Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132611 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Gustiana
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai variasi morfologi organ vegetatif
tanaman bidara upas (Merremia mammosa) yang dikumpulkan di daerah jawa
serta aktivitasnya sebagai anti-plasmodium secara in-vitro. Penelitian bertujuan
untuk memperoleh informasi karakter morfologi organ vegetatif tanaman bidara
upas dan aktivitas anti-plasmodium secara in-vitro. Tahapan penelitian meliputi
pengambilan sampel di lapangan, pengamatan morfologi secara visual, ekstraksi,
skrining fitokimia, uji aktivitas antimalaria ssecara in-vitro. Hasil penelitian
menunjukkan sembilan sampel tanaman yang diamati membentuk dua kelompok
utama yaitu kelompok PKL, HAJ dan Purwakarta serta kelompok JJ, HAA,
Balittro, KRP, NL dan KRB. Dua kelompok utama dapat dibedakan berdasarkan
karakter permukaan daun lebih agak kasar (HAJ) atau lebih licin mengkilat
(Purwaka), bentuk umbi, warna pangkal umbi,warna permukaan umbi, banyaknya
serat umbi, warna daging umbi setelah kering, kulit umbi, getah umbi dan warna
akar umbi. Hasil skrining fitokimia kesembilan sampel umbi tanaman bidara upas
(Merremia mammosa) menunjukkan bahwa kesembilan umbi tanaman bidara
upas memiliki kandungan senyawa aktif yang sama yaitu mengandung senyawa
flavonoid, saponin dan terpenoid. Sehingga secara fitokimia, dari kesembilan
sampel esktrak n-heksan umbi bidara upas, diambil satu sampel yaitu sampel
ekstrak n-heksan dari Juragan Jamu (JJ) dari Sleman Jogyakartau ntuk diuji
aktivitas anti-plasmodium. Hasil uji aktivitas anti-plasmodium menunjukkan
bahwa ekstrak n-heksan umbi bidara upas bersifat anti-plasmodium dengan nilai
IC50 3,36, sehingga umbi bidara upas memiliki aktivitas kuat sebagai antiplasmodium
secara in-vitro.

ABSTRACT
Morphological Variation study on plant vegetative organs of bidara upas
(Merremia mammosa) collected in the area of Java and its activities antiplasmodium
as in-vitro. The aim of the study is to obtaining information on
morphological characters of vegetative organs of plants bidara upas collected in
the area Java and anti-plasmodium activity in vitro. The study include field
sampling, visual morphological observation, extraction, phytochemical screening,
and testing antimalarial activity in-vitro. The results showed whole plant samples
were observed to form two main groups, namely the first group of PKL, HAJ and
Purwakarta and a second group consisting of JJ, HAA, Balittro, KRP, NL and
KRB. The two main groups can be distinguished by the character form bulbs,
tubers base color, the color of the surface of the bulb, the amount fiber of bulb,
such as tuber flesh color after drying, tubers, bulbs and color sap tuber. The results
of nine samples of phytochemical screening tubers of plants bidara upas
(Merremia mammosa) showed that all nine plant bulbs bidara upas contains
flavonoids, saponins and terpenoids. So that phytochemicals, of the nine samples
of n-hexane extract the tubers bidara upas, was taken one sample of n-hexane
extracts of Juragan Jamu (JJ) from Yogyakarta's Sleman was tested antiplasmodium
activity. Anti-plasmodium activity test results showed that n-hexane
extract the tubers are bidara upas anti-plasmodium with IC50 values of 3.36, so the
bulbs bidara upas have strong activity as anti-plasmodium in vitro"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwarni
"Kultur Plasmodium falciparum in vitro yang selama ini dilakukan, membutuhkan serum manusia dalam jumlah yang cukup besar sebagai suplemen medianya yaitu 10 % dari volume media yang diperlukan. Disamping itu, tidak semua serum manusia dapat dipakai karena adanya beberapa faktor yang dapat menghambat pertumbuhan parasit, diantaranya adalah faktor imunologi dan kandungan atau adanya virus yang patogen terutama virus hepatitis. Sehingga perlu dicari alternatif suplemen lain sebagai pengganti serum manusia. Dalam studi ini akan diteliti pengaruh penggunaan serum hewan, dalam hal ini sapi dan biri-biri terhadap pertumbuhan P. falciparum in vitro, sehingga dapat dipertimbangkan kemungkinan penggunaannya sebagai pengganti serum manusia sebagai suplemen dalam media kultur.
P. falciparum strain Irian nomer kode 2300 dengan kepadatan parasit awal 0,5% dikultur dalam 30 cawan petri yang berdiameter 5 cm. Pada setiap 10 cawan petri diberi media kultur dengan suplemen serum yang berbeda, yaitu media kultur dengan suplemen serum sapi, serum biri-biri dan serum manusia sebagai pembanding. Pertumbuhan parasit di setiap cawan petri diikuti setiap hari selama 35 hari, dan kepadatan parasit dihitung per 10.000 eritrosit.
Didapatkan bahwa pertumbuhan P. falciparum dalam media kultur dengan suplemen serum sapi adalah <1 kali - 8 kali kepadatan parasit pada awal kultur, dengan suplemen serum biri-biri kepadatan parasitnya mencapai 5 kali - 17 kali kepadatan semula, sedangkan pada kultur dengan suplemen serum manusia kepadatan parasitnya menjadi 4 sampai 19 kali kepadatan parasit pada awal kultur.

In vitro cultivation of Plasmodium falciparum needs a large amount of human sera (about 10 % of the culture media) as culture supplement. But, not all of human sera can be used, since there are several factors which might affect parasites development, among others are immunological factors and viral infections, especially hepatitis viruses. Alternatives supplement is needed to be considered for parasite culture in the future. In this study, animals sera (cows and sheeps) will be used as alternatives supplement for the culture media.
P. falciparum Irian strain code number 2300 was cultured in 30 plates (petri dishes with 5 cm diameter), the initial parasite density was 0,5%. Every 10 culture plates were suplemented with different sera, cow's sera, sheep's sera and human's sera as a Gold standard.
Parasite's development was observed every 24 hours for 35 days, and the density of parasites was count per 10,000 red blood cells.
The multiplication of P. falciparum cultured in media supplemented with cow's sera were < 1 to 8 times of the initial parasites density, in the supplement of sheep's sera the multiplication were 5 to 17 times and in human's sera supplement, the multiplication were 4 to 19 times.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Hui, Ling Liem
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Vitamin A berperan terhadap fungsi mengatur sistem imun tubuh baik imunitas humoral maupun seluler. Kekebalan terhadap infeksi malaria berkembang secara perlahan-lahan tergantung pada intensitas paparan infeksi.
Beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan terbalik antara kadar retinol darah dengan parasit baik secara kualitatif maupun kuantitatif serta ada tidaknya gejala klinis.Sedangkan tolok ukur keberhasilan pengobatan adalah jumlah parasit dan ada tidaknya gejala Minis. Oleh karena itu dilakukan pengukuran kadar retinol dalam darah terhadap penderita malaria yang telah diberikan pengobatan obat standar malaria (klorokui atau sulfadoksin-pirimetamin) sesuai dengan berat badan penderita.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pemberian obat antimalaria akan lebih efcktif pada individu dengan kadar retinol tinggi dibandingkan dengan individu dengan kadar retinol rendah. Penelitian ini merupakan studi nested case control yaitu suatu studi case control yang bersarang pada proses penelitian kohort retrospektif. Sebanyak 69 orang penderita malaria falciparum yang datang berobat ke Puskesrnas Hanura, Lampung Selatan diobati dengan klorokuin atau sulfakksin-pirimetamin (pemberian obat dilakukan secara randomisasi) dengan dosis sesuai dengan berat badan. Pasien tersebut diamati selama 28 hari untuk dilakukan uji in vivo efikasi that malaria sesuai dengan kriteria WHO. Terhadap 56 dari 69 penderita tersebut kemudian diperiksa kadar retinol serum.
Basil dan Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar retinol dengan jumlah parasit (p= 0,028) dan dengan suhu tubuh (p0,026). Sebanyak 48,2% (27156) penderita yang diperiksa kadar retinol berhasil dalam pengobatan, sedangkan 51,8% (29156) penderita gagal dalam pengobatan. Tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar retinol dengan keberhasilan pengobatan (p=4,064), tetapi secara klinis kadar retinol z4,7 lcMo1/L mempunyai peluang untuk berhasil dalam pengobatan sebesar 2,857 kali dibandingkan dengan kelompok retinol <0,7 p.MoIIL.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah kemungkinan ada pengaruh Minis kadar retinol dengan keberhasilan pengobatan malaria (terutama dengan klorokuin), meskipun secara statistik tidak bermakna, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilman Fathurohman
"Plasmodium falciparum menggunakan protein EBA140 sebagai salah satu protein yang berperan pada proses invasi ke dalam sel darah merah. Polimorfisme domain F1 gen EBA-140 diketahui memengaruhi spesifisitas perlekatan protein EBA-140 pada reseptor di permukaan sel darah merah. Variasi tipe alel Gerbich pada gen GYPC yang merupakan reseptor bagi EBA-140 juga dapat memengaruhi kemampuan protein ligan EBA-140 dalam berikatan dengan reseptor GYPC di permukaan sel darah merah.
Penelitian mengenai keragaman sekuens asam amino domain F1 gen EBA-140 dan variasi alel Gerbich gen GYPC telah dilakukan terhadap 18 isolat klinis P. falciparum yang berasal dari kabupaten Bangka Barat (n = 5), kabupaten Bangka Tengah (n = 4), dan kabupaten Mimika (n = 9). Amplifikasi gen EBA-140 dari isolat parasit malaria dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Selanjutnya fragmen DNA parasit diperbanyak dengan metode kloning ke dalam sel bakteri Escherichia coli.
Analisis hasil sekuens asam amino domain F1 menunjukkan adanya 7 haplotipe gen EBA-140 dari ketiga daerah tersebut. Tiga haplotipe yaitu ISTK, DSTK, dan ISRE merupakan haplotipe baru yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Analisis variasi alel Gerbich pada gen GYPC menunjukkan tidak ada delesi ekson 3 pada gen GYPC pada ketiga daerah tersebut. Informasi mengenai keragaman haplotipe gen EBA-140 dan gen GYPC dapat dijadikan sebagai acuan dalam mendesain vaksin berbasis gen EBA-140 yang efektif memberantas P. falciparum di Indonesia.

Plasmodium falciparum utilizies the EBA140 as one of its proteins to invade the red cells. Polymorphisms at the domain F1 of EBA-140 gene have been known to affect the ligand recognition to its corresponding protein receptors glycophorin C (GYPC) or Gerbich antigen. Deletion on the GYPC gene, known as Gerbich blood-type, is known to prevent the parasite invasion using this pathway. Polymorphisms on the GYPC gene could alter the ability of EBA-140 ligand to bind to GYPC receptor on the surface of erythrocyte. Plasmodium falciparum clinical isolates from West Bangka (n = 5), Central Bangka (n = 4), and Mimika regencies (n = 9) were studied for their EBA-140 and GYPC gene polymorphisms. Parasite DNA was amplified using Polymerase Chain Reaction (PCR) and subsequently cloned into Escherichia coli.
Amino acid sequence analysis of the F1 domain showed that there were seven haplotypes of EBA-140 gene from all locations. Three haplotypes of EBA-140 (ISTK, DSTK, ISRE) detected in this study were new haplotypes that had not been reported previously. Analysis on the Gerbich allele detected no exon 3 deletion on the GYPC gene from all location. These findings provide useful information if the vaccine involving the EBA-140 component would be developed.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S56171
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sorontou, Yohanna
"Protein EBA-175 (Erythrocyte binding antigen-175) plasmodium falciparum merupakan ligan yang memperantarai perlekatan merozoit pada residu asam sialat glikoforin A pada eritrosit manusia dan oleh karena itu memegang peranan yang sangat penting pada invasi sel. Gen penyandi protein ini, eba-175 telah dibuktikan memiliki alel dimorfik, FCR (F) dan CAMP (C) yang dilaporkan berkaitan dengan manifestasi klinis malaria. Alel ini ditandai oleh adanya insersi nuleotida sebesar 423 pb pada alel F dan 342 pb pada alel C.
Suatu penelitian epidemiologi molekul yang bertujuan untuk menentukan frekuensi distribusi kedua alel tersebut serta kaitannya dengan manifestasi klinis malaria telah dilaksanakan pada isolat-isolat P. falciparum yang dikumpulkan dari pasien-pasien malaria asimptomatik dan simptomatik di Kabupaten Jayapura. Provinsi Papua melalui survei malariometrik dan pengumpulan sampel di pusat-pusat pelayanan kesehatan.
Analisis dengan teknik penggadaan DNA (Polymerase chain reaction) 110 isolat dari pasien asimptomatik dan 100 isolat dari pasien simptomatik menunjukkan bahwa alel C merupakan alel yang dominan pada kedua kelompok tersebut, dengan frekuensi distribusi pada malaria asimp-tomatik; alel C: 62.7%, alel C/F: 8%. Uji statistik dengan Chi-square menunjukkan tidak adanya keterkaitan antara alel-alel tersebut di atas dengan manifestasi klinis malaria.
Pengobatan kasus malaria dengan obat antimalaria sulfadoksin-pirimetamin (SP) menunjukkan adanya perubahan yang bermakna pada distribusi kedua alel tersebut dan dimana alel C ditemukan berkaitan dengan kegagalan pengobatan SP. Hasil-hasil yang diperoleh berbeda secara bermakna dengan frekuensi distribusi alel gen eba-175 yang dilaporkan di beberapa negara endemis malaria dimana alel F merupakan alel dominan. Dominasi alel C di Papua kemungkinan sebagian dapat dikaitkan dengan resistensi relatif alel tersebut terhadap obat SP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
D624
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meizi Fachrizal Achmad
"Ruang Lingkup dan Cara penelitian : Resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin diltubungkan dengan mutasi titik gen Pfcrt sehingga diduga menyebabkan meningkatnya efflux klorokuin dari vakuola makanan. Penelitian pada beberapa riegara secant in vivo memo rikan hasil yang berbeda pada daerah yang berbeda. Indonesia adalah salah satu negara endemik malaria dimana penggunaan klorokuin sejak lama telah memacu timbulnya resistensi dan saat ini bampir 50 % P. falcipaaum telah resisten terhadap klorokuin. Untuk menentukan apakah klorokuin masih dapat dipakai sebagai first line therapy, diperlukan analisa mutasi Plot yang berguna untuk memberikan masikan dalam kebijakan pengobatan di suatu daerah. Sampel penelitian ini adalah P. falciparurn yang didapat dari pasien yang datang berobat ke Puskesmas Kenarilang (Alor) kemudan diberi klorokuin 25 mglkgbb selama 3 hari dan dilakukan pengamatan selama 28 hari. Dan spot darah pasien, DNA P. falciparum diekstrak dengan menggunakan metode Meier dan selanjutnya dilakukan amplifikasi DNA dengan primer yang menyandi gen Pfcrt. Hasil amplifikasi dipotong dengan menggunakan enzim restriksi untuk melihaQ. adanya mutasi.
Hasil dan Kesimpulan : Angka endemisitas malaria di Alor sebesar 65,9 % (1921292) dengan prevalensi malaria falsiparum sebesar 28,9 % (871292) sebagai infeksi tunggal dan 4,4 % (131292) sebagai infeksi campur. Sedangkan aagka kegagalan pengobatan sebesar 65 % (26140) dan diantaranya disebabkan oleh resistensi parasit terhadap klorokuin sebesar 56,3 % (18132). Mutasi pada kodon 76 Pfcrt memperlihatkan hubungan yang sangat bermakna dengan kegagalan pengobatan (p r 0,05). Selma penderits yang gagal dalam pengobatan (resisten) ternyata mengandung parasit yang mengalami mutasi pada gen Pfcrt sebesar 100 % (18/18). berdasarkan kriteria WHO, Alor dimasukkan ke dalam kategori "change period'.
Dengan demikian penggunaan klorokuin sebagai obat pilihan pertama pada pengobatan malaria falsiparum di Alor sudah selayakrtya dievaluasi kernbali. Walaupun belum ideal, namun penggunaan terapi kornbinasi artemisin dengan amodiakuin dapat dijadikan sebagai pilihan pertama pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13679
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suriyani
"Latar Belakang : WHO menyatakan bahwa malaria merupakan penyebab kematian utama penyakit infeksi tropis pada anak-anak dan wanita hamil. Anemia berat merupakan komplikasi yang umum dari malaria, terutama malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Seperempat dari total penduduk di Kecamatan Nangapanda yang merupakan daerah endemis malaria adalah anak sekolah, sehingga perlu dilihat hubungan antara infeksi Plasmodium falciparum dengan anemia pada anak sekolah di kecamatan Nangapanda, Nusa Tenggara Timur.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara anemia dengan infeksi Plasmodium falciparum pada anak sekolah di kecamatan Nangapanda, Nusa Tenggara Timur.
Desain : Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan case control.
Metode : 540 whole blood anak sekolah yang telah mendapat terapi kecacingan selama 30 hari, diambil untuk pengukuran kadar haemoglobin dan pembuatan preparat malaria darah tebal dan darah tipis dengan pewarnaan Giemsa. Spesies Plasmodium dipastikan dengan menggunakan Real Time Polymerase Chain Reaction (PCR).
Hasil : Tingkat infeksi Plasmodium terhadap anak sekolah di daerah endemis malaria sebesar 3,51% (koreksi dengan Real Time PCR). Terdapat 43 kasus anemia dengan kasus 41 anemia ringan dan 2 kasus anemia sedang. Dari total 41 kasus anemia ringan, infeksi Plasmodium falciparum hanya ditemukan pada 3 kasus. Dua kasus anemia sedang dan 38 kasus anemia ringan yang dialami oleh subyek ternyata bukan disebabkan oleh infeksi Plasmodium falciparum. Subyek yang terkena infeksi Plasmodium falciparum mempunyai resiko 4.6 kali untuk menjadi anemia jika dibandingkan dengan subyek yang tidak terinfeksi (OR 4.6).
Kesimpulan : Subyek yang terkena infeksi Plasmodium falciparum mempunyai resiko 4.6 kali untuk menjadi anemia jika dibandingkan dengan subyek yang tidak terinfeksi.

Background: According to the WHO, malaria is the major cause of death from tropical infections in children and pregnant women. Severe anaemia is a common complication of malaria, particularly Plasmodium falciparum malaria. One-fourth of the population of Nangapanda Subdistrict, an malaria endemic region, are school children. Therefore it is necessary to investigate the relationship between Plasmodium falciparum infection with anaemia in school children at at Nangapanda Subdistrict, Nusa Tenggara Timur.
Objective: To investigate the relationship between Plasmodium falciparum infection with anaemia in school children at Nangapanda Subdistrict, Nusa Tenggara Timur.
Study Design: This was an observational case control study.
Methods: A total of 540 whole blood samples were collected from school children receiving anthelmintic treatment for 30 days from the research team, for hemoglobin determination and preparation of thick and thin Giemsa blood smears for malaria diagnosis. Species of Plasmodium was confirmed by Real Time Polymerase Chain Reaction (PCR).
Results: Infection rate of Plasmodium among school children in this malaria endemic region was 3.51%. There were 43 cases of anaemia, comprising 41 mild cases and 2 moderately severe cases. Among the 41 mild anaemia cases, Plasmodium falciparum infection was found in only 3 cases. The remaining anaemia cases (38 mild and 2 moderately severe cases) were not caused by Plasmodium falciparum infection. Subject with the infection of Plasmodium falciparum will have a 4.6 times chances to become anaemia if compared with the subject with no infection (OR 4.6).
Conclusion: Subject with the infection of Plasmodium falciparum will have a 4.6 times chances to become anaemia if compared with the subject with no infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Magdalena Alexandra Djuang
"Latar belakang: Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, dapat menyebabkan kematian dan secara langsung menyebabkan anemia. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, insiden malaria di Indonesia1,9 . Upaya menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan antara lain melalui penegakan diagnosis dini. Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax adalah 2 spesies penyebab utama penyakit malaria yang ditemukan di Indonesia. Malaria PF/PV Ag Cassette Test Star Diagnostic Plus dengan metode imunokromatografi mendeteksi antigen kedua spesies Plasmodium, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai sarana diagnostik alternatif untuk mendiagnosis malaria. Penelitian ini bertujuan melakukan uji diagnostik Malaria PF/PV Ag Cassette Test Star Diagnostic Plus dan mencari korelasi hemolisis dengan derajat parasitemia.Metode: Desain penelitian adalah uji diagnostik menggunakan baku emas pemeriksaan mikroskopik pada 79 orang. Uji korelasi dilakukan pada 32 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.Hasil: Pada penelitian ini, didapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, NPP, NPN Malaria PF/PV Ag Cassette Test Star Diagnostic Plus masing-masing sebagai berikut 69 /75 , 100 /100 , 100 /100 , dan 92 /97 . Uji korelasi tidak dapat dilakukan karena hanya 1 pasien yang mengalami hemolisis intravaskuler dan ekstravaskuler dengan derajat parasitemia sedang dan 2 pasien hemolisis ekstravaskuler dengan derajat parasitemia ringan.Kesimpulan:Malaria PF/PV Ag Cassette Test Star Diagnostic Plus dapat digunakan untuk membantu diagnosis malaria pada daerah yang tidak memiliki teknisi laboratorium yang trampil. Secara deskriptif terlihat bahwa hemolisis intravaskuler dan ekstravaskuler mulai terjadi pada derajat parasitemia sedang. Kata kunci: Malaria PF/PV Ag Cassette Test Star Diagnostic Plus ; hemolisis intravaskuler; hemolisis ekstravaskuler; derajat parasitemia.

Background. Malaria is one of the public health problems that can cause death and directly cause anemia. Based on the results of Riskesdas 2013, the incidence of malaria in Indonesia is 1.9 . Attempts to reduce morbidity and mortality are among others through early diagnosis. Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax are the two main causes of malarial disease found in Indonesia. Malaria PF PV Ag Cassette Test Star Diagnostic Plus with imunochromatography method detects both antigen of Plasmodium species so that it can be considered as an alternative diagnostic tool for diagnosing malaria. This study aims to perform diagnostic test Malaria PF PV Ag Cassette Test Star Diagnostic Plus and lookes for correlation between the degree of parasitemia and hemolysis.Methods. The study design was a diagnostic test using a gold standard microscopic examination in 79 people. Correlation test done on 32 people who meet the inclusion and exclusion criteria. Results. In this study, the values of the sensitivity, specificity, NPP, NPN Malaria PF PV Ag Cassette Test Star Diagnostic Plus were 69 75 , 100 100 , 100 100 , and 92 97 respectively. Correlation test can not be done because only one patient undergo intravascular and extravascular hemolysis with moderate degree of parasitemia and 2 patients have extravascular hemolysis with mild degree of parasitemia.Conclusion. Malaria PF PV Ag Cassette Test Star Diagnostic Plus can be used to support the diagnosis of malaria in areas that do not have a skilled laboratory technicians. Descriptively seen that intravascular and extravascular hemolysis begin to occur in the degree of moderate parasitemia. Keywords Malaria PF PV Ag Cassette Test Star Diagnostic Plus , intravascular hemolysis, extravascular hemolysis, degree of parasitemia."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Setyaningsih
"ABSTRAK
Malaria masih menjadi salah satu masalah di dunia. Salah satu tantangan dalam eliminasi malaria adalah timbulnya resistensi obat antimalaria. Terjadinya resistensi telah mendorong usaha untuk penemuan kandidat obat antimalaria. Beberapa studi yang dilakukan memperlihatkan adanya aktivitas antimalaria dari produk fermentasi Streptomyces sp. Streptomyces sp. menghasilkan beberapa metabolit sekunder yang diantaranya memilki aktivitas antimalaria yaitu prodigiosin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas produk fermentasi Streptomyces sp. sebagai antimalaria, mekanisme kerja hambatannya dan sifat toksisitasnya terhadap sel HepG2. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan teknik in vitro, menggunakan galur parasit Plasmodium falciparum 3D7 drug sensitive . Penelitian dilakukan untuk mengetahui potensi produk fermentasi Streptomyces sp. sebagai antimalaria dengan melakukan uji IC50, dan mekanisme kerja dengan Transmission Electron Microscopy TEM . Dilakukan pula uji toksisitas produk fermentasi Streptomyces sp. pada sel HepG2. Produk fermentasi Streptomyces sp. memiliki aktivitas sebagai antimalaria dengan nilai IC50 sebesar 0,001 ?g/mL, sedangkan kontrol kuinidin yang digunakan memiliki nilai IC50 sebesar 0,054 ?g/mL dan prodigiosin 0,022 ?g/mL. Hasil pengamatan dengan TEM menunjukkan tidak terbentuknya hemozoin. Produk fermentasi Streptomyces sp. bersifat tidak toksik terhadap sel hati HepG2 dengan nilai CC50 1380 ?g/mL. Produk fermentasi Streptomyces sp. memiliki potensi sebagai antimalaria dan tidak memiliki efek toksik terhadap sel HepG2

ABSTRACT
Malaria remains one of the problem in the world. One of the challenge in malaria elimination is the emergence of antimalarial drug resistance. The occurance of drug resistance has been encouraging efforts to find antimalarial drugs candidate. Some studies showed that there was antimalarial activity from Streptomyces sp. fermentation. Streptomyces sp. produced some secondary metabolite, which include prodigiosin who had antimalarial activity. This research aim to know the activity of Streptomyces sp. fermentation product as antimalarial, worked mechanism and toxicity on HepG2 cell. This research was experimental research with in vitro technique using Plasmodium falciparum 3D7 drug sensitive parasite. The research was done to know potency of Streptomyces sp. fermentation product as antimalarial by IC50 test, and worked mechanism by Transmission Electron Microscopy TEM . Toxicity tests was also done on HepG2 cell. Streptomyces sp. fermentation product has activity as antimalarial with IC50 value 0,001 g mL, quinidine control has IC50 value 0,054 g mL and prodigiosin 0,022 g mL. Observation with TEM showed no formation of hemozoin. Streptomyces sp. fermentation product was not toxic for HepG2 sel with CC50 value 1380 g mL. Streptomyces sp. fermentation product has a potency as antimalarial and not toxic for HepG2 cell."
2017
T55645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marantina, Sylvia Sance
"ABSTRAK
Sebanyak 120 sampel Dried Blood Spot (DBS) malaria falciparum yang diperoleh dari studi efikasi obat DHP pada 5 wilayah di Indonesia dianalisis dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing, untuk melihat varian SNPs K13 dan alel FcγRIIa -131 serta hubungannya dengan densitas parasit dan efikasi Dihidroartemisinin-Piperakuin. Hasil penelitian tidak menemukan mutasi gen K13 pada seluruh isolat P. falciparum yang diperiksa. Artemisinin masih efektif untuk pengobatan malaria di Indonesia. Analisis gen FcγRIIa menunjukkan bahwa genotip RH memiliki frekuensi yang paling tinggi (50,8%) dibandingkan RR (17,5%) dan HH (31,7%). Alel R131 gen FcγRIIa menunjukkan efek protektif terhadap High Density Parasitemia (HDP) (>5000 parasit/μL; odds ratio [OR]= 0.133, 95% confidence interval [CI]= 0.053?0.334, P< 0.001) dan berkaitan dengan keberadaan gametosit yang lebih lama pada inang (> 72 jam.

ABSTRACT
Relative Risk [RR]= 1,571, 95% confidence interval [CI]= 1,005?2,456, P= 0.090).;A total of 120 samples of Dried Blood Spot (DBS) falciparum malaria acquired from DHP drug efficacy studies in 5 regions in Indonesia were analyzed by Polymerase Chain Reaction (PCR) and sequencing, to look at variants of K13 SNPs and FcγRIIa-131 allele and its Association with Parasite Density and Efficacy of Dihydroartemisinin- Piperaquine. No mutations in the K13 gene was found in any of the isolates examined. Artemisinin is still effective for the treatment of malaria in Indonesia. The FcγRIIa gene analysis indicated that genotype RH has the highest frequency (50.8%) compared to RR (17.5%) and HH (31.7%). Allele R131 showed a protective effect against High Density Parasitemia (HDP) (>5000 parasites/μL; odds ratio [OR]= 0.133, 95% confidence interval [CI]= 0.053?0.334, P< 0.001) and associated with longer gametocytes carrier clearance time (> 72 hours; Relative Risk [RR]= 1,571, 95% confidence interval [CI]= 1,005?2,456, P= 0.090).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>