Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61815 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erawati Wulandari
"Tamarindus indica (tamarind) is an established traditional medicine. Pulpa tamarindorum includes vitamin C, protein, fat, glucose, citric acid, etc. Citric acid is a root canal irrigant and vitamin C an antioxidant. This study aimed to elucidate the cytotoxicity of 5% tamarind extract as a root canal irrigant to the cell line BHK-21. Eighteen cultures of cell line BHK-21 were divided into 2 groups. Sterile aquabidest was placed on the group 1 cultures (as control), and 5% tamarind extract was on the group 2, for 2.5 minutes each, and then the percentage of the living and dead cells were counted. The collected data were statistically analyzed by using independent t test to 0.05 limit of significance. The results showed 1% of dead cells in group 1 and 22% in group 2, and that there was a significant difference between the effect of 5% tamarind extract and that of sterile aquabidest (p<0.05). It was concluded that 5% tamarind extract is cytotoxic to the cell line BHK-21."
[Fakultas Kedokteran Gigi;Journal of Dentistry Indonesia, Journal of Dentistry Indonesia], 2007
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Salik Hawariy
"Kadar asam urat diduga merupakan salah satu faktor resiko terjadinya batu saluran kemih. Hal tersebut berkaitan dengan adanya kristalisasi asam urat pada saluran kemih, yang berujung pada batu asam urat. Penelitian bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan antara kadar asam urat dengan kejadian batu asam urat pada pasien batu saluran kemih. Penelitian dilakukan di Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Juni 2012 hingga Juni 2013 dengan menggunakan data rekam medis pasien tahun 2009-2011 sebanyak 102 sampel. Data yang diambil adalah kadar asam urat pasien yang dikelompokkan menjadi normal (≤6,8 mg/dL) dan tinggi (>6,8 mg/dL), serta hasil analisis batu saluran kemih, apakah terdapat batu asam urat atau tidak. Hasil menunjukkan bahwa pada pasien dengan kadar asam urat normal, batu asam urat terjadi pada 33 dari 84 orang (39,3%), dan pada pasien dengan kadar asam urat tinggi terjadi pada 6 dari 18 orang (33,3%). Hasil uji chi-square menunjukkan p=0,637, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar asam urat dengan kejadian batu asam urat.

Uric acid level in blood is thought to be one of many risk factors in urolithiasis. It is related to the crystallization of uric acid in the urinary tract which will become uric acid stone. Objective of this study was to determine whether there is a correlation between uric acid level in blood with uric acid stone occurrence or not. The study was done at Urology Department Cipto Mangunkusumo Hospital in June 2012 until June 2013, using 102 data from medical record year 2009-2011. Data used for study were uric acid level, which was categorized into normal (≤6,8 mg/dL) and high (>6,8 mg/dL), and stone analysis, whether there was uric acid or not. The results showed that uric acid stone occured in 33 of 84 patients (39,3%) with normal uric acid level, and in 6 of 18 patients (33,3%) with high uric acid level. Chi-square test showed that p=0,637, which proved that there was no correlation between uric acid level with uric acid stone occurrence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryogi Rama Putra
"Latar belakang: Bayamduri (Amaranthus spinosus L.) adalah herbal tradisional yang digunakan untuk pengobatan malaria dan belum banyak data penelitian tentang ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas skizontisidal ekstrak air bayam duri (Amaranthus spinosus L) (EABD) terhadap mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei secara in vivo.
Metode: Mencit jantan (galur Balb/c) dengan berat 28-30 g, 7-8 minggu, dibagi menjadi 4 kelompok secara acak, tiap kelompok terdiri atas 5 ekor mencit. Kelompok K: kontrol, Kelompok A: kontrol negatif, 2 Kelompok perlakuan (B dan C). Kelompok B: ekstrak Amaranthus 120 mg/kgBB, 1 kali per hari selama 4 hari. dan kelompok C: klorokuin 10 mg/kgBB sekali sehari selama 3 hari. Seluruh perlakuan diberikan melalui oral.
Hasil: Aktivitas skizontisidal darah terlihat pada semua kelompok perlakuan (B dan C), Aktivitas tertinggi terlihat pada kelompok B yaitu 91,20 ± 0,73 %, sedang kelompok C sebesar 88,92 ± 1,10 %. Kedua kelompok berbeda secara bermakna dibandingkan dengan kontrol, p≤0,05, namun kedua kelompok tidak berbeda bermakna satu sama lain, p≥0,05. Terjadi peningkatan berat badan pada kelompok EABD yang hampir sama dengan kelompok kontrol dan lebih besar dibanding kelompok klorokuin (7,6 % vs 7,05% dan 5,48%).
Kesimpulan: Ekstrak air bayam duri (Amaranthus spinosus) (EABD) dosis 120 mg/kgBB menunjukkan aktivitas skizontisidal darah yang sama baik dengan pemberian klorokuin 10 mg/kgBB terhadap mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei secara in vivo.

Background: Amaranthus spinosus is a traditional herb used for the treatment of malaria, but the information of it?s activity still limited. The aim of this study was to determine the schizonticidal effect of a water extract of Amaranthus spinosus against Plasmodium berghei-infected mice.
Methods: Male mice (Balb/c strain) weighing 28-30 g, 7-8 weeks old, were randomly devided into 4 groups of 5 animals each. Group K: controls (nil), Group A: negative controls, and 2 treatment groups (B and C). Group B: Amaranthus 120 mg/kgBW, once per day for 4 days and group C: Chloroquine 10 mg/kgBW, once a day for 3 days. All treatments administrated orally.
Results: Blood schizonticidal activity was seen in all treatment groups, the highest activity was seen in group B ( 91.20 ± 0.73%), and group C was 88.92 ± 1.10%. Both groups were significantly different compared to control, p≤0,05), but there were no different within both group. An increase in body weight in group B are almost the same as group K and greater than group C (7.6% vs 7.05% and 5.48%).
Conclusion: The Amaranthus spinosus water extract (ASWE) at a dose 120 mg/kgBW demonstrated a good blood schizonticidal activity as well as chloroquine against Plasmodium berghei-infected mice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Setyo Nugroho
"Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi mematikan yang disebabkan oleh parasit darah, Plasmodium sp. Setiap tahunnya lebih dari satu juta orang meninggal akibat malaria. Kematian akibat malaria terutama disebabkan oleh resistensi parasit terhadap obat antimalaria. Flamboyan (Delonix regia) telah digunakan sebagai obat tradisional terhadap malaria di Zambia, beberapa negara Afrika lain dan, Nusa Tenggara Timur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas antimalaria pada tikus yang diinfeksi Plasmodium berghei dan kandungan fitokima kulit batang dan biji Delonix regia. Desain penelitian yang digunakan adalah studi eksperimental.
Penelitian ini menggunakan ekstrak kulit batang dan biji Delonix regia dalam tiga dosis, yaitu 2,8 mg/20 g mencit; 8,4 mg/20 g mencit; dan 14 mg/20 g mencit. Kloroquin dosis 0,52 mg/20 g mencit digunakan sebagai kontrol positif, sedangkan air digunakan sebagai kontrol negatif. Perlakuan diberikan pada hari ke-0 saat mencit dinyatakan terinfeksi Plasmodium berghei. Parasitemia diamati sebelum pemberian perlakuan (hari ke-0) dan hari ke-3. Selisih densitas parasit pada Hasil penelitian dan uji statistik dengan One Way ANOVA menunjukkan ekstrak kulit batang dan biji Delonix regia tidak memiliki efek penghambat pertumbuhan Plasmodium berghei yang bermakna jika dibandingkan dengan kontrol negatif (p>0,05).

Malaria is one of deadly infectious disease caused by blood parasite; Plasmodium sp. Malaria caused more than one million deaths every year. Deaths caused by malaria were particularly due to the parasite's resistance to malarial drugs. Delonix regia has been used as a traditional medicine against malaria in Zambia, some of African countries, and in Nusa Tenggara Timur. This research was done to understand antimalarial effect of Delonix regia bark and seed in mice infected with Plasmodium berghei and to know their phytochemical substances.
This research used three doses of Delonix regia bark and seed, which were 2,8 mg/20 g mouse; 8,4 mg/20 g mouse; and 14 mg/20 g mouse. Chloroquine 0,52 mg/20 g mouse was used as positive control, whereas water as negative control. The treatments were given at day 0 when the mice have been proven infected by Plasmodium berghei. The observation of parasitemia conducted at day 0 before giving the treatments and day 3. The results and statistical analysis using One Way ANOVA showed Delonix regia bark and seed extract didn't show growth inhibitory effect of Plasmodium berghei compared with negative control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Christian H.
"Penelitian ini mempunyai dua tujuan yaitu untuk mengetahui efek diet tinggi lemak dalam meningkatkan kadar kolesterol darah tikus strain Wistardan efek ekstrak Garcinia dioicadalam menurunkan kadar kolesterol darah tikus Desain penelitian yang digunakan adalah eksp erimental Hasil yang didapat menunjukkan kadar kolesterol kelompok tanpalemak tinggi lemak uji a uji b dan uji c secara berurutan adalah 71 4 g dL 73 2 g dL 28 8 g dL 28 8 dan 21 6 g dL Disimpulkan bahwa diet tinggi lemak dapat menaikkan kadar kolesterol darah tikus yang diberikan PTU tetapi tidak bermakna secara statistik serta ekstrak Garcinia dioica dap at menurunkan kadar kolesterol darah tikus yang diberikan diet tinggi lemak.

This study has two purposes to find out the effectof high fat diet in increasing blood cholesterol Wistar rat strains andto find out the effect of Garcinia dioica extract in lowering blood cholesterol level in rats The design used in this study is experimental The findings show that the cholesterol group level of without fat of high fat of test a of test b and of test c respectively is 71 4 g dL 73 2 g dL 28 8 g dL 28 8 and 21 6 g dL Conclusions of this study are that thehigh fat diet can raise rat rsquo s blood cholesterol levels given PTU even though it is not meaningful statistically and that Garcinia dioica extract can lower rat rsquo s blood cholesterol given high fat diet."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setyo Budi Premiaji Widodo
"Perkembangan penyakit menunjukkan adanya tren peningkatan penyakit tidak menular yang didominasi oleh penyakit kardiovaskular. Salah satu manifestasinya adalah pada kelainan neurovaskular. Penelitian untuk terapi penyakit ini terus dikembangkan, termasuk salah satunya terapi menggunakan obat herbal. Dua jenis tanaman yang dipercaya memiliki efek terapi adalah akar kucing dan pegagan.
Metode: Penelitian dilakukan dalam bentuk eksperimen dengan tujuan mendapatkan data terkontrol dari efek pemberian kombinasi akar kucing dan pegagan, obat citicoline, dan aquades pada 5 kelompok tikus yang sebelumnya dikondisikan hipoksia. Data diambil dengan melakukan hitung sel piknotik, terkondensasi dan sel normal pada girus dentatus otak tikus.
Hasil: Dari 5 ke tikus yang diamati selnya, jumlah rata-rata sel terbanyak muncul pada kelompok terapi dengan citicoline. Jumlah rata-rata terendah muncul pada kelompok terapi dengan akuades. Pemberian kombinasi akar kucing dan pegagan tidak menunjukkan adanya urutan sesuai dosis. Pada analisis dengan uji One-Way Annova, didapatkan bahwa hasil tidak menunjukkan perbedaan bermakna.
Diskusi dan Kesimpulan: Walaupun secara statistik tidak ditemukan perbedaan bermakna dari masing-masing kategori, pada pengamatan langsung sel dapat diamati adanya peningkatan jumlah sel normal pada pemberian terapi dengan kombinasi ekstrak akar kucing dan pegagan. Pengobatan dengan terapi herbal di Indonesia memiliki potensi besar untuk dikembangkan, peneliti berharap dapat dilakukan studi lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara pemberian ekstrak dengan efek neuroterapinya.

Recent updates in diseases shows increasing number incommunicable disease, espescially in cardiovascular diseases. One of the disease caused by cardiovascular disease is neurovascular. Research for treatment of this disease still on progress, including research in herbal medicine. Two of herbal medicine that has being used for years are akar kucing and pegagan.
Method: Experimental, in purpose obtaining controlled data from treatment with combination of akar kucing with pegagan, citicoline, and aquades in 5 group of mouse that has been hypoxiated. Data taken after treatment are the normal cells of mouse (Sprague dawley.) brain in gyri of dentata.
Result: From 32 mouse that observed, mean number of highest normal cells are found in mouse with citicoline treatment. And the lowest mean of normal cell are found in mouse with aquades treatment. Treatment with combination of akar kucing and pegagan did not correlated with order of dose. And statistic analysis with one-way annova shows the differences are not significant (p>0,878).
Discussion and Conclusion: Although statistically insignifficant, in direct observation the difference can be seen. In mouse with akar kucing and pegagan treatment, number of normal cells was increased. This may be resulted from anatomycal factor, duration of treatment, and method of observation. Further research still needed for understanding the effect of treatment with neurotheraphy effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Try Nirmala Sari
"ABSTRAK
Pengobatan TB lini kedua pada pasien TB lini MDR diketahui memiliki beberapa efek samping. Etionamid adalah salah satu obat dalam pengobatan TB MDR lini kedua. Hipotiroid merupakan efek samping dari pemberian etionamid. Sikloserin merupakan salah satu dari komponen pengobatan kedua yang bersifat bakteriostatik. Efek samping psikiatri seperti antesietas, halusinasi, depresi, euforia, perubahan kebiasaan, dan bunuh diri dilaporkan sebanyak 9,7-50% pada pasien yang menjalani pengobatan dengan sikloserin. Seorang perempuan berusia 46 tahun dengan diagnosis TB MDR, menjalani pengobatan TB lini kedua sejak januari 2016. Regimen pengobatan terdiri dari levofloksasin, sikloserin, etionamid, pirazinamid, etambutol, dan PAS. Evaluasi pengobatan dibulan pertama menunjukan adanya lelah, komunikasi yang berkurang, dan perubahan perilaku. Pasien sering merasa sedih, putus asa, dan sangat memikirkan penyakitnya. Pasien juga berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Kemudian pasien menjalani rawat inap dan didiagnosis sebagai depresi imbas pengobatan TB, kemungkinan disebabkan sikloserin. Kemudian pemberian sikloserin dihentikan. Dalam waktu yang bersamaan, pemeriksaan laboratorium menunjukan adanya peningkatan TSH tanpa disertai gejala klinis hipotiroid. Dilakukan pemberian levotiroksin sebesar 1x100mkg. Pada akhir minggu ke-3 pengobatan, kadar TSH tetap meningkat sehingga pemberian etionamid dihentikan selama 3 bulan. Evaluasi setelah penghentian pemberian etionamid menunjukkan kadar TSH terkendali. Pemberian etionamid kemudian dilanjutkan dengan dosis titrasi per bulan. Kesimpulannya, pada pengobatan TB MDR, timbul efek samping pemberian etionamid perlu diperhatikan. Neorotoksisitas berat yang disebabkan sikloserin dapat ditangani dengan penundaan pemberian obat sementara. Hal lain yang perlu diingat adalah kondisi hipotiroid dapat memperlihatkan gejala depresi. Oleh karena itu, pemantauan efek samping pada obat TB diperlukan. "
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Hanani
"ABSTRAK
Saat ini pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan pengobatan modern yang berarti dapat bersama-sama masuk dalam jalur pelayanan formal. Pengembangan obat tradisional juga didukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, tentang fitofarmaka, yang berarti diperlukan adanya pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau sediaan galenik.
Salah satu cara untuk mengendalikan mutu simplisia adalah dengan melakukan standarisasi simplisia dan ekstrak (sediaan galenik), karena khasiat suatu tanaman tergantung pada kandungan kimianya, dimana kandungan kimia ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain tempat tumbuh, iklim, curah hujan, panen. Standarisasi diperlukan agar dapat diperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat menjamin efek farmakologi tanaman tersebut. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana dapat menentukan keseragaman mutu simplisia dan ekstrak suatu tanaman yang tumbuh dari beberapa daerah yang mempunyai ketinggian, keadaan tanah dan cuaca yang berbeda.
Graptophyllum pictum (L) Griff yang dikenal masyarakat Indonesia dengan nama daerah handeuleum atau daun wungu banyak dimanfaatkan dalam obat tradisional untuk mengobati penyakit wasir atau hemorrhoid.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan parameter-parameter yang dapat digunakan untuk menentukan mutu simplisia dan ekstrak etanol (50%) daun handeuleum yang berasal dari 3 tempat yang berbeda (Tawangmangu, Depok dan Bogor) serta menentukan pola KLT dan KLT densitometernya.
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap simplisia daun handeuleum adalah penetapan kadar abu, kadar abu yang tidak larut dalam asam, kadar sari yang larut dalam air, kadar sari yang larut dalam etanol. Pola KLT dan KLT densitometer diamati dari fraksi heksan dan metanol dari simplisia dan ekstrak etanol (50%) daun handeuleum. Penampak bercak yang digunakan adalah vanilin-asam sulfat aluminium trildorida dalam metanol. Ekstrak etanol (50%) daun handeuleum dibuat secara maserasi lima kali; kemudian dilakukan pemeriksaan organoleptis, kelarutan (air, etanol 70% dan kloroform), keasaman (pH) dan residu kering.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa parameter lebih dapat digunakan terhadap simplisia daun handeuleum adalah kadar abu tidak dari 12%, kadar abu tidak larut dalam asam tidak lebih dari 2%, kadar sari larut dalam air tidak kurang dari 29%, dan kadar sari larut dalam atonal tidak kurang dari 6%. Pola KLT dan KLT densitometer (pada = 420 nm) sari heksan dan metanol simplisia daun handeuleum menunjukkan adanya 11 dan 9 bercak, masing-masing dengan fase gerak heksan-etil asetat (7:3) dan etil asetat-asam formiat-air (10:2:3).
Parameter yang dapat digunakan terhadap ekstral etanol (50%) daun handeuleum adalah residu kering tidak kurang dari 80%, keasaman (pH) antara 6,9--7,4; sedangkan kelarutan dalam air, etanol 70% dan kloroform, secara berurutan adalah mudah larut, larut dan sukar larut.
Pola KLT dan KLT densitometer dari heksan dan metanol ekstrak etanol (50%) dari daun handeleum menunjukkan adanya 11 dan 9 bercak, masing-masing dengan fase gerak heksan-etil asetat (7:3) dan etil asetat-asam formiat-air (10:2:3)."
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Afriansyah
"ABSTRAK
In the past 10 years, recent development of targeted therapy in metastatic renal cell carcinoma (mRCC) has provided a new hope and significantly enhanced the prognosis of the disease. Three class of targeted therapy were developed, including multi-targeted tyrosine kinase inhibitors (TKI), the mammalian target of rapamycin (mTOR) complex-1 kinase inhibitors, and the humanized antivascular endothelial growth factor (VEGF) monoclonal antibody. Hence, the objective of this article was to critically examine the current evidence of targeted therapy treatment for patients with mRCC. In the majority of trials evaluating targeted therapy, patients were stratified according to Memorial Sloan Kattering Cancer Center (MSKCC) risk model and the recommendation of targeted treatment based on risk features. In first-line setting (no previous treatment), sunitinib, pazopanib, or bevacizumab plus IFN-α were recommended as treatment options for patient with favorable- or intermediate- risk features and clear cell histology. Patients who progressed after previous cytokine therapy would have sorafenib or axitinib as treatment options. Clear-cell mRCC with favorable- or intermediate- risk features and failure with first-line TKI therapy might be treated with sorafenib, everolimus, temsirolimus or axitinib. However, the current evidence did not show the best treatment sequencing after first-line TKI failure. In patients with poor-risk clear-cell and non-clear cell mRCC, temsirolimus was the treatment option supported by phase III clinical trial. In addition, several new drugs, nowadays, are still being investigated and waiting for the result of phase II or III clinical trial, and this might change the standard therapy for mRCC in the future."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2016
610 IJIM 48:4 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Rina Yunita
"ABSTRAK
Pendahuluan: Sambiloto atau Andrographis panniculata merupakan sebuah
tanaman herbal yang memiliki khasiat sebagai antimalaria dengan cara
meningkatkan kerja antioksidan dalam tubuh. Hati merupakan salah satu tempat
terjadinya fase perkembangan Plasmodium pada penyakit malaria. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis aktivitas antimalaria dari Ekstrak Etanol Sambiloto
(EES) pada mencit yang diiinfeksi Plasmodium berghei secara in vivo melalu
pengukuran kadar MDA dan aktivitas spesifik katalase jaringan hati.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimental in vivo
menggunakan hewan coba mencit Balb/c. Metode penelitian dilakukan dengan
mengelompokkan mencit ke dalam empat kelompok yaitu kelompok kontrol yang
tidak diberi perlakuan, kelompok I yang diinduksi Plasmodium berghei tetapi
tidak diterapi, kelompok II yang diinduksi Plasmodium berghei dan diberi EES 2
mg/kgBB serta kelompok III yang diinduksi Plasmodium berghei dan diberi
klorokuin 10 mg/kgBB selama 3 hari. Analisis kadar MDA dilakukan dengan
metode Wills dan aktivitas spesifik katalase dengan metode Mates et al.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kadar MDA yang tidak
signifikan pada mencit yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei dan diberi
ekstrak etanol sambiloto (EES) 2 mg/kgBB dibandingkan dengan kontrol negatif
(66.49 ± 22,92 vs 69.40 ± 11,69 nmol/g jaringan hati). Namun pada kelompok
yang diberi perlakuan klorokuin juga terlihat penurunan kadar MDA yang tidak
signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif (67.49 ± 7,04 vs 69.40 ± 11,69
nmol/g jaringan hati). Sedangkan aktivitas spesifik katalase kelompok yang diberi
EES menunjukkan peningkatan yang tidak berbeda bermakna dibandingkan
dengan kelompok kontrol (2,73 ± 0,59 vs 3,73 ± 1.56 Unit/mg jaringan hati).
Begitupula dengan klorokuin yang menunjukkan peningkatan aktivitas spesifik
katalase yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol
(2,97 ± 1,53 vs 3,73 ± 1.56).
Kesimpulan: Pada kelompok dengan pemberian EES 2 mg/kgBB terjadi
penurunan kadar MDA serta peningkatan aktivitas spesifik katalase jaringan hati
mencit dibandingkan dengan kelompok negatif, tetapi secara statistik tidak
bermakna demikian pula dengan kelompok yang diberi klorokuin.

ABSTRACT
Introduction: Andrographis panniculata or Sambiloto is a herbal plant that has
antimalarial efficacy by increasing antioxidant in body. Liver is one of the places
for Plasmodium to develop themselves in malaria. This research aims to analyze
the activity of antimalarial from Sambiloto Ethanol Extract (SEE) in mice which
infected by Plasmodium berghei in vivo through the measurement of MDA level
and the specific activity of catalase in liver tissue.
Method: We used experimental in vivo as the reserach design, using balb/c. The
research design is done by grouping the mices into four groups which of the
untreated group, group I-induced by Plasmodium berghei but not treated, group
II-induced Plasmodium berghei and treated with SEE 2 mg/kg Body weight,
group III-induced Plasmodium berghei and treated with chloroquine with 10
mg/kg Body weight in three days. The MDA level analyze is done by the Wills
method and the specific activity of catalase with Mates et al method.
Result: The research result showed the decrease of MDA level which not
significant in mice that is infected by Plasmodium berghei and treated by SEE 2
mg/ kg BW compared to negative control (66.49 ± 22,92 vs 69.40 ± 11,69 nmol/g
liver tissue). However, group that is infected by Plasmodium berghei and treated
by chloroquine also showed the decrease of MDA level which not significant
compared the negative control (67.49 ± 7,04 vs 69.40 ± 11,69 nmol/g liver tissue).
Instead, group which treated by SEE showed the increase in specific activity of
catalase compared with control (2,73 ± 0,59 vs 3,73 ± 1.56 Unit/mg liver tissue).
Similarly with chloroquine group which showed an increase in specific activity of
catalase were not significantly different compared with the control group (2.97 ±
1.53 vs 3.73 ± 1.56 Unit/mg liver tissue).
Conclusion: Group that treated with SEE 2 mg/kg Body weight showed decrease
of MDA level and also the increase of catalase specific activity in mice liver tissue
compared negative control, but statistically not significant as well as the group
given chloroquine;Introduction: Andrographis panniculata or Sambiloto is a herbal plant that has
antimalarial efficacy by increasing antioxidant in body. Liver is one of the places
for Plasmodium to develop themselves in malaria. This research aims to analyze
the activity of antimalarial from Sambiloto Ethanol Extract (SEE) in mice which
infected by Plasmodium berghei in vivo through the measurement of MDA level
and the specific activity of catalase in liver tissue.
Method: We used experimental in vivo as the reserach design, using balb/c. The
research design is done by grouping the mices into four groups which of the
untreated group, group I-induced by Plasmodium berghei but not treated, group
II-induced Plasmodium berghei and treated with SEE 2 mg/kg Body weight,
group III-induced Plasmodium berghei and treated with chloroquine with 10
mg/kg Body weight in three days. The MDA level analyze is done by the Wills
method and the specific activity of catalase with Mates et al method.
Result: The research result showed the decrease of MDA level which not
significant in mice that is infected by Plasmodium berghei and treated by SEE 2
mg/ kg BW compared to negative control (66.49 ± 22,92 vs 69.40 ± 11,69 nmol/g
liver tissue). However, group that is infected by Plasmodium berghei and treated
by chloroquine also showed the decrease of MDA level which not significant
compared the negative control (67.49 ± 7,04 vs 69.40 ± 11,69 nmol/g liver tissue).
Instead, group which treated by SEE showed the increase in specific activity of
catalase compared with control (2,73 ± 0,59 vs 3,73 ± 1.56 Unit/mg liver tissue).
Similarly with chloroquine group which showed an increase in specific activity of
catalase were not significantly different compared with the control group (2.97 ±
1.53 vs 3.73 ± 1.56 Unit/mg liver tissue).
Conclusion: Group that treated with SEE 2 mg/kg Body weight showed decrease
of MDA level and also the increase of catalase specific activity in mice liver tissue
compared negative control, but statistically not significant as well as the group
given chloroquine;Introduction: Andrographis panniculata or Sambiloto is a herbal plant that has
antimalarial efficacy by increasing antioxidant in body. Liver is one of the places
for Plasmodium to develop themselves in malaria. This research aims to analyze
the activity of antimalarial from Sambiloto Ethanol Extract (SEE) in mice which
infected by Plasmodium berghei in vivo through the measurement of MDA level
and the specific activity of catalase in liver tissue.
Method: We used experimental in vivo as the reserach design, using balb/c. The
research design is done by grouping the mices into four groups which of the
untreated group, group I-induced by Plasmodium berghei but not treated, group
II-induced Plasmodium berghei and treated with SEE 2 mg/kg Body weight,
group III-induced Plasmodium berghei and treated with chloroquine with 10
mg/kg Body weight in three days. The MDA level analyze is done by the Wills
method and the specific activity of catalase with Mates et al method.
Result: The research result showed the decrease of MDA level which not
significant in mice that is infected by Plasmodium berghei and treated by SEE 2
mg/ kg BW compared to negative control (66.49 ± 22,92 vs 69.40 ± 11,69 nmol/g
liver tissue). However, group that is infected by Plasmodium berghei and treated
by chloroquine also showed the decrease of MDA level which not significant
compared the negative control (67.49 ± 7,04 vs 69.40 ± 11,69 nmol/g liver tissue).
Instead, group which treated by SEE showed the increase in specific activity of
catalase compared with control (2,73 ± 0,59 vs 3,73 ± 1.56 Unit/mg liver tissue).
Similarly with chloroquine group which showed an increase in specific activity of
catalase were not significantly different compared with the control group (2.97 ±
1.53 vs 3.73 ± 1.56 Unit/mg liver tissue).
Conclusion: Group that treated with SEE 2 mg/kg Body weight showed decrease
of MDA level and also the increase of catalase specific activity in mice liver tissue
compared negative control, but statistically not significant as well as the group
given chloroquine"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>