Ditemukan 129811 dokumen yang sesuai dengan query
Muhammad imam
"
ABSTRAKPenelitian ini menjelaskan mengenai fenomena regionalisme dalam Pemilu Presiden di Korea Selatan. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pembelahan sosial dalam masyarakat Korea Selatan berperan dalam terbentuknya fenomena regionalisme di masa transisi demokrasi dalam Pemilihan Presiden tahun 1987. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan menggunakan teori pembelahan sosial dan konsep regionalisme. Hasil penelitian ini adalah fenomena regionalisme yang terbentuk pada masa transisi demokrasi merupakan pembelahansosial yang terjadi akibat kebijakan rezim otoriter bagi wilayah di Korea Selatan. Selain itu fenomena regionalisme dalam Pemilu Presiden tahun 1987 juga didorong mobilisasi dukungan oleh kandidat dari wilayah asal masing-masing. Mobilisasi dukungan wilayah asal dan pencalonan Kim Young-sam (Reunification Democratic Party) dan Kim Dae-jung (Party for Peace and Democracy) membuat dukungan kepada oposisi terbagi sehingga kandidat partai pemerintah Roh Tae-woo (Democratic Justice Party) berhasil memenangkan Pemilu Presiden.
ABSTRACTThis research explains about regionalism phenomenon in South Korea, especially in the presidential election. The problem discussed in this research is how the impact of social cleavage in South Korean society toward the formation of regionalism’s phenomenon in the transition to democracy in the 1987 Presidential Election. This research used qualitative methods and it applies social cleavage theory and regionalism concept. The result of this research finds that regionalism phenomenon formed in the Presidential Election on democratic transition period was the social cleavage which occured due to the policy of authoritarian regime toward regions in South Korea. In addition, regionalism phenomenon in the 1987 presidential election was also caused by the competition among the candidates in mobilizing the voters from their respective regions. The mobilization of regional support and the candidacy between Kim Young-sam (Reunification Democratic Party) and Kim Dae-jung (Party for Peace and Democracy) cause the support for the opposition was divided and the ruling party candidate Roh Tae-woo (Democratic Justice Party) won the presidential election.
;"
2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Chandrika Ayu Desiana
"
ABSTRAKGerakan mahasiswa di Korea Selatan muncul sejak diperkenalkannya pendidikan modern yang awalnya terjadi untuk melawan penjajahan Jepang. Gerakan mahasiswa juga terjadi setelah kemerdekaan dan bertujuan untuk mengubah rezim pemerintah. Gerakan yang terjadi pada Juni 1987, yaitu pada masa pemerintahan Chun Doo-hwan, berhasil membawa transisi demokrasi di Korea Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi gerakan mahasiswa 1987. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis melalui pendekatan diakronis dengan menggunakan sumber-sumber yang berkaitan dengan gerakan mahasiswa dalam demokratisasi di Korea Selatan. Hasil dari penelitian ini adalah sistem pemerintahan Chun Doo-hwan tidak sesuai dengan konstitusinya yang bersifat demokratis merupakan alasan utama mengapa gerakan mahasiswa 1987 terjadi. Sejak dikeluarkannya kebijakan otonomi kampus pada 1984, gerakan mahasiwa menjadi lebih terorganisir dalam menuntut demokratisasi. Dalam melakukan Gerakan Juni 1987, gerakan mahasiswa beraliansi dengan gerakan-gerakan anti pemerintah yang lain. Gerakan mahasiswa umumnya melakukan gerakan dengan menggunakan kekerasan untuk melawan kekuatan militer oleh rezim pemerintah. Meskipun demikian, mereka memainkan peran penting dalam demokratisasi di negaranya.
ABSTRACTStudent movements in South Korea have emerged since the introduction of modern education which initially took place against Japanese occupation. Student movements also took place after independence and aimed at changing the government regime. The movement that took place in June 1987, which happened during the reign of Chun Doo-hwan, succeeded in bringing the democratic transition in South Korea. The problem statement of this research is to know the factors behind the 1987 student movement. This research uses descriptive-analytical methods through a diachronic approach using resources related to the student movement in democratization in South Korea. The result of this study is that Chun Doo-hwan s government system which was not in accordance with its democratic constitution is the main reason why the 1987 student movement took place. Since the issuance of the campus autonomy policy in 1984, student movement has become more organized in demanding democratization. In carrying out the June 1987 movement, the student movement allied with other anti-government movements. Student movements generally carried out movements by using violence to fight the military power by the government regime. Nevertheless, they played an important role in democratization in their country."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Fathiya Ranakifa Putri Suryana
"Pada Pemilu 2022, Yoon Seok-yeol dari People Power Party berhasil mengalahkan Lee Jae-myung dari Democratic Party of Korea dalam pertarungan memperebutkan kursi Presiden Korea Selatan ke-13. Hasil pemilu tahun 2022 menunjukkan persaingan ketat antara kedua kandidat yang hanya memiliki selisih suara 0,73 persen dengan total partisipasi pemilih 77,1 persen. Pada masa kampanye Pilpres tersebut, ditemukan beberapa narasi yang mempengaruhi hasil suara, antara lain perdebatan seputar paham anti-feminisme dan masalah domestik yang kurang diatasi oleh pemerintahan sebelumnya, administrasi Presiden Moon Jae-In. Dalam rangka untuk memenangkan pemilu, Yoon Seok-yeol berupaya untuk memanfaatkan sentimen anti-feminisme dalam wacana kampanyenya, terutama di kalangan pemilih laki-laki muda. Dengan menggunakan teori strategi politik ofensif milik Peter Schr�der. Melalui empat variabel dari teori tersebut, yaitu target image (citra yang diinginkan), kelompok target, pesan kelompok target, dan instrumen kunci, penelitian ini ingin menjelaskan strategi ofensif Yoon Seok-yeol dari PPP dalam memenangkan kontestasi Pilpres 2022 di Korea Selatan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data sekunder dan studi literatur. Penelitian ini menemukan berkembanganya wacana anti-feminisme sejak Pemerintahan Presiden Moon Jae-In berhasil dimobilisasi oleh Yoon Seok-yeol untuk menggiring opini para kelompok laki-laki muda untuk memilihnya.
In the 2022 Presidential Election, Yoon Seok-yeol from the People Power Party defeated Lee Jae-myung from the Democratic Party of Korea in the battle for the 13th President of South Korea. The election results in 2022 showed a tight competition between the two candidates, with a narrow vote margin of 0.73 percent and a total voter turnout of 77.1 percent. During the presidential campaign, several narratives were found to influence the voting results, including debates surrounding anti-feminism ideology and unresolved domestic issues under the previous administration of President Moon Jae-In. In order to win the election, Yoon Seok-yeol sought to capitalize on anti-feminism sentiments in his campaign discourse, particularly among young male voters. Using Peter Schr�der's theory of offensive political strategy, this research aims to explain Yoon Seok-yeol's offensive strategy from the PPP in winning the 2022 Presidential contest in South Korea. The study examines four variables from the theory, namely target image, target group, group-targeted message, and key instruments, to analayze Yoon Seok-yeol's strategy. The study employs a qualitative methodology by using secondary data collection and literature review. The research finds the proliferation of anti-feminism discourse since the Moon Jae-In administration, succesfully mobilized by Yoon Seok-yeol, exploiting the opinions of young male groups to secure their votes."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Endah Ermawati
"Sejarah gerakan sosial dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis di Korea Selatan tercatat dalam banyak peristiwa besar seperti Revolusi 19 April 1960, Demonstrasi Gwangju 1980, Gerakan Demokratisasi 1987, hingga demonstrasi menurunkan presiden Park Geun-Hye tahun 2016. Gerakan sosial merupakan cerminan dari usaha masyarakat Korea Selatan dalam mengkritisi sistem pemerintahan yang sedang berlangsung. Penelitian ini akan membahas tentang transformasi gerakan sosial dalam menentang pemerintahan yang berkuasa sebelum dan sesudah tahun 1987. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan perubahan gerakan sosial sebelum dan sesudah tahun 1987. Pada hasil akhir penelitian ini dijelaskan bahwa terdapat adanya perubahan pada cara mengkritisi pemerintah. Sebelum tahun 1980-an penyampaian kritik dilakukan secara anarkis, sedangkan setelah tahun 1980-an penyampaian kritik dapat dilakukan secara damai.
The history of social movement in creating democratic governance in South Korea has been recorded in many major events such as the 19th April Revolution of 1960, the 1980 Gwangju Demonstration, the 1987 Democratization Movement, even the demonstrations that dropped President Park Geun-Hye in 2016. The social movements portray the South Korean people`s efforts in criticizing the ongoing government system. This study aims to analyze the transformation of social movements in opposing the ruling government before and after 1987. As a result, this study explains that there is a transformation in the way of criticizing the government. Before the 1980s, the criticism was delivered anarchically. However, after the 1980s, the delivery of the critiques can be done peacefully."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Ulfah Athaya
"
ABSTRAKTren gaya hidup sendirian atau menyendiri, dalam bahasa Korea disebut nahollojok ???? . Kata ini muncul diakibatkan meningkatnya persentase rumah tangga tunggal ilin gagu /1 ? ?? , krisis ekonomi, pengangguran dan lingkungan sosial yang kompetitif. Hal tersebut, meningkatkan tren honbab makan sendirian dan honsul minum alkohol sendirian dalam masyarakat perkotaan Korea, terutama pada kalangan muda. Oleh karena itu, secara tidak langsung masyarakat Korea telah mulai meninggalkan gaya hidup masyarakat kolektivis. Jurnal ini bertujuan untuk menganalisis munculnya fenomena gaya hidup nahollojok di dalam masyarakat perkotaan akibat adanya transisisi perubahan nilai-nilai kolektivisme di dalam masyarakat Korea Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan data sekunder. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa gaya hidup masyarakat perkotaan Korea sedang berada dalam transisi perubahan, yaitu lebih menghargai privasi dan kebebasan individu ditengah budaya kolektivisme.
ABSTRACTThe living alone trend in Korean is well known as nahollojok . This term arises because of the high percentage of one person household ilin gagu 1 , economic crisis, unemployment rate and a competitive social environment. So it increases the trend of honbab eating alone and honsul drinking alcohol alone in Korean urban society. Therefore, indirectly Korean society has begun to abandon the lifestyle of collectivist society. The purpose of this journal is to analyze the emergence of the phenomenon of nahollojok lifestyle in urban society due to the transition of changes in values of collectivism in South Korean society. This journal applies descriptive qualitative method by collecting secondary datas. The result of this research shows that the lifestyle of Korean society is in transition of change, which appreciates more the privacy and individual freedom in the culture of collectivism. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Amtinah Fathul Latifah
"
Pemilu sebagai mekanisme penting untuk mewujudkan proses demokrasi Indonesia masih terus menghadapi masalah integritas. Setiap pemilu yang diselenggarakan selalu diwarnai oleh suasana manipulatif, kecurangan dan kurang terpercaya. Masalah ini menjadi lebih problematis ketika pemantau pemilu yang dianggap sebagai pilar pengawalan tidak mampu menciptakan pemilu yang jujur, adil, dan terpercaya. Pada pemilu tahun 2014 Indonesia, munculnya Kawal Pemilu sebagai gerakan pemantau pemilu berbasis teknologi menjadi sejarah baru dalam penyelenggaraan proses demokrasi di Indonesia. Namun, sejumlah pertanyaan muncul berkaitan dengan validitas dan efektifitasnya sebagai pemantau pemilu. Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan fenomena ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan konsepdemokrasi dari Huntington, studi ini menemukan bahwa Kawal Pemilu merupakan organisasi gerakan sosial akar rumput yang lahir dari persimpangan antara masyarakat sipil dan teknologi dan untuk mencapai potensi penuh sebagai alat untuk melakukan tindakan sipil,aktor utama mengidentifikasi framing dan memanfaatkan potensi teknologi secara terampil, produktif dan kredibel untuk merespon kurangnya akuntabilitas dan kontrol pada proses pengambilan keputusan yang demokratis. Di sini, teknologi koneksi menjadi sekutu yang kuat di dalam mendorong dan memperkuat masyarakat sipil di dalam mempromosikan transparansi dan kepercayaan publik dalam pemilu.
Election as an important mechanism to establish democratic process Indonesia still continue to confront issue of integrity. Every election that has been held were always tinged with manipulative, cheating and less reliable atmosphere. This issue becomes more problematic when election monitoring which were regarded as pillars of the escort was unable to create a genuine, fair, and reliable election. In the 2014 election in Indonesia, the emergence of Kawal Pemilu as a technology-based election monitoring movement becomes the new history of the democratic process administration in Indonesia. However, several questions arose related to its validity and effectiveness as an election monitoring. This study tried to explain this phenomenon using a qualitative approach. By using the democratic concept by Huntington, it was found that Kawal Pemilu is a grassroots social movement organization which was born from the intersection between civil society and technology and to reach its full potential as a tool for civic action the main actors identify framing and exploit the potential of technology skillfully, productively and credibly inresponse to the lack of accountability and control on the process of democratic decision-making. In this case, connection technology becomes a powerful ally to foster and strengthening civil society in promoting transparency and public confidence in elections."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ella Cipta Dewi
"Fenomena meninggal dalam kesendirian (MDK) atau godoksa kini kian menjadi masalah sosial utama di Korea Selatan. Fenomena MDK merupakan keadaan ketika seseorang yang tinggal sendiri, terputus hubungannya dari keluarga atau kerabat, meninggal sendirian dan jasadnya ditemukan setelah jangka waktu tertentu berlalu. Fenomena ini menunjukkan lemahnya ikatan sosial atau solidaritas dalam masyarakat Korea Selatan. Isu ini diangkat ke dalam berbagai karya sastra, salah satunya drama Korea. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana fenomena MDK dan eksklusi sosial pada korban MDK digambarkan dalam drama Move to Heaven. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan konsep eksklusi sosial untuk menganalisis gambaran fenomena MDK melalui gambar dan dialog tokoh yang terdapat di dalam drama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena MDK di Korea Selatan dialami oleh penduduk dari berbagai kalangan usia, terutama orang yang tinggal sendiri, dan memiliki penyebab kematian yang beragam, seperti bunuh diri dan penyakit kronis. Selain itu, eksklusi sosial yang terjadi pada orang-orang yang tinggal sendiri mendorong terjadinya fenomena MDK di Korea Selatan.
The lonely death phenomenon or godoksa is now becoming a major social problem in South Korea. The lonely death phenomenon is a situation in which someone who lives alone, cut off from family or relatives, dies alone and their body is found after a certain period of time. This phenomenon shows weak social ties or solidarity in South Korean society. This issue is raised in various literary works, including Korean dramas. This research aims to explain how the lonely death phenomenon and social exclusion experienced by the lonely death’s victims are portrayed in the drama Move to Heaven. This research uses a descriptive qualitative method with a social exclusion concept to analyze the lonely death phenomenon through the images and dialogues of the characters in the drama. The results show that the lonely death phenomenon in South Korea is experienced by people of various ages, especially people who live alone, and has various causes of death, such as suicide and chronic illness. In addition, social exclusion that occurs among people who live alone is driving the lonely death phenomenon in South Korea."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Annisa Shofia Khairina
"Penelitian ini membahas bagaimana munculnya fenomena pig mum serta bentuk keterlibatan orang tua untuk mewujudkan aspirasi pendidikan terhadap anak. Penerapan kembali sistem pendidikan berbasis tes di tahun 1990-an memicu maraknya fasilitas pendidikan tambahan (sagyoyuk) di Korea Selatan. Fasilitas tersebut bertujuan untuk membantu para siswa sekolah menengah atas mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas (suneung). Hal ini membuat para ibu di Korea Selatan melibatkan diri untuk mencari informasi mengenai fasilitas pendidikan tambahan untuk anak mereka dan memicu munculnya fenomena pig mum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana fenomena pig mum muncul di Korea Selatan dan bagaimana fenomena ini mempengaruhi perilaku para orang tua untuk mewujudkan aspirasi pendidikan. Pada penelitian ini, metode yang digunakan berupa metode kualitatif melalui studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena pig mum muncul sebagai reaksi dari sistem pendidikan berbasis tes yang diwujudkan dalam suneung di Korea Selatan. Bentuk keterlibatan orang tua dalam mewujudkan aspirasi pendidikan ditunjukkan dengan pindah dan mencari fasilitas pendidikan tambahan di daerah Gangnam, serta adanya pembentukkan perkumpulan antara ibu, tutor, dan pemilik hakgwon demi dianggap sebagai ‘ibu yang ideal’.
This qualitative study examines the rise of pig mum phenomenon and South Korean parents’ involvement in achieving educational aspirations towards their children. The reimplementation of the exam-based education system around the 1990s led to the explosion of private education facilities (sagyoyuk) in South Korea. Those private education facilities aim to help high school students prepare for the university entrance exam (suneung). It leads to the involvement of South Korean mothers in seeking information about private education facilities for their children. Also, it leads to the emergence of the pig mum phenomenon that happens among South Korean mothers. This study aims to acknowledge the occurrence of pig mum phenomenon in South Korea and how it affects parents’ behaviour in achieving educational aspirations. This research shows that the pig mum phenomenon is a reaction to the exam-based education system that is shown in university entrance examination (suneung) in South Korea. Parents also show certain behaviours based on their educational aspiration, such as moving to Gangnam district to achieve better private education facilities for their children and gather a lot of education-related information by forming a community among mothers, tutors, and hakgwon owners."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Izellah Amabel
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gerakan 4B (gerakan feminisme) sebagai penolakan terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi tingkat kelahiran rendah di Korea Selatan. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana gerakan 4B berkembang dari reaksi negatif para wanita terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi tingkat kelahiran rendah di Korea Selatan. Gerakan 4B atau “The 4 No’s” adalah gerakan feminisme yang berkembang di Korea Selatan. 4B merupakan singkatan kata dalam bahasa Korea yang berawalan huruf B, berdasarkan dari 4 prinsip Bihon (tidak menikah), Bichulsan (tidak melahirkan), Biyeonae (tidak berkencan), dan Bisekseu (tidak berhubungan seksual dengan lawan jenis). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif. Penulis menggunakan penelitian terdahulu, artikel, media massa, dan buku-buku sebagai sumber data dan panduan dalam penulisan penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada awalnya hanya istilah Bihon yang digunakan para feminis untuk memboikot hubungan pernikahan antara pria dan wanita. Namun, kebijakan pemerintah yaitu Birth Map dalam mengatasi tingkat kelahiran rendah di Korea Selatan mengundang kontroversi terutama di kalangan wanita di Korea selatan. Hal tersebut menyebabkan munculnya istilah lain yaitu Bichulsan, Biyeonae, dan Bisekseu (Gerakan 4B) sebagai kritik terhadap kebijakan pemerintah.
This research aims to analyze the 4B movement (feminist movement) as a rejection of government policies in overcoming the low birth rate in South Korea. The problem examined in this research is how feminist movements like 4B developed from women's negative reactions to the government's policy in overcoming the low birth rate in South Korea. The 4B Movement also known as “The 4 No’s” is an abbreviation of the Korean word which starts with letter B based on 4 principles namely Bihon (no to heterosexual marriage), Bichulsan (no to childbirth), Biyeonae (no to dating), and Bisekseu (no to heterosexual sexual relationship). The method used in this research is a qualitative analysis method. The author used previous research, article, mass media, and books as a data and guidelines to support research. The results of this research show that initially only the term Bihon was used by feminists to boycott marriage between men and women. However, the government policies in overcoming the low birth rate in South Korea called ‘Birth Map’ have invited controversy, especially among women. This led to the emergence of other terms such as Bichulsan, Biyeonae, and Bisekseu (The 4B Movement) as a criticism of government policy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library