Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101990 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuhana Fitra
"Latar Belakang. Th17 merupakan sel T efektor proinflamasi yang berperan pada proses autoimunitas. Pada pasien Graves yang sulit remisi terdapat peningkatan Th17. Sebagai imunomodulator, vitamin D dapat menekan sitokin inflamasi yang diproduksi oleh sel dendritik, termasuk IL-23. IL-23 berperan pada diferensiasi, ekspansi dan survival Th17. Alphacalcidol bersinergi dengan tionamid dalam menghambat sintesis hormon tiroid. Belum diketahui apakah pemberian alphacalcidol juga memberikan efek imunomodulator pada penyakit Graves, terutama supresi Th17 yang dinilai dari konsentrasi IL-23 serum.
Tujuan. Mengetahui efek alphacalcidol terhadap konsentrasi IL-23 pada pasien Graves.
Metode. Studi ini merupakan cabang dari studi induk mengenai efek alphacalcidol terhadap pematangan sel dendritik. Studi induk merupakan uji klinis tersamar ganda yang diikuti oleh pasien Graves hipertiroid yang terbagi menjadi 12 subjek pada kelompok perlakuan dan 13 subjek pada kelompok plasebo. Kelompok perlakuan mendapatkan alphacalcidol 1,5 µg per hari dan tionamid, sedangkan kelompok plasebo mendapatkan tionamid dan plasebo. Serum pada studi induk disimpan pada suhu -80oC. Pada penelitian ini IL-23 diperiksa pada serum kedua kelompok baik sebelum maupun sesudah suplementasi alphacalcidol.
Hasil. Konsentrasi IL-23 serum pada kelompok perlakuan adalah 12,322 pg/mL sedangkan pada kelompok plasebo adalah 12,380 pg/mL.
Simpulan. Tidak terdapat perbedaan bermakna (p >0.05) konsentrasi IL-23 serum antara kelompok yang mendapatkan alphacalcidol 1,5 µg per hari dengan kelompok plasebo.

Backgroud. Th17 is a pro-inflammatory T cells effector which has a significant role in autoimmunity. Increasing proportions of Th17 cells found in intractable Graves` disease patients. As immunomodulator, vitamin D able to suppress inflammatory cytokine produced by dendritic cell, including IL-23. IL-23 has a significant role in differentiation, expansion and survival of Th17. Alphacalcidol and tionamid has a synergic effect in inhibiting thyroid hormone synthesis. There is no evidence weather alphacalcidol has immunomodulatory effect in Graves` disease, especially in suppressing Th17 which is evaluate by IL-23 concentration.
Aim. To evaluate effect of alphacalcidol to IL-23 concentration in Graves` disease
Method. The parent study used randomized clinical trial desain. In present study 25 Graves` hyperthyroid patients, divided to 12 subjects in intervention group and 13 subjects in placebo. Alphacalcidol 1,5 µg a day and tionamid given to patients in intervention group, meanwhile subjects in placebo group only got tionamid. Serum sample from parent study stored in -80oC. In present study evaluation of IL-23 performed in both groups before and after alphacalcidol supplementation.
Results. Serum concentration of IL-23 is 12,322 pg/mL in intervention group, and 12,380 pg/mL in placebo group.
Conclusion. There is no significance differences (p > 0.05) of serum concentration of IL-23 between patients receiving alphacalcidol and placebo."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Bachti Setyarini
"Kadar vitamin D darah diketahui berhubungan dengan perbaikan disregulasi imunitas dengan menekan badai sitokin, sehingga mencegah perburukan klinis pasien COVID-19. Namun, uji klinis terkait efek suplementasi vitamin D terhadap pasien COVID-19 masih belum konsisten. Tujuan penelitian ini adalah menggabungkan secara sistematis temuan terkait suplementasi vitamin D terhadap derajat keparahan dan mortalitas pasien COVID-
19. Penelusuran literatur dilakukan di pangkalan data Pubmed, Cochrane, Science Direct, ProQuest, MedXriv, WileyOnline Library, dan Scopus pada 27 September 2020. Studi yang menilai efek suplementasi vitamin D terhadap derajat keparahan dan mortalitas pasien COVID-19, tanpa adanya restriksi desain studi, diinklusi dalam penelitian ini. Penilaian kualitas studi dilakukan oleh tiga panelis. Empat studi dengan kualitas rendah hingga sedang diikutsertakan dalam penelitian. Seluruh studi melaporkan risiko mortalitas, dan tiga di antaranya yang melaporkan derajat keparahan. Dua dari tiga studi ini sepakat bahwa pasien dengan suplementasi vitamin D mengalami risiko keparahan penyakit yang signifikan lebih rendah dibandingkan dengan tanpa suplementasi. Satu studi lainnya menemukan tidak adanya perbedaan bermakna, meskipun proporsi terjadinya COVID-19 derajat berat lebih tinggi ditemukan pada kelompok tanpa suplementasi. Berkaitan dengan mortalitas, tiga dari empat studi melaporkan suplementasi vitamin D merupakan faktor protektif dari risiko mortalitas pasien COVID-19. Satu studi lainnya, dengan validitas yang rendah dan risiko bias yang tinggi, melaporkan bahwa pasien dengan suplementasi vitamin D lebih banyak mengalami kematian dibandingkan dengan pasien tanpa suplementasi. Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan derajat keparahan dan risiko mortalitas antara pasien COVID-19 yang mendapatkan suplementasi vitamin D dengan tanpa suplementasi vitamin D. Suplementasi vitamin D menjadi faktor protektif terjadinya keparahan kondisi dan mortalitas pasien COVID-19.

Vitamin D levels are known to be associated with improved immunity dysregulation by suppressing cytokine storms to prevent clinical worsening of COVID-19 patients. However, clinical trials regarding the effects of vitamin D supplementation on COVID-19 patients are still inconsistent. This study aimed to systematically analyze the vitamin D supplementation’s effect on the severity and mortality risk of COVID-19 patients. A literature search was conducted in Pubmed, Cochrane, Science Direct, ProQuest, MedXriv, WileyOnline Library, and Scopus on 27 September 2020. Studies assessing the effect of vitamin D supplementation on the severity and mortality of COVID-19 patients were included without any study design restrictions. Three authors carried out the study quality assessment. Four studies of low to moderate quality were included in the study. All studies reported a risk of mortality, and three of them reported the degree of severity. Two of the three studies agreed that patients with vitamin D supplementation had a significantly lower risk of disease severity than those without supplementation. One other study found no significant difference, although a higher proportion of severe COVID-19 was recorded in the group without supplementation. Three of the four studies reported vitamin D supplementation as a protective factor for mortality in COVID-19 patients. With low validity and a high risk of bias, one of the studies reported that a group of vitamin D supplements had a higher death rate than the group without supplementation. Researchers concluded that there were differences in the degree of severity and risk of mortality between COVID-19 patients given vitamin D supplementation and COVID-19 patients without vitamin D supplementation. Vitamin D supplementation was a protective factor in the severity and mortality risk of COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Handoko
"Tujuan: Penelitian ini membandingkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada serum maternal, darah tali pusat dan jaringan plasenta pada ibu hamil normal dan preeklamsia. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 86 pasien yang melakukan persalinan di RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Tangerang. Setelah itu data disajikan dalam tabel dan dianalisis dengan uji parametrik, yaitu uji-t berpasangan bila sebaran data normal atau uji non parametrik, yaitu uji Mann-Whitney bila sebaran data tidak normal Hasil: Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 serum maternal kelompok preeklamsia sebesar 16.30 6.20-49.00 ng/mL sedangkan pada sampel kelompok tidak preeklamsia, sebesar 13.50 4.80 ndash; 29.20 ng/mL di mana didapatkan nilai p = 0,459, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia sebesar 11.80 3.50 ndash; 38.60 ng/mL sedangkan kelompok tidak preeklamsia sebesar 11.70 1.00 ndash; 28.80 ng/m, di mana didapatkan nilai p = 0.964, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 49.00 22.00 ndash; 411.00 ng/mL. sedangkan kelompok tidak preeklamsia, sebesar 43.40 11.80 ndash; 153.00 ng/mL, di mana didapatkan nilai p 0.354 dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 serum kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.80 6.20 ndash; 41.90 ng/mL sedangkan kelompok preeklamsia awitan lanjut sebesar 18.00 7.00 ndash; 49.00 ng/mL dengan nilai p = 0,133, di mana tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.65 3.50 ndash; 38.60 ng/mL. sedangkan pada kelompok preeklamsia awitan lanjut, sebesar 12.65 6.40 ndash; 33.20 ng/mL. di mana didapatkan nilai p = 0.377 dengan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 79.00 36.00 ndash; 411.00 ng/g. sedangkan pada kelompok tidak preeklamsia sebesar 40.00 22.00 ndash; 171.00 ng/g. di mana didapatkan nilai p 0.006, dengan didapatkan perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum, tali pusat dan jaringan maternal pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum dan tali pusat pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia Terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada plasenta wanita preeklamsia dan tidak preeklamsiaKata kunci: 25- OH -vitamin D3, preeklamsia, serum, tali pusat, jaringan plasenta

Abstract Objective: This study is designed for comparing 25- OH -vitamin D3 levels in maternal serum, cord blood and placental tissue in non preeclampsia and preeclampsia pregnant women.Methods: This study is a cross sectional study with the number of samples of 86 patients who deliver in Cipto Mangunkusumo Hospital and Tangerang District Hospital. After that the data is presented in the table and analyzed by parametric test, ie paired t-test when the distribution of normal data or non parametric test, ie Mann-Whitney test when the data distribution is not normal..Results: The serum maternal 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 16.30 6.20-49.00 ng / mL while in the non-preeclamptic sample group, 13.50 4.80 - 29.20 ng / mL were obtained p = 0.459, with no statistically significant difference . The umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 11.80 3.50 - 38.60 ng / mL while the preeclampsia group was 11.70 1.00 - 28.80 ng / m, where p = 0.964 was obtained, with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissue in the preeclampsia group by 49.00 22.00 - 411.00 ng / mL. while the group did not preeclampsia, amounting to 43.40 11.80 - 153.00 ng / mL, where p value of 0.354 was obtained with no statistically significant difference Earning serum 25- OH -vitamin D3 serum pre-eclampsia group onset was 10.80 6.20 - 41.90 ng / mL whereas the onset of pre-eclampsia group was 18.00 7.00 - 49.00 ng / mL with p value = 0.133, where no statistically significant difference was obtained. The results of the umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of early onset preeclampsia group were 10.65 3.50 - 38.60 ng / mL. whereas in the onset of pre-eclampsia group, it was 12.65 6.40 - 33.20 ng / mL. where obtained p value = 0.377 with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels in placental tissue preeclampsia group of 79.00 36.00 - 411.00 ng / g. while in the pre-eclampsia group was 40.00 22.00 - 171.00 ng / g. where obtained p value of 0.006, with statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissueConclusion: There was no statistically significant difference in mean serum 25- OH -vitamin D3 levels in serum, cord blood and maternal tissue in women with preeclampsia and not preeclampsia. There was no statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels in serum and umbilical blood in pre-eclampsia and non-preeclampsia women. There were statistically significant differences in mean 25- OH -vitamin D3 levels in female placenta preeclampsia and not preeclampsia Keywords: 25- OH -vitamin D3, preeclampsia, serum, umbilical cord, placental tissue "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Yesie Primastuti
"Latar belakang. Graves? Disease (GD) merupakan penyakit autoimun yang paling banyak menyebabkan hipertiroidisme dan ditandai adanya autoantibodi terhadap reseptor hormon tiroid (TSHR). Sel dendritik (DC) berperan penting dalam menentukan jenis respon imun tubuh, berupa aktivasi atau toleransi, salah satunya dengan cara mensekresikan mediator yang dapat mempengaruhi kerja sel-sel lain. Vitamin D merupakan imunoregulator alami yang dalam kondisi normal dapat mempengaruhi DC untuk mensekresikan IDO dan IL-10 serta menekan sekresi IL-12 dari DC. Sekresi IDO dan IL-10 oleh DC dapat mencetuskan respon toleransi dengan meningkatkan aktivitas sel T regulatori (Treg) dalam mencegah dan/atau mengurangi produksi autoantibodi terhadap TSHR. Belum diketahui apakah pemberian vitamin D pada kondisi GD dapat meningkatkan sekresi IDO dan IL-10 serta menekan sekresi IL-12.
Tujuan. Melihat pengaruh kadar vitamin D terhadap fungsi DC dan sistem imun pasien GD dalam mensekresikan IL-12, IDO dan IL-10.
Metode. Sampel merupakan bahan biologis tersimpan yang berupa supernatan kultur DC dari monosit (kultur MDDC) dan serum dari pasien GD. Kultur MDDC dari pasien GD sebelum perlakuan, diberi pendedahan tanpa atau dengan 1,25(OH)2D3 100 nM, waktu inkubasi 7 hari, dengan penambahan lipopolisakarida (LPS) pada hari ke-5. Kultur MDDC dari pasien GD setelah perlakuan, diinkubasi tanpa 1,25(OH)2D3 selama 7 hari dengan pemberian LPS pada hari ke-5. Serum berasal dari pasien GD sebelum dan sesudah mendapatkan terapi standar PTU 100 mg 3 kali sehari dengan atau tanpa suplementasi 1α(OH)D3. Serum dan supernatan diuji dengan metode ELISA untuk mengukur kadar 25(OH)D3, IL-12, IDO dan IL-10, kemudian diuji secara statistik untuk melihat pola dari tiap parameter.
Hasil. Rerata kadar IL-12 lebih rendah secara signifikan pada kultur MDDC dengan pemberian vitamin D 100 nM. Rerata kadar IDO dan IL-10 cenderung tetap pada kultur MDDC dengan pemberian vitamin D 100 nM. Peningkatan kadar vitamin D dalam serum berkorelasi negatif dengan kadar IL-12 dan IDO, baik dalam supernatan kultur MDDC maupun dalam serum pasien GD. Pada kelompok pasien GD dengan peningkatan kadar vitamin D serum tinggi, respon sekresi IL-10 pada MDDC dan sistem imun pasien GD cenderung meningkat. Semakin tinggi rasio kadar IL-12/IL-10 pada supernatan kultur MDDC dan serum pasien GD, maka semakin tinggi juga kadar IDO yang disekresikan.
Simpulan. Pemberian vitamin D pada kultur MDDC dari pasien GD dapat menekan respon inflamasi MDDC dengan mengurangi sekresi kadar IL-12 dan mempertahankan kadar IDO dan IL-10. Peningkatan kadar vitamin D serum dapat menekan kadar IL-12 dan IDO, juga berpotensi meningkatkan kadar IL-10, baik pada keadaan in vitro maupun in vivo.

Background. Graves' disease (GD) is a type of autoimmune disease that causes hyperthyroidism. GD patients have excess autoantibodies specific for thyroid stimulating hormone receptors (TSHR). Dendritic cells (DCs) play an important role in determining the type of immune response, either activation or tolerance, by secreting mediator molecules that affect other cells. Vitamin D is a natural immunoregulator which in normal condition can affect IDO and IL-10 secretion by DC while suppresing IL-12 secretion by this cell. Secretion of IDO and IL-10 by DC can trigger tolerance by increasing regulatory T cells (Treg) activity in preventing and/or reducing the production of autoantibodies against TSHR. There is still no evidence whether administration of vitamin D at GD conditions can increase the secretion of IDO and IL-10 and suppress the secretion of IL-12.
Aim. To identify the effect of vitamin D in vitro and in vivo on IL-12, IDO and IL-10 secretion by DC and on the immune system of GD patients.
Method. Samples were stored biological liquid in the form of serum and monocyte derived dendritic cells (MDDC) culture supernatant from GD patients. MDDC cultures of pre-treatment GD patients were incubated for 7 days with or without 1,25(OH)2D3 100 nM, with an addition of LPS on day 5. MDDC cultures of post-treatment GD patients were incubated without 1,25(OH)2D3 for 7 days, with an addition of LPS on day 5. Serum were obtained from GD patients before and after standard therapy of 100mg PTU 3 times a day with or without 1α(OH)D3 supplementation. Levels of 25(OH)D3, IL-12, IDO and IL-10 in the serum and supernatant were measured by ELISA and the results were statistically analyzed to see the pattern of each parameter.
Results. The mean levels of IL-12 are significantly lower in MDDC culture with 100 nM vitamin D. The mean levels of IDO and IL-10 in MDDC cultures with 100 nM vitamin D are maintained at the same levels with MDDC without vitamin D. Increased levels of vitamin D in serum is negatively correlated with IL-12 and IDO levels, both in the MDDC supernatant and in the serum of GD patients. In the high-increment-serum-vitamin-D-level group of GD patients, IL-10 secretion in vitro and in vivo tends to increase. Higher ratio of IL-12/IL-10 levels affects an increase in IDO secretion, both in MDDC culture and in patient?s serum.
Conclusion. Vitamin D exposure in MDDC culture of GD patients can suppress the inflammatory response by reducing IL-12 secretion and maintaining IDO and IL-10 levels. Increased vitamin D serum level can suppress IL-12 and IDO levels and is also potential in increasing IL-10 level, both in vitro and in vivo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwita Wijaya Laksmi
"Pendahuluan: Pada usia lanjut (usila) terjadi perubahan dalam berjalan dan keseimbangan, penurunan kekuatan otot rangka, dan perlambatan integrasi sensorik dan motorik oleh sistem saraf pusat. Di sisi lain, usila rentan terhadap defisiensi vitamin D yang diketahui berkaitan dengan sistem muskuloskeletal dalam koridor fungsi mobilitas seseorang untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Belem. ada penelitian mengenai konsentrasi vitamin D dan korelasinya dengan mobilitas fungsional perempuan usila.
Tujuan: Menentukan konsentrasi vitamin D serum, hasil nilai uji the timed up and go (TUG), dan korelasi antara konsentrasi vitamin D serum dan nilai uji TUG perempuan usi la
Metode: Penelitian di tiga panti werdha di DK1 Jakarta dan satu panti werdha di Bekasi ini dilakukan dengan desain korelatif secara potong lintang yang dilakukan pada bulan Januari 2005 terhadap perempuan berusia 60 tahun atau lebih. Uji TUG digunakan untuk menilai mobilitas fungsional dasar dengan mengukur berapa detik waktu yang diperlukan subyek untuk melakukan aktivitas berturut-turut: bangkit dari kursi bertinggi duduk 46 cm dengan sandaran lengan dan punggung, berjalan sejauh tiga meter, berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Konsentrasi vitamin D serum diukur dengan metode ELBA. Sebagai variabel perancu adalah usia, indeks massa tubuh, dan konsentrasi ion kalsium serum yang diukur dengan metode NOVA.
Hasil: Dari 42 perempuan usila-yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian, 30 orang yang ditentukan secara random propotsional diikutsertakan dalam penelitian. Rerata (SB) konsentrasi vitamin D adalah 68,0 (SB 21,1) nmol/L, dengan konsentrasi <50 nmol/L sebesar 23,3%, nilai uji TUG 10,7 (SB 2,1) detik, IMT 22,3 (SB 3,7) kglm2, dan usia 70,2 (SB 6,4) tahun, sedangkaiu median (minimal-maksimal) konsentrasi ion kalsium serum adalah 1,095 (1,030-1,230) mmol/L. Konsentrasi vitamin D serum belum menunjukkan korelasi yang bermakna dengan TUG (r = -0,008; p = 0,968). Antara variabel perancu dan TUG juga belum menunjukkan korelasi yang bermalma. Hasil korelasi dengan TUG untuk indeks massa tubuh r = 0,014; p = 0,942, konsentrasi ion kalsium serum p = 0,287;p = 0,124, dan usia r = 0,315;p = 0,09.
Simpulan: Rerata konsentrasi vitamin D serum perempuan usila dalam penelitian ini adalah 68,0 (SB 21,1) nmollL, 23,3% mengalami defisiensi vitamin D sedangkan sisanya memiliki konsentrasi vitamin D serum normal. Rerata basil nilai uji TUG perempuan usila yang diteliti adalah 10,7 (SB 2,1) detik, sebagian besar (60%) memiliki basil nilai uji TUG 10-<20 detik yang menunjukkan kemandirian _untuk berbagai . aktivitas. Konsentrasi vitamin D serum belum menunjukkan korelasi yang bermakna dengan mobilitas fungsional dasar perempuan usila, semakin tinggi konsentrasi vitamin D serum tidak diikuti dengan semakin sedikit waktu yang diperlukan untuk melakukan.uji TUG; proporsi subyek dengan nilai uji TUG <10 detik (mobilitas fungsional dengan kemandirian penuh), lebih sedikit pads responden yang mengalami defisiensi vitamin D.

Background: In elderly there are changes both in gait and balance, muscle strength decline, and slowing of sensory and motoric integration by central nervous system. On the other hand, elderly are susceptible to vitamin D deficiency which is known associated with musculosceletal system in the light of functional mobility in order to perform daily Iiving activities independently. Study on vitamin D and its correlation with basic functional mobility in elderly women has not been conducted yet.
Objective: to determine vitamin D serum concentration, the timed up and go (TUG) test score, and the correlation between vitamin D serum concentration and TUG test score of elderly women.
Method: a correlative cross sectional study of institutionalized elderly women age 60 years old or greater was conducted in three nursing homes in DKI Jakarta and one nursing home in Bekasi in January 2005. TUG test was.performed to evaluate basic functional mobility by measuring the time in seconds to stand from 46 cm height armchair, walk three meters, turn around, and return to full sitting in chair. Vitamin D serum concentration was measured by ELISA method. Calcium ion serum concentration that was measured by NOVA method, age and body mass index (BMI) were confounding variables.
Result: Of forty-two elderly women who met the inclusion and exclusion criteria, thirty subjects which proportional randomly assigned were participated in this study. Mean (SD) vitamin D serum concentration was 68.0 (SD 21.1) nmoUL, with concentration S50 nmolIL was 23.3%, TUG score was 10.7 (SD 2.1) seconds, BMI was 223 (3.7) kglm2, age was 70.2 (SD 6.4) years, and median (minimal-maximal) ionized calcium serum concentration was 1.095 (1.030-1.230) mmolfL. Vitamin D serum concentration had not shown significant correlation yet with TUG (r = -0.008; p = 0.968). There were also no significant correlation among the confounding variables and TUG. The correlation with TUG for BMI r = 0.014; p = 0.942, ionized calcium serum concentration p = 0.287; p = 0.124, and age r=0.315;p=0.09.
Conclusion: The mean vitamin D serum concentration of elderly women in this study was 68.0 (SD 21.1) nmolIL, 23.3% had vitamin D deficiency, while the rest of other subjects still had normal vitamin D serum concentration. The mean TUG score of elderly women in this study was 10.7 (SD 2.1) seconds, more than half (60%) had TUG score 10-<20 seconds which means they were mostly independent to perform daily living activities. Vitamin D serum concentration had not shown significant correlation yet with basic functional mobility of elderly women, the higher vitamin D serum concentration was not followed by lesser time to perform TUG test; the proportion of subjects with TUG score <10 seconds (freely mobile in functional mobility) were lesser in vitamin D deficiency respondents.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Sandhi Pramesti
"Latar Belakang: Obesitas adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Obesitas dapat mempengaruhi status vitamin D, salah satunya dikarenakan adanya peningkatan penyimpanan vitamin D di jaringan adiposa sehingga mengakibatkan rendahnya bioavailabilitas vitamin D. Selain itu, banyaknya jaringan lemak berkaitan dengan  inflamasi kronis tingkat rendah yang menyebabkan peningkatan penggunaan vitamin D pada sel imun sehingga menyebabkan rendahnya kadar vitamin D pada kasus obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada populasi dewasa dengan penyandang obesitas.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek dewasa dengan obesitas di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo, Pengukuran persentase massa lemak menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. Pemeriksaan kadar vitamin D serum menggunakan kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil: Sebanyak 90 subjek penelitian memiliki rerata usia 41 tahun dengan jumlah subjek terbanyak adalah perempuan (59%). Sebagian besar subjek tergolong status gizi obesitas derajat II. Median kadar vitamin D serum adalah 13,4 ng/dL dengan sebagian besar subjek tergolong defisiensi vitamin D. Rerata persentase massa lemak subjek adalah 37,2 ± 8,2. Terdapat korelasi negatif antara kadar vitamin D serum dengan persentase lemak tubuh pada pada dewasa penyandang obesitas (r=-0,378, p=0,000).
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna berkekuatan sedang antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada subjek dewasa penyandang obesitas.

Background: Obesity is a global public health issue, especially in developing countries. Obesity can affect vitamin D status due to increased storage of vitamin D in adipose tissue. In addition, low bioavailability of vitamin D. Low levels of chronic inflammation is strongly associated with a large number of adipose tissue, which causes increased use of vitamin D in immune cells and causes low levels of vitamin D in obesity population. This study aims to see the correlation between the percentage of fat mass and serum vitamin D levels in the adult population with obesity.
Methods: This cross-sectional study was conducted on obese adult subjects at Cipto Mangunkusumo Hospital. First, the fat mass percentage was measured using bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. In addition, serum vitamin D levels were examined using serum calcidiol using the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method.
Results: A total of 90 research subjects had an average age of 41; most were female. Most of the subjects were classified as obesity class II. The average serum vitamin D level was 13.4 ng/dL, with most of the subjects classified as deficient in vitamin D. The mean proportion of subjects in fat mass was 37.2 ± 8.2. There was a negative correlation between serum vitamin D levels and the proportion of body fat in obese adults (r=-0.378, p=0.000).
Conclusion: There was a significant medium correlation between fat mass percentage with serum vitamin D in the adult with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Haryanto
"Prevalensi penyakit kardiovaskuler (PKV) meningkat seiring dengan proses penuaan. Aterosklerosis yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan diikuti peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Vitamin D merupakan vitamin yang memiliki efek antiinflamasi dan dapat menurunkan kadar hsCRP. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dengan kadar hsCRP pada usia lanjut (usila). Penelitian dilakukan di Pusat Santunan Keluarga (Pusaka) 12 di Tomang dan Pusaka 39 di Senen pada pertengahan bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013. Pengambilan subyek dilakukan dengan cara cluster random sampling, dan didapatkan 71 orang subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara meliputi data usia, asupan vitamin D dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) semikuantitatif serta total skor pajanan sinar matahari mingguan. Pengukuran antropometri untuk menilai status gizi dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi kadar vitamin D dan hsCRP. Didapatkan median usia 69 (60-85) tahun dan 80,3% subyek adalah perempuan. Malnutrisi terdapat pada 71,8 % subyek. Asupan vitamin D menunjukkan 98,6% subyek memiliki asupan vitamin D kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia. Sebanyak 97,2% subyek memiliki skor pajanan sinar matahari rendah. Nilai rerata kadar vitamin D 38,02±12,94 nmol/L dan 78% subyek tergolong defisiensi vitamin D. Nilai median kadar hsCRP 1,5 (0,1-49,6) mg/L, dan 67,6% subyek tergolong risiko PKV sedang dan tinggi. Didapatkan korelasi positif tidak bermakna antara kadar vitamin D serum dengan kadar hsCRP pada usila (r=0,168, p=0,162).

The prevalence of cardiovascular disease (CVD) increases in the elderly. Atherosclerosis is a major cause of CVD which stimulate inflammation and followed by increase production of C-reactive protein (CRP). Vitamin D is a vitamin which has anti-inflammatory effects and may reduce level of hsCRP. The aim of this cross sectional study was to find the correlation between serum vitamin D level and hsCRP in elderly. Data collection was conducted during December 2012 to January 2013 on 2 selected Pusaka, Pusaka 12 (Tomang) and Pusaka 39 (Senen). Subjects were obtained using cluster random sampling method. A total of 71 elderly subjects had met the study criteria. Data were collected through interviews including age, vitamin D intake and weekly score of sunlight exposure. Anthropometry measurements to assess the nutritional status and laboratory examination i.e blood levels of vitamin D and hsCRP. Majority of the subjects were female (80,3%), median age was 69 (60-85) years. Malnutrition was occured in 71.8% of the subjects. Intake of vitamin D showed 98.6% of the subjects were less than recommended dietary allowances (RDA). Majority of the subjects had low score of sunlight exposure (97,2%). Mean of vitamin D levels 38,02±12,94 nmol/L, while 78% the of subjects were categorized as vitamin D deficiency. Median of hsCRP levels 1,5 (0,1-49,6) mg/L, while 67,6% subjects were at moderate and high risk of CVD. No significant correlation was found between serum vitamin D levels and hsCRP levels (r=0,168, p=0,162).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Deviana Nawawi
"Usia lanjut berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D, sedangkan vitamin D memiliki efek protektif terhadap massa otot. Penurunan massa otot dan fungsinya disebut dengan sarkopenia. Prevalensi sarkopenia sangat tinggi pada usia lanjut yang tinggal di panti wreda, kondisi ini disebabkan gaya hidup sedentari pada penghuni panti wreda. Deteksi dini sarkopenia dapat dilakukan dengan mengukur fungsi otot, salah satunya adalah mengukur performa fisik dengan tes short physical performance battery (SPPB). Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk melihat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di lima panti wreda yang terdaftar di Kota Tangerang Selatan. Pengambilan subjek dilakukan dengan cara proportional random sampling, didapatkan 100 usila yang memenuhi kriteria penelitian. Pemeriksaan kadar vitamin D menggunakan kadar kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA). Pemeriksaan massa otot menggunakan bioelectric impedance analysis Tanita SC-330. Analisis korelasi menggunakan uji nonparametrik. Didapatkan nilai tengah usia subjek adalah 74,89 tahun dan 72% subjek adalah perempuan. Terdapat  85% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang dan  94% subjek memiliki skor pajanan sinar matahari yang rendah, serta seluruh subjek masih memiliki massa otot yang normal. Nilai tengah kadar vitamin D serum  adalah 15,50(4-32) ng/mL, dengan 72% subjek mengalami defisiensi vitamin D. Nilai tengah performa fisik adalah 9(3-12) dan sebanyak 47% subjek mengalami performa fisik yang buruk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di panti wreda (r=0,130; p=0,196).

Elderly individuals have a risk of vitamin D deficiency, whereas vitamin D has a protective effect on muscle mass. Decrease in muscle mass and function is called sarcopenia. The prevalence of sarcopenia is very high in the elderly who live in nursing homes, this condition is due to the sedentary lifestyle. Early detection of sarcopenia can be done by measuring physical performance with short physical performance battery (SPPB) test. This cross-sectional study aimed to explore the correlation between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in five nursing homes registered in South Tangerang. A hundred subjects who fulfilled study criteria gathered using proportional random sampling method. Examination of vitamin D levels using calcidiol serum with the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method. Muscle mass was measured using bioelectric impedance analysis Tanita type SC-330. Nonparametric correlation was used for correlation analysis. Median age of subjects was 74.89 years old and 72% were female. Eighty-five percent of subjects had low vitamin D intake, 94% of subjects had low sun exposure score, and all subjects had normal muscle mass. Mean level of vitamin D serum was 15.50 (4-32) ng/mL, with 72% of subjects had vitamin D deficiency. Mean score of physical performance was 9(3-12) and 47% of subjects had low physical performance. This study showed that there was no correlation found between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in nursing homes (r=0.130; p=0.196)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58914
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mery Nitalia
"ABSTRAK
Berbagai studi terkini menunjukkan hubungan antara vitamin D dan sepsis. Vitamin D berperan sebagai stimulator produksi peptida antimikroba dan mencegah inflamasi yang berlebihan. Insufisiensi dan defisiensi vitamin D berhubungan dengan risiko terjadinya sepsis. Saat ini belum terdapat data mengenai hubungan status vitamin D dengan pasien infeksi tanpa sepsis, sepsis, dan sepsis berat. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara proporsi status vitamin D dengan pasien infeksi tanpa sepsis, sepsis, dan sepsis berat.
Desain penelitian potong lintang, terdiri dari 60 pasien infeksi terbagi menjadi kelompok infeksi tanpa sepsis, sepsis, dan sepsis berat masing-masing 20 pasien. Diagnosis sepsis berdasarkan modifikasi SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference 2001. Status vitamin D ditetapkan menurut rekomendasi Holick. Pada ketiga kelompok tersebut dicatat data karakteristik subjek dan dilakukan pemeriksaan 25(OH)D.
Status vitamin D pada subjek penelitian ini didapatkan sebanyak 5 (8,33%) orang insufisiensi dan 55 (91,67%) orang defisiensi vitamin D Proporsi insufisiensi pada kelompok infeksi tanpa sepsis adalah 5%, sepsis 10%, dan sepsis berat 10%. Proporsi defisiensi pada kelompok infeksi tanpa sepsis adalah 95%, sepsis 90%, dan sepsis berat 90%. Didapatkan perbedaan tidak bermakna proporsi insufisiensi dan defisiensi vitamin D pada kelompok infeksi tanpa sepsis, sepsis, dan sepsis berat.
Kami menyimpulkan status vitamin D tidak berhubungan dengan beratnya sepsis. Proporsi insufisiensi dan defisiensi pada pasien infeksi tanpa sepsis, sepsis, dan sepsis berat masing-masing didapatkan 5% dan 95%; 10% dan 90%; 10% dan 90%.

ABSTRACT
Recent studies have shown that there is a relationship between vitamin D and sepsis. Vitamin D has a a role as a potent stimulator of antimicrobial peptides and prevent an over reaction of the inflammatory response. Insufficiency and deficiency of vitamin D have been associated with sepsis event. Nevertheless, there is no data about the relationship between vitamin D status with infection without sepsis, sepsis, and severe sepsis patient. The aim of this study was to obtain the relationship between proportions of vitamin D with infection without sepsis, sepsis, and severe sepsis patient.
This was a cross-sectional study, 60 patients with infection were divided into groups of infection without sepsis, sepsis, and severe sepsis, each consisted of 20 patients. Diagnosis of sepsis was based on modified SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference 2001. Vitamin D status was defined according to Holick recommendations. Baseline characteristics of subjects were recorded and 25(OH)D concentrations were measured in subjects of each groups.
According to status of Vitamin D, 5 (8,33%) subjects were insufficiency and 55 (91,67%) were deficiency. The proportions of vitamin D insufficiency at infection without sepsis group were 5%, sepsis 10%, and severe sepsis 10%. The proportions of vitamin D deficiency at infection without sepsis group were 95%, sepsis 90%, and severe sepsis 90%. The proportions of insufficiency and deficiency at infection without sepsis, sepsis, and severe sepsis patient were not significantly different (p > 0.05).
It is concluded that vitamin D status were not related to infection severity. The proportions of vitamin D insufficiency and deficiency at infection without sepsis, sepsis, and severe sepsis, i.e. 5% and 95%; 10% and 90%; 10% and 90%, respectively."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58562
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arsita Eka Rini
"Latar Belakang. Sepsis neonatal awitan dini SNAD masih merupakan masalah di Indonesia. Vitamin D memiliki efek pada fungsi imunitas. Neonatus kurang bulan NKB berisiko mengalami defisiensi kadar vitamin D. Hubungan kadar vitamin D dengan kejadian SNAD pada NKB belum jelas.
Tujuan. Menganalisis hubungan kadar vitamin D dengan kejadian SNAD pada NKB.
Metode. Duapuluh NKB dengan klinis dan pemeriksaan laboratorium menyokong SNAD kelompok kasus dan 20 NKB tanpa hasil laboratorium SNAD kelompok kontrol ikut dalam penelitian ini. Subjek penelitian adalah NKB usia gestasi ge; 28 sampai dengan < 37 minggu dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama bulan Juli - September 2017. Pemeriksaaan kadar vitamin D 25 OH D dengan metode competitive chemiluminescense immunoassay CLIA direk dengan alat Diasorin Liaison.
Hasil. Median kadar vitamin D pada NKB dengan SNAD 8,95 4,10 - 16,30 ng/mL dengan rerata usia gestasi 33,25 1,71 minggu dan rerata berat lahir 1863,75 415,06 gram. Median kadar vitamin D tanpa SNAD 11,75 5,80 - 42,80 ng/mL dengan rerata usia gestasi 34,67 1,53 minggu dan rerata berat lahir 2125,0 340,55 gram. Median kadar vitamin D NKB SNAD lebih rendah secara bermakna dibandingkan NKB tanpa SNAD.

Background. Early onset neonatal sepsis EONS is still a problem in Indonesia. Vitamin D has effect on immune function. Preterm infants have a risk of deficiency of vitamin D levels. The association between vitamin D levels with EONS were unclear.
Objective. To determine the association between vitamin D levels with EONS in preterm infants.
Methods. Twenty preterm infants with clinical and laboratory finding of EONS study group and 20 preterm infants with no signs of laboratory infection control group were enrolled this study. The subjects were preterm infants of gestational age ge 28 37 weeks in Cipto Mangunkusumo Hospital during July September 2017. Vitamin D 25 OH D levels were measured using Diasorin Liason with competitive chemilunescence immunoassay CLIA technique.
Results. Median vitamin D levels with EONS was 8,95 4,10 16,30 ng mL, mean of gestational age and birth weight were 33,25 1,71 weeks and 1863,75 415,06 g, respectively. Median vitamin D levels without EONS was 11,75 5,80 42,80 ng mL, mean of gestational age and birth weight were 34,67 1,53 weeks and 2125,0 340,55 g, respectively. Median vitamin D levels of preterm infants with EONS was significantly lower than without EONS.Conclusion. Vitamin D levels are associated with EONS in preterm infants."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55534
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>