Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194893 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irfiansyah Lesmana
"ABSTRAK
Pendahuluan
Keputusan untuk melakukan tindakan operasi reparasi dan replace katup mitral pada stenosis mitral masih diperdebatkan. Tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan
antara Wilkin?s score dengan keputusan operasi reparasi dan replace katup mitral
pada stenosis mitral, serta mencari titik potong nilai Wilkins? score pada operasi
reparasi dan replace katup mitral
Metode
Penelitian adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional secara
retrospektif mencakup seluruh pasien dari RS Harapan Kita Jakarta yang dilakukan
operasi stenosis mitral pada Januari 2010 ? September 2015 oleh satu orang dokter
bedah Jantung. Hubungan Wilkins? score dengan keputusan operasi serta nilai titik
potong Wilkins? score pada operasi reparasi dan replace menjadi luaran yang akan
diteliti.
Hasil
Seratus dua puluh lima subjek dengan usia rata-rata kelompok reparasi 36,78 ± 9,37
tahun dan replace 44,49 ± 9,29 tahun. Didapatkan nilai mean Wilkins? score pada
kelompok reparasi 6,5 (4-12) dan kelompok replace 8 (4-14) dengan nilai signifikansi
p<0,001. Dengan area under curve 0,786 dan p<0,001, dapat dinilai titik potong
Wilkins? score berada pada nilai 7. Dengan memerhatikan variabel lain yang
menunjukkan adanya hubungan signifikan pada analisis bivariat yaitu usia,
regurgitasi mitral dan Euro score, dilakukan analisis multivariate dengan uji regresi
logistic didapatkan area under curve 0,946 dan p<0,001, dapat dinilai titik potong
Wilkins? score berada pada 5. Kesimpulan
Wilkins? score berhubungan dalam pengambilan keputusan tindakan operasi reparasi
dan replace katup pada subjek dengan stenosis mitral, dengan titik poin pada putusan
operasi reparasi dan replace yaitu Wilkins? score 7. Jika Wilkins? score
mempertimbangkan faktor usia, regurgitasi mitral dan Euro score titik poin pada
putusan operasi reparasi dan replace yaitu Wilkins? score 5.

ABSTRACT
Introduction
Decision on the repair and replacement of mitral valve surgery in mitral stenosis
patients is still being debated. The aim for this research is to find the relationship
between Wilkins? score and the decision between repair and replacing mitral valve in
mitral stenosis cases, and to find the cut off point for Wilkins?score in the mitral
valve repair and replacement procedure
Methods
The research is an analytic descriptive study with restrospective cross sectional
design. This research covered all patients of Harapan Kita Hospital for Heart and
Blood vessels that had mitral stenosis operations from January of 2010 until
September 2015 that is conducted by one of the surgeon in that hospital. The
relationship between Wilkin?s score and the decision to operate and the cut of point
of the Wilkins? score on the repair and replacement decision is the outcome that we
are going to study in this research.
Results
One hundred and twenty five subjects with the mean age of repair 36,78 ± 9,37 years
old and replacement age of 44,49 ± 9,29 years old. We found that the mean of
Wilkins? score in the reparation group is 6,5 (4-12) and in the replacement group is 8
(4-14) with the significance value is p <0,001. With area under the curve of 0,786 and
p<0,001 we can see that the the cut off point for Wilkins? score is 7. By seeing other
variables to show the significance between all bivariates variable such as age, mitral
regurgitation and Euro score, we conducted multivariate analysis of regression test
we found area under the curve 0,946 with p<0,001. We can assess that the cut off
point of Wilkins? score is 5 Conclusion
Wilkins score is related with decision making of valve repair and replacment
procedure in patients with mitral stenosis with poin between decision is 7. If Wilkins
score consider other factors such as age, the presence of mitral regurgitation and Euro
Score the point that determine the decision to repair and replace mitral valve is
Wilkins? score 5."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Ghanie
"Mitral stenosis merupakan kelainan katup yang paling sering ditemukan di bagian Kardiologi RS. M. Hoesin, Palembang, dan bukti kuat menunjukkan adanya tromboemboli pada mitral stenosis. Banyak studi melihat kontras ekho spontan (KES) yang dianggap sebagai awal kejadian tromboemboli, namun terdapat kontroversi mengenai bagaimana mencapai regresi KES ini. Uji klinik tersamar ganda dilakukan untuk membandingkan aspirin 100 mg dengan acenocoumarol (sintrom) 1 mg yang diberikan selama 4 minggu pada 22 penderita mitral stenosis. Pada akhir penelitian diperoleh regresi 100 % pada KES kelompok acenocoumarol, 40% diantaranya regresi dari KES berat menjadi ringan, sedangkan 60 % mengalami resolusi sempurna. Pada kelompok aspirin tidak satupun KES mengalami regresi. Pada kelompok acenocoumarol, 2 di antara 4 trombus menghilang, sedangkan 2 sisanya ukurannya mengecil, sedangkan pada kelompok aspirin pada akhir minggu keempat, pasien dengan thrombus bertambah dari 3 menjadi 4. Kesimpulan: Pemakaian acenocoumarol 1 mg selama 4 minggu dapat secara efektif dan aman meregresi kontras echo spontan dan thrombus pada mitral stenosis tanpa perubahan hemodinamik yang berarti. (Med J Indones 2002; 11: 202-7)

Mitral stenosis is one of the most often valvular disease in Division of Cardiology, M. Hoesin hospital, Palembang, and there was strong evidence of thromboembolic phenomenon in mitral stenosis (MS) patients. Many studies evaluated the spontaneous echo contrast (SEC) that was regarded as a precursor of thrombo embolic phenomenon. So far there were controversies regarding how to regress spontaneous echo contrast. A randomized double blind controlled study was done on 22 MS patients with positive SEC, receiving either aspirin 100 mg or acenocoumarol 1 mg and followed up after 4 weeks. There was 100 % regression of SEC in acenocoumarol group that consisted of 40% regression from severe SEC to mild, and 60% complete resolution. In aspirin group there was no resolution of SEC. In acenocoumarol group, 2 of 4 thrombus totally disappeared while the rest was reduced in size. On the other hand, in aspirin group, after 4 weeks, the patients with thrombus was increased from 3 to 4 patients. In conclusion, four week therapy with acenocoumarol 1 mg is effective and save in regressing spontaneous echo contrast and thrombus in mitral stenosis patients without any significant change in hemodynamics. (Med J Indones 2002; 11: 202-7)"
Medical Journal of Indonesia, 2002
MJIN-11-4-OctDec2002-202
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Hilal Nurdin
"Latar belakang. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu komplikasi jangka panjang pada stenosis mitral, dan meningkatkan morbiditas serta mortalitas. Peningkatan resistensi vaskular paru terjadi pada fase reaktif hipertensi pulmonal akibat stenosis mitral. Pada hipertensi pulmonal terjadi gangguan keseimbangan sistem otonom, yang berpengaruh pada perubahan laju jantung saat uji latih. Laju jantung pemulihan dihitung dari selisih laju jantung maksimal saat uji latih dengan laju jantung menit pertama fase pemulihan dipengaruhi oleh reaktivasi sistem parasimpatis saat akhir latihan, dan merupakan prediktor mortalitas jangka panjang.
Metode. Penelitian ini dilakukan pada 20 pasien stenosis mitral bermakna dengan hipertensi pulmonal yang menjalani pembedahan katup mitral di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari bulan Agustus hingga November 2014. Dilakukan pengukuran resistensi vaskular paru sebelum operasi dan sebelum pasien dipulangkan. Laju jantung pemulihan diambil dari uji treadmil pada akhir program rehabilitasi kardiak fase 2. Dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara resistensi vaskular paru dengan laju jantung pemulihan saat latihan pasca operasi katup mitral.
Hasil. Laju jantung pemulihan yang diukur pada menit pertama fase pemulihan uji treadmill adalah 11,5 + 5,9 kali per menit, dan perubahan resistensi vaskular paru pre dan paska operasi sebesar 1,55 + 2,1 WU. Laju jantung pemulihan menit pertama memiliki korelasi sedang dengan perubahan resistensi vaskular paru (r 0,537; p 0,015) . Analisa regresi linier laju jantung pemulihan menit pertama dengan perubahan resistensi vaskular paru pre dan paska operasi mendapatkan nilai koefisien β 1,52 dengan IK 95% 0,338-2,706 dengan nilai p 0,015. Analisa bivariat menyimpulkan bahwa digoxin merupakan variabel perancu (p 0,048). Analisa regresi linier antara perubahanresistensi vaskular paru pasca operasidengan laju jantung pemulihan menit pertama(adjusted analysis sesuai variable perancu)menunjukkan nilai koefisien β 1,244 dengan IK 95% 0,032-2,457 dengan nilai p 0,045.
Kesimpulan. Perubahan resistensi vaskular paru pada pasien stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal yang menjalani pembedahan berhubungan dengan laju jantung pemulihan menit pertama saat uji latih jantung.

Background. Pulmonary hypertension is one of the long-term complication of mitral stenosis, resulting increase of morbidity and mortality. Pulmonary vascular resistance (PVR) is increase in reactive phase of pulmonary hypertension due to mitral stenosis. There is impaired autonom regulation following pulmonary hypertension, affecting heart rate changes during exercise test. Heart rate recovery (HRR) is defined as the difference between heart rate at peak exercise and 1 minute of recovery phase. It is affected by reactivation of parasympathetic system after cessation of exercise, and has been known as a long-term mortality predictor.
Method. A study of 20 patients with significant mitral stenosis with pulmonary hypertension who underwent mitral valve surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita was done from August to November 2014. PVR data from echocardiography was measured before surgery and before the patients were discharged. HRR data was taken from the treadmill test at the end of phase 2 cardiac rehabilitation program. Statistical analysis is done to explore the correlation between pulmonary vascular resistance and heart rate recovery after exercise test.
Result. Mean heart rate recovery after exercise test is 11,5 + 5,9 beat perminute, and changes of pulmonary vascular resistance after surgery is 1,55+2,1 WU. There was a correlation between change of PVR and heart rate recovery (r 0,537; p 0,015). Linear regression analysis of the change of PVR and heart rate recovery (unadjusted analysis) showed β coefficient 1,52 with 95% confidence interval 0,338-2,706 and p 0,015. Adjusted analysis to confounding variabel showed β coefficient 1,244 with 95% CI 0,032-2,457 and p 0,045.
Conclusion. Changes of pulmonary vascular resistance after mitral valve surgery in mitral stenosis pastient is positively correlated with heart rate recovery during exercise test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Kurnia
"Latar Belakang: Kondisi MS akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan atrium kiri secara progresif dan menyebabkan remodelling serta dilatasi atrium kiri. Proses ini akan berakhir dengan penurunan komplians dari atrium kiri dan menyebabkan perubahan secara morfologis dan fungsional. Beberapa studi menunjukkan pengukuran Strain atrium kiri pada pasca tindakan balloon mitral valvuloplasty (BMV) menunjukkan perbaikan yang bermakna. Namun belum ada yang menilai hubungan antara perubahan Strain atrium kiri dengan perbaikan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antara perubahan Strain atrium kiri dengan perubahan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah studi dengan one group pre-post design. Penelitian ini menggunakan data pemeriksaan ekokardiografi dan data kapasitas fungsional pasien mitral stenosis yang dilakukan tindakan BMV pada Maret 2019 hingga April 2020. Dilakukan pengukuran strain atrium kiri dengan metode speckle tracking echocardiography. Data sebelum dan sesudah BMV dianalisis untuk mencari hubungan variabel terhadap perubahan kapasitas fungsional.
Hasil: Pasca tindakan BMV, terjadi perbaikan signifikan kapasitas fungsional yang ditandai dengan perbaikan median lama latihan (241 (18 – 1080) ke 606 (80 – 1900) detik, p <0.0001) dan perbaikan median nilai VO2max estimasi (18,8 (10,2 – 51,4) ke 33(12,6-83,2) mlO2/kg/menit, p <0.0001). Strain atrium kiri mengalami perubahan signifikan pasca tindakan BMV dari median 8(2-23)% ke 11(4-27)%. Dari uji korelasi didapatkan bahwa pre-MVG (r 0,23, adjusted R2 = 4,9%) berkorelasi terhadap perubahan kapasitas fungsional. Pada analisis bivariat dan multivariat didapatkan bahwa perubahan strain atrium kiri tidak berhubungan dengan perubahan kapasitas fungsional. Nilai pra MVA >1 cm2 (OR 7,37, IK 95% 1,0-54,35; p = 0,05) pra MVG > 10 mmHg (OR 6,6, IK 95% 1,71-25,5; p = 0,006) dan pra mPAP < 25 mmHg (OR 5,96, IK 95% 1,37-25,9; p = 0,017) berkorelasi terhadap perbaikan lama latihan pasca tindakan BMV.
Kesimpulan: Perubahan strain atrium kiri tidak berhubungan dengan perubahan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.

Background: MS conditions will cause a progressive increase in left atrial pressure, remodelling and left atrial dilatation. This process will end with a decrease of left atrial compliance, causing morphological and functional changes. Several studies have shown that left atrial strain measurements after the BMV procedure showed significant improvement. However, no study has assessed the relationship between changes in left atrial strain and improvements in functional capacity in MS patients after the BMV procedure.
Objectives: This study aimed to evaluate the association between left atrial strain changes and functional capacity changes in MS patients after BMV procedures
Method: This is a one group pre-post design using retrospective data. This study used echocardiographic and functional capacity data of mitral stenosis patients who underwent BMV procedures from March 2019 to April 2020. Left atrial strain was measured using the speckle tracking echocardiography method. Data before and after BMV were analyzed to find the association of variables to changes in functional capacity.
Results: After the BMV procedure, there was a significant improvement in functional capacity as indicated by an improvement in the median length of exercise (241 (18 – 1080) to 606 (80 – 1900) seconds, p <0.0001) and an improvement in the median estimated VO2max value (18.8 (10.2). – 51.4) to 33(12.6-83.2) mlO2/kg/min, p < 0.0001). The left atrial strain underwent a significant change after the BMV procedure from a median of 8(2-23)% to 11(4-27)%. From the correlation test it was found that pre-MVG (r 0.23, adjusted R2 = 4.9%) correlated with changes in functional capacity. In bivariate and multivariate analysis, it was found that changes in left atrial strain were not associated with changes in functional capacity. Pre MVA value >1 cm2 (OR 7.37, CI 95% 1.0-54.35; p = 0.05) pre MVG > 10 mmHg (OR 6.6, CI 95% 1.71-25.5 ; p = 0.006) and pre mPAP < 25 mmHg (OR 5.96, CI 95% 1.37-25.9; p = 0.017) correlated with the improvement in duration of exercise after the BMV action.
Conclusion: Changes in left atrial strain are not associated with changes in functional capacity in MS patients after the BMV procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Yuli Setianto
"Latar belakang. Fibrillasi atrium (AF) merupakan jenis aritmia yang paling sering dijumpai terutama pada penderita stenosis mitral (MS). Atrium kanan mempunyai karakteristik anatomis tertentu yang menyebabkan halangan elektrofisiologis alamiah yang memungkinkan terjadinya sirkit reentry, schingga memudahkan timbulnya aritmia seperti halnya flutter atrium. Tujuan penclitian ini adalah untuk mengetahui apakah dimensi atrium kanan mempunyai peran yang lebih besar dan merupakan faktor risiko independen terhadap timbulnya AF pada penderita stenosis mitral dibanding dengan faktor lain. Metode dan hasil. Dilakukan penelitian secara potong lintang prospektif dengan menggunakan data base terhadap 42 penderita MS dominan yang dilakukan kateterisasi jantung dan/ valvuloplasti dengan balon (PTMC) antara bulan Juli s'd Descmber 1998 (selama 6 bulan). Tiga puluh penderita dimasukan dalam penelitian. Rasio laki-laki/ perempuan adalah 11/19, rerata umur 34,07 ± 11,58 tahun dengan rentang umur 16-64 tahun. Prosentase penderita AF sebanyak 46,7%. Penderita AF mempunyai umur yang lebih tua secara bermakna dibanding dengan penderita irama sinus (SR) (38,71 ±12,57 tahun vs 30,00 ± 9,18 tahun, p= 0,016). Kelas fungsional penderita AF lebih buruk secara bermakna dibanding kelompok SR (2,36 ± 0,50 vs 1,69 ± 0,60; p= 0,003). Fraksi ejeksi kelompok AF lebih rendah secara bermakna dibanding kelompok SR (54,12 + 10,71 % vs 68,69 t 6,50 %; p- 0,015). Kelompok AF mempunyai Cardio thoraccic ratio (CTR) lebih besar secara bermakna dibanding kelompok SR (62,64 ± 7,53 % vs 54,79 ± 5,32 %; p- 0,006). Area katup mitral dan gradien transmitral tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok. Sedang diameter akhir sistolik, diameter antero-posterior atrium kiri, luas permukaan atrium kanan, diameter medio-lateral atrium kanan, diameter supero inferior atrium kanan, dan volume atrium kanan lebih besar secara bermakna pada kelompok AF dibanding kelompok SR, (berurut-turut 3,264 ± 0,531 cm vs 2,649 ± 0,559 cm; p 0,005, 5,148 ± 1,025 cm vs 4,22 ±0,668 cm; p= 0,006, 3,997 ±0,927 cm vs 2,919 t0,785 cm; p- 0,000, 5,867 ± 0,666 cm vs 4,446 ± 0,738 cm; p= 0,002, 31,072±8,583 cm vs 17,488 ± 5,646 cm; p= 0,000, 52,435 ± 29,647 cm' vs 21,609 ± 11,517 cm'; p=0,001). Demikian pula tidak ada perbedaan bermakna dalam variabel hemodinanik di antara kedua kelompok AF dan SR. Dengan analisis multivariat menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan hanya luas permukaan atrium kanan yang berperan terhadap timbulnya AF. (p 0,0079; kocfisien regresi 0,407, OR= 1,503; CI 95% OR= 1,121 2,014) Kesimpulan. Pada penderita MS: Luas permukaan atrium kanan lebih berperan dan merupakan faktor risiko independen terhadap timbulnya AF dibanding dengan variabel lain termasuk dimensi atrium kiri."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Munawar
"Latar belakang. Stenosis mitralis (SM) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, dan fibrilasi atrium merupakan penyakit penyerta yang akan meningkatkan emboli sistemik, stroke dan mortalitas pasien. Diduga umpan balik mekano elektris dan remodeling elektris mempunyai peranan yang penting dalam mekanisme terjadinya tibrilasi atrium (FA) pada penyakit katup jantung. Untuk menguji hipotesis bahwa telah tejadi remodeling elektris intrinsik pada pasien SM, dan remodeling tersebut bersifat reversibel, malta telah dilakukan penelitian mengenai perubahan elektrotisiologis sesudah tindakan komisurotomi mitral transvena perkutan (KMTP). Bahan dan cara kerja. Tigapuluh satu pas ien SM yang dilakukan KMTP, 20 dengan irama sinus (IS) dan ll dengan FA persisten serta 10 pasien dengan jantung normal sebagai kelompok kelola dimasukkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan hemodinamik dan elektrotisiologi dilakukan sebelum dan segera sesudah KMTP. Semua pasien FA, dilakukan kardioversi eksternal sinkron sebelum dilakukan KMTP. Sebelum pemeriksaan elektrofisiologis, diberikan propranolol iv, 0,2 mg/kgbb dan sulfas atropin 0,004 mg/kbb untuk mem-blok aktiiitas saraf autonom. Pemeriksaan elektrofisiologi meliputi pemeriksaan periode refrakter efektif (PRE) di 6 tempat di atrium, waktu koduksi (WK) di atrium kanan dan kiri dan pengukuran elektrogram atrium di I8 tempat atrium kanan dan kiri. Hasil. Tidak terdapat perbedaan umur, dan jenis kelamin antara kelompok pasien SM dan kelompok kelola. PRE keselunlhan pada kelompok SM dan kelola yang diperoleh pada pacuan 600 milidetik tidak menunjukkan perbedaan bermakna Demikian pula pada pacuan 400 milidetik, tidak menunjukkan kemaknaan statistik Secara regional, PRE atrium lcanan dan kiri tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kelompok pasien SM dan kelola. Tetapi kelompok pasien SM mempunyai dispersi PRE lebih lebar dibanding dengan kelompok kelola. WK atrium kanan dan kiri kelompok pasien SM menunj ukkan perlambatan yang bermaltna dibanding dengan kelompok kelola. Di sebagian besar tempat atrium kanan dan kiri, voltase elektrogram atrium juga menunjukkan penurunan yang sangat bermakna. Tidak ada perbedaan dalam durasi elektrogram pada kedua kelompok. Potensial ganda dan elektrogram yang terpecah-pecah tidak ditemukan pada kedua kelompok. Tidak Lerdapat perbedaan bermakna dalam variabel hemodinamik antara kelompok SM disertai IS dengan disertai FA, namun terdapat perbedaan bermakna dalam variabel elektroflsiologi (re-modeling elektris) PRE rerata Secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik pada kelompok FAjauh lebih pendek dibanding dengan kelompok IS yang secara statistik berbeda bermakna. Demikian pula bila diukur pzlda interval pacuan 400 milidetik. Secara regional, PRE atrium kanan dan kiri kelompok FA lebih pendek dibanding dengan kelompok IS dan perbedaannya seeara statistik bermakna. Sedang dispersi PRE pada kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan kemaknaan statislik. WK di atrium kanan dan kiri pada kelompok FA lebih lambat dibandingkan dengan kelompok IS, dan perbedaannya secara statistik bermalma. Sebagian besar tempat di atrium tidak menunjukkan perbedaan voltase elektogram antara kelompok IS dan FA. Remodeling elektris ini bersifat reversibel setelah dilakukan KMTP. PRE rerata secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik sebelum dan sesudah dilakukan KMTP ialah 240,51-_39,2 milidetik vs 248,2i36,l mi1idetik(p=0,003). Demikian pula pada pengukuran dengan interval 400 mi1idetik(da.ri 228,2i35,3 milidetik vs 238,l i319 milidetik, p=0,000). Reversibilitas hanya terjadi terutama pada sebagian besar PRE atrium dan WK di atrium kiri, sedang besamya vol tase elektrogram lidak demikian halnya. Remodeling elektris atrium tersebut bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh susunan saraf autonom. Di samping pembuktian hipotesis di atas ditemukan pula variabel prediktor terhadap kejadian FA pada penderita SM yakni diameter atrium kanan medial-lateral yang diukur dengan ekokardiograti 2 dimensi (rasio odds 1,128 dengan KI 95% berkisar antara 1,012 sampai l,466), serta PRE atrium kanan bawah (rasio odds 0,952 dengan KI 95% anlara 0,907 - l,000). Kesimpulannya pada pasien SM telah terjadi remodeling elekuis yang mengarah texjadinya FA. Bilamana telah terjadi FA, maka remodeling elelctris akan makin memburuk. Walaupun demikian remodeling elektris yang terjadi bersifat reversibel dengan mengurangi regangan dinding atrium melalui KMTR Remodeling elektris dan reversibilitasnya bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh saraf autonom. Oleh karena itu intervensi dini dengan KMTP perlu dilakukan pada setiap pasien SM dengan keluhan, atau bilamana clijumpai pembesaran dimensi atrium kanan mediallateral.

Background: Mitral stenosis (MS) is one of the major health problems in developing countries. In addition, atrial fibrillation (AF) is one of the MS complication and had a consequence of higher systemic embolic rate including stroke and mortality. Mechano-electrical feedback and electrical remodeling in patients with valvular heart disease might be play an important role in the mechanism of atrial fibrillation (AF). To test the hypothesis that there was an intrinsic electrical remodeling in MS and this remodeling might be reversible, we investigated electrophysiological changes after percutaneous transvenous mitral commissurotomy (PTMC). Material and methods. Eleven MS patients with persistentAF and 20 patients with sinus rhythm (SR) were undergoing PTMC included in this study. Ten patients who underwent electrophysiologic study or ablation involving left atrial study were as control group. Autonomic nervous system was blocked using propranolol 0.2 mg/kgbw and atropine 0.04 mgfkgbw. Atrial effective refractory period (AERP) was measured at 2 sites in the right and 4 sites in the left atrium. The conduction time (CT) was measured at the right and left atrium using decapolar catheter. Atrial electrogram was measured on its amplitude, duration and number of fragments of the electrogram at 18 sites of the atrium. Results. There were no statistically differences in age and sex among the MS group and the control group. No significant difference in the overall AERP between the MS group and control group, but the MS group had a higher AERP dispersion tha.n the control group. The MS group had a lower conduction time (CT) than the control group and its difference was statistically significant. Most of the sites in the MS group were smaller than the control group. The duration of electrogram of both groups were similar. No double potential and fractionated electrograms were found in both groups. There were no statistical difference in the hemodynamic variables between the MS patients with SR (SR group) and AF group. The AF group had shorter overall AERP than the IS group and the difference was statistically significant- In most sites of the atrium, the voltage of the an-ial electrogram was lower in the AF group compared with the IS group. There was no significant difference in CT between both groups. The voltage of the atrial electrogram in both groups were similar. The overal AERP and the AERP of most sites of the atrium was increased after PTMC. The CT in left atrium not the right was shortened after PTMC. And the voltage of atrial electrogram became higher after PTMC. In addition, beside the above hypothesis tested, there were 2 independent predictors for AF in patients with MS, i.e. the medial-lateral right atrial dimension (OR 1.128 and 95% Cl 1.012 - l.466) and AERP of the low right atrium (OR 0.952, 95% CI 0.907 - L000). Conclusion: Patients with MS have an electrical remodeling due to atrial stretch. Atrial remodeling also occurs when the patients are getting atrial fibrillation. But fortunately these electrophysiological changes will be reversible when PTMC is performed. The electrical remodeling and its reversibility is an intrinsic atrial property, not influenced by the autonomic nervous system. Earlier intervention should he performed to prevent AF for every symptomatic MS patient or asymptomatic with increased medial-lateral right atrial dimension."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D616
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Munawar
"Latar belakang. Stenosis mitralis (SM) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, dan fibrilasi atrium merupakan penyakit penyerta yang akan meningkatkan emboli sistemik, stroke dan mortalitas pasien. Diduga umpan balik mekano elektris dan remodeling elektris mempunyai peranan yang penting dalam mekanisme terjadinya tibrilasi atrium (FA) pada penyakit katup jantung. Untuk menguji hipotesis bahwa telah tejadi remodeling elektris intrinsik pada pasien SM, dan remodeling tersebut bersifat reversibel, malta telah dilakukan penelitian mengenai perubahan elektrotisiologis sesudah tindakan komisurotomi mitral transvena perkutan (KMTP). Bahan dan cara kerja. Tigapuluh satu pas ien SM yang dilakukan KMTP, 20 dengan irama sinus (IS) dan ll dengan FA persisten serta 10 pasien dengan jantung normal sebagai kelompok kelola dimasukkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan hemodinamik dan elektrotisiologi dilakukan sebelum dan segera sesudah KMTP. Semua pasien FA, dilakukan kardioversi eksternal sinkron sebelum dilakukan KMTP. Sebelum pemeriksaan elektrofisiologis, diberikan propranolol iv, 0,2 mg/kgbb dan sulfas atropin 0,004 mg/kbb untuk mem-blok aktiiitas saraf autonom. Pemeriksaan elektrofisiologi meliputi pemeriksaan periode refrakter efektif (PRE) di 6 tempat di atrium, waktu koduksi (WK) di atrium kanan dan kiri dan pengukuran elektrogram atrium di I8 tempat atrium kanan dan kiri. Hasil. Tidak terdapat perbedaan umur, dan jenis kelamin antara kelompok pasien SM dan kelompok kelola. PRE keselunlhan pada kelompok SM dan kelola yang diperoleh pada pacuan 600 milidetik tidak menunjukkan perbedaan bermakna Demikian pula pada pacuan 400 milidetik, tidak menunjukkan kemaknaan statistik Secara regional, PRE atrium lcanan dan kiri tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kelompok pasien SM dan kelola. Tetapi kelompok pasien SM mempunyai dispersi PRE lebih lebar dibanding dengan kelompok kelola. WK atrium kanan dan kiri kelompok pasien SM menunj ukkan perlambatan yang bermaltna dibanding dengan kelompok kelola. Di sebagian besar tempat atrium kanan dan kiri, voltase elektrogram atrium juga menunjukkan penurunan yang sangat bermakna. Tidak ada perbedaan dalam durasi elektrogram pada kedua kelompok. Potensial ganda dan elektrogram yang terpecah-pecah tidak ditemukan pada kedua kelompok. Tidak Lerdapat perbedaan bermakna dalam variabel hemodinamik antara kelompok SM disertai IS dengan disertai FA, namun terdapat perbedaan bermakna dalam variabel elektroflsiologi (re-modeling elektris) PRE rerata Secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik pada kelompok FAjauh lebih pendek dibanding dengan kelompok IS yang secara statistik berbeda bermakna. Demikian pula bila diukur pzlda interval pacuan 400 milidetik. Secara regional, PRE atrium kanan dan kiri kelompok FA lebih pendek dibanding dengan kelompok IS dan perbedaannya seeara statistik bermakna. Sedang dispersi PRE pada kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan kemaknaan statislik. WK di atrium kanan dan kiri pada kelompok FA1ebih lambat dibandingkan dengan kelompok IS, dan perbedaannya secara statistik bermalma. Sebagian besar tempat di atrium tidak menunjukkan perbedaan voltase elektogram antara kelompok IS dan FA. Remodeling elektris ini bersifat reversibel setelah dilakukan KMTP. PRE rerata secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik sebelum dan sesudah dilakukan KMTP ialah 240,51-_39,2 milidetik vs 248,2i36,l mi1idetik(p=0,003)_ Demikian pula pada pengukuran dengan interval 400 mi1idetik(da.ri 228,2i35,3 milidetik vs 238,l i319 milidetik, p=0,000). Reversibilitas hanya terjadi terutama pada sebagian besar PRE atrium dan WK di atrium kiri, sedang besamya vol tase elektrogram lidak demikian halnya. Remodel ing elektris atrium tersebut bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh susunan saraf autonom. Di samping pembuktian hipotesis di atas ditemukan pula variabel prediktor terhadap kejadian FA pada penderita SM yakni diameter atrium kanan medial-lateral yang diukur dengan ekokardiograti 2 dimensi (rasio odds 1,128 dengan KI 95% berkisar antara 1,012 sampai l,466), serta PRE atrium kanan bawah (rasio odds 0,952 dengan KI 95% anlara 0,907 - l,000). Kesimpulannya pada pasien SM telah teijadi remodeling elekuis yang mengarah texjadinya FA. Bilamana telah terjadi FA, maka remodeling elelctris akan makin memburuk. Walaupun demikian remodeling elektris yang terjadi bersifat reversibel dengan mengurangi regangan dinding atrium melalui KMTR Remodeling elektris dan reversibilitasnya bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh saraf autonom. Oleh karena itu intervensi dini dengan KMTP perlu dilakukan pada setiap pasien SM dengan keluhan, atau bilamana clijumpai pembesaran dimensi atrium kanan mediallateral.

Background: Mitral stenosis (MS) is one of the major health problems in developing countries. In addition, atrial fibrillation (AF) is one of the MS complication and had a consequence of higher systemic embolic rate including stroke and mortality. Mechano-electrical feedback and electrical remodeling in patients with valvular heart disease might be play an important role in the mechanism of atrial fibrillation (AF). To test the hypothesis that there was an intrinsic elec-trical remodeling in MS and this remodeling might be reversible, we investigated electrophysiological changes after percutaneous transvenous mitral commissurotomy (PTMC). Material and methods. Eleven MS patients with persistentAF and 20 patients with sinus rhythm (SR) were undergoing PTMC included in this study. Ten patients who underwent electrophysiologic study or ablation involving left atrial study were as control group. Autonomic nervous system was blocked using propranolol 0.2 mg/kgbw and atropine 0.04 mgfkgbw. Atrial effective refractory period (AERP) was measured at 2 sites in the right and 4 sites in the left atrium. The conduction time (CT) was measured at the right and left atrium using decapolar catheter. Atrial electrogram was measured on its amplitude, duration and number of fragments of the electrogram at 18 sites of the atrium. Results. There were no statistically differences in age and sex among the MS group and the control group. No significant difference in the overall AERP between the MS group and control group, but the MS group had a higher AERP dispersion tha.n the control group . The MS group had a lower conduction time (CT) than the control group and its difference was statistically significant. Most of the sites in the MS group were smaller than the control group. The duration of electrogram of both groups were similar. No double potential and fractionated electrograms were found in both groups. There were no statistical difference in the hemodynamic variables between the MS patients with SR (SR group) and AF group. The AF group had shorter overall AERP than the IS group and the difference was statistically significant- In most sites of the atrium, the voltage of the an-ial electrogram was lower in the AF group compared with the IS group. There was no significant difference in CT between both groups. The voltage of the atrial electrogram in both groups were similar. The overal AERP and the AERP of most sites of the atrium was increased after PTMC. The CT in left atrium not the right was shortened after PTMC. And the voltage of atrial electrogram became higher after PTMC. In addition, beside the above hypothesis tested, there were 2 independent predictors for AF in patients with MS, i.e. the medial-lateral right atrial dimension (OR 1.128 and 95% Cl 1.012 - l.466) and AERP of the low right atrium (OR 0.952, 95% CI 0.907 - L000). Conclusion: Patients with MS have an electrical remodeling due to atrial stretch. Atrial remodeling also occurs when the patients are getting atrial fibrillation. But fortunately these electrophysiological changes will be reversible when PTMC is performed. The electrical remodeling and its reversibility is an intrinsic atrial property, not influenced by the autonomic nervous system. Earlier intervention should he performed to prevent AF for every symptomatic MS patient or asymptomatic with increased medial-lateral right atrial dimension.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D752
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Gilang Rejeki
"Latar Belakang : Stenosis mitral (SM) merupakan suatu lesi obstruksi katup mitral yang memerlukan terapi definitif suatu tindakan mekanik. Di Indonesia, prevalensinya masih cukup tinggi dengan penyebab yang multifaktorial; di antaranya waktu tunggu untuk antrian dari penjadwalan intervensi di era Jaminan Kesehatan Nasional. Kondisi pasien yang hadir terlambat dan waktu tunggu yang lama dapat memperburuk keadaan pasien. Pada SM, serangkaian neurohormonal teraktivasi. Penyekat enzim konversi angiotensin (EKA) dapat menghambat aktivasi renin-angiotensi-aldosteron (RAA), memperbaiki kondisi pasien selama menunggu jadwal operasi. Namun, pemberian penyekat EKA masih kontroversial.
Tujuan : Untuk menilai keamanan dan pengaruh pemberian penyekat EKA dosis kecil pada pasien SM tanpa hipotensi terhadap six minute walk test (6MWT) dan N-Terminal pro B type natriuretic peptide (NT-proBNP).
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak yang tersamar ganda. Sampel diambil secara konsekutif dan dilakukan randomisasi blok, untuk pemberian lisinopril 2,5 mg atau plasebo. Setiap subyek dilakukan ekokardiografi, 6MWT dan pemeriksaan laboratorium sebelum diberikan perlakuan. Evaluasi serupa dilakukan pada setiap subyek setelah 4 minggu.
Hasil Penelitian : Terdapat 37 subyek yang berhasil dilakukan analisis; 19 pasien pada kelompok perlakuan dan 18 pasien pada kelompok kontrol. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada perubahan NT-proBNP dan 6MWT pada kedua kelompok (∆ NT proBNP 59 (-6747) - 2145) vs (-166) (-1495 - 1664) pg/mL; p = 0.443) dan (∆ 6 MWT 11.66 + 73 vs 21.37 + 47; p = 0.638). Tidak didapatkan pula perbedaan tekanan darah serta isi sekuncup yang bermakna antara kedua kelompok paska perlakukan, median isi sekuncup pada kelompok perlakuan 54 (34 - 74) vs 45 (34 - 94), p = 0.126.
Kesimpulan : Pemberian penyekat EKA dosis kecil pada pasien SM tanpa keadaan hipotensi aman, namun tidak meningkatkan pencapaian 6MWT dan tidak meurunkan kadar NT-proBNP.

Background : Mitral stenosis (MS) is an obstructive lesion in which the definitive therapy is mechanical intervention. The prevalence of MS in developed countries has been decreasing due to the development of mechanical intervention. In Indonesia the prevalence remains high especially in the era of national health coverage, there are too many patients queuing for mitral valve operation. By this situation, we want to know if the angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor could reduce the burden of symptoms and other neurohormonal activation such as NT-proBNP in MS patients. There are many controversies to the use of ace inhibitor in MS patients, questioning the benefit and safety of ace inhibitor to these patients.
Objective : To study the safety and efficacy of low dose ACE inhibitor towards six minute walk test (6MWT) and N-Terminal pro B type natriuretic peptide (NT-proBNP) in Mitral Stenosis Patients without Hypotension.
Methods : This study is a double blind randomized control trial. Sample was taken consecutively, and randomized to be given lisinopril 2.5mg or placebo. Every patient was assigned for echocardiography evaluation, 6MWT, and laboratory examination before and after intervention.
Result : 37 patients were included in the analysis; 19 was in the intervention group, 18 patient was in the placebo group. No significant difference were found between the two groups in terms of NT-proBNP and 6MWT, (∆ NT proBNP 59 (-6747) - 2145) vs (166) (-1495 - 1664) pg/mL; p=0.443) dan (∆ 6 MWT 11.66 + 73 vs 21.37 + 47; p = 0.638). In terms of blood pressure and stroke volume, there was also no significant difference between the two groups after intervention, median for stroke volume in intervention group and control group were 54 (34 - 74) vs45 (34 - 94), p = 0.126.
Conclusion : Low dose ACE inhibitor is safe to be given in MS patient without hypotension, however, it did not increase functional capacity measured by 6MWT, neither improve NT-proBNP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Maruli Wisnu Wardhana
"Latar Belakang: Restenosis katup mitral didefinisikan sebagai penurunan mitral valve area (MVA) <1,5 cm2 atau penurunan MVA >50% pasca KMTP. Restenosis katup mitral bersifat time-dependent dan dikaitkan dengan major adverse cardiovascular events (MACE), seperti gagal jantung kongestif, kematian, operasi penggantian katup dan KMTP ulangan. Mekanisme penyebab restenosis katup mitral belum diketahui secara pasti tetapi diduga berkaitan dengan proses inflamasi kronik.
Tujuan: Mengetahui hubungan inflamasi kronik dengan restenosis katup mitral pasca KMTP.
Metode: Total 40 pasien stenosis katup mitral yang telah menjalani tindakan KMTP dikelompokkan menjadi kelompok kasus (n=20) dan kelompok kontrol (n=20) berdasarkan matching. Diambil data sekunder dari rekam medis berupa karakteristik pasien (jenis kelamin, usia dan profilaksis sekunder), data ekokardiografi pre KMTP (Skor Wilkins dan MVA pre KMTP), dan data ekokardiografi post KMTP (MVA pasca KTMP). Dilakukan pemeriksaan ekokardiografi (MVA follow-up) dan pemeriksaan lab (kadar IL-6). Kemudian dilakukan analisis statistik untuk mencari hubungan antara kadar penanda inflamasi kronik serta variabel bebas lainnya dengan restenosis katup mitral.
Hasil: Median konsentrasi IL-6 adalah 2,39 (0,03 - 11,4) pg/mL. Tidak terdapat perbedaan statistik yang bermakna kadar IL-6 pada kedua kelompok (nilai p >0,05). Penurunan MVA adalah 0,13 (0 - 0,62) cm2/tahun dengan laju penurunan MVA ≥0,155 cm2/tahun merupakan prediktor kejadian restenosis katup mitral (nilai p <0.001, OR = 46,72, 95% CI 6,69 - 326,19).
Simpulan: Inflamasi kronik yang dinilai dengan IL-6 tidak berhubungan dengan restenosis katup mitral.

Background: Mitral valve restenosis is defined as decreased mitral valve area (MVA) <1.5 cm2 or decreased MVA >50% after PTMC. It is time-dependent and associated with major adverse cardiovascular events (MACE), such as congestive heart failure, cardiac death, mitral valve replacement, and redo PTMC. The mechanism is not yet known; however, chronic inflammation may have a role.
Objective: To know the association between chronic inflammation and mitral valve restenosis after PTMC.
Methods: A total of 40 patients with mitral valve stenosis who underwent successful PTMC were matched and classified into restenosis/case group (n=20) and no restenosis/control group (n=20). Secondary data was taken from electronic medical records such as patient characteristics (gender, age & 2nd prophylaxis), echocardiography data before PTMC (Wilkins’ score and MVA before PTMC), and echocardiography data after PTMC (MVA after PTMC). Follow-up echocardiography examination (follow-up MVA) and laboratory assessment of chronic inflammation marker (IL-6) were done on all patients. Statistical analyses were done to look for an association between the level of chronic inflammation marker & other independent variables with mitral valve restenosis.
Results: Median IL-6 concentration was 2.39 (0.03 - 11.4) pg/mL. There was no statistically significant difference in IL-6 levels between both groups (p-value >0.05). MVA decrement was 0.13 (0 - 0.62) cm2/year with rate of MVA decrement ≥0.155 cm2/year was predictor of mitral valve restenosis (p-value <0.001, OR = 46.72, 95% CI 6.69 - 326.19).
Conclusion: Chronic inflammation assessed by IL-6 was not associated with mitral valve restenosis
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Edhiningtyas Damaiati
"Latar belakang: Stenosis mitral (SM) berat gradien rendah didefinisikan dengan mitral valve area (MVA) <1.5 cm2 dan gradien transmitral <10 mmHg. Perubahan fungsi atrium kiri merupakan salah satu mekanisme yang mendasari SM berat gradien rendah, dimana dapat dianalisis dengan strain atrium kiri. Komisurotomi Mitral Transkateter Perkutan (KMTP) adalah pilihan utama pasien dengan SM berat tanpa kontraindikasi. Tujuan: Membandingkan perubahan nilai strain atrium kiri dengan Peak Atrial Longitudinal Strain (PALS) antara pasien SM berat gradien rendah dan tinggi pasca KMTP. Metode: Pasien SM berat yang berhasil dilakukan KMTP dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gradien rendah dan gradien tinggi. Dengan menggunakan ekokardiografi speckle tracking, nilai PALS diukur pada 24-48 jam sebelum KMTP dan 7-14 hari setelah KMTP. Kemudian nilai PALS antara kedua kelompok dianalisis menggunakan uji statistik Mann-Whitney. Hasil: Terdapat 32 pasien (46%) pada kelompok gradien rendah dan 39 pasien (54%) pada kelompok gradien tinggi. Subjek dengan SM berat gradien rendah cenderung lebih tua, memiliki irama jantung fibrilasi atrium, memiliki baseline MVA yang lebih besar, dan memiliki nilai net atrioventricular compliance (Cn) yang lebih tinggi. Nilai PALS rendah pada kedua kelompok dan mengalami perbaikan pasca KMTP [8%(2–23) vs. 11%(3–27), p<0.0001]. Tidak terdapat perbedaan antara PALS sebelum KMTP, setelah KMTP, dan perbedaannya (delta) antara kedua kelompok. Analisis subgrup pasien dengan irama jantung sinus menunjukan perbedaan nilai PALS antara kelompok gradien rendah dan tinggi pre KMTP (15±4% vs. 11±5%, p=0.030) dan post KMTP (19±4% vs. 15±4%, p=0.019). Analisis multivariat menemukan bahwa irama jantung merupakan variabel independent terkuat dalam mempengaruhi nilai PALS. Kesimpulan: Fungsi reservoir atrium kiri, yang dinilai dengan PALS mengalami penurunan pada pasien SM berat dan meningkat pasca KMTP, tanpa dipengaruhi oleh baseline MVG.

Background: Low gradient severe mitral stenosis (LGMS) is defined as mitral valve area (MVA) less than ≤ 1.5 cm2 and mitral valve gradient (MVG) < 10 mmHg. Functional changes in the left atrium (LA) are one of the mechanisms that follow LGMS, which can be assessed using strain analysis. Balloon Mitral Valvotomy (BMV) is the treatment of choice for suitable MS patients without contraindications. Objective: This study compared changes in Peak Atrial Longitudinal Strain (PALS) following BMV between low- and high-gradient severe MS patients. Methods: We included MS patients who underwent a successful BMV and divided into LGMS group and high-gradient mitral stenosis (HGMS) group. Using speckle tracking echocardiography, PALS was assessed 24–48 hours before and 7–14 days after BMV procedure. Then, the PALS values were compared between those two groups using Mann- Whitney. Results: There were 32 patients (46%) in the low-gradient MS group and 39 patients (54%) in the high-gradient MS group. Subjects with LGMS were older, had more atrial fibrillation, had a larger baseline MVA, and had higher net atrioventricular compliance (Cn). The PALS values were low in both groups and improved significantly following BMV [8%(2–23) vs. 11%(3– 27), p<0.0001]. There were no differences in PALS values before, after BMV, and its absolute changes between the groups. Subgroup analysis in subjects with sinus rhythm revealed PALS differences between low and high-gradient MS pre (15±4% vs. 11±5%, p=0.030) and post- BMV (19±4% vs. 15±4%, p=0.019). Multivariate analysis identified heart rhythm as the strongest independent variable for PALS values. Conclusion: Left atrial reservoir function, as assessed by PALS, was reduced in patients with severe MS and was increased following BMV, irrespective of their baseline MVG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>