Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172441 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Laksono Abdhillah
"ABSTRAK
Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan pada bayi dengan teratoma sakrokoksigeal paska operasi eksisi, dengan aplikasi terapi sentuhan untuk mengurangi nyeri. Teratoma sakrokoksigeal merupakan kelainan bawaan (kongenital), berupa terdapatnya benjolan atau massa di daerah tulang sakrokoksigeus.
Perawatan paska oeprasi eksisi massa teratoma sakrokoksigeal seringkali menimbulkan rasa nyeri pada bayi. Salah satu intervensi yang dapat digunakan untuk meminimalkan nyeri tersebut adalah dengan menggunakan terapi sentuhan. Terapi sentuhan merupakan salah satu penatalaksanaan nyeri non-farmakologis. Nyeri paska operasi dan nyeri yang diakibatkan tindakan invasif perlu ditangani dengan baik untuk meminimalkan rasa sakit yang dirasakan bayi. Hasil dari penerapan intervensi terapi sentuhan yang telah dilakukan pada bayi paska operasi eksisi massa teratoma. Terapi sentuhan tersebut dilakukan selama 3 hari dan menunjukan hasil yang terbukti efektif dalam menurunkan nyeri klien. Hal tersebut ditunjukan dengan penurunan skala nyeri dari 4 menjadi 2 diukur menggunakan skala nyeri pada bayi (NIPS).

ABSTRACT
This final scientific work aims to provide an overview of nursing care in children with post operative sacrococcygeal teratoma excision, with the application of gentle touch to reduce pain. Sacrococcygeal teratoma is a congenital disorder, the disorder marks with the presence of mass on bone sacrococcygeus area. Post operative care after the excision of sacrococcygeal teratoma often cause pain in infant. One of the interventions to minimize the pain is by using gentle touch. Gentle touch is one of the non-pharmacological pain management. Post operative pain and acute pain caused by invasive procedure is necessary to be treated well in order to minimize the pain felt by the infant. The results of the application of gentle touch interventions have been done in infant after surgical excision of the mass of teratoma. This method head for reduce pain and has been demonstrated for 3 days and showed that it effectively lower the pain from 4 to 2, measured by neonatal infant pain scale (NIPS);"
2016
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Liniyarti
"Perawat yang mempunyai keahlian khusus dalam asuhan keperawatan yang telah lulus dari program spesialis keperawatan disebut Ners spesialis. Kompetensi keperawatan inti dan keperawatan berbagai masalah kardiovaskular harus dimiliki oleh perawat spesialis keperawatan medikal bedah peminatan kardiovaskular. Tujuan utama residensi spesialis selama pendidikan 2 semester adalah melakukan asuhan keperawatan medikal bedah khususnya sistem kardiovaskular dengan menggunakan pendekatan teori model Adaptasi Roy. Asuhan keperawatan pada 1 kasus utama pada pasien ADHF dan 30 kasus resume yang terdiri dari 8 kasus besar gangguan sistem kardovaskular meliputi kasus sindrom koroner akut, kelainan katup jantung, kelainan jantung bawaan dewasa, kelainan pembuluh darah, gagal jantung, infeksi, kasus bedah (CABG, Katup) dan disritmia. Penerapan teori model adaptasi Roy pada pasien gangguan sistem kardiovaskular untuk dapat beradaptasi pada stimulus internal dan eksternal yang dimiliki. Manajemen nyeri pasca bedah jantung dengan terapi komplementer dan alternatif berupa foot massage. Proyek inovasi penerapan Augmentative and Alternative Communication pada pasien sadar yang terpasang ventilasi mekanik dapat mengurangi kecemasan dan peningkatan kepuasan terhadap pelayanan dalam komunikasi pasien-perawat. Pengabdian masyarakat dilakukan untuk memberikan pendidikan atau pengetahuan kepada pasien, keluarga maupun masyarakat dalam melakukan latihan aktifitas fisik setelah serangan jantung sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup

Nurses who have special expertise in nursing care who have graduated from a specialist nursing program are called specialist nurses. Core nursing competencies and nursing various cardiovascular problems must be owned by specialist nurses specializing in cardiovascular medical surgical nursing. The main goal of specialist residency for 2 semesters of education is to provide medical surgical nursing care, especially the cardiovascular system, using Roy's Adaptation model theory approach. Nursing care for 1 main case in ADHF patients and 30 resume cases consisting of 8 major cases of cardiovascular system disorders including cases of acute coronary syndrome, heart valve disorders, adult congenital heart defects, vascular disorders, heart failure, infections, surgical cases (CABG, valves) and dysrhythmias. Application of Roy's adaptation model theory to patients with cardiovascular system disorders to be able to adapt to their internal and external stimuli. Pain management after cardiac surgery with complementary and alternative therapies in the form of foot massage. The innovation project of implementing Augmentative and Alternative Communication in conscious patients who are attached to mechanical ventilation can reduce anxiety and increase satisfaction with services in patient-nurse communication. Community service is carried out to provide education or knowledge to patients, families and the community in carrying out physical activity exercises after a heart attack so as to improve quality of life."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Syarofina
"Neonatus rentan mengalami gangguan rasa nyaman selama pemberian asuhan keperawatan. Faktor lingkungan seperti suhu, cahaya, dan tingkat kebisingan merupakan hal yang dapat mempegaruhi kenyamanan pasien. Neonatus yang lahir prematur beresiko mengalami hipotermia karena ketidakmampuan tubuh dalam beradaptasi dengan lingkungan luar. Oleh karena itu, penting untuk melakukan modifikasi lingkungan neonatus untuk tetap hangat sehingga dapat meningkatkan rasa nyaman pasien. Pemenuhan rasa nyaman dengan meminimalisir faktor sress lingkungan juga dapat meningkatkan kualitas tidur pasien. Hal ini diperlukan agar kondisi tubuh pasien lebih stabil dan kondusif untuk meningkatkan proses penyembuhan. Studi kasus ini melibatkan neonatus prematur dengan berat badan lahir rendah dengan penyakit jantung bawaan dan hipoglikemia. Salah satu cara untuk meningkatkan kenyamanan pasien yaitu dengan melakukan pengaturan posisi dan perawatan nesting. Pemberian posisi yang tepat pada neonatus dinilai efektif untuk meningkatkan status fisiologis pasien. Selama perawatan kepada pasien kelolaan, didapatkan bahwa posisi semi fowler dapat meningkatkan saturasi oksigen, mengurangi takipnea dan mencegah distres pernapasan. Setelah melakukan tindakan nesting kepada pasien kelolaan dan dua pasien resume, didapatkan hasil bahwa tindakan nesting dapat meningkatkan kenyamanan dan kualitas tidur. Hal ini ditandai dengan berkurangnya frekuensi tangisan neonatus, meningkatnya jumlah waktu tidur dan kestabilan tanda-tanda vital.

Neonates are prone to experiencing discomfort during the provision of nursing care.
Environmental factors such as temperature, light, and noise levels are things that can
affect patient comfort. Neonates born prematurely are at risk for hypothermia due to
the body's inability to adapt to the external environment. Therefore, it is important to
modify the neonate's environment to keep warm so as to increase the patient's comfort.
Fulfilling a sense of comfort by minimizing environmental stress factors can also
improve the patient's sleep quality. This is necessary so that the patient's body
condition is more stable and conducive to improving the healing process.
This case study involved a premature neonate with low birth weight with congenital heart disease and hypoglycemia. One way to increase patient comfort is to adjust the position and care for nesting. During the treatment of managed patients, it was found that the semi- Fowler position can increase oxygen saturation, reduce tachypnea and prevent respiratory distress. After performing nesting on the managed patient and two resumed patients, it was found that nesting action can improve the comfort and quality of sleep. It is characterized by a reduced frequency of crying neonates, increased amount of
sleep time and stability of vital signs.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thiara Maharani Brunner
"Latar Belakang: Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko perdarah pasca-operasi cardiopulmonary bypass (CPB) yang tinggi .Pada CPB, heparin digunakan sebagai antioagulan, dikembalikan dengan protamine sulfat dan diukur menggunakan activated clotting time (ACT). Heparin dapat menginduksi perdarahan dan protamine sulfat berlebih dapat berperan sebagai antikoagulan. Penelitian mengenai hubungan antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi belum diteliti pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Tujuan: Untuk menilai korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian descriptive-analytical, dengan metode cross-sectional. Pasien berusia 0 hingga 17 tahun, memiliki penyakit jantung bawaan sianotik, dan menjalani operasi jantung terbuka elektif disertakan dalam penelitian ini. Sebanyak 100 rekam medis dari Januari 2016 hingga Maret 2018 di CMGH digunakan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mencari korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca-pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi.
Hasil: Terdapat korelasi positif antara dosis awal heparin dengan perdarahan pasca-operasi (p=0,011). Korelasi antara ACT pasca pemberian protamine dengan perdarahan pasca-operasi adalah p=0,257. Perdarahan pasca-operasi yang dialami pasien adalah 15,3 mL/kgBB (3,0 – 105,6 mL/kgBB).
Konklusi: Penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara dosis awal heparin dan perdarahan pasca-operasi; dosis tinggi menghasilkan perdarahan yang lebih banyak pada pasien anak yang sianotik di CMGH. Selanjutnya, tidak ditemukan adanya korelasi antara nilai ACT pasca-protamine dan perdarahan pasca-operasi.

. Background: Pediatric cyanotic CHD patients have an increased risk of post-operative bleeding following cardiopulmonary bypass (CPB). In CPB, heparin is used as an anticoagulant, reversed by protamine sulphate and measured using activated clotting time (ACT). Heparin can induce bleeding and excess protamine sulphate can act as an anticoagulant. No studies of the same kind has been done to assess the relationship between the initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease cases in CMGH.
Aim: To assess the correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease patients in CMGH
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, undergoing elective open heart surgery were included. A total of 100 medical records from January 2016 to March 2018 in CMGH were used. The correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding was analyzed.
Result: Initial heparin dose and post-operative bleeding showed a positive correlation (p=0.011). The correlation between post-protamine ACT value and post-operative bleeding is p=0.257. Post-operative bleeding experienced by the patients is 15.3 mL/kgBW (3.0 – 105.6 mL/kgBW).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Iskandarsyah Agung Ramadhan
"Latar Belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) dikoreksi dengan bedah jantung terbuka dengan bantuan alat mesin pintas jantung paru (cardiopulmonary bypass). Namun teknik ini dapat menyebabkan inflamasi pada paru yang menghasilkan kondisi Acute Respiration Dysfunction Syndrome (ARDS). Meskipun insidensinya pada pasien bedah dengan mesin pintas jantung paru hanya rendah, tingkat mortalitasnya dapat mencapai 50%.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara durasi penggunaan mesin jantung paru dengan insidensi ARDS pada pasien anak dengan PJB pasca bedah jantung terbuka.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 194 anak yang menjalani bedah jantung terbuka atas indikasi PJB di Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT) RSCM periode Januari 2014-September 2015.
Hasil: 64 (32,99%) pasien mengalami ARDS pasca bedah jantung terbuka dan sisanya sebanyak 130 (67,01%) tidak mengalami ARDS. Median penggunaan mesin pada golongan ARDS dan non-ARDS masing-masing sebesar 80 menit (23-219, IK90%) dan 70 menit (18-320, IK90%). Insidensi ARDS pada kelompok dengan durasi pendek (≤60 menit) adalah 27,5% dan dengan durasi panjang (> 60 menit) adalah 36%. Secara statistik dan klinis tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi penggunaan mesin dengan munculnya ARDS (p = 0,298, uji chi square).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi penggunaan mesin pintas jantung paru dengan kejadian ARDS pada pasien PJB pasca bedah jantung terbuka.

Background: Congenital heart disease (CHD) is corrected by open thoracic surgery with the help of cardiopulmonary bypass machine (CPB). This technique can cause pulmonary inflammation resulting in Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Even though its incidence is low, the mortality rate of is up to 50%.
Aim: To find whether the duration of CPB using is related with incidence of ARDS in pediatric patients underwent open thoracic surgery.
Methods: Retrospective cohort study was done involving 194 pediatric patients underwent open thoracic surgery with CHD indication at Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT) RSCM within January 2014 and 2015 September.
Results: 64 (32,99%) patients had ARSD after open thoracic surgery. The mean of CPB machine duration was 80 minutes (23-219, CI90%) in patients with ARDS and 70 minutes (18-320, CI90%) in patients with no ARDS. The incidence of ARDS in patients with short duration of CPB (≤60 minutes) was 27.5% and long duration (>60 minutes) was 36%. There was no such correlation statistically and clinically between duration of CPB and ARDS occurence (p = 0.298, chi square test).
Conclusion: Duration of CPB using is not related with ARDS occurrence in pediatric patients with CHD underwent open thoracic surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasojo
"Pendahuluan: Kembar siam adalah gangguan kongenital yang langka dengan insiden 1/50.000 hingga 1/500.000 kelahiran di seluruh dunia.1 Operasi pemisahan adalah pengobatan utama yang memiliki tingkat kematian tinggi hingga 60%. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kembar siam memiliki tingkat kejadian penyakit jantung kongenital hingga 66%, dengan kejadian tertinggi terlihat pada kembar siam thorakopagus.2 Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara penyakit jantung kongenital (PJK) dan mortalitas kembar siam setelah operasi pemisahan.
Metode: Kami melakukan studi retrospektif, pada semua pasien kembar siam yang menjalani operasi pemisahan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dari tahun 2009 hingga 2022. Dua puluh enam subjek ditemukan telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kami. Kompleksitas penyakit jantung kongenital didefinisikan oleh klasifikasi kompleksitas penyakit Bethesda. Hubungan antara kompleksitas PJK dan mortalitas dalam satu tahun pada pasien kembar siam yang menjalani operasi pemisahan dianalisis menggunakan uji Fisher.
Hasil: Penyakit jantung kongenital terjadi pada kembar omfalopagus di RSCM. Tingkat kematian kembar siam dengan PJK yang menjalani operasi pemisahan di pusat kami adalah 40%, menunjukkan tidak adanya korelasi signifikan antara PJK dan mortalitas setelah operasi pemisahan, (p= 0,369).
Kesimpulan: Kembar siam dengan PJK tidak menunjukkan korelasi dengan tingkat mortalitas setelah operasi pemisahan dalam studi awal ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan lebih banyak subjek untuk mendapatkan hasil yang lebih konklusif.

Introduction: Conjoined twins are a rare congenital disorder with an incidence of 1/50.000 up to 1/500.000 births around the world.1 Separation surgery is the mainstay treatment which yields a high mortality rate of up to 60%. Previous studies show conjoined twins have a high incidence of congenital heart disease up to 66%, with the highest incidence evident in thoracopagus conjoined twins.2 This study aimed to evaluate the relationship between congenital heart disease (CHD) and conjoined twins mortality after separation surgery.
Methods: We performed a retrospective study, on all conjoined twin patients who underwent separation surgery in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) from 2009 until 2022. Twenty-six subjects were found to have fulfilled our inclusion and exclusion criteria. Congenital heart disease complexity was defined by Bethesda disease complexity classification. The relationship between CHD complexity within one-year mortality in conjoined twins patients who underwent separation surgery was analysed using Fischer’s exact test.
Results: Congenital heart disease occurs in omphalopagus twins in CMH. The mortality rate of conjoined twins with CHD who underwent separation surgery in our centre was 40%, showing no significant correlation between CHD and mortality after separation surgery, (p= 0,369).
Conclusion: Conjoined twins with CHD showed no correlation to mortality rates following separation surgery in this preliminary study. Further research is needed with more subjects to make more conclusive results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ace Trantika
"Pemberian air susu ibu ASI merupakan bentuk pemberian makanan yang paling disarankan untuk semua bayi, termasuk bayi dengan kebutuhan medis khusus seperti penyakit jantung bawaan. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan perilaku pemberian ASI pada 165 ibu yang memiliki bayi penderita penyakit jantung bawaan. Metode penelitian menggunakan survey deskriptif kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan kuesioner pemberian ASI dan kuesioner perilaku pemberian ASI yang dimodifikasi dari penelitian Rickman 2017. Pemberian ASI eksklusif pada bayi penderita penyakit jantung bawaan hanya sebesar 36,4. Responden berusia 21-39 tahun tidak memberikan ASI eksklusif, begitupun dengan responden berpendidikan tinggi, tidak bekerja, berpendapatan cukup, multipara, dan berpengetahuan baik. Berdasarkan riwayat persalinan, responden yang melahirkan di fasilitas kesehatan, melahirkan secara sesar, melakukan inisiasi menyusu dini IMD. dan yang dirawat gabung tidak memberikan ASI eksklusif. Pada variabel dukungan sosial, responden yang mendapat dukungan suami dan ibu/mertua tidak memberikan ASI ekslusif. Sebanyak 62,2 bayi penderita kelainan asianotik dan 65,3 bayi penderita kelainan sianotik tidak mendapatkan ASI eksklusif. Kondisi medis bayi yang menyebabkan kendala menyusu pada bayi merupakan faktor utama tidak berhasilnya pemberian ASI eksklusif pada bayi penderita penyakit jantung bawaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tenaga kesehatan kurang memberikan motivasi dan dukungan pada responden untuk memberikan ASI secara eksklusif. Hasil studi ini dapat menjadi informasi untuk menerapkan konseling ASI yang efektif dan tenaga kesehatan diharapkan mampu memberikan dukungan dan motivasi pada ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya.

Breastfeeding is the most recommended feeding for all infants, including infants with special medical needs such as congenital heart disease. This study aims to describe the breastfeeding behavior in 165 mothers who have infants with congenital heart disease. This research method used. quantitative descriptive survey. Data were collected using. modified breastfeeding and breastfeeding behavior questionnaire from Rickman 2017 study. Exclusive breastfeeding in infants with congenital heart disease is only 36.4. Respondents aged 21 39 years old did not provide exclusive breastfeeding, as did high educated, unemployed, fair income, multiparent, and knowledgeable respondents. Based on the history of labor, respondents who gave birth at. health facility, delivered by cesarean section, initiated breastfeeding, and who were treated together with their infants did not provide exclusive breastfeeding. In social support variables, respondents who have the support of husband and mother mother in law did not provide exclusive breastfeeding. As many as 62.2 of infants with asianotic abnormalities and 65.3 of infants with cyanotic abnormalities were not exclusively breastfed. The infant 39. medical condition that causes breastfeeding difficulties in infants is. major factor in the failure of exclusive breastfeeding in infants with congenital heart disease. The results also show that health workers less motivation and support to respondents to exclusively breastfeed. The results of this study can become an information to implement effective breastfeeding counseling and health workers are expected to provide support and motivation in mothers to exclusively breastfeed their babies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andina Judith
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) pirau kiri ke kanan adalah penyebab penting gagal tumbuh pada anak. Koreksi terhadap defek tersebut diketahui memperbaiki prognosis pertumbuhan berat maupun tinggi badan. Tujuan. Mengetahui korelasi usia koreksi defek dengan pertambahan tinggi badan pada pasien PJB pirau kiri ke kanan pasca-koreksi terhadap prognosis pertumbuhan.
Metode: Penelitian dilakukan secara potong lintang dengan menggunakan rekam medis pada subyek dengan PJB pirau kiri ke kanan yang dikoreksi kurang dari 2 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dengan variabel bebas usia koreksi defek dan variabel terikat z-skor dan Δz-skor TB/U pasca-koreksi. Referensi pertumbuhan menggunakan kurva WHO 2006. Perhitungan korelasi dilakukan menggunakan korelasi Spearman dan kemaknaan ditetapkan dengan p<0,05.
Hasil: Median usia koreksi defek pada penelitian ini adalah 8 bulan dengan usia koreksi terbanyak adalah kurang dari 6 bulan dan usia 6-12 bulan masing-masing sebanyak 11 orang. Defek terbanyak adalah VSD. Usia koreksi defek tidak berkorelasi dengan z-skor TB/U pasca-koreksi berdasarkan uji korelasi Spearman (r= 0,093) dengan nilai p=0,642. Usia koreksi defek dengan Δ z-skor TB/U tidak ditemukan korelasi berdasarkan uji korelasi Spearman (r=0,143) dengan nilai p=0,452.
Kesimpulan: Usia koreksi defek tidak terbukti berkorelasi baik dengan z-skor TB/U maupun Δ z-skor TB/U pasca-koreksi.

Background: Congenital heart disease (CHD) left-to-right shunt is an important cause of growth failure in children. Correction of these abnormalities is known to improve the prognosis of growth in weight and height.
Objectives: Identify correlation between age of defect correction and height gain in patients with left-to-right shunt CHD after correction of growth prognosis Methods. This was a cross sectional study with reviewing medical records on subjects with CHD with left-to-right shunts who were corrected for less than 2 years at Cipto Mangunkusumo hospital with the independent variable being the age of defect correction and the dependent variable were z-score of post-correction height-for-age (H/A) and height gain (Δz-score H/A). The WHO 2006 growth chart were used as the growth reference. The correlation analysis was performed using the Spearman correlation and the significance was determined with p<0.05.
Results: The median age of defect correction in this study was 8 months. Most of the subjects were less than 6 months (11 subjects) and 6-12 months (11 subjects) in corrected ages. The most defects were ventricular septal defects (VSD). The age of defect correction did not correlate with the post-correction H/A z-score based on the Spearman correlation test (r= 0.093) with p value = 0.642 while the defect correction age with z-score H/A was not found to be correlated based on the Spearman correlation test (r = 0.143) with p value = 0.452.
Conclusion: The age of defect correction did not prove correlate with either the z-score for H/A or height gain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Komalasari
"Latar belakang: Bedah jantung terbuka pada anak merupakan pembedahan dengan tingkat stress respon yang tinggi. Salah satu komplikasi tersering adalah infeksi pascabedah yang berkaitan dengan hiperglikemia yang terjadi pascabedah dan diperberat oleh resistensi insulin yang terjadi akibat respon stress dan perubahan neurohormonal akibat pembedahan dan puasa. Salah satu cara yang dipikirkan dapat mengurangi resistensi insulin dan kadar gula darah pascabedah adalah pemberian karbohidrat oral prabedah. Beberapa penelitian telah membuktikkan pemberian karbohidrat oral prabedah dapat mengurangi respon stress tubuh akibat puasa dan mengurangi resistensi insulin pascabedah. Pemberian karbohidrat oral prabedah akan meningkatkan kadar insulin pada kadar tidak puasa sehingga menurunkan resistensi insulin yang terjadi pascabedah. Namun, belum ada penelitian pada bedah jantung terbuka pada anak.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal untuk mengetahui efek pemberian karbohidrat oral prabedah dalam mengurangi resistensi insulin dan kadar gula darah pascabedah jantung terbuka pada anak. Terdapat 19 subjek pada masing-masing kelompok. Kedua kelompok menjalani puasa 6 jam prabedah, kelompok pertama mendapatkan maltodekstrin 12,5% dan kelompok kedua mendapatkan air putih hingga 2 jam prabedah. Dilakukan pengukuran HOMA-IR, kadar gula darah, procalcitonin dan pencatatan lama ventilasi mekanik. Hasil: Median kadar HOMA IR kelompok karbohidrat oral prabedah didapatkan selalu lebih tinggi dibandingkan kelompok air putih pada pengukuran saat prabedah, setelah induksi, dan 24 jam pascabedah, namun tidak bermakna secara statistik. Didapatkan perbedaan bermakna penggunaan ventilasi mekanik pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan (p=0,001). Kadar prokalsitonin 24 jam pascabedah didapatkan lebih tinggi pada kelompok kontrol (p=0,018). Simpulan: Karbohidrat oral prabedah dapat menurunkan infeksi dan lama penggunaan ventilasi mekanik pascabedah, namun tidak terbukti menurunkan resistensi insulin pascabedah.

Background: Open heart surgery in children causes metabolic stress and insulin resistance lead to postoperative complication such as infection and prolonged mechanical ventilation. These can be exacerbated by preoperative fasting. One of the measures to improve postoperative outcome is preoperative oral carbohydrate (OCH). Preoperative OCH changes the patient from a fasted state to a fed state and minimize insulin resistance. Many studies have evaluated the effect of preoperative oral carbohydrate on postoperative outcomes, but no study yet on open heart surgery in children. This study was designed to examine the effect of postoperative oral carbohydrate on postoperative insulin resistance, blood sugar level, and postoperative outcome including infection and mechanical ventilation time. Methods: 38 children undergoing elective cardiac surgery were randomly allocated into 2 groups. The control group receive water and the study group receive maltodextrin 12,5% 10 cc/kgBW 2 hours before induction. Blood glucose and HOMA-IR were measured before fasting, after induction, 6 hour and 24 hours postoperative. Procalcitonin as a marker for infection was measured 24 hours after surgery. Time for extubation was recorded.
Results: HOMA-IR in CHO group were higher than control group before fasting, after induction and 24 hours after surgery but not statistically different. Procalcitonin level was significantly lower in OCH group (23.1[0.66-212.8] vs 83.82[0.7-553] (p=0,0180). Patient from treatment group had shorter mechanical ventilation time 1380 [300-14000] vs 5460 [900-17200] (p=0,001).
Conclusion: Preoperative oral carbohydrate in children undergoing cardiac surgery reduce infection and length of mechanical ventilation postoperative. But does not decrease insulin resistance postoperative.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alvina Christine
"ABSTRAK
Penyakit jantung bawaan (PJB) mengakibatkan morbiditas yang signifikan pada anak dan merupakan penyebab kematian utama dari antara kelainan kongenital lainnya. Usaha preventif PJB dengan cara identifikasi faktor risiko maternal diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas PJB.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) karakteristik (usia saat pertama kali terdiagnosis, jenis kelamin, status gizi, dan status ekonomi keluarga) penderita PJB anak di Poliklinik Kardiologi Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), (2) faktor risiko maternal yang diperkirakan mempengaruhi terjadinya PJB pada anak, yaitu: merokok aktif dan pasif selama kehamilan, diabetes melitus, obesitas, infeksi rubela saat kehamilan, usia saat kehamilan, dan pendidikan.
Metode. Penelitian kasus kontrol dengan consecutive sampling dilakukan di Poliklinik Kardiologi IKA RSCM pada bulan Januari-Maret 2014. Pemeriksaan klinis, ekokardiografi, dan wawancara dilakukan terhadap 68 subjek PJB (kelompok kasus) dan 68 subjek anak sehat (kelompok kontrol).
Hasil. Jumlah subjek penelitian sebanyak 136 subjek, dengan perbandingan kasus:kontrol adalah 1:1. Median (rentang) usia subjek saat diagnosis PJB adalah 5,5 (0,5-180) bulan, sebesar 80,9% terdiagnosis saat berusia kurang dari 1 tahun. Sebagian besar subjek PJB adalah perempuan (57,4%), mengalami malnutrisi (51,5%), dengan 7,4% di antaranya merupakan gizi buruk, dan memiliki status ekonomi keluarga menengah ke bawah (76,5%). Defek PJB non sianotik terbanyak adalah defek septum ventrikel (44,1%) dan PJB sianotik terbanyak adalah Tetralogi Fallot (14,7%). Faktor risiko maternal yang terbukti berhubungan bermakna dengan PJB anak adalah tingkat pendidikan ibu yang rendah. Faktor risiko merokok aktif dan pasif saat kehamilan, obesitas, dan usia ibu saat kehamilan tidak terbukti berhubungan dengan PJB anak, sedangkan faktor diabetes melitus dan infeksi rubela saat kehamilan tidak dapat dianalisis pada penelitian ini.
Simpulan. Median (rentang) usia subjek saat diagnosis PJB adalah 5,5 (0,5-180) bulan, sebagian besar subjek terdiagnosis saat berusia kurang dari 1 tahun (80,9%). Sebagian besar subjek PJB adalah perempuan (57,4%), mengalami malnutrisi (51,5%), dan 7,4% di antaranya merupakan gizi buruk, dengan status ekonomi keluarga menengah ke bawah (76,5%). Faktor risiko maternal yang terbukti berhubungan bermakna dengan PJB anak adalah tingkat pendidikan ibu yang rendah.

ABSTRACT
Congenital heart defects (CHD) cause significant morbidities and are the leading cause of death among other congenital anomalies. Preventive measures with identification of maternal risk factors are expected to decrease morbidity and mortality rate in children due to CHD.
Objectives. This study aimed to define: (1) characteristics (age at diagnosis, gender, nutritional status, and family’s economy status) of CHD patients in Pediatric Cardiology Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH), (2) maternal risk factors that may influence CHD in children, namely: active and passive smoking in pregnancy, diabetes mellitus, obesity, rubella infection in pregnancy, age at pregnancy, and education.
Method. Case-control study with consecutive sampling was performed in Pediatric Cardiology Clinic CMH in January-March 2014. Clinical examination, echocardiography, and interview were performed in 68 CHD subjects (case group) and 68 healthy subjects (control group).
Results. Total subject in this study was 136, with ratio of case:control is 1:1. Median (range) of subject’s age at diagnosis was 5.5 (0.5-180) months, and 80.9% were diagnosed in the first year of age. Most of the subjects were female (57.4%), were malnourished (51.5%) with 7.4% were severe malnourished, and were from middle to low income family (76.5%). The most prevalent non cyanotic CHD was ventricle septal defect (44.1%), and the most prevalent cyanotic CHD was Tetralogy of Fallot (14.7%). Maternal risk factor that was significantly associated with CHD was low maternal education. Active and passive smoking in pregnancy, obesity, and maternal age at pregnancy were not associated with CHD, whereas diabetes mellitus and rubella infection in pregnancy could not be analyzed in this study.
Conclusion. Median (range) of subject’s age at diagnosis was 5.5 (0.5-180) months, and mostly were diagnosed in the first year of age (80.9%). Most of the subjects were female (57.4%), were malnourished (51.5%) with 7.4% were severe malnourished, and were from middle to low income family (76.5%). Maternal risk factor that was significantly associated with CHD was low maternal education."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>