Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96808 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eliza Nindita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Studi ini bertujuan untuk mengamati dampak aplikasi Tumescent ONEPERMIL dan segi keamanannya pada skin flap yang telah mampu pulih hidup dari cedera iskhemia sebelumnya.
Metode: Studi eksperimental dengan kontrol dan randomisasi dilakukan pada 40 groin flap dari 20 ekor Rattus novergicus strain Wistar yang sehat berbobot 220-270 gram. Infiltrasi Tumescent ONEPERMIL, infiltrasi salin normal dan grup kontrol dilakukan pada flap yang berhasil pulih vital 100% dari cedera iskhemia yang dikondisikan melalui pemasangan klem selama 15 menit pada pedikelnya. Perfusi flap dimonitor melalui pengukuran tekanan oksigen transkutaneous (TcPO2), sebelum dan sesudah infiltrasi dilakukan. Vitalitas flap dinilai secara klinis maupun menggunakan Analyzing Digital Images® di hari ke 7 paska prosedur infiltrasi dan resetting flap pada tempatnya. Analisa statistik dilakukan dengan test Chi-square (p<0,05).
Hasil: Penilaian akhir menunjukkan kepulihan hidup seluruh groin flap tanpa ditemukan tanda nekrosis. Pengukuran TcPO2 pada flap sebelum dan sesudah prosedur infiltrasi menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,0001) namun masih berada dalam batasan prediksi flap akan pulih hidup.
Kesimpulan: Aplikasi Tumescent ONEPERMIL pada groin flap yang telah pulih hidup dari cedera iskhemia sebelumnya, tidak menimbulkan dampak nekrosis pada flap.

ABSTRACT
Background: To observe the effect of One-per-mil tumescent injection on viable skin flaps that previously had suffered from an ischemic insult, so as to ascertain One-per-mil tumescent safety application in the related theme.
Methods: 40 groin flaps from 20 healthy Wistar strained-Rattus novergicus weighing 220-270 grams were conditioned to acute ischemia by clamping the pedicle for 15 minutes. Merely totally survived and viable flaps on the seventh postoperative day were randomly divided into: One-per-mil tumescent infiltration group(A), normal saline infiltration group(B), and control group(C). Before and after the infiltration, transcutaneous oxygen tension (TcPO2) measurement was performed, and the changes values were calculated by statistical analysis using ANOVA and Paired T-Test. Viability of flaps was assessed clinically and by using AnalyzingDigitalImages® 7 days later.
Results: TcPO2 readings yielded a decreasing value significantly (p<0.001) following both One-per-mil tumescent and normal saline infiltration. However, all groin flaps survived with no signs of tissue necrosis.
Conclusion: One-per-mil tumescent injection into viable skin flaps is safe even though the flaps had previously suffered from an ischemic condition.
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Kusumastuti
"ABSTRAK
The use of epinephrine contained tumescent solution in hand surgery, which avoid the use of tourniquet, has been widely popular, with the lowest epinephrine concentration being “one-per-mil” or 1:1,000,000. The purpose of the study is to know the characteristics of “one-per-mil” tumescent solution regarding the time delay needed to get optimal visualization of the operation field in the hand digits.
Methods
This study is a prospective, randomized, double-blind study where 12 healthy volunteers are injected simultaneously in each ring finger with either saline added with 1:1,000,000 epinephrine (study group) in one hand, or plain saline (control group) in the contralateral hand. The relative hemoglobin concentration of the underlying skin and soft tissue, which is reflected by oxygen saturation in the fingertip, was then measured over time using pulse oximetry.
Results
The lowest point of oxygen saturation in the epinephrine group was obtained at the average time of 21.7 minutes after injection. (range, 02.00 minutes to 45.37 minutes). Epinephrine injection produced significant decrease in oxygen saturation (delta = 5 points) compared to saline only. Temperature decrease in epinephrine group was also significant. Fingertip sensibility did not change significantly in both group. No side effects or complication was found.
Discussion
The optimal time delay to produce maximal vasoconstriction depicted by the lowest oxygen saturation was 21.7 minutes in average. Epinephrine in “one-per-mil” tumescent solution was effective to produce finger vasoconstriction compared to saline injection, with the same safety as the saline only injection.

ABSTRACT
Penggunaan larutan tumesen yang mengandung epinefrin untuk bedah tangan tanpa torniket telah banyak dikenal, dengan konsentrasi epinefrin terendah yang dilaporkan adalah “one-per-mil” atau 1:1,000,000. Tujuan studi ini adalah mengetahui karakteristik larutan epinefrin “one-per-mil” tersebut terutama mengenai waktu tunggu optimal untuk mendapatkan lapangan operasi yang bebas perdarahan pada jari tangan.
Metode
Penelitian ini merupakan studi prospektif, acak, tersamar ganda dimana 12 sukarelawan sehat diinjeksi pada kedua jari manisnya dengan larutan saline yang ditambah epinefrin 1:1,000,000 (kelompok studi) atau larutan saline saja (kelompok kontrol). Vasokonstriksi optimal, yang dicerminkan oleh saturasi oksigen ujung jari yang terendah, diukur kontinyu terhadap waktu dengan pulse oximeter.
Hasil
Saturasi oksigen terendah pada grup epinefrin tercatat pada rata-rata menit ke 21.7 (rentang: 02.00 menit hingga 45.37 menit). Injeksi epinefrin menghasilkan penurunan saturasi oksigen yang signifikan (delta = 5 poin) dibanding larutan saline saja. Penurunan suhu jari setelah penyuntikan epinefrin (delta = 1.3oC) juga signifikan.Tidak ditemukan perubahan sensibilitas ujung jari yang signifikan pada kedua grup. Tidak ditemukan efek samping maupun komplikasi apapun pada semua subjek.
Diskusi
Waktu tunggu yang optimal hingga mencapai vasokonstriksi maksimal yang dicerminkan oleh saturasi oksigen terendah, adalah rata-rata 21.7 menit. Epinefrin dalam larutan tumesen “one-per-mil” efektif menghasilkan vasokonstriksi jari dibandingkan injeksi saline saja; dengan kemanan yang sama dengan suntikan saline."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59139
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Ambar Lestari
"ABSTRAK
Pendahuluan: Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui awitan dan durasi kerja lidocaine dalam larutan one-per-mil tumescent.
Metode: Studi eksperimental dengan kontrol dan desain buta acak ganda (triple blind study) dilakukan pada 12 subjek sehat yang diinjeksikan larutan one-per-mil tumescent mengandung lidocaine 0,2% pada satu tangan atau lidocaine 2% pada tangan kontralateral. Awitan dan durasi kerja lidocaine diukur berkala dengan uji sensoris Semmes-Weinstein dan diskriminasi dua titik. Tingkat nyeri diukur dengan visual analogue scale (VAS)
Hasil: Awitan tercepat pada grup lidocaine 2% tercatat pada menit ke 1 (rentang: menit ke 1 hingga 6). Awitan rata-rata pada grup larutan one-per-mil tumescent adalah 4.67 menit (± 2.53 menit). Durasi kerja lidocaine 2% adalah 95.58 menit (± 29.82 menit), sedangkan durasi kerja larutan one-per-mil tumescent adalah 168.5 menit (± 45.1 menit) dengan uji diskriminasi dua titik dan 186.83 menit (± 44.02 menit) dengan uji sensoris Semmes-Weinstein. Terdapat perbedaan awitan dan durasi kerja yang signifikan pada kedua grup. Tidak ditemukan perubahan sensibilitas ujung jari yang signifikan pada kedua grup pada saat sebelum dan sesudah intervensi.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan awitan dan durasi kerja lidocaine dalam larutan one-per-mil tumescent adalah rata-rata 4,67 dan 168,5 menit. Lidocaine 0,2% dalam larutan one-per-mil tumescent menghasilkan awitan yang lebih lambat dan durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan dengan lidocaine 2%.

ABSTRACT
Background: We aimed to profile the onset and duration of action of the lidocaine in one-per-mil tumescent solution.
Methods: A controlled, prospective, and randomized triple blind study was conducted on both hand of 12 healthy volunteers who were injected in two consecutive days in his ring finger with either one-per-mil tumescent solution containing 0.2% lidocaine (experimental finger) in one hand or 2% lidocaine (control finger) in the contralateral hand. The onset and duration of action of lidocaine were measured over time by Semmes-Weinstein and two-point discrimination test. The level of pain was evaluated using visual analogue scale (VAS).
Results: The fastest onset of action in 2% lidocaine group was in the first minute (range, minute 1 to 6). Average onset of action of one-per-mil tumescent solution was 4.67 minutes (± 2.53 minutes). Duration of action of 2% lidocaine was 95.58 minutes (± 29.82 minutes), meanwhile the duration of one per-mil tumescent solution was 168.5 minutes (± 46.4 minutes) by 2PD test and 186.83 minutes (± 44.02 minutes) by SW test. There were significant difference of the onset and duration of action of both groups. Fingertip sensibility before and after the intervention did not change significantly in both group.
Conclusion: This study shows that the onset and duration of action of lidocaine in the one-per-mil solution injected in the finger using tumescent technique subsequently at 4.67 and 168.5 minutes in average. 0.2% lidocaine in one-per-mil tumescent solution produced slower onset and longer duration of action compared to 2% lidocaine."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theddeus Octavianus Hari Prasetyono
"Rangkaian penelitian ini ditujukan untuk mengkaji alternatif operasi tanpa turniket melalui upaya untuk mengetahui efektivitas, keamanan, dan kemamputerapan larutan tumescent one-per-mil.
Desain penelitian merupakan penelitian eksperimental, uji acak buta ganda dan seri kasus klinis penggunaan larutan tumescent yang mengandung epinefrin 1 : 1.000.000 dan lidokain 0,2% yang dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RS Cipto Mangunkusumo selama periode Juli 2013-Desember 2017. Penelitian pada flap inguinal tikus Sprague-Dawley dilakukan untuk mengetahui kejelasan lapangan operasi, peran vasokompresi hidrostatik, dan kesintasan flap. Uji klinis dilakukan pada subjek normal melalui suntikan pada pulpa jari untuk mengetahui masa tunda optimal melalui pengukuran SpO2; serta mengenali peran vasokompresi hidrostatik. Terapan klinis operasi sadar penuh dikawal dengan uji klinis untuk mengetahui mula dan lama kerja lidokain. Kelompok seri kasus meliputi operasi tangan dan ekstremitas atas pada kelompok anak, operasi kontraktur pascaluka bakar, operasi yang melibatkan tulang dan sendi, operasi eksisi malformasi vaskular, rekonstruksi web dengan flap, serta operasi sadar penuh. Uji statistik dilakukan dengan metode Chi-square, Wilcoxon bertingkat, uji t-independen dan berpasangan, dan ANOVA. Tingkat kemaknaan ditetapkan sebagai p < 0,05.
Operasi pada flap inguinal tikus menghasilkan 63/63 lapangan operasi bebas perdarahan dengan 26/26 flap hidup walaupun diberi perlakuan iskemia sebelum disuntik. Tidak dijumpai perbedaan kesintasan flap antara teknik suntik acak dan teknik teratur. Walaupun kedua kelompok mengalami penurunan bermakna TcPO2, rerata TcPO2 pascaperlakuan iskemia kelompok tumescent lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol. Hasil uji klinis menunjukkan rerata delta SpO2 pada kelompok epinefrin lebih besar secara bermakna daripada kelompok salin normal. Epinefrin menunjukkan masa tunda optimal 13,9 (SB 5,38) menit. Mula kerja lidokain 5 (1-9) menit dengan lama kerja 186,8 (SD 44.02) menit. Seluruh operasi pada 77 subjek bedah tangan dapat dikerjakan tanpa konversi turniket. Operasi sadar penuh efektif pada 20 dari 24 kasus. Lapangan operasi bebas perdarahan dapat dicapai sebesar 38,7%, baik pada subjek dewasa maupun anak.
Epinefrin bersama-sama dengan efek vasokompresi hidrostatik efektif dalam menghasilkan lapangan operasi bebas perdarahan pada tikus. Keberhasilan hidup 100% flap yang telah diberi perlakuan iskemia sebelumnya menunjukkan keamanan larutan one-per-mil. Nilai saturasi yang menurun namun masih dalam rentang normal menunjukkan tidak terjadinya efek iskemia pada jari. Hasil studi pada tikus maupun subjek normal menunjukkan bahwa epinefrin bersama-sama dengan efek vasokompresi hidrostatik berperan dalam penurunan perfusi tanpa mengakibatkan iskemia. Masa tunda optimal efek hiperfusi selama 14 menit menjadi referensi yang relevan untuk mendukung praktik klinis masa tunggu sebelum insisi selama 7-10 menit. Selain efektif, termasuk dalam operasi sadar penuh yang berlangsung tanpa konversi turniket, hasil pengamatan teknik tumescent one-per-mil pada operasi kontraktur pascaluka bakar mematahkan paradigma bahwa operasi harus dilakukan dengan turniket. Larutan one-per-mil juga aman diterapkan pada operasi kasus pediatrik dengan tidak dijumpainya nekrosis flap maupun jari anak. Berdasarkan evaluasi luaran fungsi pada seri kasus operasi pada kontraktur luka bakar dan spaghetti wrists, teknik tumescent one-per-mil menunjukkan potensinya untuk dapat diterapkan pada kasus-kasus kompleks.
Simpulan: Larutan tumescent one-per-mil aman, efektif, dan mampu terap untuk menggantikan turniket dalam operasi bedah tangan dan ekstremitas atas. Walaupun menyebabkan hipoperfusi, larutan one-per-mil tidak menyebabkan iskemia dan kematian jari. Masa tunda optimal sebelum insisi 13,9 menit, dengan mula dan lama kerja anestesi lokal masing-masing adalah 5 dan 186,8 menit.

The study series were aimed to delineate hand and upper extremity surgery without tourniquet by studying the efficacy, safety, and applicability of the one-per-mil tumescent solution.
Studies were designed as experimental studies, randomized clinical trials and clinical case series on the use of solution containing 1 : 1,000,000 epinephrine and 0.2% lidocaine. All the studies were conducted at Faculty of Medicine Universitas Indonesia and Cipto Mangunkusumo Hospital during the periode of July 2013-December 2017. Groin flaps in Sprague-Dawley rats were elevated to study the operative field clarity, the role of hydrostatic vasocompressive effect and flap survivals. Clinical trials were performed on normal subject’s fingers to know the optimal time delay by measuring SpO2, while also to delineate the role of vasocompressive effect. The practice of fully awake hand surgery was guided by clinical study to reveal the onset and duration of anaesthetic action. Case series were including grouped surgeries for the hand and upper extremity in children, post burn hand contractures, bone and joint related problems, vascular malformation, web reconstruction using flaps, and fully awake surgeries. Statistical analysis were performed using Chi-square test, Wilcoxon sign rank test, independent and pair t-test, and ANOVA. Significance was set at p < 0.05.
Studies on animal revealed 63/63 bloodless operative fields and 26/26 flaps survived even after given ischemic insult before injection. The random pattern injection technique was not significantly different from systematic pattern technique. The epinephrine group showed significantly lower TcPO2 than control group, although both experienced significant decrease of TcPO2. The mean delta of SpO2 of the epinephrine group was significantly higher than control group in the clinical study. Epinephrine showed optimal time delay 13.9 (SD 5.38) minutes. The average onset and duration of lidocaine actions were 5 (1-9) and 186.8 (SD 44.02) minutes respectively. Surgery on 77 subjects was successfully performed without tourniquet conversion. Fully awake surgery was effective in 20 out of 24 cases. Overall, bloodless operative field was achieved in 38.7%.
Epinephrine works together with hydrostatic vasocompressive effect in creating bloodless operative field in animal tissue. The safety was proven by the fact of 100% survival rate of flaps after surviving from ischemic insult. The decrease of SpO2, which was still within normal range, is an evidence of non-ischemic fingers. Both experimental and clinical studies showed that epinephrine and hydrostatic vasocompressive effect are responsible to create hypoperfusion without causing ischemia. The 14 minutes optimal time delay is relevant to the clinical practice of 7-10 minutes waiting time before incision. Besides its efficacy, the study outcome of one-per-mil tumescent technique to facilitate surgery on burn contracture breaks the old paradigm about surgery under tourniquet. The technique is also safe to be applied in paediatric patients as it showed no evidence of flap or finger necrosis. Based on the evaluation of functional outcome, one-per-mil tumescent technique is promising to be used in complicated surgeries.
In summary, one-per-mil tumescent solution is safe, effective and clinically applicable to substitute tourniquet in surgery for the hand and upper extremity. Although causing hypoperfusion, one-per-mil solution did not cause ischemia and subsequent finger necrosis. The optimal time delay is 13.9 minutes; the onset and duration of local anaesthesia is 5 and 186.8 minutes respectively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntoro
"Surgical delay is a manuever that designed to improving survival of skin flap. The basic mechanism of the delay procedure is vascular reorientation that produced by the stimulus of ischemia. This study introduces a new method of surgical delay with ligation suture. This ligation interrupt blood flow to the planned skin flap and thereby producing ischemic condition. We investigated wether this method will improve flap survival, compared with survival in "conventional" surgical delay and non-delay group.
Fifty-one McFarlane flaps on rat model were divided in three groups. After 7 days of delay (in the delay group) the flap was elevated. Then, 7 days post elevation, the survival length of the flaps in all groups was measured. Flap survival ii the ligation suture delay group (72,83% ± 3,84%, n=17) was not different from "conventional" surgical delay group (73,34% ± 9,73%, n=17), and significantly greater than in the non-delay group (47,92%± 6,62%, n=17).
This study suggest that, in rat model, this ligation suture delay procedure was effective to produces ischemic condition that stimulus changes of blood patterns and thus increasing the flap survival."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Marcellina Sadikin
"

Latar Belakang: Studi pendahuluan ini bertujuan untuk mengeksplorasi efek asam traneksamat dan kombinasinya dengan larutan tumesen satu per satu juta untuk mengurangi perdarahan intra- dan pascaoperasi pada model luka bakar babi.

Metode: Dua subjek hewan digunakan dalam penelitian eksperimental ini. Empat luka bakar dibuat pada punggung masing-masing hewan. Setiap luka bakar diberi salah satu dari perlakuan berikut: (1) larutan tumesen satu per satu juta; (2) asam traneksamat; (3) larutan tumesen satu per satu juta yang dikombinasikan dengan asam traneksamat; atau (4) kelompok kontrol. Setelah injeksi, jaringan nekrotik dieksisi oleh satu orang operator yang tidak mengetahui jenis perlakuan yang diberikan pada masing-masing jaringan nekrotik. Jumlah perdarahan intraoperasi dan 24 jam pascaoperasi diukur menggunakan pengukuran gravimetri dan analisis subjektif dengan visual analogue guide oleh dua penilai independen.

Hasil: Larutan tumesen satu per satu juta saja tampaknya menunjukkan hasil yang baik dalam mengendalikan perdarahan intraoperasi; perdarahan rebound tidak terjadi. Efektivitas injeksi asam traneksamat saja atau dalam kombinasi dengan larutan tumesen satu per satu juta untuk mengurangi perdarahan intraoperasi tidak dapat disimpulkan dalam studi pendahuluan ini. Tidak ada perbedaan signifikan dalam perdarahan 24 jam pascaoperasi di antara semua kelompok.

Simpulan: Penelitian menyeluruh harus dilakukan untuk memberikan bukti yang lebih konklusif mengenai efektivitas infiltrasi asam traneksamat dan perbandingannya dengan larutan tumesen satu per satu juta dan kombinasinya.

 

 


Background: This pilot study aimed to explore the effect of tranexamic acid (TA) and its combination with one-per-mil tumescent solution to reduce intraoperative blood loss and postoperative bleeding in porcine burn wound model.

Methods: Two animal subjects were used in this experimental study. Four burn wounds were created in each animal’s torso. Each burn wound was treated with one of these injection solutions or intervention: (1) one-per-mil tumescent solution; (2) TA; (3) one-per-mil tumescent solution combined with TA; or (4) control group. After the injection, the burn necrotic tissue was tangentially excised by a single blinded surgeon. The amount of intraoperative bleeding and 24-hour postoperative bleeding was measured using gravimetric measurement and subjective analysis with the aid of a visual guide analogue by two independent assessors.

Results: One-per-mil tumescent alone seems to show a good result in controlling intraoperative bleeding; no rebound bleeding was observed. However, the effectiveness of TA alone or in combination with one-per-mil tumescent solution to reduce intraoperative bleeding cannot be concluded yet through this pilot study. There was no significant difference in 24-hour postoperative bleeding among all groups.

Conclusion: The full research should be conducted to provide more conclusive evidence regarding the efficacy of TA infiltration and its comparison with one-per-mil tumescent solution and combination of both agents.

 

 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Theddeus Octavianus Hari Prasetyono
Jakarta: UI Publishing, 2019
616 THE f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Prasasta Adhistana
"LATAR BELAKANG : Manajemen cidera dan penyakit pada tangan membutuhkan intervensi bedah dan non-bedah yang baik dan teliti untuk mencapai restorasi anatomi dan fungsional yang optimal. Saat ini penggunaan tourniquet kimia dengan epinephrin mulai mengantikan touniquet udara untuk operasi tangan sadar penuh menggunakan infiltrasi lokal ke tempat pembedahan sebagai metode dari pembiusan lokal. Berbagai jenis spuit dan jarum dapat digunakan untuk infiltrasi bius lokal. Untuk mengeluarkan larutan dari spuit ke jaringan membutuhkan gaya yang spesisfik. Ada 2 jenis gaya yg digunakan untuk mengeluarkan larutan dari spuit: (1) untuk gerakan awal dari piston (PBF: plunger-stopper break loose force), (2) gaya untuk mempertahankan laju piston (DGF: dynamic gliding force). Kedua gaya tersebut dipengaruhi oleh diameter spuit dan jarum, dan juga viskositas larutan. Tujuan dari studi ini untuk memberikan kombinasi yang terbaik antara spuit dan jarum suntik yang membutuhkan tenaga yang minimal untuk mengeluarkan larutan dari spuit.
METODE : Untuk menjelaskan aspek fisik dan mekanik mengenai gaya yang dibutuhkan untuk infiltrasi bius lokal pada kombinasi spuit dan jarum, kami mengunakan spuit 1cc, 3cc, 5cc, 10cc dan 20cc serta jarum suntik asli dari kemasan, jarum 27-Gauge, jarum spinal 27-Gauge, dan jarum 30-Gauge. Setiap kombinasi spuit dan jarum dilakukan sebanyak 3 kali. Kami telah melakukan total 60 tes pada kombinasi spuit dan jarum. Tes dilakukan dengan menggunakan mesin Instron 5940 dengan kecepatan 100mm/menit.
HASIL : Nilai PBF terdendah didapatkan pada kombinasi spuit 1cc dengan jarum 27-Gauge; nilai PBF tertinggi didapatkan pada kombinasi spuit 10cc dengan jarum 30-Gauge. Nilai DGF terendah didapatkan pada kombinbasi spuit 1cc dengan jarum pada kemasannya; nilai DGF tertinggi didapatkan pada kombinasi spuit 20cc dengan jarum 27-Gauge needle. Kombinasi spuit 20cc dengan jarum 27-Gauge membutukan gaya sebesar 25,33 N untuk PBF dan 113,367 N buat DGF. Gaya ini 33x lebih tinggi untuk PBF dan 324x lebih tinggi untuk DGF pada spuit 1cc. Ketika kita menggunakan spuit 3cc dengan jarum27-Gauge, makan akan membutuhkan gaya 5,8x lebih inggi pada PBF dan 24,8x lebih tinggi pada DGF. Pada spuit 5ccdenga kombinasi jarum 27-Gauge, perlu gaya 2,4 kali lebih tinggi pada PBF dan 5,8 kali lebih tinggi pada DGF. Untuk jarum suntik 10cc, maka akan membutuhkan gaya 5,8 lebih tinggi di PBF dan 2,6 lebih tinggi pada DGF.
SIMPULAN : Kombinasi terbaik dari spuit dan jarum suntik untuk memasukan larutan bius lokal adalah yang membutuhkan PBF dan DGF yang rendah yang terdapat pada spuit 1cc dan jarum yang berada pada kemasannya. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah kekuatan individual tangan dokter bedah untuk memenuhi beban fisiologis dan ergonomis bersama dengan gaya yang rendah untuk menjalankan operasi.

BACKGROUNDS : Management of hand injury or disease needs meticulous surgical intervention as well as tender loving non-surgical intervention to reach optimal goals which are anatomical restoration and good functional outcome. The application of chemical tourniquet using epinephrine has begun to replace the use of pneumatic tourniquet. Wide-awake hand surgery uses local infiltration to the surgical site as the method of anesthesia. Different types of syringe can be used to administer the tumescent solution. Injection of the tumescent solution in the syringe requires a specific force to eject the solution into the tissue. There are two types of power used in syringe: (1) for initial movement of the syringe?s piston which is known as plunger-stopper break loose force (PBF) and (2) the power to maintain the sustaining or the forward motion of the piston which is known as dynamic gliding force (DGF). Both of these forces are affected by the diameter of the needle and syringe, and also the viscosity of the tumescent solution as well. The purpose of this studyis to data for describing the best combination of syringe and needle which requires the least force.
METHODS : To elaborate the physical and mechanical aspect regarding the power and force in the combination of needle and syringe used for local anesthesia injection, we use 1cc, 3cc, 5cc, 10cc and 20cc syringe with original needle from packaging, 27-Gauge needle, 27-Gauge spinal needle, and 30-Gauge needle. We have performed 60 test of syringe and needle combination. Each combination was tested in triplet data using Instron 5940 Series testing systems, in 100mm/minute velocity.
RESULT : The lowest PBF value was performed by the combination of 1cc syringe and 27-Gauge Needle; and the highest PBF value was achieved by the combination of 10cc syringe and 30-Gauge Needle.The lowest DGF value was measured in the combination of 1cc syringe and original needle. And the highest DGF value was performed by the combination of 20cc syringe and 27-Gauge needle. The 20cc syringe needs 25.33 Newton for PBF and 113.367 Newton for DGF. These forces are 33 times higher for PBF and 324 times higher for DGF, if we use the 1 cc syringe. When we choose 3cc syringe and 27-Gauge needle, it will need 5,8 times higher in PBF and 24,8 times higher in DGF. Another option of syringe is 5cc syringe, that will need 2,4 times higher in PBF and 5.8 times higher in DGF. For 10cc syringe, it will need 5.8 higher in PBF and 2.6 higher in DGF.
CONCLUSIONS : The best combination of syringe and needle that required the least force (PBF and DGF) for hand and digit surgery are 1 cc syringe and original needle. Another thing to be considered is the individual power of the Surgeon?s hand to meet the physiologic and ergonomic burden along with the initial and maintenance force needed through the operations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman
"Flap kulit memegang peranan yang sangat penting dalam bedah rekonstruksi. Nekrosis flap, tentu saja akan menyebabkan gagalnya program rekonstruksi disamping meningkatkan morbiditas penderita, biaya perawatan dan lama perawatan. Berbagai teknik untuk meningkatkan kehidupan flap telah lama dicoba dengan memanipulasi jaringan flap. Salah satu teknik yang terbukti efektif adalah pengondisian dengan prosedur tunda bedah. Prosedur ini menyebabkan terjadinya relatif iskemia yang merangsang perubahan anatomis maupun fisiologis pembuluh darah flap sehingga lebih tahan terhadap kondisi iskemia ketika ditransfer. Walaupun efektifitas prosedur tunda tidak diragukan, teknik ini relatif jarang dilakukan dalam praktek klinis karena beberapa alasan ketidak-praktisan. Pada studi ini dicoba altematif prosedur tunda yang relatif sederhana, yaitu dengan hanya melakukan undermining melalui insisi kecil di salah satu sisi panjang flap yang menyebabkan terputusnya pembuluh darah perforator yang berjalan tegak lurus dari dasar flap, sehingga terjadi iskemia relatif yang mirip dengan fenomena tunda. DiIakukan penelitian pada 51 ekor tikus dengan membuat disain flap berukuran 2 x 7 cm pada punggungnya. Proses tunda dilakukan selama 7 hari, kemudian viabilitas flap diamati setelah 7 hari pasta tunda. Flap yang nekrosis ditandai dan dihitung luasnya dengan Program Auto CAD Map sehingga didapatkan persentasi luas flap yang viabel. Dengan Uji Kruskal-Wallis dapat disimpulkan bahwa prosedur tunda dengan undermining melalui insisi kecil tidak berbeda bermakna dengan prosedur konvensional (p-0,05), namun lebih efektif dan efisien untuk dikerjakan. Prosedur ini sebenarnya tidak asing dilakukan oleh ahli bedah plastik misalnya dalam mempersiapkan suatu pocket implan maupun dalam memasang tissue ekspander, namun belum banyak disadari bahwa tindakan ini dapat dijadikan sebagai alternatif prosedur tunda flap yang cukup efektif dan efisien."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Utama Abdi
"Pendahuluan : Compromised flap merupakan komplikasi yang sering didapatkan dari operasi-operasi elevasi flap. Penanganan jaringan yang kurang baik, tehnik operasi, kadang mengakibatkan cedera pada pembuluh darah yang berujung pada compromised flap yang bila tidak ditangani dengan baik, dapat menjadikan kematian sebagian bahkan seluruh flap. Hampir semua cedera pada pembuluh utama dapat diatasi dengan tindakan reoperasi untuk mengatasi gangguannya. Tetapi bila gangguan yang terjadi di microsirkulasi, therapi farmakologi merupakan pilihan. Disamping itu, compromised flap memberikan tampilan klinis yang berbeda, tergantung gangguan yang terjadi pada pembuluh vena atau arteri. Banyak pilihan sediaan farmakologi untuk mengatasi compromised flap oleh karena gangguan mikrosirkulasi. Diantaranya yang sering dipakai oleh karena mudah cara pakainya, murah, tersedia dan diketahui cara kerjanya adalah heparin topikal dan nitrogliserin topikal. Metode: Suatu studi eksperimental dilakukan terhadap 18 ekor tikus Sprague-Dawley betina yang terbagi secara acak ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok yang deri penangan dengan heparin topikal. Setelah dilakukan elevasi groin island flap, dilakukan oklusi pada vena femoralis sirkumjleksa lateralis selama 6 jarn hingga terbentuk compromised jlap. Kemudian oklusi dilepas dan dioleskan heparin topikal selama 7 hari. Dinilai perubahan warn a yang terjadi hari pertama dan hari ke tujuh. Pada kelompok kedua, dengan tehnik yang sarna tetapi perlakuan yang diberikan dengan nitrogliserin topikal. Perubahan warna yang terjadi didokwnentasikan dengan mempergunakan kamera dan tehnik pemotretan yang sarna Kemudian perubahan wama yang terjadi hari 1 dan hari ke 7 dinilai dengan pengukuran persentase grayscale foto dengan memakai adobe photoshop CS4. Hasil : Perubahan warna yang terjadi dimana wama flap yang sebelumnya gelap menjadi lebih terang dan akhirnya menjadikan flap viabel, tid8.k menunjukkan perbedaan bermakna baik yang diperlakukan dengan heparin maupun dengan nitrogliserin (p>O,05). Demikian juga waktu yang diperlukan untuk menjadikan flap tersebut lebih viabel, tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara heparin maupun nitrogliserin. Simpulan : Compromised vena dapat diatasi dengan heparin dan nitrogliserin topikal, akan tetapi tidak menunjukkan sedian yang satu lebih superior dibanding dengan sediaan lainnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2009
T59067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>