Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165696 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fajar Perkasa
"Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis, pendekatan historis, dan pendekatan komparatif. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 merugikan korban, termasuk keluarga korban dan masyarakat, karena korban sebagai pihak yang paling dirugikan tidak memiliki peran apapun dalam pengambilan keputusan pemberian grasi. Konsep pemberian pengampunan yang tidak mengabaikan hak korban kejahatan adalah konsep pemberian pengampunan yang sesuai dengan hukum Islam dan hukum adat. Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945, Syariat Islam wajib diberlakukan terhadap orang Islam. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden bertentangan dengan konsep pemaafan terhadap tindak pidana hudud, qishash dan diyat dalam Syariat Islam, tetapi tidak bertentangan dengan konsep pemaafan terhadap tindak pidana ta'zir. Kewenangan tersebut juga tidak sesuai dengan konsep negara republik yang berintikan demokrasi sebagai lawan dari kediktatoran, serta sistem pemerintahan presidensiil yang memberikan kewenangan kepada kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang memungkinkan terjadinya campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap putusan hakim yang bertentangan dengan teori pemisahan kekuasaan. Tujuan negara hukum, pembentukan konstitusi, dan pemisahan kekuasaan diantaranya mencegah perbuatan sewenang-wenang penguasa dan menjamin hak-hak rakyat. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden selain membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan, juga melanggar hak asasi manusia, diantaranya hak korban, termasuk keluarga korban dan masyarakat. Hak memperoleh keadilan dan hak beragama menekankan bahwa konsep pemberian pengampunan harus memperhatikan korban dan pelaku kejahatan secara seimbang. Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 dan UU tentang Grasi harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat dua alternatif konsep dalam merumuskan dan/atau mengubah peraturan perundang-undangan terkait dengan grasi yakni konsep unifikasi hukum dan konsep pemisahan hukum. Pemberian pengampunan terkait dengan tindak pidana hudud dan qishash tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam bagi orang Islam, dan hukum adat bagi orang non-Islam. Terkait dengan tindak pidana ta'zir, kewenangan pemberian pengampunan sebaiknya diberikan kepada hakim agar sesuai dengan tujuan negara hukum, pembentukan konstitusi, dan pemisahan kekuasaan.

This research using normative law research with juridical approach, historical approach, and comparative approach. The authority of pardon granted by President regulated in Article 14 paragraph (1) Constitution 1945 is giving great loss to the victim, including their family and to the society, since the victim as the most suffering side has no role in the process of pardon. Pardon concept where the rights of victim were not neglected is appropriate with Islamic law and Adat law. According to President Decree July 5th, 1959, Preambule of Constitution 1945, and Article 29 paragraph (1) and (2) of Constitution 1945, Islamic syariah shall applicated to all muslim. The authority of pardon granted by President is contradicted with the concept of pardon as in Hudud criminal act, Qishash, and Diyat in Syariah, but not contrary to Ta?zir criminal act. Those authority also not suitable with the Republic State concept with democracy as the core as the opponent of dictatorship, and Presidential government system which giving the authority to the head of state as well as to the head of government which make the executive power participate in judicial verdict which make it contrary to the theory of power separation. The aim of law state, formation of constitution, and separation of power are made to restrain arbitrariness of the ruler and ensure the rights of people. The authority of pardon granted by President, besides open the opportunity for arbitrariness also contravene with human rights, some of them are victim rights, including their family and society. Right to obtain justice and Right in religion emphasize the concept of pardon must giving equal position to the victim and the perpetrator as well. Article 14 paragraph (1) Constitution 1945 and Pardon Act shall be adjusted to make sure it will not contradicted with Preambule of Conitution 1945 and the concept of Negara Kesatuan Republik Indonesia. There are two alternative concepts for the formulation and/or regulation amendment of pardon, they are unification and separation of law concepts. Pardon related to Hudud criminal act and Qishash should not be contradicted with Islamic law for muslim, and Adat law for non-muslim. While related to Ta'zir criminal act, the authority of pardon shoud be given to judges to ensure the aim of law state, formation of constitution, and separation of power"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Himas Muhammady Imammullah El Hakim
"Piagam Madinah sebagai salah satu dokumen konstitusi dalam nomokrasi Islam di negara Madinah memiliki prinsip-prinsip konsitusionalisme. Konstitusionalisme inilah yang menghendaki adanya pengaturan dan perlindungan hak asasi manusia. Konstitusionalisasi hak asasi manusia dalam Piagam Madinah inilah yang memiliki prinsip-prinsip yang memiliki karakter khas jika dibandingkan dengan hak asasi manusia kontemporer. Karakter hakikat asal hak asasi manusia, universalisme Islam, proporsionalitas hak dan tanggung jawab serta kewajiban asasi manusia menjadi khas hak asasi manusia dalam nomokrasi Islam yang ada di Piagam Madinah. Hak asasi manusia kontemporer yang lahir dari Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diinisiasi oleh negara barat dinilai memiliki perbedaan prinsipil dengan perspektif nomokrasi Islam sehingga melahirkan Deklarasi Hak Asasi Manusia Kairo yang berlandaskan nilai Islam. Komparasi hak asasi manusia antara nomokrasi Islam dan kontemporer menjadi diskursus yang membangun titik temu yang dapat menjadi pelajaran penting bagi Indonesia sebagai negara demokrasi berpenduduk muslim terbesar dunia. Konstitusionalisasi hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diimplementasikan secara substansial dan formal. Implementasi inilah yang selanjutnya menjadi upaya untuk memperkuat hak asasi manusia di Indonesia sesuai dengan cita negara dalam pembukaan konstitusi.

The Medina Charter as one of the constitutional documents in Islamic nomocracy in the Medina state has constitutionalist principles. This constitutionalism requires the regulation and protection of human rights. The constitutionalization of human rights in the Medina Charter has principles that have a distinctive character when compared to contemporary human rights. The character of the nature of the origin of human rights, Islamic universalism, proportionality of rights and responsibilities as well as human obligations are typical of human rights in Islamic nomocracy in the Medina Charter. Contemporary human rights born from the declaration of Human Rights initiated by western countries are considered to have principal differences from the perspective of Islamic nomocracy, thus giving birth to the Cairo Declaration of Human Rights which is based on Islamic values. The comparison of human rights between Islamic nomocracy and contemporary point of view becomes a constructive discourse that can be an important lesson for Indonesia as a democracy with the largest Muslim population in the world. The constitutionalization of human rights in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia can be implemented substantially and formally. This implementation then becomes an effort to strengthen human rights in Indonesia in accordance with the ideals of the state in the opening of the constitution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananthia Ayu Devitasari
"Penelitian dengan judul “Peran Partai Politik dalam Pengisian Jabatan Menteri Pada Sistem Presidensial Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945” ini dilatarbelakangi oleh penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 menganut sistem Presidensial dimana Presiden memegang kekuasaansebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai Kepala Negara(single chief executive).Presiden memiliki kekuasaan dan hak dalam rangka penyelenggaraan pemerintahannya. Pemilihan menteri dan pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif dari presiden. Namun hak tersebut walaupun nyata telah dilindungi oleh konstitusi UUD 1945, dalam pemilihan, pembentukan dan perombakan kabinet tidak lepas oleh peranan partai politik. Partai politik merupakan pilar penting dalam negara demokrasi modern. Namun peran partai harus sesuai dengan konstitusi dan aturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapat gambaran yang menyeluruh mengenai mekanisme pengisian jabatan menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, peran partai politik dalam masalah pengisian jabatan Menteri serta bagaimanaupaya pembatasan peran partai politik dalam pengisian jabatan menteri. Penelitian ini juga melakukan perbandingan dengan tiga negara lain yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Brazil. Penelitian ini menggunakan metodepenelitian yuridis normatif dan komparatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder ini didapatkan melalui penelitian studi pustaka dan dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komposisi menteri di Kabinet pemerintahan Yudhoyono-Kalla dan Yudhoyono-Boediono didominasi oleh menteri yang didukung oleh partai politik terlepas mereka profesional atau berasal dari kader partai. Peran partai politik sangat besar dalam pemilihan, pembentukan dan perombakan kabinet. Hal ini bertentangan dengan pasal 17 UUD 1945 yang mengatur hak prerogatif presiden untuk memilih dan mengangkat menteri untuk menjalankan pemerintahan. Penelitian ini juga membandingkan peran partai politik terhadap pengisian jabatan menteri di negara lain yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Brazil. Penulis kemudian menjabarkan ide-ide dan gagasan upaya pembatasan terhadap peran partai politik terhadap pengisian jabatan menteri demi terwujudnya sistem presidensial yang efektif dan sesuai dengan konstitusi. Upaya membatasi peran partai dapat dilakukan dengan cara pelembagaan koalisi, penguatan lembaga kepresidenan melalui Undang-Undang Lembaga Kepresidenan dan Pengaturan internal institusi kepresidenan, Larangan Rangkap Jabatan, dan sistem perekrutan menteri dengan merit system.

Research by title “The Role of Political Parties in Minister Appointee in Indonesia Presidential System After Amendment 1945 Constitution” is motivated by President as the Head of Government and Head of State (single chief executive) has the power and rights in furtherance of the administration. Minister appointee and Cabinet formation are the prerogative rights of the president. However, despite the prerogative right protected by the 1945 Constitution, in the selection, establishment and reshuffle of the cabinet can not be separated by the role of political parties. Focus of this research is to describe and analyze the mechanism of the Minister appointee based on the constitution and legislation, role of the political parties in minister appointee during the administration of President Yudhoyono-Kalla and the administration of Yudhoyono-Boediono. This research also analyze the delimitation of political role in minister appointee and how the comparison of political role and delimitation in minister appointee on other countries. This research used normative juridical methods with comparative approach. Type of data used is secondary data. The secondary data obtained through library research and analyzed descriptively. The research result shows that The minister composition on cabinet at Yudhoyono-Kalla and Yudhoyono-Boediono administration dominated by minister thatsupportedfrom political parties regardless of their professional or derived from party cadres. Political party role enormous in the selection, establishment and cabinet reshuffle. These political role contrast with the article 17 UUD 1945 that govern the president's prerogative to select and appoint ministers to run the administration.The study also compared the political parties role for minister appointee in other countries, namely the United States, Britain, and Brazil. Then The author described the ideas and thoughts of delimitation political parties role in minister appointee in order to create the effective presidential system based on the constitution. The delimitation can be done by institutionalizing the coalition, performing strong presidentialism trough presidential act and internal presidential reform, the prohibition of double occupation, and minister recruitment system based on merit system.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Sulistyanto
"Pemerintah Indonesia menaruh perhatian begitu besar terhadap pelaksanaan hak asasi manusia karena dorongan beberapa faktor. Faktor pertama adalah faktor internal, yaitu semakin sadarnya warga negara akan hak dan kewajibannya sehingga banyak pengaduan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang masuk ke Komnas HAM. Faktor yang kedua adalah faktor eksternal, yaitu desakan dari negara-negara maju yang dalam memberikan bantuan kepada Indonesia selalu mengkaitkan dengan pelaksanaan hak asasi manusia. Perbedaan pemahaman tentang hak asasi manusia sebenarnya berasal dari pelaksanaan hak asasi manusia yang disesuaikan dengan ciri-ciri negara itu sendiri yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi, nilai-nilai luhur budaya bangsa dan politik masing-masing negara yang bersifat dinamis. Sejarah penegakan hak asasi manusia melahirkan suatu dokumen internasional, yaitu Universal Declaration of Human Rights yang diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 yang merupakan landasan bagi pelaksanaan hak asasi manusia di seluruh dunia. UUD 1945 yang disahkan terlebih dahulu bila dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM, ternyata di dalam Pembukaan dan Batang Tubuhnya secara implisit banyak berisikan tentang hak asasi manusia. Demi menjamin pelaksanaan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, tahun 1993 didirikanlah Komnas HAM yang menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan hak asasi manusia. Perkembangan selanjutnya, Wanhankamnas mengusulkan suatu rancangan tentang Piagam HAM menurut bangsa Indonesia untuk dijadikan TAP MPR tersendiri, sebagai landasan hukum yang kuat bagi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Akan tetapi usul tersebut haruslah melalui proses yang panjang karena Fraksi Karya Pembangunan sebagai suara mayoritas dalam MPR mempunyai rencana tersendiri di dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 yang akan menempatkan HAM di dalam TAP MPR menjadi satu dengan GBHN."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Nurseptiana Barzah
"Penggeledahan merupakan bagian pengusutan atau penyidikan. Penggeledahan merupakan suatu tindakan penguasa untuk membatasi kebebasan orang, yaitu melanggar ketenteraman rumah kediaman ataupun melanggar kebebasan privasi pada tubuh seseorang. Tindakan penggeledahan ini bisa saja diambil atas dasar dugaan. Oleh karena itu, seseorang bisa saja sewaktu-waktu digeledah untuk kepentingan penyelidikan dan penegakan hukum. Bahkan penggeledahan ini bisa saja berujung pada penahanan. Meskipun tindakan penggeledahan biasanya dilakukan pada orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa, tetapi jika seseorang suatu saat digeledah belum berarti seseorang tersebut telah menjadi tersangka, terdakwa ataupun terpidana. Tindakan penggeledahan ini bisa dilakukan terhadap siapapun. Karena langsung menyangkut hak asasi seseorang, maka penggeledahan harus dilakukan sesuai Undang-Undang. Pengaturan mengenai penggeledahan diatur dalam Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Permasalahan yang dibahas adalah mengenai Kewenangan dalam Penggeledahan dilihat dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat yuridis- normatif yaitu dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang terhadap bagaimana Kewenangan dalam Penggeledahan apabila dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia.

A search is part of an investigation. A search is an act of the authorities to restrict people's freedoms, including violating the peace of a residence or violating the privacy of a person's body. These searches can be taken on the basis of suspicion. Therefore, a person can be searched at any time for the purpose of investigation and law enforcement. It may even lead to detention. Although searches are usually carried out on people who have been named as suspects or defendants, if a person is searched at any time, it does not mean that the person has become a suspect, defendant or convict. These searches can be carried out on anyone. Because it directly concerns a person's human rights, the search must be conducted in accordance with the law. The regulation on searches is stipulated in Article 32 of the Criminal Code (KUHAP). The problem discussed is about the Authority in Searches seen from a Human Rights Perspective. This research is a juridical-normative legal research that uses the Law approach to how the Authority in Searches when viewed from a Human Rights perspective."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Majda El-Muhtaj
Jakarta: Prenada Media, 2007
323.4 MAJ h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Majda El-Muhtaj
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012
323.4 MAJ h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Reihana Fakhry
"Skripsi ini membahas tentang legalitas praktek penahanan preventif terhadap tersangka terorisme sebagai upaya kontra-terorisme berdasarkan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional. Di satu sisi, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warganya dari ancaman terorisme, sehingga berdasarkan kedaulatannya, Negara bebas mengadopsi langkah-langkah untuk mencegah kegiatan terorisme. Di sisi lain, tindakan tersebut harus mematuhi Hukum Hak Asasi Manusia Internasional. Pertanyaan dasar dari tesis ini adalah atas dasar apa, oleh prosedur apa dan dalam rangka apa negara dapat menahan tersangka terorisme secara preventif menurut hukum. Skripsi ini menganalisa konvensi-konvensi HAM internasional, khususnya International Covenant on Civil and Politcal Rights ICCPR dan European Convention on Human Rights ECHR , serta yurisprudensi yang relevan, dan hukum penahanan nasional yang berkaitan dengan tersangka terorisme dari berbagai negara. Menurut perjanjian tersebut, setiap individu mempunyai hak atas kebebasan, sehingga penahanan harus dilakukan sesuai dengan hukum. Dalam mengevaluasi keabsahan penahanan preventif, skripsi ini juga mengelaborasi konsep derogasi. Apabila penahanan preventif tersebut terbukti melanggar HAM, Negara dapat dan apabila negara yang melakukan penahanan preventif atas dasar derogasi, yaitu deklarasi suatu negara untuk sementara tidak taat dengan kewajiban HAM internasional yang mengikatnya. Skripsi ini menganalisa bagaimana keaadan dari kejadian terorisme dapat dianggap sebagai keadaan darurat yang dapat memenuhi syarat ldquo;public emergency threatening the life of the nation rdquo; dan apabila penahanan preventif yang dilakukan negara tersbut memenuhi syarat proporsionalitas yang ada dalam klausul derogasi dalam ICCPR dan ECHR. Dengan demikian, skripsi ini membahas persinggungan antara dua kepentingan, yaitu kepentingan melindungi keamanan nasional dan kepentingan untuk melindungi HAM.

This thesis assesses the legality of preventive detention of terrorist suspects as a counter terrorism measure based on international human rights law. On one hand, it is the obligation of a state to protect their citizens from the threat of terrorism, thus, based on their sovereignty, states are free to adopt any measures to prevent such terrorist activities. On the other hand, such measures must be lawful and still abide by international human rights law. The central question of this thesis is on what grounds, by what procedures and within what limits under international law, can a state detain suspected terrorists without charge or trial, to prevent them from planning future attacks. This thesis thus analyzes of the international human rights treaties, namely the International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR and European Convention on Human Rights ECHR , as well as the relevant jurisprudence, and national detention laws relating to suspected terrorists from chosen countries. According to these treaties, every individual is entitled his or her right to liberty. Therefore detention, as a deprivation of liberty, must be done in accordance with the law. Even if a state has legitimate reasons for detaining someone, it must provide the detainee their rights under international law. In evaluating the lawfulness of preventive detention, this thesis also elaborates upon the concept of derogation and considers the practice of preventive detention during a state of emergency. Therefore, this thesis seeks to address the issue of where to draw the line for pre emptive counter terrorism detention."
2016
S66224
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rike Yolanda Sari
"Tesis ini membahas mengenai analisis fungsi,kewenangan dan kedudukan sebuah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (?PTN BH?) dalam konsepsi organ negara. Pemetaan mengenai fungsi, kewenangan dan kedudukan PTN BH diperlukan dalam upaya analisis mengenai fungsi publik sebuah organ negara. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan sistematis analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Tujuan pemetaan dalam upaya memposisikan PTN BH sebagai badan hukum publik disamping fungsi lainnya yang utama yaitu sebagai badan hukum. Pemetaan fungsi dianalisis dengan kewenangan law making dan law applying sebagai faktor penentu PTN BH sebagai badan publik, fungsi jabatan publik, fungsi tujuan badan publik serta analisis jabatan publik yang ada pada sebuah organ negara. Setelah mengetahui fungsi dan kewenangan, maka PTN BH dapat diketahui kedudukannya di dalam stuktur kelembagaan negara. Analisis kedua mengenai dampak kedudukan PTN BH di dalam organ negara di dalam tata kelola akademik dan non akademik dalam mewujudkan tujuan otonomi sebuah badan hukum. Analisis ini digunakan untuk melihat fungsi, kewenangan dan kedudukan PTN BH secara menyeluruh pada ketentuan hukum PTN BH di Indonesia sehingga dapat dilihat fungsi yang paling utama dari PTN BH sebagai sebuah badan hukum publik dalam struktur kelembagaan negara.

This thesis discussing on Function, Authority, and Legal Position as a Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum(?PTN BH?) in Conception of State Organ ofThe Constitution of Indonesia. This study analyzed by descriptive and systematic analysis using a judicial normative approach. The first analyze is map the Function, Authority, and Legal Position of PTN BH that required in an attempt analysis of the public functions of State Organ.The mapping purpose is to position of PTN BH as public functions as well as other major function as a legal entity. The mapping functions analyze the authority of law making and law applying as main factor of PTN BH as a public entity, public function, purpose function of public entity, and public position in a State Organ. After knowing the function and the authority, we know the legal position of PTN BH in state organ structure. The second analyze is the impact of legal position of PTN BH as a state organ in academic and non-academic governance to realization the autonomy purpose as a legal entity. This is to analyzed the function, authority and legal position of PTN BH thoroughly PTN BH in Indonesia so the main function of PTN BH as a public legal entity in organ state structure."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>