Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17382 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farieda Ariyanti
"ABSTRAK
Latar belakang: Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT) dapat
menyebabkan komplikasi jangka panjang berupa sindrom pasca thrombosis (Post
Thrombotic Syndrome/PTS) yang menurunkan kualitas hidup pasien.
Tujuan: mengetahui proporsi dan faktor risiko PTS pada DVT ekstremitas
bawah.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif sejak Juli 2014 hingga
September 2015 di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjek adalah pasien
dengan DVT pada tungkai bawah yang dibuktikan melalui USG (ultrasonografi)
doppler dalam waktu 3 bulan sebelum penelitian. Gejala dan tanda PTS dinilai
dengan menggunakan skala Villalta.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 91 subjek dengan median hari saat diagnosis
DVT sampai dengan pemeriksaan PTS didapatkan 748 hari. Gejala dan tanda PTS
yang paling banyak didapatkan adalah rasa berat (63,9%) dan hiperpigmentasi
kulit (77,5%). PTS didapatkan pada 49 subjek (53,8%) dan mayoritas didapatkan
dengan PTS derajat ringan (69,3%). Jenis kelamin perempuan (RR 1.48, IK 95%
0,97-2.42) dan letak trombus proksimal-distal meningkatkan risiko terjadinya PTS
(RR 1.35, IK 95% 0.85-2.13), akan tetapi tidak signifikan secara statistik.
Kesimpulan: Proporsi PTS pasca 3 bulan pasca terjadinya DVT ekstremitas
bawah sebesar 53,8 %. Jenis kelamin perempuan dan lokasi trombus proksimaldistal
meningkatkan risiko terjadinya PTS."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novrizal Saiful Basri
"Latar Belakang: Sindrom pascatrombosis (PTS) diestimasikan terjadi pada 20-50% pasien dengan jarak beberapa bulan hingga 1-2 tahun pasca trombosis vena dalam DVT. Insidensi PTS akan lebih tinggi pada DVT yang ditatalaksana konservatif. Tatalaksana DVT pada COVID-19 selama ini hanya konservatif. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai evaluasi terjadinya sindrom pascatrombosis pada pasien DVT dengan COVID- 19.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah desain desain kohort retrospektif. Penelitian dilakukan di Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular, Departemen Medik Ilmu Bedah, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Waktu penelitian akan berlangsung selama 6 bulan, yaitu dari bulan Desember 2022 sampai dengan Mei 2023. Dilakukan uji bivariat dan multivariat pada data yang didapat.
Hasil: Didapatkan insidensi terjadinya PTS pada pasien DVT dan COVID-19 adalah 59.3%. Variabel yang meningkatkan risiko terjadinya PTS dan secara statistik bermakna menurut uji bivariat adalah riwayat DVT ipsilateral (p = 0.000), lokasi trombus Iliaka Femoral Popliteal (p = 0.000), dan derajat COVID-19 sedang berat (p = 0.000). Dari uji multivariat didapatkan y = -2.965 + 2.545X1(riwayat DVT ipsilateral) + 2.110X2 (lokasi trombus Iliaka Femoral Popliteal) + 2.679X3 (Derajat COVID-19 sedang berat).
Kesimpulan: Insidensi terjadinya PTS pada pasien DVT dengan COVID-19 yang dilakukan terapi konservatif lebih meningkat. Faktor risiko yang memengaruhi terjadinya sindrom pascatrombosis secara uji statistik bivariat bermakna menurut uji bivariat adalah adanya riwayat DVT ipsilateral, lokasi trombus Iliaka Femoral Popliteal, dan derajat COVID-19 sedang berat. Dari uji multivariat didapatkan derajat COVID-19 sedang berat sebagai faktor risiko terbesar PTS sebesar 14.5X, riwayat DVT ipsilateral sebagai faktor risiko terbesar PTS sebesar 12.7X dan lokasi trombus Iliaka Femoral Popliteal sebagai faktor risiko sebesar 8.2x.

Background: Post-thrombotic syndrome (PTS) is estimated to occur in 20-50% patients several months to 1-2 years after DVT. The incidence of PTS will be higher in DVT which is managed conservatively. So far, the management of DVT in COVID-19 has only been conservative. To date, there have been no studies regarding the evaluation of the occurrence of postthrombotic syndrome in DVT patients with COVID-19.
Methods: The design used for this research was a retrospective cohort design. The study was conducted at the Division of Vascular and Endovascular Surgery, Department of Medical Surgery, dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. The research time will last for 6 months, from December 2022 to May 2023. Bivariate and multivariate tests were carried out.
Results: The incidence of PTS in DVT and COVID-19 patients was 59.3%. Variables that increasing the risk of PTS and were statistically significant according to bivariate tests were history of ipsilateral DVT (p = 0.000), Popliteal Iliac Femoral thrombus location (p = 0.000), and moderate to severe COVID-19 severity (p = 0.000). From the multivariate test, y = -0.596 + 2.545X1 (ipsilateral DVT history) + 2.110X2 (popliteal Iliac Femoral thrombus location) + (-2.679)X3 (moderate to severe COVID-19 severity).
Conclusion: The incidence of PTS in DVT patients with COVID-19 who are undergoing conservative therapy is increasing. The risk factors that influence the occurrence of postthrombotic syndrome in statistically significant bivariate tests are history of ipsilateral DVT, the location of the Iliac Femoral Popliteal thrombus, and the moderate to severe COVID-19 severity. From the multivariate test, moderate to severe COVID-19 severity was found as the biggest risk factor for PTS by 14.5-fold, history of ipsilateral DVT as risk factor for PTS by 12.7-fold and the location of the Iliac Femoral Popliteal thrombus as a risk factor for 8.2-fold.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paskalis Andrew Gunawan
"Latar belakang: COVID-19 menginfeksi semua kelompok umur, namun beban infeksi lebih tinggi dan lebih berbahaya pada kelompok usia lanjut. Pasien yang mengalami infeksi akut COVID-19 juga bisa mengalami gejala menetap yang disebut dengan Sindrom Pasca COVID-19, khususnya pada lansia. Belum ada data yang menunjukkan prevalensi Sindrom Pasca COVID-19 pada lansia di Indonesia dan juga faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Sindrom Pasca COVID-19 pada lansia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar prevalensi Sindrom Pasca COVID-19 pada lansia di Indonesia serta meneliti hubungan antara faktor-faktor risiko dengan kejadian Sindrom Pasca COVID-19 dengan menggunakan definisi waktu >4 minggu, >8 minggu, dan >12 minggu.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang menggunakan rekam medis dan wawancara untuk mendapatkan data terkait keberadaan faktor-faktor risiko dan gejala menetap pasca perawatan infeksi akut COVID-19.
Hasil: Penelitian ini diikuti oleh 329 pasien lansia (≥60 tahun) yang sempat dirawat akibat COVID-19 di RSCM dan RS Mitra Keluarga Kalideres pada 1 Januari-31 Desember 2021. Prevalensi Sindrom Pasca COVID-19 pada lansia adalah sebesar 31%, 18,24%, dan 10,64% dengan menggunakan definisi waktu >4 minggu, >8 minggu, dan >12 minggu, secara berurutan. Clinical Frailty Scale rawat inap (OR 2,814 [IK 95% 1,172-6,758) dan imobilitas rawat inap (OR 4,767 [IK95% 2,117-10,734]) berhubungan dengan Sindrom Pasca COVID-19 >4 minggu. Selanjutnya, jumlah gejala awal (OR 2,043 [IK95% 1,005-4,153]), konstipasi rawat inap (OR 2,832 [IK95% 1,209-6,633]), imobilitas rawat inap (OR 2,515 [IK95% 1,049-6,026]), dan instabilitas rawat inap (OR 2,291 [IK95% 1,094-4,800) berhubungan dengan Sindrom Pasca COVID-19 >8 minggu. Gangguan pendengaran dan penglihatan follow-up (OR 2,926 [IK95% 1,285-6,665]) dan imobilitas rawat inap (OR 3,684 [IK95% 1,507-9,009]) berhubungan dengan Sindrom Pasca COVID-19 >12 minggu.
Kesimpulan: Infeksi akut dengan ≥ 5 gejala, adanya frailty dan sindrom geriatri, khususnya imobilitas saat perawatan, berhubungan dengan Sindrom Pasca COVID-19 pada lansia.

Background: COVID-19 infects all age groups, but the burden of infection is higher and more dangerous in the elderly. Patients with acute COVID-19 infection can also experience persistent symptoms called Post-Covid-19 Syndrome, especially elderly. No data show the prevalence of Post-Covid-19 Syndrome in the elderly in Indonesia and the risk factors associated with the occurrence of Post-Covid-19 Syndrome in the elderly
Objective: This study aims to determine the prevalence of Post-Covid-19 Syndrome in the elderly in Indonesia and examine the relationship between risk factors and the incidence of Post-Covid-19 Syndrome by using the definition of time > 4 weeks, > 8 weeks. , and >12 weeks.
Methods: This study is a retrospective cohort study that uses medical records and interviews to obtain data regarding risk factors and persistent symptoms after treatment of acute COVID-19 infection.
Results: This study is followed by 329 elderly patients (≥60 years) who had been treated because of COVID-19 at Cipto Mangunkusumo Hospital and Mitra Keluarga Kalideres Hospital from January 1st until December 31st, 2021. the prevalence of Post COVID-19 Syndrome in the elderly was 31%, 18.24%, and 10.64% using the time definition of >4 weeks, >8 weeks, and >12 weeks, respectively. Clinical Frailty Scale during hospitalization scores (OR 2.814 [95% CI 1.172-6.758]) and immobility during hospitalization (OR 4.767 [95% CI 2.117-10.734]) were associated with Post-Covid-19 Syndrome >4 weeks. Furthermore, number of initial symptoms (OR 2,043 [CI95% 1.005-4.153]), constipation during hospitalization (OR 2.832 [CI95% 1.209-6633]), immobility during hospitalization (OR 2,515 [95% CI 1,049-6.026]), and instability during hospitalization (OR 2,291 [CI 95% 1,094-4,800]) was associated with Post-Covid-19 Syndrome >8 weeks. In addition, impairment of visual and hearing during follow-up (OR 2,926 [95% CI 1,285-6,665]) and immobility during hospitalization (OR 3,684 [95% CI 1.507-9,009]) was associated with Post-Covid-19 Syndrome >12 weeks.
Conclusions: Acute infection with ≥ 5 symptoms, frailty, and geriatric syndrome, especially immobility during hospitalization, were associated with Post-Covid-19 Syndrome in the elderly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melian Anita
"Faktor-Faktor Risiko Stressor Kerja Kejadian Second Victim Syndrome pada Perawat Rumah Sakit Swasta di Tangerang Selatan Melian Anita, Ambar Roestam, Slamet Ichsan, Dewi Soemarko Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Email : meliananita90@gmail.com Abstrak Latar belakang: Pada rumah sakit swasta, kepuasan pasien menjadi target bagi rumah sakit. Jika ditilik lebih lanjut pada penilaian akreditasi Joint Commission International JCI standard SQE.8.2. ada kriteria penilaian berupa second victim ini yang terjadi di rumah sakit.Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui distribusi perawat yang mengalami kecenderungan menderita second victim syndrome dan menilai faktor risiko yang ada agar dapat diambil kebijakan manajemen untuk menanggulangi faktor risiko tersebut.Metode dan Hasil Penelitian: Penelitian dengan metode cross sectional dari 117 sampel, didapatkan hasil kurva total skor dari kuisioner the second victim experience and support tool SVEST menunjukan yang memiliki kecenderungan menderita second victim syndrome sedikit jumlahnya. Stressor kerja beban kerja memiliki nilai korelasi kuat r=0.518 dengan kecenderungan menderita second victim syndrome, stressor kerja ketidakjelasan pengobatan memiliki korelasi rendah dan masalah dengan pasien memiliki korelasi sedang dengan kecenderungan menderita second victim syndrome dan bermakna dengan masing-masing nilai r yaitu r=0.354 dan r=0.404 dalam jumlah 117 sampel. Pada faktor host dan unit kerja p>0.05 tidak ada perbedaan yang terjadi pada masing-masing kelompok dengan kecenderungan menderita second victim syndrome. Kesimpulan: Dari hasil yang didapatkan, disimpulkan bahwa adanya korelasi kuat pada faktor beban kerja dengan kecenderungan menderita second victim syndrome.

Background In private hospitals, patient satisfaction becomes the target for the hospital. If further judging on the assessment of standard Joint Commission International JCI accreditation SQE.8.2. There are criteria for assessment of the second victim is happening in the hospital.Objective This study aims to determine the distribution of nurses who suffer from second victim syndrome and assess existing risk factors in order to be able to take management policy to overcome these risk factors.Methods and Results A cross sectional study of 117 samples, the results of the total score curve of the second victim experience and support tool SVEST showed that those with a tendency to suffer from second victim syndrome were few in number. Work load stressors have a strong correlation value r 0.518 with a tendency to suffer from second victim syndrome, job stress obscurity treatment has a low correlation and problems with patients having moderate correlation with a tendency to suffer second victim syndrome and significance with each r value r 0.354 and r 0.404 in the number of 117 samples. On host and work unit factors p 0.05 no differences occurred in each group with a tendency to suffer second victim syndrome. Conclusion From the results obtained, it is concluded that there is a strong correlation on the workload factor with the tendency to suffer second victim syndrome."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melian Anita
"ABSTRAK
Nama : dr. Melian AnitaProgram studi : Magister Kedokteran KerjaJudul tesis : Faktor-Faktor Risiko Stressor Kerja Kejadian Second Victim Syndrome pada Perawat Rumah Sakit Swasta di Tangerang Selatan Latar belakang: Pada rumah sakit swasta, kepuasan pasien menjadi target bagi rumah sakit. Jika ditilik lebih lanjut pada penilaian akreditasi Joint Commission International JCI standard SQE.8.2. ada kriteria penilaian berupa second victim ini yang terjadi di rumah sakit.Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui distribusi perawat yang mengalami kecenderungan menderita second victim syndrome dan menilai faktor risiko yang ada agar dapat diambil kebijakan manajemen untuk menanggulangi faktor risiko tersebut.Metode dan Hasil Penelitian: Penelitian dengan metode cross sectional dari 117 sampel, didapatkan hasil kurva total skor dari kuisioner the second victim experience and support tool SVEST menunjukan yang memiliki kecenderungan menderita second victim syndrome sedikit jumlahnya. Stressor kerja beban kerja memiliki nilai korelasi kuat r=0.518 dengan kecenderungan menderita second victim syndrome, stressor kerja ketidakjelasan pengobatan memiliki korelasi rendah dan masalah dengan pasien memiliki korelasi sedang dengan kecenderungan menderita second victim syndrome dan bermakna dengan masing-masing nilai r yaitu r=0.354 dan r=0.404 dalam jumlah 117 sampel. Pada faktor host dan unit kerja p>0.05 tidak ada perbedaan yang terjadi pada masing-masing kelompok dengan kecenderungan menderita second victim syndrome. Kesimpulan: Dari hasil yang didapatkan, disimpulkan bahwa adanya korelasi kuat pada faktor beban kerja dengan kecenderungan menderita second victim syndrome. Kata kunci: Expanded Nursing Stress Scale; perawat; sindrom korban kedua; stress kerja perawat; The Second Victim Experience and Support Tool

ABSTRACT
Name Melian Anita, MDStudy program Master of Occupational MedicineTitle Risk Factors of Occupational Stressor in Second Victim Syndrome among Nurses at Private Hospital in South Tangerang Background In private hospitals, patient satisfaction becomes the target for the hospital. If further judging on the assessment of standard Joint Commission International JCI accreditation SQE.8.2. There are criteria for assessment of the second victim is happening in the hospital.Objective This study aims to determine the distribution of nurses who suffer from second victim syndrome and assess existing risk factors in order to be able to take management policy to overcome these risk factors.Methods and Results A cross sectional study of 117 samples, the results of the total score curve of the second victim experience and support tool SVEST showed that those with a tendency to suffer from second victim syndrome were few in number. Work load stressors have a strong correlation value r 0.518 with a tendency to suffer from second victim syndrome, job stress obscurity treatment has a low correlation and problems with patients having moderate correlation with a tendency to suffer second victim syndrome and significance with each r value r 0.354 and r 0.404 in the number of 117 samples. On host and work unit factors p 0.05 no differences occurred in each group with a tendency to suffer second victim syndrome.Conclusion From the results obtained, it is concluded that there is a strong correlation on the workload factor with the tendency to suffer second victim syndrome.Keywords Expanded Nursing Stress Scale nurse Second victim syndrome Work stress nurse The Second Victim Experience and Support Tool"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Supriadi
"Latar Belakang. Sindrom delirium memberikan dampak yang sangat besar yaitu dengan mengakibatkan bertambahnya lama perawatan, timbulnya komplikasi dan angka ketergantungan serta kematian yang tinggi. Beberapa penelitian di luar negeri mengenai faktor prognosis berupa retrospektif dan prospektif telah dilakukan dengan hasil yang bervariasi.
Tujuan. Mengetahui hubungan antara risiko kematian pada penderita sindrom delirium pada geriatri dengan pneumonia, skor APACHE II tinggi, klasifikasi ADL ketergantungan total, hipoalbuminemia dan anemia.
Metodologi. Desain penelitian prospektif kohort dari bulan Desember 2004 sampai dengan agustus 2005 di ruang rawat inap penyakit dalam RSUPNCM Jakarta. Subyek pada pasien usia >60 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Sindrom delirium dinilai dari anamnesis dengan menggunakan Confusion Assessment Method (CAM).
Hasil. Didapatkan dari 96 sampel, 49 orang pria (51%) dan 47 orang wanita (49%), 38 meninggal di rumah sakit. Kisaran umur antara 60 hingga 89 tahun dengan rerata 70,50 tahun. Angka kematian sindrom delirium di rumah sakit adalah 39,60%, dengan variabel bebas pneumonia angka kematian 68,40%, klasifikasi ADL ketergantungan total 34,30%, hipoalbumin 65,80% dan anemia 76,30%. Berdasarkan analisis bivariat didapatkan antara pneumonia dengan risiko kematian RR 1,32 (IK 95% 0,51-3,45)p= 0,67, rerata skor APACHE II tinggi dengan risiko kematian 20,2 +SB 5, p= 0,001, ldasifikasi ADL ketergantungan total dengan risiko kematian RR 8,23 (IK 95% L60-47,88) p= 0,001, hipoalbuminemia < 2,50 g/dL dengan risiko kematian RR 2,71 (1K 95% 1,32-8,79) p= 0,001 dan anemia dengan risiko kematian RR 3,22 (1K 95% 1;19-8,87) p= 0,01. Berdasarkan regresi logistik didapatkan skor APACHE II dengan titik potong ? 16, anemia dan tingkat ketergantungan total yang berhubungan dengan risiko kematian pada sindrom delirium dengan RR masingmasing adalah 30,80 (IK 95% 7,79-122,12) p= 0.001, 4,80 (IK 95% 1,25-18,36) p-0.02 dan 1,59 (IK 95% 1,05-2,40)p= 0,03.
Simpulan. Skor APACHE II > 16, anemia dan ADL ketergantungan total merupakan faktor prognosis kematian yang paling berperan pada pasien sindrom delirium pada geriatri.

Backgrounds. Delirium syndrome can give very big impact such as prolonged hospitalization, complication, high number of dependence and increasing the mortality rate. Some researches on prognostic factors of delirium syndrome in the form of retrospective and prospective studies have been done with vary result.
Objectives. Knowing death risk relation between delirium syndrome patient with 'pneumonia, high score of APACHE II, ADL total dependence classification, hypo albumin and anemia.
Methods. Design of the research is prospective cohort study at the patient with delirium syndrome from December 2004 up to August 2005 which hospitalized in RSUPNCM Jakarta Subject of age patient > 60 years fulfilling criterion inclusion. Delirium syndrome is assessed from anamnesis by using Confusion Assessment Method (CAM).
Main Results. From 96 sample, 49 men (51%) and 47 women (49%), 38 are death in hospital. The age range is from 60 to 89 years of age, with mean 70.50 years. The mortality rate of syndrome delirium in hospital is 39.60%, with independent variable of pneumonia is got prevalence of death 68.40%, ADL total dependence classification 34.30%, hypo albumin 65.80% and anemia 76.30%. Based on bivariate analysis got result between pneumonia with risk of death RR 1.32 (Cl 95% 0.51-3.45) p= 0.67, between mean high score of APACHE II with risk of death 20.20 ± SD 5, p= 0.001, ADL total dependence classification with risk of death RR 8.23 (CI 95% 1.60-47.88) p= 0.001, between hypoalbumin < 2.50 gldL with risk of death RR 2.71 (CI 95% 1.32-8.79) p= 0.001, and between anemia with risk of death RR 3.22 (Cl 95% 1.19-8.87) p= 0.01. By logistics regression got score of APACHE II with cut of point 16, anemia and ADL total dependence classification which deal with death risk at delirium syndrome with RR each is 30,8 (CI 95% 7.79-122.12)p- 0.001, 4.08 (CI 95% 1.25-1836) p= 0.02 and 1.59 (CI 95% 1.05-2.40)p= 0.03.
Conclusions. APACHE II scores X16, anemia and the ADL total dependence classification represent factor of most prognosis death share at geriatric patient with delirium syndrome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wisnu Harmawan
"Data WHO menunjukkan 17.9 juta orang meninggal diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler dimana salah satunya adalah penyakit jantung koroner yang memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Sindrom metabolik merupakan masalah kesehatan serius yang akan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner karena proses aterosklerosis. Berdasarkan data MCU PT XYZ tahun 2020-2022 didapatkan peningkatan angka kejadian sindrom metabolik sebesar 2.5% yang akan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan risiko penyakit jantung koroner pada pekerja PT XYZ di tahun 2022 berdasarkan sindrom metabolik. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi potong lintang dengan 161 sampel responden. Sumber data yang digunakan adalah melalui kuesioner dan juga data hasil MCU tahun 2022. Hasil penelitian diketahui untuk faktor genetik didapatkan data bahwa variabel umur dan jenis kelamin pekerja mempunyai hubungan dengan risiko penyakit jantung koroner. Faktor lingkungan (shift kerja) tidak terdapat hubungan dengan risiko penyakit jantung koroner dan untuk faktor gaya hidup didapatkan data bahwa pola makan konsumsi karbohidrat dan lemak, indeks massa tubuh serta kebiasaan merokok mempunyai hubungan dengan risiko penyakit jantung koroner. Oleh karenanya perlu adanya tindakan pencegahan baik primer, sekunder maupun tersier untuk meminimalkan risiko penyakit jantung koroner baik pada individu pekerja maupun kepada perusahaan.

WHO data shows that 17.9 million people died due to cardiovascular disease and coronary heart disease has a high morbidity and mortality rate. Metabolic syndrome is a serious health problem that increases the risk of CHD due to atherosclerosis. Based on PT XYZ MCU data for 2020-2022, found that there was increasing the incidence of metabolic syndrome by 2.5% which would increase the risk of CHD. The purpose of this study was to analyze the factors associated with the risk of CHD in PT XYZ workers in 2022 based on metabolic syndrome. This study used a cross-sectional study approach with 161 sample respondents. The data source used was through a questionnaire and also data on the MCU results in 2022. The results of the study revealed that for genetic factors, found that the age and gender of workers had a relationship with the risk of CHD. Environmental factors (work shifts) had no relationship with the risk of CHD and for lifestyle factors, found that dietary patterns of carbohydrates and fats consumption, BMI also smoking habits had a relationship with the risk of CHD. Therefore it is necessary to have preventive measures both primary, secondary and tertiary to minimize the risk of CHD both to individual workers and to companies."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Cahyaningrum
"ABSTRAK
Filariasis semakin menjadi perhatian masyarakat karena cukup meresahkan dengan akibat yang ditimbulkan berupa cacat permanen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian filariasis di Papua Barat tahun 2015. Penelitian ini menggunakan desain case control. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Mei 2015 di Papua Barat. Penduduk di Papua Barat yang berusia 13-50 tahun dan telah diperiksa antigenaemia filariasis dipilih sebagai populasi studi. Analisis yang dilakukan dengan regresi logistik model prediksi. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh hasil: terdapat hubungan bermakna pada variabel pembagian wilayah urban-rural, daerah rural lebih berisiko (OR=6,3; 95%CI 3,659-10,615), jarak rumah-puskesmas, jarak ≥ 1 km lebih berisiko (OR=2,2; 95%CI 1,343-3,575), dan berobat ke puskesmas sebagai faktor protektif (OR=0,6 95%CI 0,323-0,962). Faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan pada variabel pembagian wilayah urban-rural merupakan faktor risiko dominan yang mempengaruhi kejadian filariasis di Papua Barat. Perlunya dilakukan penentuan status endemisitas filariasis dan evaluasi POPM lebih banyak pada masyarakat rural, untuk mengeliminasi filariasis.

ABSTRACT
Filariasis increasingly to public attention because it is quite disturbing to the impact in the form of permanent disability. The purpose of this study was to assess the risk factors that affect the filariasis in West Papua 2015. The research using a case control design. This study was conducted in february-may 2015 in West Papua. Residents in West Papua were aged 13-50 years and have been examined antigenaemia filariasis chosen as the study population. The analysis with logistic regression prediction model. the sample consisted of 113 as cases and 452 controls. Based on the analysis results, results obtained: variable urban-rural zoning, rural areas are more at risk (OR=6,3; 95%CI 3,659-10,615), distance home-health centers, distance ≥ 1 km is more at risk (OR=2,2; 95%CI 1,343-3,575), and go to the health center as a protective factor ((OR=0,6 95%CI 0,323-0,962). Health care utilization factor on the variable urban-rural zoning is the dominant risk factor affecting the filariasis in west papua. The need for the determination of the status of filariasis endemicity and evaluation POPM more on rural communities, to eliminate filariasis."
2015
S60160
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Intan Fitriana
"Latar belakang: Prevalens late steroid resistance (LSR) makin meningkat pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Fungsi ginjal yang menurun dapat memperburuk prognosis LSR. Penelitian terkait mengenai faktor risiko LSR pada anak (SNI) masih terbatas, padahal pengenalan terhadap faktor risiko ini diperlukan untuk deteksi dini dan mengotimalkan terapi.
Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik anak yang didiagnosis SNI awitan inisial seperti jenis kelamin, usia awitan SNI, hipertensi, kadar hemoglobin, albumin, ureum, laju filtrasi glomerulus, hematuria mikroskopik dan jangka waktu sejak dinyatakan remisi dan telah menyelesaikan pengobatan inisial terhadap terjadi relaps pertama kali dapat menjadi faktor risiko LSR pada anak dengan SNI.
Metode penelitian: Penelitian kasus-kontrol dengan penelusuran retrospektif yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak di FKUI-RSCM, RSUP. Fatmawati dan RSUP. Dr. Mohammad Hoesin periode Maret-Mei 2018 yang terbagi menjadi kelompok LSR dan SNSS. Pengambilan rekam medis anak dengan diagnosis SNI yang melakukan kunjungan pengobatan di poli nefrologi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian: Dilakukan analisis pada 100 anak dengan LSR dan 100 anak dengan SNSS. Anak laki-laki didapatkan lebih banyak daripada anak perempuan pada dua kelompok dengan median usia 4,12 (1,0-17,40) tahun. Faktor yang secara bermakna berpengaruh terhadap kejadian LSR pada anak dengan SNI pada analisis bivariat adalah: kadar ureum ≥ 40mg/dL (OR 1,68; IK 95% 1,45-4,53) dan adanya hematuria mikroskopik (OR 2,45; IK 95% 1,35-4,47).
Simpulan: Faktor risiko yang berperan terhadap kejadian LSR pada anak dengan SNI adalah kadar ureum ≥ 40 mg/dL dan terdapat hematuria mikroskopik.

Background: Prevalence of late steroid resistance (LSR) tends to be increased in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). Renal function deterioration may worsen the prognosis. Previous studies about the risk factors for LSR in children with INS were still limited, while early detection is the most important thing to do proper treatment.
Objectives: to determine whether age of onset, sex, hypertension, hemoglobin level, albumin, ureum, filtration glomerular rate, microscopic hematuria, and first relaps may influence the occurrence of LSR in children with INS. Methods. Case control study with restrospective medical record investigation was performed in INS children who visited to dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Fatmawati and dr. Mohammad Hoesin General Hospital, during March-May 2018. Case and control group was children with LSR and sensitive steroid. Bivariate and multivariate analysis to identify significant risk factors.
Results: There were each 100 children with LSR and steroid sensitive. No different of sex ratio in each group with median of age 4,12 (1,0-17,40) years old. Factors which associated significantly with LSR on bivariate analysis were ureum level ≥ 40mg/dL (OR 1,68; IK 95% 1,45-4,53), microscopic hematuria (OR 2,45; IK 95% 1,35-4,47), and glomerular filtration rate (OR 1,43 IK 95% 0,79-2,57). Factors which associated significantly with LSR on multivariate analysis include ureum level ≥ 40mg/dL (OR 2,199; IK 95% 1,19-4,04), microscopic hematuria (OR 2,05; IK 95% 1,08-3,88).
Simpulan: Risk factors associated with LSR in INS are ureum level ≥ 40 mg/dL and microscopic hematuria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Setiorini
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) didapatkan pada 40-50% pasien sindrom Down, merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Salah satu manifestasi tambahan lain selain PJB adalah hipertensi pulmoner. Faktor-faktor risiko yang berperan untuk terjadinya PJB, terjadi pada periode perikonsepsi yaitu 3 bulan sebelum kehamilan hingga trimester pertama kehamilan. Beberapa penelitian mengenai faktor risiko PJB yang telah dilakukan memiliki hasil yang tidak konsisten baik dalam populasi sindrom Down sendiri, maupun apabila dibandingkan dengan populasi umum.
Tujuan: Mengetahui prevalens PJB dan hipertensi pulmoner, jenis PJB yang banyak didapatkan, dan faktor risiko PJB pada sindrom Down.
Metode: Studi potong lintang observational analytic pada pasien sindrom Down berusia ≤5 tahun di RSCM. Data diambil dari wawancara dengan orangtua subyek yang datang langsung ke poliklinik rawat jalan RSCM Kiara, Departemen Rehabilitasi Medis, dirawat di Gedung A RSCM, IGD, perinatologi maupun orangtua dari subyek yang tercatat di rekam medis dengan diagnosis sindrom Down atau memiliki International Classification of Disease (ICD) 10 Q90.9 sejak Januari 2012 hingga Desember 2015.
Hasil penelitian: Sebanyak 70 subyek sindrom Down memenuhi kriteria inklusi. Median usia subyek adalah 16,5 bulan. Penyakit jantung bawaan didapatkan pada 47,1% subyek. Defek septum atrium dan duktus arteriosus paten merupakan PJB terbanyak yang didapatkan yaitu masing-masing 30,3%. Penyakit jantung bawaan lain yang didapatkan adalah defek septum atrioventrikel dan defek septum ventrikel yaitu sebesar 18,2 dan 21,2%. Hipertensi pulmoner didapatkan pada 17,1% subyek dengan 10/12 subyek terjadi bersamaan dengan PJB. Usia ibu ≥35 tahun [p= 0,77; OR 0,87 (0,34-2,32)], usia ayah ≥35 tahun [p= 0,48; OR 1,44 (0,52-4,01)], febrile illness [p= 0,72; OR 0,81 (0,25-2,62)], penggunaan obat-obat yaitu antipiretik [p= 0,71; OR 0,60 (0,14-2,82)], antibiotik (p=0,91; OR 1,13 (0,15-8,5)], jamu/obat herbal [p=0,89; OR 0,89 (0,22-3,60)], keteraturan penggunaan asam folat [p= 0,27; OR 0,58 (0,22-1,50)], ibu merokok (p= 0,34), dan pajanan rokok [p= 0,89; OR 0,94 (0,36-2,46)] saat periode perikonsepsi tidak terbukti berhubungan dengan terjadinya PJB pada sindrom Down.
Kesimpulan: Faktor risiko lingkungan periode perikonsepsi tidak terbukti berhubungan dengan kejadian PJB pada sindrom Down."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>