Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105516 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elisa Harlean
"Latar Belakang: Cedera kepala dikaitkan dengan aktivasi kaskade koagulasi dapat menyebabkan koagulopati. Hal ini berhubungan dengan hasil akhir atau keluaran yang tidak baik pada pasien. Deteksi dini dan evaluasi berkala faktor hemostasis dibutuhkan pada pengelolaan pasien cedera kepala sedang dan berat dalam memperbaiki hasil keluaran perawatan pasien cedera kepala.
Tujuan: Diketahuinya angka kejadian prevalensi koagulopati pada pasien cedera kepala sedang berat dan hubungan gangguan hemostasis tersebut dengan hasil keluarannya.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi ?nested case control?. Studi ini bersarang pada penelitian awal yang berupa studi komparasi potong lintang. Data hemostasis diperiksa pada hari pertama(<24 jam dari kejadian) saat di Instalasi Gawat Darurat(IGD) RSCM. Pasien cedera kepala sedang dan berat ini nantinya akan diikuti sampai akhir perawatan inap dan dinilai hasil keluaran perawatannya. Koagulopati adalah gangguan status koagulasi, dapat berupa hiperkoagulasi atau hipokoagulasi
Hasil: Terdapat 76 sampel, 38 sampel memiliki keluaran baik dan 38 sampel memiliki keluaran buruk. Pria(81,6%) lebih banyak dari wanita. Sebagian besar subjek berusia 18-50 tahun(81,6%). Koagulopati terjadi pada 34,2% pasien. Koagulopati merupakan faktor prediksi keluaran buruk pada cedera kepala (OR 4,429; 95%IK 1,569 ? 12,502; p=0,004). Hasil analisis multivariat menunjukkan urutan prioritas kemaknaan faktor yang mempengaruhi keluaran subjek cedera kepala yang terkuat berturut-turut di penelitian ini adalah usia (50,271), derajat cedera kepala (46,522), dan koagulopati (5,409). Terdapat hubungan bermakna antara beratnya derajat cedera kepala dengan terjadinya koagulopati p= 0,009.
Kesimpulan: Prevalensi koagulopati pada cedera kepala sedang berat cukup tinggi. Pasien dengan koagulopati memiliki keluaran yang lebih buruk

Background: Brain injury is associated with activation of the coagulation cascade, contributing to coagulopathy. This condition is correlated with unfavorable outcome. Early detection and evaluation of hemostatic factors are needed in treatment of moderate-severe traumatic brain injury (TBI) to improve patient outcome.
Objectives: To determined the number of prevelence coagulopathy in moderate severe TBI and the relationship of the hemostatic disorder with outcome.
Materials and Method: We did the nested case control study. Hemostatic parameters were recorded from emergency departement (ED) not exceeding 24 hours from onset of accident. Moderate-severe TBI patients were followed until the patients discharged and we assessed the outcome. Coagulopathy was defined as hypocoagulopathy or hypercoagulopathy.
Results: From 76 subjects, 38 subjects were favorable outcome and 38 subjects had unfavorable outcome. Men were higher than women (81,6%), mostly subjects were in range 18-50 years(81,6%). Coagulopathy occured in 36% of all patients. Coagulopathy was the predictor of unfavorable outcome for TBI (OR 4,429; 95%CI 1,569 ? 12,502; p=0,004). From the multivariate analysis, the priority level for TBI outcome, in order of strongest to weakest correlation, were age (50,271), severity of traumatic brain injury(46,522) and coagulopathy(5,409). There was significant correlation between severity of traumatic brain injury and coagulopathy (p= 0,009).
Conclusions: Our study confirmed a quite high prevalence of coagulopathy in patients with moderate-severe TBI. Patients with coagulopathy had poorer outcome compared to non-coagulopathy
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Amanda
"Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada populasi dunia berusia di bawah 45 tahun. Cedera kepala sedang (CKS) dan berat (CKB) biasanya memerlukan perawatan intensif dan pendekatan medis-bedah. Pasien dengan cedera kepala mengalami peningkatan laju metabolisme sehingga memerlukan tatalaksana medik gizi yang sesuai. Pemenuhan kebutuhan energi yang tidak adekuat dapat menyebabkan peningkatan angka morbiditas, risiko infeksi, dan komplikasi lainnya. Pemberian nutrisi enteral dini dalam kurun 24-48 jam setelah masuk Intensive Care Unit (ICU) dapat memperbaiki luaran klinis pasca cedera.
Serial kasus ini bertujuan untuk melaporkan peran tatalaksana medik gizi pada status gizi, lama pemakaian ventilator, tingkat kesadaran dan kapasitas fungsional pada pasien kritis dengan CKS dan CKB. Empat pasien laki-laki dengan rentang usia 25-46 tahun diobservasi selama perawatan di ICU RS Cipto Mangunkusumo, dua pasien dengan diagnosis CKS dan sisanya dengan diagnosis CKB. Status gizi berdasarkan indeks massa tubuh, dua pasien memiliki berat badan (BB) normal, satu pasien BB lebih dan satu pasien obesitas II. Tingkat kesadaran berdasarkan skor Glascow Coma Scale (GCS) pasien pada saat masuk ICU adalah 6-11.
Selama perawatan keempat pasien mendapat nutrisi enteral dini dan pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap. Pada seluruh pasien, kebutuhan energi dapat dipenuhi sesuai target 25-30 kkal/kg BB. Kebutuhan makronutrien dapat dipenuhi sesuai target, yaitu protein 1,2-2 g/kg BB, lemak 20-30%, dan karbohidrat minimal 100 g/hari. Pada dua pasien dengan CKB, diberikan nutrien spesifik berupa glutamin sebesar 0,2 g/kgBB/hari dan mikronutrien berupa vitamin C, vitamin B kompleks, asam folat, dan seng.
Hingga akhir pemantauan status gizi pada dua pasien CKS dapat dipertahankan, sedangkan dua pasien dengan CKB mengalami penurunan berat badan. Dua pasien CKS hanya menggunakan ventilator selama 4-5 hari, sedangkan dua pasien dengan CKB menggunakan ventilator lebih lama yaitu 12 dan 31 hari dengan disertai komorbiditas pneumotoraks dan ventilator-associated pneumonia. Tingkat kesadaran seluruh pasien mengalami perbaikan. Skor GCS pasien pada akhir perawatan di ICU adalah 7-15. Kapasitas fungsional berdasarkan Indeks Barthel juga mengalami perbaikan pada tiga pasien, yaitu dari ketergantungan total menjadi ketergantungan sedang atau berat.
Dapat disimpulkan bahwa tatalaksana medik gizi dapat berperan dalam mempertahankan status gizi, menurunkan lamanya pemakaian ventilator, memperbaiki tingkat kesadaran dan kapasitas fungsional pada pasien sakit kritis dengan CKB dan CKS. Tingkat keparahan cedera kepala dan komorbiditas dapat memengaruhi luaran klinis dan harus dipertimbangkan dalam memberi tatalaksana medik gizi.

Traumatic brain injury (TBI) is a leading cause of death and disability in the global population under 45 years old. Moderate and severe TBI usually require intensive care and a medical-surgical approach. Patients with TBI experience an increase in metabolic rate and therefore require appropriate medical nutrition therapy. Inadequate energy intake can cause an increase in morbidity, risk of infection, and other complications. Early enteral nutrition within 24-48 hours after ICU admission has been shown to improve clinical outcome.
This case series aims to report the role of medical nutrition therapy on nutritional status and clinical outcomes of critically ill patients with moderate and severe TBI. Four male patients aged 25-46 years were observed during their stay at the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Based on body mass index, two patients were normoweight, one patient was overweight and one patient was class II obese. The Glascow Coma Scale (GCS) scores of the patients on ICU admission were ranged 6-11.
Two of the four patients were classified as moderate TBI and the other two patients were as classified as severe TBI. On monitoring four patients received early enteral nutrition and the nutrition was gradually increased to reach the target of 25-30 kcal/kg body weight (BW). Enteral formula were targeted to achieve protein intake of 1.2-2 g/kgBW, fat intake of 20-30% of energy intake, and carbohydrate intake of at least 100 g/day. Two patients with severe TBI were given specific nutrients in the form of glutamine as much as 0.2 g/kgBW/day and micronutrients in the form of vitamin C, vitamin B complex, folic acid, and zinc. Two patients with moderate TBI received mechanical ventilation for 4 and 5 days, while two patients with severe TBI received mechanical ventilation for 12 and 31 days. In two patients with severe TBI, prolonged use of mechanical ventilation may be associated with the comorbidities of pneumothorax and ventilator-associated pneumonia.
At the end of monitoring, the levels of consciousness were improved in all patients. The patients GCS score at the end of treatment in the ICU were ranged 7-15. Functional capacity based on the Barthel Index also improved in three patients, from total dependence to moderate or severe dependence. Weight loss was experienced in two patients with severe TBI, possibly due to severe and prolonged catabolism in severe TBI. Patients with severe TBI may have higher energy requirements to maintain their nutritional status.
It can be concluded that medical nutrition therapy may play a role in improving the level of consciousness and functional capacity in critically ill patients with moderate and severe traumatic brain injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dharmawita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pasien cedera kepala sedang (CKS) dan cedera kepala berat (CKB) memerlukan perawatan di rumah sakit sehingga beresiko terkena infeksi nosokomial seperti pneumonia yang dapat memperburuk keluaran. Karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi keluaran pasien cedera kepala dengan pneumonia, diperlukan suatu sistem skoring untuk menilai derajat keparahan pneumonia.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah sistem skoring CURB-65 dapat dipakai untuk memprediksi keluaran pasien CKS dan CKB yang mengalami pneumonia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi prospektif. Subjek penelitian adalah seluruh pasien CKS dan CKB yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta selama periode penelitian. Diagnosis pneumonia ditegakkan sesuai kriteria The Center for Disease Control (CDC). Penilaian derajat keparahan pneumonia dilakukan dengan skoring CURB-65. Keluaran yang dinilai adalah hidup atau meninggal.
Hasil: Dari 176 pasien CKS dan CKB, terdapat 26 pasien yang menderita pneumonia. Rentang usia subjek penelitian adalah 15 - 71 tahun. Sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dan berusia < 65 tahun. Nilai maksimal dari CURB-65 pada penelitian ini adalah 3. Sedangkan nilai yang terbanyak adalah 2. Nilai CURB-65 ditemukan tidak bermakna sebagai prediktor keluaran pasca cedera kepala. Keluaran pasien cenderung dipengaruhi variabel usia, penurunan kesadaran, peningkatan kadar BUN, dan peningkatan frekuensi napas. Diantara 5 pasien yang meninggal, ada 2 pasien yang memiliki nilai CURB-65 = 3, sehingga tampak adanya kecenderungan peningkatan mortalitas pada pasien-pasien dengan nilai CURB-65 = 3.
Kesimpulan: Walaupun skoring CURB-65 tidak bermakna sebagai prediktor keluaran pada pasien CKS dan CKB dengan pneumonia, penelitian pendahuluan ini menemukan adanya kecenderungan pengaruh masing-masing komponen CURB-65 (penurunan kesadaran, frekuensi napas, kadar BUN, serta usia) terhadap resiko kematian pasien

ABSTRACT
Background: Patients with moderate and severe traumatic brain injury (TBI) require hospitalization, therefore they have higher risk in developing nosocomial infections such as pneumonia which can worsen their outcomes. Since there are many factors that can affect outcome of head-injured patients with pneumonia, a scoring system for evaluating the severity of pneumonia is needed.
Objective: To know whether the CURB-65 scoring system can be used to predict the outcome of moderate and severe TBI patients who developed pneumonia during hospitalization.
Methods: This was a prospective study. The study subjects were all moderate and severe TBI patients who had been hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital during the research period. Diagnosis of pneumonia was confirmed if the patient fulfiled the criteria from The Center for Disease Control (CDC). The severity of pneumonia was determined by using CURB-65 scoring system. The outcome would either be dead or alive.
Results: Of 176 patients with moderate and severe TBI, there were 26 patients who developed pneumonia. The age of the subjects ranged between 15 to 71 years. Most of them were male and over the age of 65. The maximum score of CURB-65 was 3. The mode of CURB-65 score was 2. CURB-65 was shown to be not useful in predicting outcome of head-injured patients with pneumonia. The outcome was seemingly associated with age, loss of consciousness, BUN, and respiratory rate. Among 5 patients who were dead, there were 2 patients who had a CURB-65 score of 3, thus there was a trend of increasing mortality in patients with a CURB-65 score of 3.
Conclusions: Although the CURB-65 scoring system was not found to be useful in predicting outcome of moderate and severe TBI patients, this preliminary study have found that there were a tendency that each component of CURB-65 (loss of consciousness, respiratory rate, BUN, age) have some effects on mortality. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffri Harisman
"Latar belakang: Status epileptikus non konvulsif (SENK) dapat ditemukan pada
cedera kepala sedang-berat (CKS-B). Timbulnya kejang pascatrauma dapat
memperberat cedera otak yang sudah terjadi, sehingga dapat mempengaruhi luaran.
Gejala klinis SENK tidak spesifik, sehingga membutuhkan pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) dalam penegakkan diagnosis. Penelitian ini bertujuan
mengetahui angka kejadian SENK, faktor yang mempengaruhi, gambaran demografi
(usia, jenis kelamin dan luaran), gejala klinis, gambaran pencitraan dan EEG pada
pasien CKS-B dengan SENK.
Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan sampel
terdiri dari data primer, yaitu semua CKS-B dari bulan Juli-Desember 2019 secara
consecutive sampling dan data sekunder, yaitu subjek CKS-B dengan klinis kecurigaan
SENK dari bulan Januari 2017-Juni 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSUPNCM), Jakarta. Penegakkan diagnosis SENK dilakukan melalui
kriteria modified salzburg consensus criteria for non convulsive status epilepticus
(mSCNC).
Hasil penelitian: Sebanyak 39 sampel CKS-B masuk ke dalam penelitian yang terdiri
dari 14 data primer dan 25 data sekunder. Sebanyak 19 dari 39 sampel terdiagnosis
SENK. Proporsi insiden SENK pada CKS-B dari Juli-Desember 2019 sebesar 21,4% (3
dari 14 sampel). Pada kelompok SENK didapatkan usia lebih tua, laki-laki lebih banyak
dari perempuan (3:1) dan kecelakaan lalu lintas sebagai mekanisme utama. Manifestasi
klinis SENK, antara lain penurunan kesadaran (23,1%), agitasi psikomotor (12,8%),
delirium (5,1%) dan gangguan persepsi (5,1%). Lobus frontal dan SAH merupakan
daerah lokasi cedera dan patologi terbanyak. Hanya didapatkan 2 sampel dengan kriteria
definit SENK dan selebihnya possible SENK. Sebagian besar bangkitan SENK berasal
dari lobus temporal. Analisis multivariat menunjukkan lokasi cedera lobus temporal
bermakna berhubungan dengan kejadian SENK (p = 0,036, OR 11,45 (95% IK 1,17-
111,6).
Kesimpulan: Proporsi insiden SENK pada CKS-B di RSUPNCM sebesar 21,4%.
Penurunan kesadaran merupakan gejala klinis SENK terbanyak. Lobus temporal
merupakan faktor yang berhubungan terhadap kejadian SENK.

Background: Non convulsive status epilepticus (NCSE) can be accounted by moderatesevere
traumatic brain injury (TBI). Posttraumatic seizure can aggravate the previous
injury and produce poor outcome. Electroecephalography (EEG) was employed as
diagnostic tool because unspecified clinical symptoms. This study was aimed to find
incidence proportion, associated risk factors, demographic profiles (age, gender,
outcome), clinical symptoms, imaging and EEG patterns of NCSE in moderate-severe
TBI patients.
Method: Cross-sectional design was applied ini this study. Data is consist of primary
data which include all moderate-severe TBI since July-December 2019 by consecutive
sampling and secondary data which include moderate-severe TBI since January 2017-
June 2019 with highly suspicious NCSE symptoms in Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta. EEG was employed as diagnostic tool by using modified salzburg consensus
criteria for non convulsive status epilepticus (mSCNC) as a criteria.
Result: Of 39 samples, 19 moderate-severe TBI samples (14 primary data, 25
secondary data) were diagnosed as NCSE. Incidence proportion of NCSE from July-
December 2019 is 21,4% (3 from 14 samples). Older age, man gender, traffic accident
and worse outcome are the most common NCSE demographic profiles. Loss of
consciousness (23,1%) is a main symptom, followed by psychomotor agitation (12,8%),
delirium (5,1%) dan perception disturbance (5,1%). Frontal lobe and SAH are
consecutively as the most common injury location and pathologic finding. Only 2
samples have definite NCSE diagnosis and the remaining as possible NCSE. Most of
NCSE discharges were originated from temporal lobe. Temporal lobe injury location
has significance relation toward SENK occurance (p = 0,036, OR 11,45 (95% CI 1,17-
111,6).
Conclusion: Incidence proportion of NCSE in moderate-severe TBI is 21,4%. Loss of
consciousness is the most finding symptoms. Temporal lobe is a factor relates to NCSE
occurance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yovanka Naryai Manuhutu
"PENDAHULUAN : Cedera kepala menjadi penyebab kematian paling umum pada usia kurang dari 40 tahun di negara maju dan berkembang, luaran setelah cedera kepala masih menjadi masalah dan sulit diprediksi. GCS telah ditetapkan sebagai prediktor luaran cedera kepala akibat trauma maupun non-trauma, namun prediktor luaran cedera kepala lain saat ini telah banyak dipakai salah satu adalah biomarker neuroinflamasi yaitu Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) yang masih jarang diteliti.
METODE : Penelitian prospektif ini didasarkan pada kasus cedera kepala sedang dan berat yang dilakukan operasi kraniotomi di multisenter rumah sakit pada November 2019-November 2020. Uji chi-square digunakan untuk mengetahui kemaknaan statistik dari hubungan antara demografi (usia dan jenis kelamin), gejala klinis serta hubungan RNL dan GCS sebagai prediktor luaran pada penelitian ini. Dilakukan analisis ROC untuk mendapatkan cut off RNL.
HASIL : Dari 54 pasien cedera kepala sedang dan berat (GCS 7-13) pada November 2019-November 2020 didapatkan dominasi laki-laki 41 (75,9%) pasien dan perempuan 13 (24,1) pasien, usia (mean±SD) 27,6±15,3, GCS preoperasi (median; min-maks) 13 (7-13), gejala klinis pupil anisokor 33 (61,1), kejang 5(9,3), hemiparesis 1 (1,86), GCS pascaoperasi hari kelima dan ketujuh (median; min-maks) 14 (6-15). RNL Preoperasi 7,4 (1,9-26,2) dan untuk nilai cut off RNL 9,8 dengan spesisfisitas dan sensitifitas 87% yang signifikan dengan nilai p=<0,001.
KESIMPULAN: Terdapat hubungan bermakna secara statistik RNL dan GCS preoperasi. Dimana dimana dengan nilai RNL yang rendah memiliki luaran fungsional yang baik sebaliknya pada pasien dengan RNL yang tinggi dengan luaran fungsional yang buruk.

INTRODUCTION: Traumatic brain injury (TBI) is the most common cause of death on population less than 40 years old in developed and developing countries. The clinical outcome after TBI is still an issue and difficult to predict. GCS has been used to predict outcome after either traumatic or non-traumatic brain injury. But several other outcome factors also can predict outcome after TBI, such as neutrophil to lymphocyte ratio (NLR) as one of neuroinflammation biomarkers.
METHOD : This prospective study included moderate and severe TBI patients were performed craniotomy in a multicenter hospital, from November 2019 to November 2020. Chi-square analytic test was used to determine the relationship between demographics (age and sex), clinical symptoms, RNL and GCS as a predictors outcome of moderate and severe TBI.
RESULT : 54 patients moderate and severe TBI (GCS 7-13) consist of 41 (75.9%) male and 13 (24.1%) female patients, age (mean±SD) 27.6±15.3, preoperative GCS (median; min-max) 13 (7-13), with asymmetric pupil 33 (61.1%), seizures 5 (9.3%), hemiparesis 1 (1.86%), and GCS postoperative on the fifth and seventh day (median; min-max) 14 (6 - 15). Preoperative NLR was 7.4 (1.9-26.2) and the cut off for NLR as a predictor for improved GCS was at 9.8 with a specificity and sensitivity of 87% with signification of p=<0.001.
CONCLUSSION : There was a statistically significant relationship between preoperative RNL and GCS. Whereas with a low RNL value has a good functional outcome in contrast to patients with high RNL with poor functional outcome.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beauty Rose Mawargany
"Latar belakang: Cedera kepala merupakan kegawatan di bidang Neurologi yang sering menyebabkan kematian dan kecacatan. Prognosis yang dapat dibuat diawal terjadinya cedera kepala akan membantu klinisi dalam memberikan tatalaksana yang tepat. Penelitian faktor prognostik pada cedera kepala dengan luaran skor GOSE yang dilakukan dalam tiga waktu pemantauan yang berbeda belum pernah dilakukan di RSUPN. Cipto Mangunkusumo.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan uji prognostik dengan disain kohort prospektif dan retrospektif untuk mengetahui faktor prognostik luaran GOSE pasien cedera kepala sedang dan berat pada hari 90 sebagai luaran primer, juga luaran pada hari 14 dan 30. Populasi yaitu pasien cedera kepala di RSUPN. Cipto Mangunkusumo selama bulan Oktober 2019- Maret 2021. Analisis data bivariat dengan chi-square dilanjutkan analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Dari 139 sampel cedera kepala sedang dan berat didapatkan data demografik yaitu 81.3% sampel merupakan laki-laki dan usia rerata 40±44. Didapatkan sebaran klinis, SKG 3-8 16 sampel (11.5%), hipotensi 20 sampel (14.4%), Hipoksia sebanyak 11 sampel (7.9%), Anemia sebanyak 13 sampel (9.4%), hiperglikemi sebanyak 30 sampel ( 21.6%), skor ISS > 24 sebanyak 6 sampel (4.3%), skor Rotterdam > 4 sebanyak 56 sampel (45.2%). Pupil tidak reaktif bilateral 3.6%, reaktif unilateral 7.2%, reaktif bilateral 89.2%
Untuk luaran GOSE hari 90 sebagai luaran primer yaitu luaran baik 60.4% dan luaran buruk 39.6%. Luaran hari 30 luaran baik 46.8% dan luaran buruk 53.2%. Luaran fase awal yaitu hari 14 luaran baik 31.7% dan luara buruk 68.3%.
Analisis multivariat didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran pada hari 14 yaitu usia di atas 60 tahun dan skor Rotterdam > 4. Analisis multivariat luaran hari 30 tidak didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran GOSE. Pada hari 90 didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran GOSE yaitu hipotensi < 100 mmHg.
Kesimpulan: Didapatkan faktor prognostik pada hari 14 yaitu usia dan skor Rotterdam dan faktor prognostik pada hari 90 yaitu hipotensi.

Background: Brain injury is an emergency in Neurology that often causes death and disability. Prognosis that can be made early in the occurrence of head injury will assist clinicians in providing appropriate management. The study of prognostic factors in head injury with GOSE score outcome that was conducted in three different monitoring times had never been done in RSUPN. Cipto Mangunkusumo.
Research method: Prognostic test with a prospective and retrospective cohort design to determine the prognostic factors for GOSE outcome in moderate and severe brain injury patients on day 90 as the primary outcome, as well as outcomes on days 14 and 30. The population was brain injury patients at the RSUPN. Cipto Mangunkusumo during October 2019-March 2021. Bivariat analysis with chi-square was followed by multivariate analysis with logistic regression.
Results: 139 samples of moderate and severe brain injury, demographic data were obtained, 81.3% of the sample were male and the mean age was 40±44. Obtained clinical distribution, SKG 3-8 16 samples (11.5%), hypotension 20 samples (14.4%), Hypoxia in 11 samples (7.9%), Anemia in 13 samples (9.4%), hyperglycemia in 30 samples (21.6%), ISS score > 24 for 6 samples (4.3%), Rotterdam score > 4 for 56 samples (45.2%). Bilateral unreactive pupils 3.6%, unilateral reactive 7.2%, bilaterally reactive 89.2%
For the 90 day GOSE outcome as the primary outcome, 60.4% good outcome and 39.6% bad outcome. The 30 day output is 46.8% good and 53.2% bad. The output of the initial phase was on day 14, good outcome was 31.7% and bad outcome was 68.3%.
Multivariate analysis found that the factors that significantly affected the outcome on day 14 were age over 60 years and Rotterdam score > 4. Multivariate analysis on day 30 did not find any significant factor influencing the outcome of GOSE. On day 90, it was found that a significant factor affecting the outcome of GOSE was hypotension < 100 mmHg.
Conclusion: In patients with moderate and severe brain injury, there were different prognostic factors for monitoring GOSE outcomes on days 14, 30 and 90.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Alvin Tagor
"Latar Belakang: Penyakit COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 bisa menyebabkan kelainan pada paru-paru berupa pulmonary intravascular coagulation, suatu koagulopati akibat infeksi. Banyak menduga keadaan ini disebabkan oleh cytokine strorm yang salah satu komponen utamanya adalah IL-6. Sampai saat ini belum diketahui hubungan antara IL-6 dengan koagulopati pada penyakit ini.
Tujuan: Kami ingin megetahui apakah IL-6 memiliki korelasi dengan pertanda koagulopati d-Dimer, fibrinogen, dan prothrombin time, serta apakah IL-6 memiliki korelasi dengan ferritin sebagai acute phase reactant. Kami juga ingin mengetahui apakah IL-6, ferritin, fibrinogen, d-Dimer, dan PT berkorelasi dengan perburukan subjek COVID-19 derajat sedang dan berat.
Metode: Kami melakukan penelitian kohort prospektif pada pasien COVID-19 derajat sedang dan berat di suatu rumah sakit khusus yang menangani perawatan pasien COVID-19 mulai dari Juni 2020 sampai Januari 2021. Kami melakukan pemeriksaan serial IL-6, d-Dimer, fibrinogen, ferritin dan prothrombin time (PT), serta observasi keadaan pasien tersebut saat masuk rawat dan pada hari ke 14 hari atau sebelum hari ke 14 jika terjadi perbaikan, perburukan, atau pulang; mana yang lebih dahulu terjadi. Penelitian ini sudah mendapat persetujuan dari Panitia Tetap Etik Penelitian Kedokteran FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Hasil: Selama Juni 2020 sampai dengan Januari 2021 kami temukan sebanyak 374 pasien COVID-19 derajat sedang dan berat. Tujuh puluh tiga subjek masuk kriteria inklusi 61 orang termasuk kategori berat, dan 12 orang sedang. Jumlah pasien perburukan adalah 35 dari 61 pasien derajat berat, dan 1 dari 12 pasien derajat sedang. Uji korelasi Spearman antara IL-6 dengan ferritin, d-Dimer, fibrinogen, dan PT berturut-turut koefisien korelasinya 0,08 (p=0,5), -0,13 (p=0,27), 0,01 (p=0,91), 0,03 (p=0,77). Uji korelasi Spearman antara ferritin dengan d-Dimer, fibrinogen, dan PT berturut-turut 0,17 (p=0,14), 0,05 (p=0,63), dan 0,07 (p=0,51). ROC yang memiliki luas lebih dari 60% adalah selisih d-Dimer dan selisih IL-6 (74,77% dan 71,32%).
Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi antara IL-6 dengan d-Dimer, fibrinogen, PT. Ferritin tidak berkorelasi dengan d-Dimer, fibrinogen dan PT. IL-6 tidak berkorelasi dengan ferritin. Perubahan IL-6 dan d-Dimer dapat memprediksi perburukan pada pasien COVID-19 derajat sedang dan berat.

Background: COVID-19 disease caused by the SARS-CoV-2 virus can cause abnormalities in the lungs in the form of pulmonary intravascular coagulation, a coagulopathy due to infection. Many suspect this situation is caused by cytokine storm, one of the main components of which is IL-6. Until now, there is no known relationship between IL-6 and coagulopathy in this disease.
Objectives: We wanted to know whether IL-6 correlated with markers of d-Dimer coagulopathy, fibrinogen, and prothrombin time, and whether IL-6 correlated with ferritin as an acute phase reactant. We also wanted to find out whether IL-6, ferritin, fibrinogen, d-Dimer, and PT correlated with moderate and severe worsening of COVID-19 subjects.
Methods: We conducted a prospective cohort study of moderate and severe COVID-19 patients in a specialized hospital that treats COVID-19 patients from June 2020 to January 2021. We performed serial tests of IL-6, d-Dimer, fibrinogen, ferritin and prothrombin time (PT), as well as observing the patient's condition at the time of admission and on day 14 or before day 14 if there is improvement, worsening, or discharge; whichever happens first. This research has been approved by the Permanent Committee of Medical Research Ethics FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Results: During June 2020 to January 2021, we found 374 moderate and severe COVID-19 patients. Seventy-three subjects entered the inclusion criteria, 61 people were included in the heavy category, and 12 people were moderate. The number of deteriorating patients was 35 of 61 severe grade patients, and 1 of 12 moderate grade patients. Spearman correlation test between IL-6 and ferritin, d-Dimer, fibrinogen, and PT, respectively, the correlation coefficients were 0.08 (p=0.5), - 0.13 (p=0.27), 0.01 ( p=0.91), 0.03 (p=0.77). Spearman correlation test between ferritin and d-Dimer, fibrinogen, and PT was 0.17 (p=0.14), 0.05 (p=0.63), and 0.07 (p=0.51) . ROCs that have areas of more than 60% are the d-Dimer-difference and IL-6-difference (74.77% and 71.32%).
Conclusions: No correlation was found between IL-6 and d-Dimer, fibrinogen, PT. Ferritin did not correlate with d-Dimer, fibrinogen and PT. IL-6 was not correlated with ferritin. Changes in IL-6 and d-Dimer can predict worsening in moderate and severe COVID-19 patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Aldilla
"Latar belakang. Laktat awalnya dianggap sebagai produk berbahaya dari metabolisme anaerobik, namun bukti terbaru menunjukkan laktat dapat melindungi neuron dan memperbaiki luaran. Dalam studi ini, kami mencari korelasi antara kadar laktat darah dan luaran pascaoperasi pasien dengan cedera otak traumatika (traumatic brain injury, TBI). Metode. Studi kohort prospektif ini mengambil sampel dari pasien dengan TBI terisolasi yang menjalani operasi di Departemen Bedah Saraf RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari April 2020 hingga Juni 2021. TBI dikategorikan menjadi ringan (GCS 13-15), sedang (GCS 9-12), dan berat (GCS 3-8). Kadar laktat darah diambil dari vena perifer sebelum dan pada hari ke-3 pascaoperasi. Luaran klinis dievaluasi berdasarkan perubahan (D) GCS pada hari ke-7 pascaoperasi dengan preoperasi, lalu dibagi menjadi 3 kelompok: membaik, tidak berubah, dan memburuk. Hasil. Dari 72 subjek dalam penelitian ini, ditemukan terdapat korelasi yang signifikan (p = 0,019, r = 0,275) antara kadar laktat preoperatif dengan D GCS, dimana semakin tinggi kadar laktat preoperatif maka D GCS akan semakin positif. Berdasarkan analisis dengan kurva receiver operating characteristics (ROC) dan Chi-square, ditemukan bahwa subjek dengan kadar laktat >=2,35 mmol/L memiliki kemungkinan 1,64 kali lebih besar untuk mengalami peningkatan GCS pascaoperasi. Kesimpulan. Laktat dapat dijadikan suatu faktor prognostik luaran baik pascaoperasi pasien TBI.

Background. Lactate was initially thought to be a harmful product of anaerobic metabolism, but recent evidence suggests it can protect neurons and improve outcomes. Therefore, we sought a correlation between blood lactate levels and the postoperative outcome of patients with traumatic brain injury (TBI). Method. This prospective cohort study took samples from patients with isolated TBI who underwent surgery at the Department of Neurosurgery, Cipto Mangunkusumo National Hospital from April 2020 to June 2021. Blood lactate levels were taken from peripheral veins before surgery and on the 3rd postoperative day. The clinical outcome was evaluated based on the change (D) of GCS from before surgery and on the 7th postoperative day, then categorized into 3 groups: improved, unchanged, and worsen. Results. From 72 subjects in this study, significant correlation (p = 0.019, r = 0.275) was found between preoperative lactate levels and D GCS, where the higher preoperative lactate levels, the more positive D GCS would be. Based on the analysis using ROC curve and Chi-square, subjects with lactate levels >=2.35 mmol/L were 1.64 times more likely to experience an increase in postoperative GCS. Conclusion. Lactate can be used as a favorable prognostic factor in TBI patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mery Krismanto
"Latar Belakang: Protein S100B merupakan protein yang berikatan dengan kalsium pada sel-sel astroglial jaringan otak. Peningkatan kadar protein S100B dalam serum disebabkan karena aktivasi kerusakan astrosit dan sel glial, dan kerusakan integritas sawar darah otak. Beberapa studi prospektif terakhir, para ahli menghubungkan protein S100B dengan prediksi keluaran pasien cedera kepala.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar Protein S100B 6 jam pasca trauma terhadap skala keluaran GOSE 3 bulan pada penderita CKR dan CKS.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan data dikumpulkan secara prospektif pada pasien cedera kepala ringan dan sedang yang dirawat di UGD RSCM.
Hasil: Dari 45 sampel, didapatkan kelompok yang paling banyak adalah laki-laki (65.7%), usia 15-20 tahun (45.7%), tingkatp endidikan SMA (48.6%), CT scan normal (54.3%), kadar protein S100B < 0.403 μg/L (54.3%) dan GOSE >= 7 (71.4%). Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat cedera kepala dengan GOSE, CT scan dengan GOSE dan kadar protein S100B dengan GOSE.
Kesimpulan: Protein S100B merupakan prediktor yang sensitif terhadap keluaran, dimana pasien dengan protein S100B tinggi memperlihatkan keluaran yang buruk dibandingkan pasien dengan kadar protein S100B rendah.

Backgrounds: S100B protein is a protein that binds with calcium in brainastroglial cell. The increase in S100B serum level can be caused caused byastrocyte and glial cell damage and disturbance of blood brain barrier. Several prospective studies have elooked into the relationship of S100B protein with headinjury patents outcome.
Aim: To investigate the relationship between S100B protein level 6 hours aftertrauma and the outcome of patients with mild and moderate head injury using GOSE 3 months after trauma.
Method: This is an analytic descriptive study using data collected prospectivelyin mild and moderate head injury patients admitted to the emergency departmentof Cipto Mangunkusumo hospital.
Result: The majority of patients were male 65 7 aged between 15 20 yearsold 45 7 senior high school graduates 48 6 with normal CT scan 54 3 with S100B protein level 0 403 g L 54 3 and with GOSE 7 71 4. There was a significant relationship between the severity of head injury and GOSE CT scan finding and GOSE and S100B protein level and GOSE.
Conclusion: S100B protein level is a sensitive predictor for head injury patientoutcome in which patients with higher S100B protein level correlates with pooreroutcome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58555
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Ayu Wedariani
"ABSTRAK
Latar Belakang. Pasien pasca cedera kepala seringkali mengalami gangguan kognitif. Instrumen komputer “Stimulasi Kognitif” (STIMKOG) adalah salah satu bentuk intervensi terapetik kognitif eksternal yang dapat diberikan pada pasien cedera kepala. STIMKOG memiliki tujuh stimulus yang mencakup lima domain kognitif. Tujuan dari penelitian adalah mengetahui fungsi kognitif pada pasien cedera kepala setelah distimulasi dengan STIMKOG.
Metode. Penelitian menggunakan desain eksperimental. Subyek penelitian adalah pasien cedera kepala ringan-sedang yang dibagi atas kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan latihan STIMKOG selama 12 hari berturut-turut sedangkan kelompok kontrol hanya diberikan di hari 1, 6 dan 12. Evaluasi perubahan fungsi kognitif menggunakan pemeriksaan neuropsikologi Skrining tes Luria Nebraska.
Hasil. Sebanyak 60 subyek ikut dalam penelitian, terbagi atas 30 subyek di tiap kelompok. Rasio jumlah laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Usia dari subyek penelitian berkisar antara 17-45 tahun, sebagian besar berusia 20-40 tahun (63.3%). Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar berpendidikan tamat SMU (51.6 %). Sebanyak 80% subyek adalah cedera kepala sedang sedangkan 20% adalah cedera kepala ringan. Perbaikan nilai STIMKOG kelompok intervensi lebih besar dari kelompok kontrol pada kecepatan waktu, keberhasilan, kegagalan dan persentase jawaban benar. Pada Skrining Tes Luria Nebraska di awal penelitian terdapat gangguan terutama pada tes Kalkulasi 3, Abstraksi dan Bahasa, Working Memory, New Learning Ability, Immediate memory dan atensi. Pasca latihan STIMKOG terjadi penurunan jumlah subyek yang mengalami gangguan kognitif pada kelompok intervensi sebesar 46.7% lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (23.3%).
Kesimpulan. Instrumen STIMKOG dapat meningkatkan fungsi kognitf pada pasien cedera kepala ringan-sedang.

ABSTRACT
Background. Patients with traumatic brain injury were frequently had cognitive disfunction. Computer instrument “Stimulasi Kognitif” (STIMKOG) is one of external therapeutic intervention which can be applied to traumatic brain injury patients. STIMKOG has seven stimulus which include five cognitive domains. The objectives of the study were to obtain cognitive function in traumatic brain injury patients after being stimulated by STIMKOG.
Method. An experimental study was conducted. Participants were mild-moderate traumatic brain injury patients which classified into intervention and control group. Intervention group were trained for 12 days consecutively whereas the control group only in day 1, 6 and 12 with level of difficulty 2. Cognitive evaluation was conducted using neuropsychology examination Screening Test Luria Nebraska.
Result. A total of 60 subjects participated in this study, divided into 30 subjects in each group. The ratio of man and woman was 2:1. The age of the subjects was between 17 and 45 years, with age majority between 20-40 years (63,3%). Based on level of education, 51.6% subjects were secondary high school graduates. The subjects consisted of 80% moderate traumatic brain injury and 20% mild traumatic brain injury. The improvement of STIMKOG score in intervention group was greater than control group in time response velocity, success rate, failure rate and correct answer persentage. Post STIMKOG training, number of subjects with cognitive disfunction had decreased 46,7% in intervention group greater than control group (23,3%).
Conclusion. STIMKOG instrument could improve cognitive function in light-moderate traumatic brain injury patients."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>