabau and Majapahit kingdom. The analysis of the relation of the characters and bundles of relations reveal the surface structure which shows relations among elements that could be built based on the external characters or empirical characters of the relation, such as family stucture of each characters.
The ‘Bujang Jauh’ tale contain the culture of Minangkabau culture which has been extinct. Based on the tale, it is known that a certain society has a whole social system in which all the members have the same tradition and language. Culture is not so simple which is happen instantly. Each society has different culture."
899 WE 1:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Yulia
"Skripsi ini membahas mengenai perkembangan kartun politik di Australia dan analisisnya terhadap hubungan Australia-Indonesia terkait isu Timor Timur 1974-2002. Pemilihan judul tersebut dengan alasan bahwa kartun politik merupakan salah satu sarana bagi masyarakat Australia untuk mengungkapkan pendapatnya mengenai kebijakan pemerintahannya, sehingga dalam hubungan Australia-Indonesia seringkali terdapat kartun politik yang menggambarkan kebijakan Pemerintah Australia terhadap Indonesia terkait dengan isu Timor Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini adalah bahwa kartun politik di Australia merupakan sebuah senjata untuk mengkritisi kebijakan Pemerintah Australia yang dalam hal ini mengenai isu Timor Timur, kartun politik juga bisa merepresentasikan bagaimana pandangan masyarakat Australia terhadap kebijakan Pemerintah Australia terkait Timor Timur.

The Focus of this study is about Australian political cartoons developments and its analysis toward Australia-Indonesia relationship related to East Timor issues. The reason for choosing this topic is because political cartoon is one of Australian political traditions for the Australians to express their opinions about government policies. In Australia-Indonesia relationship, there was a lot of political cartoon. One of the topics for Australia political cartoon is East Timor issue. This research using historical methods which is consist of four steps, heuristic, critic, interpretation, and historiography. The researcher suggests that Australia political cartoon analysis toward Australia-Indonesia relation is necessary because with political cartoon we can see how the Australians see about their government policies toward East Timor Issue.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S12213
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Weber, Edgar
Paris: L'Harmattan, 1992
297.094 4 WEB i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Triana Wulandari
"Dalam masyarakat multietnik, hubungan antar etnik merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh individu-individu yang terlibat dalam masyarakat tersebut. Seringkali hubungan antar etnik membawa berbagai konsekuensi, yang tidak saja positip tetapi juga negatip. Dalam masyarakat Kenten, dimana keragaman etnisitas mewarnai kehidupannya, hubungan-hubungan antar individu yang berlatarbelakang kultur berbeda-beda ternyata tidak selamanya menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatip. Masing-masing individu yang berbeda kultur tersebut, disamping masih mempertahankan identitas budayanya, juga melakukan hubungan-hubungan sosial yang saling mengisi dan melengkapi, dimana individu-individu saling belajar dan berkomunikasi secara akomodatif.
Perbedaan-perbedaan yang ada terakomodasi melalui serangkaian tindakan warga masyarakat dengan melakukan aktivitas-aktivitas sosial, seperti lomba adu ayam, arisan, kegiatan kematian, pengajian, doa bersama, dan lain sebagainya. Dalam berbagai aktivitas tersebut, warga masyarakat memberikan apresiasi secara partisipatif, dengan meminimalkan perbedaan-perbedaan yang ada, dan secara langsung ataupun tidak langsung telah memungkinkan terjadinya proses pembauran. Pembauran dapat berlangsung secara alami dalam lingkungan masyarakat Kenten, manakala antar warga berusaha mengurangi sikap prasangka dan diskriminatif terhadap etnis lain yang berbeda. Dalam banyak kasus, suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa sikap-sikap stereotipik dan berbagai persepsi negatit masih mewarnai interaksi sosial yang terjadi. Akan tetapi pada umumnya sikap stereotipe berkembang atau tumbuh karena pengalaman-pengalaman individual, yang seringkali sangat sulit untuk dijadikan patokan atau pedoman bagi warga lainnya.
Persepsi ataupun pengetahuan yang kurang proporsional yang dimiliki sebagian kecil masyarakat Kenten, misalnya etnis Palembang yang pemalas, etnis Minang yang suka main curang, etnis Cina yang kikir, ataupun etnis Jawa dan Sunda yang suka bermanis muka, dalam kehidupan sehari-harinya ternyata tidak ditampakkan secara berlebihan sehingga pembauran antar warga dapat berlangsung dengan alami. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh warga yang banyak melakukan perkawinan dengan etnik yang berbeda. Dalam perkawinan antar etnik, masing-masing individu mengikuti kesepakatan bersama yang dilakukan oleh pihak keluarga mempelai wanita ataupun pria.
Disisi lain konflik-konflik yang sering muncul, sebagai akibat perbedaan-perbedaan kultur yang ada, lebih banyak diselesaikan secara kekeluragaan. Dalam banyak kasus konflik-konflik yang muncul dinilai oleh sebagian masyarakat Kenten sebagai kekurangpahaman individu di dalam menterjemahkan setiap pesan dan tindakan yang dilakukan oleh individu yang lain. Karena itu konflik yang ada dapat dengan mudah diselesaikan, walaupun seringkali konflik muncul dengan permasalahan yang relatif sama dan kualitas yang relatif sama pula. Misalnya konflik antar agama, dimana seringkali emosi seseorang dengan mudah diaktifkan, penyelesaiannnya relatif lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Siasanya peran tokoh agama menjadi sentral, dan musyawarah atau negosiasi yang berulang-ulang dilakukan untuk memperoleh persepsi yang sama. Dengan kata lain, penyelesaian konflik yang bersumber dari agama membutuhkan kerja keras para warga masyarakat untuk bisa menerima perbedaan-perbedaan nilai yang terkadung dalam masing-masing agama yang dianut. Pengalaman para warga masyarakat selama ini dalam memecahkan setiap konflik yang bersumber dari agama, tampaknya dijadikan modal oleh warga masyarakat dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi. Dengan demikian konflik-konflik yang muncul dapat terselesaikan secara baik, dan ini meneguhkan tesis bahwa konflik bersumber agama bagi masyarakat Kenten bukanlah faktor yang dapat mengurangi solidaritas sosial yang dibangun selama ini."
2001
T9705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Aris Munandar
Bogor: Akademia, 2009
930.1 AGU g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sinulingga, Carolyn
"Skripsi ini membahas interaksi antara Perancis dan Komisi Eropa dalam pelaksanaan prosedur merger antara GDF dan Suez. Permasalahan muncul ketika KE menyatakan penolakannya terhadap merger, dikarenakan potensi merger menghalangi kompetisi pada pasar-pasar UE. Interaksi tersebut dilakukan di dalam tiga tahap yang pada akhirnya menghasilkan keputusan KE mengizinkan dilanjutkannya proses merger.
Dilatarbelakangi oleh analisa atas berbagai pendekatan integrasi internasional yang menunjukkan peran dominan negara, penelitian ini pada akhirnya memberikan suatu studi kasus yang mengetengahkan supranasionalisme institusi internasional terhadap negara. Temuan penelitian ini dipandang menghadirkan karakteristik baru hubungan antara negara dengan institusi internasional yang secara khusus tercermin di dalam studi kasus interaksi antara Perancis dan Komisi Eropa. Dengan landasan tiga peraturan UE, yakni Competition Regulation, Merger Regulation, dan Gas Directives, ditunjukkan bahwa pemerintah Perancis merupakan suatu aktor subordinat tehadap Komisi Eropa. Sehingga, dalam upayanya mencapai kepentingan nasional, Perancis harus melakukan berbagai penyesuaian sebagai bentuk compliance terhadap otoritas KE.

This thesis elaborates the interaction between France and the European Commission during the implementation of merger procedure for Gaz de France and Suez. Conflict emerged when the European Commission objected the merger and concluded that it raises serious doubts as to its compatibility with the common market. The interaction happened in three stages and ended by EC?s permission for the continuation of the merger.
Against the conventional approaches on international integration as its theoretical backdrop, this thesis provides an elaboration of a case study where international institution plays a supranational role in its relations with state. Therefore, this thesis is considered to offer a new characteristic of relations between international institution and member state, especially in the case of EC and France. With Competition Regulation, Merger Regulation, and Gas Directives constrained its behavior, France is positioned as a subordinate actor vis à vis EC. Therefore, in order to achieve its national security, France is obliged to comply with authority exerted by EC.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Mochtar Cilah
"Timor Leste, Timor Timur, Loro Sae adalah nama yang sering disebut untuk negara yang baru hadir dalam politik internasional sebagai negara berdaulat. Kehadirannya tidak secara tiba-tiba, tapi lewat perjuangan yang panjang dari dua rezim yang menguasainya. Hubungan Australia dan Timor Leste bukan juga baru terbentuk sejak Timor lepas dan Indonesia, tapi telah berlangsung lama sebelum Timor Leste menjadi negara. Namun hubungan itu bukan dalam bentuk `state', karena ada rezim yang menguasainya. Hubungan Australia dan Timor Leste semakin intens sejak Indonesia mengalami krisis. Perjuangan rakyat Timor Timur untuk merdeka diperkuat dengan bantuan Australia sampai menuju kemerdekaan. Australia bagai juru selamat Timor Leste.
Namun belakangan hubungan kedua negara menjadi buruk, karena hubungan kedua negara ditentukan oleh dua kepentingan yang sama yaltu 'kedaulatan territorial/perbatasan dan sumber daya alam yang diperebutkan. Kedua hal ini bukan persoalan baru tapi merupakan kisah lama yang berlanjut dan rumit karena berakar dari progres hukum internasional yang berubah.
Australia merasa claim atas teritorialnya 'legitimate' dengan konvensi Genewa tentang hukum laut 1958, begitupun Timor Leste merasa lebih berhak dengan konvensi PBB mengenai hukum laut 1982. karena di dalam daerah yang disengketakan itu terdapat potensi ekonomi yang sangat signifikan bagi kedua negara, maka logika sehatnya memang mengharuskan mereka bertengkar.
Pertengkaran itu bisa saja diselesaikan bila para pihak ingin selesai. Lembaga Hukum Internasional tersedia bila para pihak menghendakinya. Namun hukum internasional tak memiliki kekuatan memaksa seperti lembaga nasional. Menyusul pengumuman Australia keluar dan Mahkamah lnternasional maka pilihan penyelesaian tinggal pada kreatifitas bilateral. Dari sini diplomasi-negosiasi mengambil tempat untuk penyelesaian persoalan.
Untuk satu masalah sumber daya yang berupa minyak dan gas, walaupun lewat ancaman-ancaman mereka berhasil mencapai kesepakatan 'Joint Development Area' yang mereka namakan `Timor Sea Treaty' dengan porsi 90:10, tapi persoalan perbatasan terus bertanjut.
Hubungan kedua negara masih berlangsung walau dalam pertengkaran. Usaha diplomasi-negosiasi terus mereka usahakan dan sampai pada suatu pertemuan Australia mengajukan proposal penyelesaian perbatasan dalam waktu 20 tahun lagi. Hal ini semakin membuat Timor Leste marah dan menyebut Australia sebagai 'Kriminal'.
Dalam tesis ini akan menelusuri dinamika pergerakan perundingan tawar menawar kedua belah pihak dalam apa yang dinamakan Diplomasi' sebagai `the Art Of The Compromise'. Meneliti kepentingan yang harus dipertahankan oleh Australia dalam hal perbatasan yang dapat dikatakan bahwa Australia menginginkan suatu penyelesaian untuk tidak selesai kecuali `minyak dan gas'. Hal itu dapat dilihat dari Cara Australia memainkan `pace' perundingan dan menolak menentukan ?Time Table' perundingan perbatasan, terus mengulur waktu dalam kondisi Timor Leste yang `desperado'."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mantong, Andrew Wiguna
"Skripsi ini mencari hubungan antara tingkat penerapan bantuan pendidikan Decentralizing Basic Education (DBE) sebagai bentuk kekuasaan produktif Amerika Serikat (AS) dengan tingkat pemahaman budaya demokrasi yang terdiri dari dimensi habitus, ketiadaan etos lama, dan prinsip deliberatif pada siswa-siswi sekolah dasar kelas 5 di Kota Bogor. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain eksplanatif untuk membuktikan ketidakmampuan program yang dilandasi oleh Teori Modernisasi dalam mendukung demokratisasi melalui pendidikan.
Hasil penelitian menyatakan bahwa hubungan tidak terdapat karena keberadaan etos lama yang masih mengakar dalam implementasi bantuan dari pemerintahan Bush yang neokonservatif, alih-alih penampakan bentuk kuasa dalam sebuah struktur ideasional yang tercermin dalam bantuan pendidikan ini.

This undergraduate thesis seeks relation between the level of US Education Aid DBE implementation as a manifest of US Productive Power with the level of student understanding of democratic culture consisted of habits, the erosion of old ethos, and principle of deliberative in 5th grade elementary school students in Bogor City. This research is quantitative with explanative design to prove program? inability founded of Modernization Theory in supporting democratization through education.
The results find that no relation exists due to persistency of old ethos in the implementation of Neoconservative-Bush Administration Aid, instead of the manifestation of power form in an ideational structure reflected from this education aid.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Grata Endah Werdaningtyas
"ABSTRAK
Tesis ini berbicara mengenai kebijaksanaan Inggris terhadap Uni Ekonomi dan Moneter, dengan fokus kebijaksanaan Inggris terhadap mata uang tunggal Eropa atau yang lebih dikenal sebagai Euro. Pembentukan mata uang tunggal Eropa sebagai tahap akhir uni ekonomi dan moneter merupakan salah satu fenomena terakhir dalam integrasi kawasan. Integrasi kawasan Eropa Barat yang dimulai semenjak paska PD II, kini telah mencapai tahap integrasi antar negara yang paling mendalam di dunia, dengan dibentuknya mata uang tunggal Eropa/Euro, sebagai tahap akhir dan uni moneter dan ekonomi Eropa. Uni moneter diharapkan akan membuka jalan bagi langkah -langkah lebih maju ke arah uni politik.
Namun dalam atmosfir integrasi yang sudah cukup dalam ini, tetap terdapat beberapa hambatan di antara negara anggota Uni Eropa untuk memberikan komitmen yang kuat ke arah integrasi menyeluruh. Hal ini tampak saat Inggris, Swedia dan Denmark memutuskan untuk menunda bergabung dalam euro. Penulis memilih untuk membahas lebih lanjut berbagai faktor yang melatar belakangi keputusan Inggris tersebut. Mengingat keberadaan Inggris sebagai salah satu negara besar di Eropa, maka setiap tindakannya akan memberikan dampak pada langkah-langkah integrasi Eropa selanjutnya. Besarnya peran, pentingnya peran dan komitmen pemerintah nasional dalam suatu proses integrasi juga menjadi bagian dari kajian Robert Keohane dan Stanley Hoffman, Keohane dan Hoffman berargumentasi bahwa fokus awal yang tepat bagi analisa adalah tawar-menawar yang terjadi pada tingkat antar pemerintahan (intergovermental).
Di balik berbagai teori yang berupaya menjelaskan fenomena kerjasama antar negara di Eropa Barat, satu hal yang pasti adalah kenyataan bahwa selama ini terdapat berbagai kekuatan yang menyatukan maupun memecah belah Eropa (unifying and dividing forces). Kekuatan-kekuatan ini bermunculan pada tingkat regional dan nasional, serta mempengaruhi prospek masa depan integrasi Eropa. Dalam kasus Inggris, proses pengambilan kebijaksanaan terhadap EMU dipengaruhi oleh Kekuatan Negara (Statism) dan Kekuatan Pasar (Market Forces). Di satu sisi kekuatan pasar cenderung menciptakan dan mendorong interdependensi serta tidak menghiraukan kedaulatan. Di sisi lain, walaupun Inggris secara kelembagaan telah menjadi anggota EC, namun kehidupan bernegara masyarakat Inggris belum terintegrasi dalam komunitas Eropa.
Dua variabel yang dianggap melatarbelakangi keputusan Inggris untuk menunda keanggotaannya dalam mata uang tunggal Eropa, yaitu Sentimen Nasionalisme di kalangan masyarakat Inggris dan berbagai pertimbangan dampak uni moneter terhadap perekonomian Inggris. Variabel yang pertama berkenaan perdebatan mengenai apakah uni moneter memang dapat mendorong ke arah integrasi politik, sementara uni moneter tidak dapat sukses tanpa dukungan dan komitmen politik masyarakat negara anggota Eropa. Bergabung dengan mata uang tunggal Eropa memiliki konsekuensi hilangnya Poundsterling dan otoritas kebijaksanaan moneter nasional. Kelompok yang bersifat skeptis, memiliki kekhawatiran euro akan menjadi titik awal perlucutan kebijaksanaan nasional di bidang lainnya, sehingga makin merongrong kedaulatan nasional suatu bangsa. Dampak uni moneter terhadap perekonomian Inggris, juga menjadi pertimbangan mendasar mengenai kebijaksanaan terhadap mata uang tunggal. Singkatnya negara Uni Eropa, terutama Inggris belum memenuhi tingkat integrasi yang diperlukan untuk mencapai suatu uni moneter yang sukses. Sebaliknya dengan kondisi yang ada sekarang dikhawatirkan sistem uni moneter menjadi tidak efisien, dan dalam sejarah telah terbukti bahwa suatu sistem perekonomian yang tidak efisien usianya tidak akan bertahan lama.
Kombinasi dari pertimbangan politis dan ekonomis mengenai berbagai dampak yang timbul sebagai konsekuensi keanggotaan dalam mata uang tunggal Eropa menjadi dasar keputusan Inggris untuk menunda keikutsertaannya. Namun keputusan ini tidak menutup peluang Inggris untuk menjadi anggota, bila suatu saat nanti keanggotaan dalam euro dianggap penting untuk mencapai kepentingan nasional Inggris."
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>