Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160170 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Berbagai studi mengenai kebakaran hutan sudah dilakukan dan belum banyak
kemajuan yang dicapai untuk mengatasi masalah ini di Indonesia. Alasan-alasannya
antara lain adalah kerancuan kebijakan, keterbatasan pemahaman tentang
dampaknya terhadap ekosistem dan kekaburan tentang berbagai penyebab kebakaran
hutan sebagai akibat ketidakpastian tanggapan secara ekonomi dan kelembagaan
terhadap kebakaran hutan. Masalah kebijakan yang terkait dengan kebakaran
hutan/lahan adalah pencemaran kabut asap, degradasi hutan dan deforestasi beserta
hasil hutan dan jasanya yang juga hilang, dan dampak negatifnya bagi sektor pedesaan
akibat emisi polutan yang ditimbulkan dari kebakaran hutan tersebut. Oleh sebab itu
sangat perlu adanya pengawasan ketat dari pemerintah daerah di Indonesia dalam
upaya mengurangi dan menanggulangi kebakaran hutan termasuk pengembangan
kerjasama antar instansi terkait."
620 DIR 11:2 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas
"[;;;, ABSTRAK
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau mulai marak seiring dengan
meningkatnya laju penebangan hutan, pembersihan lahan dan iklim kering. Karhutla
menyebabkan pencemaran udara bahkan hingga ke Singapura sehingga
mempengaruhi ketegangan politik diantara kedua negara. Karhutla kerap terjadi tiap
tahunnya, padahal sudah banyak regulasi dan institusi yang menangani pencegahan
karhutla serta pengendalian bencana asap. Ketika proses pembakaran biomassa
terjadi, pencemar aerosol terlepas ke udara. Tingginya konsentrasi aerosol
menurunkan kualitas udara setempat dan mengurangi jarak pandang. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis kaitan karhutla di Provinsi Riau pada Juni 2013 dengan
pencemaran udara di Riau dan Singapura, karakteristik aerosol di Singapura pada saat
periode karhutla di Riau dan menganalisis implementasi kebijakan pencegahan dan
pengendalian bencana asap akibat karhutla. Metode penelitian yang digunakan adalah
campuran kuantitatif dan kualitatif dengan data sekunder dan primer yang berasal
dari wawancara. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kebakaran di Riau pada Juni
2013 mengakibatkan kenaikan ISPU hingga 1084 (berbahaya) di Riau, kenaikan
konsentrasi PM 2,5, dan menurunkan visibilitas di Singapura. Hasil karakterisasi
melalui parameter aerosol optical depth (AOD), parameter Ångstrom, dan distribusi
ukuran partikel menunjukkan keberadaan aerosol berukuran kecil dengan jumlah
lebih banyak di Singapura yang merupakan ciri aerosol dari karhutla.
Lemahnya kepemimpinan dan penegakan hukum, kurangnya koordinasi antar institusi di tingkat pemerinrah daerah, dan belum optimalnya pemanfaatan informasi peringatan dini adalah sejumlah faktor penghambat implementasi kebijakan pengendalian bencana
asap akibat karhutla.

ABSTRACT
Forest and land fire in Riau increase along with the rapid deforestation, land clearing, and fueled by dry climate. Forest and land fire causes trans-boundary air pollution up to Singapore and creates tensions among neighboring countries. Fires in Riau routinely occur every year, although there are a lot of regulations and institutions dealing with fire prevention and smoke haze management. When biomass burns, certain aerosol pollutant is emitted to the atmosphere. High concentration of aerosol could degrade the local air quality and reduce visibility. This study aimed to analyze the relation of forest and land fire in Riau in June 2013 with the air pollution in Riau and Singapore, the characteristics of aerosol in Singapore during the fire period in Riau and the implementation of fire prevention and smoke haze management policies.Research method that being used are a mixture of quantitative and qualitative with secondary and primary data from interview. The research found that Riau fires in June 2013 resulted the increase of Pollutant Standard Index (PSI) until 1084 (hazardous) in Riau, increase the concentration of PM 2,5, and reduce visibility in Singapore. Aerosol characterization through aerosol optical depth (AOD), Ångstrom parameter and particle size distribution indicates the existence of a small-sized aerosol in a great number in Singapore which is characteristic of aerosol from forest and land fire. Weak leadership and law enforcement, lack of coordination among institutions in local level as well as low utilization of early warning information are a number of factors inhibiting the implementation of smoke haze management policies.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ridha Restila
"ABSTRAK
Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah yang hampir setiap tahunnya
terjadi di provinsi Riau. Berdasarkan data AQMS kota Pekanbaru, konsentrasi PM10
mengalami peningkatan hingga level berbahaya pada saat terjadinya bencana kebakaran
hutan tersebut. Sementara SO2 masih berada pada level ISPU sedang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan kenaikan pajanan PM10 akibat
kebakaran hutan dan lahan dengan kejadian hipertensi. Desain penelitian yang digunakan
adalah cross sectional study dan dilakukan pada bulan Februari 2016 ? Juni 2016. Sampel
penelitian sebanyak 97 orang pasien rawat jalan Puskesmas Melur dan Puskesmas Rejosari
periode kebakaran hutan tahun 2015 (September ? Oktober 2015). Hasil penelitian pajanan
PM10 selama 4 hari tidak signifikan secara statistik terhadap kejadian hipertensi di Kota
Pekanbaru tahun 2015. Berdasarkan tingkatan ordinal, kategori pajanan PM10 pada tingkat
tidak sehat memiliki OR terbesar yaitu 2,65 (CI 95% 0,48 ? 14,56), kategori sangat tidak
sehat OR sebesar 2,22 (CI 95% 0,34 ? 14,5) dan kategori berbahaya OR 1,69 (CI 95% 0,05
? 50,83). setelah di kontrol variabel konfounding yaitu indeks masa tubuh (IMT),
pendidikan, jenis kelamin, usia, dan riwayat keluarga yang menderita hipertensi.

ABSTRACT
Land and forest fires was a problem that almost occur in the Riau Province every
year. Based on Air Quality Monitoring Sytem (AQMS) data in Pekanbaru, the
concentration of PM10 increased to dangerous level during fire forest episode. While SO2
still at the moderate level. This objective of this study was to determine the relationship
PM10 exposure during land and forest fires in 2015 with hypertension. This design study of
research was cross sectional study and was conducted in February 2016 - June 2016. The
sample was 97 outpatient Rejosari health centers and Melur health centers during fire forest
period in 2015 (September-October 2015). Results of research PM10 exposure for 1 to 8
days was not statistically significant with hypertension in Pekanbaru city in 2015. Under
the ordinal level, exposure category PM10 at unhealthy levels that have the greatest risk
with OR 2.65 (95% CI 0,48 ? 14,56), the category very unhealthy OR of 2.22 (CI 95%
0,34 ? 14,5) and hazardous category OR 1.69 (CI 95% 0,34 ? 14,5), after being controlled
by the variables of body mass index (BMI), education, gender, age, and family history of
hypertension."
2016
T45553
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Ummi Rosyadi
"Skripsi ini membahas tentang respon negara tetangga yang terkena dampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998. Pada penelitian sebelumnya, banyaknya kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada masa Orde Baru disebabkan oleh pengelolaan hutan yang mengedepankan pembangunan ekonomi. Untuk kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997-1998 hanya dijelaskan mengenai dampak berupa kerugian ekonomi dan ekologis. Sementara dalam penelitian ini, akan berfokus pada dampak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997-1998 berupa pencemaran kabut asap lintas batas mengganggu aktivitas negara tetangga, yaitu Malaysia dan Singapura. Hasil dari penelitian ini didapat bahwa permasalahan kebakaran hutan dan lahan Indonesia tahun 1997-1998 menjadi satu bencana nasional yang sulit dituntaskan oleh Indonesia sendiri. Singapura dan Malaysia sebagai negara tetangga yang terkena dampak dari kabut asap memberikan respon agar masalah ini dapat ditangani dalam skala regional, sehingga kebakaran hutan dan lahan tahun 1997-1998 menjadi salah satu awal mula kesadaran Asia Tenggara untuk menetapkan regulasi baru atas satu permasalahan pencemaran lingkungan lintas batas, khususnya pada pencemaran udara. Pada penulisan artikel ini, penulis menggunakan metode sejarah. Artikel ini menggunakan data yang diperoleh melalui studi literatur berupa dokumen pemerintah, koran, buku, dan publikasi jurnal.

This paper discusses the response of neighboring countries affected by haze due to forest and land fires that occurred Indonesia in 1997-1998. In previous studies, the number of cases of forest and land fires that occurred during the New Order was caused by forest management which prioritized economic development. For forest and land fires 1997-1998 only explained the impact of economic and ecological losses. While in this study will focus on the impact of forest and land fires 1997-1998 in the form of cross-border smoke pollution disrupting the activities of neighboring countries, such as Singapore and Malaysia. The results of this study found that the problems of Indonesian forest and land fires in 1997-1998 became a national disaster that was difficult to solve by Indonesia itself. Singapore and Malaysia as neighboring countries affected by the haze responded to this problem in a regional scale, so that forest and land fires in 1997-1998 became one of the beginnings of Southeast Asian awareness to establish new regulations on a cross-environmental pollution problem, especially on air pollution. This article uses historical methods and data obtained through literature studies from newspapers, books, and journal publications. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daulay, Dzulqurnain
"[ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur tingkat ketangguhan ketahanan nasional adanya pencemaran udara akibat kebakaran hutan dengan pertimbangan sektor kehutanan sebagai salah satu sektor penghasil yang telah berkontribusi setiap tahunnya melalui pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 4,3 trilyun (2014). Fakta empiris menunjukkan bahwa bencana kebakaran hutan terus saja terjadi setiap tahunnya terutama pada musim kemarau, padahal sektor lingkungan hidup setiap tahunnya mendapatkan alokasi anggaran dari pemerintah untuk program pengendalian pencemaran udara, namun pencemaran udara akibat kebakaran hutan belum juga dapat dikendalikan.
Penelitian dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mix method) terhadap kinerja Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pihak pemerintah yang bertanggung jawab terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Analisis penelitian dikelompokkan dalam 4 perspektif yaitu perspektif finansial, perspektif eksternal, perspektif internal, dan perspektif inovation. Instrumen pengukuran secara kuantitatif menggunakan balanced score card dengan menggunakan data sekunder dari pelbagai sumber resmi termasuk Kementerian Kehutanan pada 2011-2013. Responden penelitian ini berjumlah 30 orang, lalu diperdalam secara kualitatif melalui wawancara mendalam untuk guna memastikan validasi hasil pengukuran kuantitatif dengan jumlah informan sebanyak 3 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam perspektif keuangan dengan parameter alokasi angggaran Kementerian Lingkungan Hidup dalam level Tidak Tangguh sedangkan untuk parameter Program Mitigasi Kebakaran Hutan, Penegakkan Hukum dan Anggaran Badan Nasional Penanggulanan Bencara dalam level Tangguh. Perspektif Ekternal dengan parameter Prosentase Penduduk Sehat Di Daerah Rawan Kebakaran, Jumlah Penduduk Terkena ISPA Di Provinsi Rawan Kebakaran, Dampak Kebakaran Bagi Negara Tetangga dalam level Tangguh Perspektif Internal dengan parameter Regulasi Kebakakaran Hutan, Penanganan Kasus Lingkungan, Pengendalian Penceamaran Udara Khususnya Di Provinsi Rawan, Hotspot dalam level Tidak Tangguh dan Perspektif Innovation dengan parameter Pelatihan PPNS dan Pelatihan PPLH dalam level Tangguh.

ABSTRACT
The objective of research is to measure the level of Toughness of National Resilience (Astagatra) to air pollution control from forest fires, which is the forestry sector as one of the producers of the sector. It has been contributing annually through non-tax revenues (non-tax) amounted to 4.3 trillion (2014) for example. Otherwise the empirical facts showed that the fire disaster forest continues to happen every year particular during the dry season. Unfortunetly, the environmental sector that is has been mandate to air pollution management ineffectiveness on controlling although annually receive a budget allocation from the government.
The research method used quantitative and qualitative approaches (mix method) on the performance of the Ministry of Environment has responsible to the protection and management of environment on Indonesia. Classification of analysis into four perspectives: financial perspective, the external perspective, internal perspective, and innovation perspective.
Standard of quantitave method instruments utilize the balanced scorecard and interview to qualitative method. Source of secondary explore to 2011, 2012 and 2013 from all official sources including Ministry of Forestry data?s. The total of responden is 30 peoples consist of official Ministry of Environment and public. To checking and validating of the result of questionary has selected 3 of 30 peoples to deep interview.
The results showed that the Financial Perspective with parameter budget allocation of the Ministry of Environment in no Toughness level while parameter Forest Fire Mitigation Program, Law Enforcement and National Agency Disaster Budget in Toughness, External Perspective with parameter Percentage of Population Health On Fire Prone Areas, ISPA Affected Population In the province of Fire Prone, Impact Fire For Neighbors in Toughness level, Internal Perspective with Regulation parameters Kebakakaran Forests, Environment Case Handling, Control Air Penceamaran Particularly Vulnerable In the province, the level Hotspot No Toughness, Perspectives Innovation with investigators and Training Training parameters PPLH in Toughness level., The objective of research is to measure the level of Toughness of National Resilience (Astagatra) to air pollution control from forest fires, which is the forestry sector as one of the producers of the sector. It has been contributing annually through non-tax revenues (non-tax) amounted to 4.3 trillion (2014) for example. Otherwise the empirical facts showed that the fire disaster forest continues to happen every year particular during the dry season. Unfortunetly, the environmental sector that is has been mandate to air pollution management ineffectiveness on controlling although annually receive a budget allocation from the government.
The research method used quantitative and qualitative approaches (mix method) on the performance of the Ministry of Environment has responsible to the protection and management of environment on Indonesia. Classification of analysis into four perspectives: financial perspective, the external perspective, internal perspective, and innovation perspective.
Standard of quantitave method instruments utilize the balanced scorecard and interview to qualitative method. Source of secondary explore to 2011, 2012 and 2013 from all official sources including Ministry of Forestry data’s. The total of responden is 30 peoples consist of official Ministry of Environment and public. To checking and validating of the result of questionary has selected 3 of 30 peoples to deep interview.
The results showed that the Financial Perspective with parameter budget allocation of the Ministry of Environment in no Toughness level while parameter Forest Fire Mitigation Program, Law Enforcement and National Agency Disaster Budget in Toughness, External Perspective with parameter Percentage of Population Health On Fire Prone Areas, ISPA Affected Population In the province of Fire Prone, Impact Fire For Neighbors in Toughness level, Internal Perspective with Regulation parameters Kebakakaran Forests, Environment Case Handling, Control Air Penceamaran Particularly Vulnerable In the province, the level Hotspot No Toughness, Perspectives Innovation with investigators and Training Training parameters PPLH in Toughness level.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005
S35116
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridha Restila
"ABSTRAK
Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah yang hampir setiap tahunnya
terjadi di provinsi Riau. Berdasarkan data AQMS kota Pekanbaru, konsentrasi PM10
mengalami peningkatan hingga level berbahaya pada saat terjadinya bencana kebakaran
hutan tersebut. Sementara SO2 masih berada pada level ISPU sedang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan kenaikan pajanan PM10 akibat
kebakaran hutan dan lahan dengan kejadian hipertensi. Desain penelitian yang digunakan
adalah cross sectional study dan dilakukan pada bulan Februari 2016 ? Juni 2016. Sampel
penelitian sebanyak 97 orang pasien rawat jalan Puskesmas Melur dan Puskesmas Rejosari
periode kebakaran hutan tahun 2015 (September ? Oktober 2015). Hasil penelitian pajanan
PM10 selama 4 hari tidak signifikan secara statistik terhadap kejadian hipertensi di Kota
Pekanbaru tahun 2015. Berdasarkan tingkatan ordinal, kategori pajanan PM10 pada tingkat
tidak sehat memiliki OR terbesar yaitu 2,65 (CI 95% 0,48 ? 14,56), kategori sangat tidak
sehat OR sebesar 2,22 (CI 95% 0,34 ? 14,5) dan kategori berbahaya OR 1,69 (CI 95% 0,05
? 50,83). setelah di kontrol variabel konfounding yaitu indeks masa tubuh (IMT),
pendidikan, jenis kelamin, usia, dan riwayat keluarga yang menderita hipertensi

ABSTRACT
Land and forest fires was a problem that almost occur in the Riau Province every
year. Based on Air Quality Monitoring Sytem (AQMS) data in Pekanbaru, the
concentration of PM10 increased to dangerous level during fire forest episode. While SO2
still at the moderate level. This objective of this study was to determine the relationship
PM10 exposure during land and forest fires in 2015 with hypertension. This design study of
research was cross sectional study and was conducted in February 2016 - June 2016. The
sample was 97 outpatient Rejosari health centers and Melur health centers during fire forest
period in 2015 (September-October 2015). Results of research PM10 exposure for 1 to 8
days was not statistically significant with hypertension in Pekanbaru city in 2015. Under
the ordinal level, exposure category PM10 at unhealthy levels that have the greatest risk
with OR 2.65 (95% CI 0,48 ? 14,56), the category very unhealthy OR of 2.22 (CI 95%
0,34 ? 14,5) and hazardous category OR 1.69 (CI 95% 0,34 ? 14,5), after being controlled
by the variables of body mass index (BMI), education, gender, age, and family history of
hypertension.;"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Menteri Negara Lingkungan Hidup , 1998
634.9 LAP
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto Sulistyo Nugroho
"Kebakaran hutan di Indonesia merupakan salah satu masalah lingkungan yang terbesar karena hampir selalu terjadi setiap tahun dalam 30 tahun terakhir. Kebakaran hutan di tahun 1992-93 and 1997-98 telah menyebabkan masalah yang luas baik dalam skala nasional maupun regional. Kebakaran tersebut telah merusak jutaan hektar hutan dan lahan sehingga menyebabkan kerugian ekonomi, munculnya asap hitam, masalah sosial termasuk berbagai penyakit, dan kehancuran lingkungan. Usaha perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi akan sangat sulit dan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Kebakaran hutan terjadi jika kalor yang dilepaskan dari proses kebakaran melebihi kalor yang dapat dilepaskan ke lingkungan. Kebakaran umumnya diawali oleh api kecil, sehingga sangat dipengaruhi oleh kekuatan sumber api. Pada saat kebakaran hutan mulai membesar, api akan terus membesar walaupun sumber telah dihilangkan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari sifat pembakaran spontan dari berbagai bahan bakar hutan seperti sabut kelapa sawit, serpihan kayu, gambut dan batubara muda. Penelitian ini akan dapat memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap peran mekanisme pemanasan spontan sebagai sumber kalor/panas bagi pembakaran spontan bahan bakar hutan. Hasil pengukuran seperti temperatur kritis dan parameter kinetika oksidasi digunakan sebagai dasar untuk menentukan sifat terbakar sendiri dari sampel yang diuji.
Hasil penelitian terhadap sabut kelapa sawit, gambut, serpihan kayu dan batubara muda memperlihatkan bahwa material ini memiliki kecenderungan untuk terbakar sendiri. Namun demikian, perlu dipahami bahwa hasil yang ditunjukkan ini diperoleh dari penelitian skala laboratorium dengan berbagai parameter pengujian yang diatur secara cermat. Keinginan untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh untuk skala yang lebih besar masih rnemerlukan pengkajian lebih lanjut. Sifat pembakaran spontan dari sampel yang diteliti dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti temperatur ambien, kandungan air, sifat kimia dan fisika sampel, ukuran basket dan luas permukaan.

Forest fires in Indonesia remains one of the greatest environmental problems since it happens almost every years during the past 30 years. The forest fires in 1982-1983 and 1997-1998 resulted in widespread problems nationally and regionally. The fires destroyed millions ha of forest and land which caused financial losses, produced great black smoke, caused social problems including many diseases, and environmental catastrophy. Regeneration of the losses will be very difficult and take years.
Forest fires occurs when the heat evolved from combustion is sufficient to overcome heat losses. Ignition is initiated by a source of heat such as a flame. At first the ignition process is influenced by the source. Once started, forest fires can continue eventhough the source of heat have been removed.
The objectives of this research work are to study the self-ignition behaviours of forest fuels such as wood debris, peat, palm shell and low rank coals. This study will provide initial explanations on the role of self-heating mechanism as the source of heating for spontaneous combustion of forest fuels. The measured experimental values of the critical ambient temperatures and the kinetic oxidation parameters are used as the basis of determination of the self-ignition propensity of the samples.
The experimental results using palm shell, peat, wood debris and low rank coal showed that there is a tendency for these fuels to combust spontaneously. However, one realised that the experimental works were carried out in small-laboratory scale within a carefully controlled conditions. An attempt to extrapolate the results to full scale problems requires further justification. The self-ignition behaviour of the samples were affected by various factors including ambient temperature, moisture content, chemical and physical properties of the samples, basket sizes, and surface areas.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>