Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196620 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadya Nattaya Sampurno
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang Kasus ? kasus Perdagangan Orang yang terjadi di
Indonesia, terkait dengan penegakan Hak Asasi Manusia. Indonesia dikatakan sebagai
salah satu negara terburuk dalam menangani kasus perdagangan orang. Banyaknya
kasus perdagangan orang yang terjadi di Indonesia membuktikan bahwa negara ini
menjadi salah satu negara yang tidak dapat memberantas perdagangan orang.
Keberadaan Undang ? Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang belum berarti tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di
Indonesia telah efektif diberantas. Tindak pidana perdagangan orang dikategorikan
sebagai salah satu tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Oleh sebab itu,
keberadaan Undang ? Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang juga sudah seharusnya dan sepantasnya mencakup juga tentang
pemenuhan hak asasi korban perdagangan orang. Selain mengacu pada Undang ?
undang tersebut, konsep pemenuhan hak asasi korban perdagangan orang juga dapat
dilihat dari berbagai sumber. Undang ? undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Hak
Asasi Manusia menyatakan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia mempunyai
hak untuk memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Konsep pemenuhan
hak asasi manusia inilah yang menjadi acuan penulis dalam menganalisis kasus ?
kasus perdagangan orang di Indonesia. Di dalam kasus yang terjadi baik di Medan
maupun di Kalabahi, hal yang diperhatikan adalah apakah Majelis Hakim dalam
memutuskan perkaranya sejalan dengan tujuan diberlakukannya Undang ? Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan terlebih
apakah dengan adanya Undang ? Undang tersebut korban perdagangan orang telah
terpenuhi hak asasi manusianya.

ABSTRACT
This thesis discusses the cases of trafficking that occurred in Indonesia , related to the
enforcement of human rights . Indonesia is said to be one of the worst countries in dealing with trafficking cases. The number of trafficking cases that occurred in Indonesia proves that the country is becoming one of the country that could not
combat human trafficking . The existence of Law Number 21 Year 2007 concerningthe Crime of Trafficking in Persons does not mean the human trafficking crime that
occurred in Indonesia has been effectively eradicated . Human trafficking crime is
categorized as one of the crime that violate human rights . Therefore , the existence of
Law Number 21 Year 2007 concerning the Crime of Trafficking in Persons should
and rightly include also on the fulfillment of human rights of victims of trafficking.
In addition to referring to the Act - the law , the concept of the fulfillment of human
rights of victims of trafficking can also be viewed from a variety of sources. Law No. 26 of 2000 concerning Human Rights states that victims of human rights violations have the right to compensation , restitution and rehabilitation . The concept of the
fulfillment of human rights is the author reference in analyzing the cases of human
trafficking in Indonesia . In the case both in Medan and in Kalabahi , things to look
for is whether the judges in deciding the case is in line with the objective of
enactment - Law Number 21 Year 2007 concerning the Crime of Trafficking in
Persons and especially whether the presence of the law of human trafficking have
fulfilled the victim?s human rights"
2016
T46141
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dondang Kristine
"Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana. Pada umumnya korban dirumuskan sebagai seseorang yang menderita kerugian fisik, mental, emosional, maupun ekonomi. Masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan. Namun, korban tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, tentu saja mengakibatkan ketidakseimbangan dalam diri korban atau keluarganya. Misalnya dari aspek finansial (materiel), yaitu bila korban merupakan tumpuan hidup keluarga, aspek psikis (immateriel) berwujud pada munculnya kegoncangan pada diri korban. Untuk menyeimbangkan kondisi korban tersebut, maka harus ditempuh upaya pemulihan baik materiel dan/atau immateriel, yaitu melalui hak restitusi korban. Dalam tesis ini penulis membahas mengenai hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang, dengan menganalisa dari hasil putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang nomor 1633/PID.B/2009/PN.TK, atas nama Fitriyani Binti Muradi yang merupakan satu-satunya putusan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang yang menghukum pelaku untuk membayar restitusi kepada korban. Hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang sudah diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Penelitian tersebut membahas mengenai peranan penegak hukum dalam melaksanakan hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang. Dari hasil penelitian tersebut, peranan penegak hukum baik di tingkat penyidikan, penuntutan, sampai dengan proses persidangan tidak maksimal dalam memperjuangkan hak restitusi korban, yaitu sebatas menanyakan besarnya kerugian yang diderita korban baik materiel maupun immateriel. Kurangnya upaya yang maksimal dari penegak hukum menyebabkan dikabulkannya hak restitusi korban hanya sebatas putusan saja atau hanya di atas kertas saja. Hal ini dikarenakan terdapat kendala-kendala, diantaranya: kendala dari perundang-undangan yang tidak memiliki peraturan pelaksanaan dan dimuatnya pidana kurungan sebagai pengganti dari restitusi, sehingga memberikan pengaruh pada upaya pemenuhan restitusi yang pelaksanaannya tidak secara total, kemudian kendala dari kurangnya kesadaran penegak hukum dan sumber daya manusia yang terlatih dan terampil dalam memperjuangkan hak restitusi korban. Selanjutnya, kendala dari kesadaran hukum korban, yang mana korban beranggapan seandainya melakukan tuntutan ganti rugi hasil yang ia dapatkan tidak sebanding dengan yang ia alami (tidak bisa mengembalikan keadaan semula) bahkan ia juga beranggapan jika melakukan tuntutan ganti rugi justru akan menambah penderitaan dan mengalami kerugian lain sehingga mereka menjadi apatis.

Victims of crime is basically a party that suffered most in a crime. In the most cases the victim is defined as a person who suffers physical harm, mental, emotional, and economic. Issues of justice and respect for human rights does not only apply to offenders but also victims of crime. However, victims do not get much protection as provided by law the perpetrators. In the event of a violation of law, of course, lead to an imbalance in the victim or his family. Example of the financial aspects (material), that is when the victim is the foundation of family life, psychological aspects (immaterial) tangible to the emergence of shock on the victim. To balance the condition of the victim, then the remedy should be taken both the material and / or immateriel, namely through the restitution rights of victims. In this thesis the author discusses about the restitution rights of victims of trafficking in persons, by analyzing the decision of the Court of Tanjung Karang number 1633/PID.B/2009/PN.TK , in the name of Fitriyani Binti Muradi which is the only decision that sentenced the offender to pay restitution to victims. Restitution rights of victims of trafficking in persons has been regulated in Article 48 of Act Number 21 / 2007 on Combating the Crime of Trafficking in Persons. The study discusses the role of law enforcement agencies in carrying out the restitution rights of victims of trafficking. From this research, the role of law enforcement both at the level of investigation, prosecution, court proceedings are not up to the maximum in the fight for the rights of victims restitution, which is limited to asking the amount of loss suffered by the victims of both material and immaterial. Lack of a maximal effort of law enforcement led to the granting of the rights of the victim restitution was limited to ruling only, or only on paper. This is because there are constraints, including: the constraints of legislation that does not have implementing regulations and publishing imprisonment in lieu of restitution, thereby giving effect to the implementation of restitution compliance efforts are not in total, then the constraint of lack of awareness of law enforcement and human resources are trained and skilled in fighting for the restitution rights of victims. Furthermore, the constraints of the legal consciousness of the victim, where the victim thinks that if their demands compensation she has received the results not comparable to those he experienced (can not restore the original state) even if it is also assumed to compensation claims will only add to the suffering and loss other so that they become apathetic.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29881
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cacho, Lydia
Tangerang: Marjin Kiri, 2021
323.409 5 CAC b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Valeska Liviani Priadi
"Adanya dominasi ideologi patriarki telah melahirkan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang meluas dan tengah menjadi isu global adalah perdagangan perempuan. Perdagangan perempuan merupakan isu yang sangat kompleks, karena aspek di dalamnya mencakup ketenagakerjaan, migrasi, kemiskinan, serta kejahatan. Kawasan Asia Tenggara, yang mayoritas negaranya merupakan negara berkembang, merupakan kawasan dengan perdagangan perempuan paling marak di dunia. PBB, melalui UNODC dan UNIAP, telah melakukan upaya-upaya untuk memberantas perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara. Namun, upaya pemberantasan perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara tidak cukup hanya diselesaikan oleh PBB, selaku organisasi internasional global, saja. ASEAN, selaku organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara, juga melakukan upaya-upaya untuk memberantas perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara. Dalam mengkaji peranan ASEAN tersebut, penting untuk mengetahui ketentuan hukum internasional mengenai pelarangan perdagangan perempuan, bentuk-bentuk usaha ASEAN dalam memberantas perdagangan perempuan, serta penerapan ketentuan hukum internasional mengenai pelarangan perdagangan perempuan, yang mengacu pada Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, dalam peraturan perundang-undangan nasional masing-masing negara anggota ASEAN. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dijawab melalui penelitian yuridisnormatif sehingga diperoleh kesimpulan bahwa ASEAN harus mendorong penerapan standar prinsip hak asasi manusia internasional di kawasan Asia Tenggara guna memberantas perdagangan perempuan.

The domination of patriarchy has resulted in discrimination, exploitation, and violence against women. One of the form of a wide-spread violence against women that has become a global issue is women trafficking. Women trafficking is a very complex issue, because its aspects involve labor, migration, poverty, and crime. Southeast Asia, which is populated by developing countries, is the region where women trafficking is most-spread. United Nations, with its UNODC and UNIAP projects, has been making efforts to suppress the women trafficking in Southeast Asia. However, the effort to suppress the women trafficking in Southeast Asia are not relayed solely upon United Nations. ASEAN, as the regional international organization, also makes efforts to suppress the women trafficking in Southeast Asia. In studying the role of ASEAN in suppressing the women trafficking in Southeast Asia, it is important to know the rule of international law regarding the suppression of women trafficking, ASEANs efforts in suppressing the women trafficking in Southeast Asia, and the application of the rule of international law regarding the suppression of women trafficking, based on Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, in each ASEAN member states legislation. These problems will be answered through a juridical-normative research, thus it can be concluded that ASEAN must support the implementation of international human rights principles in Southeast Asia that will suppress the women trafficking."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45445
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dendy Perwira Dhira Satria
"Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang signifikan pada banyak aspek kehidupan manusia, termasuk pada aktivitas kejahatan lintas negara seperti human trafficking sebagai transnational organized crimes. Di Eropa Tenggara, daerah ini telah lama menjadi pusat perhatian terkait kejahatan lintas negara tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peningkatan angka Human Trafficking sebagai Transnational Organized Crimes (TOC) di Eropa Tenggara, studi atas negara Turki dan Yunani selama masa pandemi COVID-19 dari tahun 2019-2022. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan teori regional security complex, konsep transnational organized crime dan konsep resolusi konflik. Dalam penelitian ini, menggunakan penelitian data sekunder. Teknik analisis deskriptif dan naratif melalui analisis dokumen terkait, laporan pemerintah, dan literatur terkait. Pendekatan teori ini membantu dalam memahami kompleksitas dan dinamika kejahatan lintas negara dengan memperhatikam hubungan antara Turki dan Yunani, serta dampak pandemi COVID-19 terhadap kejahatan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan pandemi COVID-19 meningkatkan kerentanan terhadap human trafficking di Turki dan Yunani, terutama pada kelompok migran dan pengungsi. Penelitian ini juga membahas upaya pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dalam melindungi korban dan menangani human trafficking secara komprehensif.

The COVID-19 pandemic has had a significant impact on many aspects of human life, including transnational organized crimes such as human trafficking. In Southeast Europe, this region has long been the center of attention regarding these transnational crimes. This research aims to analyze the increasing number of human trafficking as Transnational Organized Crimes (TOC) in Southeast Europe, a study of Turkey and Greece during the COVID-19 pandemic from 2019-2022. This research uses qualitative research methods with a regional security complex theory approach, the concept of transnational organized crime and the concept of conflict resolution. In this study, secondary data research was used. Descriptive and narrative analysis techniques through analysis of related documents, government reports, and related literature. This theoretical approach helps in understanding the complexity and dynamics of transnational crime by considering the relationship between Turkey and Greece, as well as the impact of the COVID-19 pandemic on these crimes. The results show that the COVID-19 pandemic has increased vulnerability to human trafficking in Turkey and Greece, especially among migrants and refugees. This research also discusses the efforts of the government and civil society organizations in protecting victims and dealing with human trafficking comprehensively."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parinding, Devina Kara
"Perdagangan orang merupakan masalah yang telah menjadi perhatian internasional sejak dahulu kala. Tindakan perdagangan orang kerap memakan korban yang identik dengan keadaan rentan karena lebih memudahkan dalam prakteknya. Salah satu keadaan rentan yang dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan orang adalah kondisi rentan dari seorang pengungsi. Skripsi ini menganalisis kasus-kasus mengenai pengungsi yang menjadi korban perdagangan orang, dan dikaitkan dengan dua instrumen hukum internasional. Seseorang dapat dikatakan tergolong dalam kategori serorang pengungsi jika sudah memenuhi unsur-unsur yang terkandung di dalam Convention Relating to the Status of Refugees 1951. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children adalah instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai tindakan perdagangan orang, yang merupakan protokol tambahan dari Convention on Transnational Organized Crime 2000. Penulisan skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan analisis pendekatan yuridis normatif. Analisis ini mengungkapkan bahwa terdapat berbagai alasan yang mendasari para pengungsi untuk meninggalkan negaranya, dan bahwa keadaan rentan mereka sebagai pengungsi kerap dimanfaatkan oleh para pelaku perdagangan orang melalui berbagai cara yang merupakan unsur-unsur dari perbuatan perdagangan orang yang melanggar TOC Convention 2000 Protocol.

Human trafficking has been a concerning international problem since a long time ago. Traffickers are often targeting vulnerable group of people because it is easier to commit human trafficking towards vulnerable group of people, such as refugees. Vulnerable condition of a refugee is an advantage to traffickers. This thesis analyzes cases about refugees who are victims of human trafficking, and being related to two international law instruments. A person can be categorized as a refugees if the elements of a refugee based on Convention Relating to the Status of Refugees 1951 has been fulfilled. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children is an international law instrument that regulates the act of human trafficking, which also an additional protocol of Convention on Transnational Organized Crime 2000. This thesis uses normative legal method of research as well as juridical normative analysis in addressing the issue. This analysis concludes that there are several reasons for refugees to leave their country, and that their vulnerable condition as a refugee are often being misused by traffickers through ways which are the elements of human trafficking action against TOC Convention 2000 Protocol."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S56488
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nibras Fadhlillah
"Penelitian ini mengkaji tentang gerakan advokasi yang dilakukan oleh organisasi non-pemerintah terhadap penyelesaian isu kerja paksa dan perdagangan manusia yang terjadi di sektor perikanan tangkap Thailand dan Indonesia. Adanya laporan investigasi oleh beberapa media internasional telah mengungkap sisi gelap dari sektor perikanan tangkap Thailand dan Indonesia terkait dengan isu praktek kerja paksa dan perdagangan manusia di atas kapal penangkapan ikan. Tidak terselesaikannya permasalahan kerja paksa dan perdagangan manusia tersebut membuat organisasi non-pemerintah (NGO) di Thailand dan Indonesia melaksanakan berbagai gerakan advokasi dalam mendorong penyelesaian permasalahan kerja paksa dan perdagangan manusia. Meskipun begitu belum banyak penelitian yang membahas gerakan advokasi organisasi non-pemerintahan yang ada di Thailand dan Indonesia terkait isu perbudakan modern. Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan tentang bagaimana gerakan advokasi yang dilakukan NGO di Thailand dan Indonesia dalam mendorong diselesaikannya permasalahan perbudakan modern di sektor perikanan tangkap. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini akan menggunakan teori jaringan advokasi transnasional oleh Keck dan Sikkink (1999), dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam analisis, peneliti menemukan adanya berbagai bentuk gerakan dalam advokasi transnasional yang dilakukan NGO untuk mendorong adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan isu perbudakan modern. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam gerakan advokasi transnasional untuk mendorong penyelesaian isu mengenai kerja paksa dan perdagangan manusia, NGO Thailand dan Indonesia telah melakukan pembingkaian tentang isu tersebut yang kemudian disebarluaskan kepada publik dan organisasi lainnya agar terbentuk sebuah gerakan advokasi yang masif. Bersamaan dengan itu, NGO di Thailand dan Indonesia juga melakukan pendekatan-pendekatan kepada para aktor-aktor yang memiliki kuasa lebih, seperti pemerintah negara-negara importir produk perikanan maupun agensi-agensi PBB, untuk dapat memberikan dorongan kepada kedua pemerintah agar mengadopsi berbagai aturan internasional sebagai upaya untuk menyelesaikan dan menghentikan praktek kerja paksa dan perdagangan manusia di sektor perikanan tangkap.

This study examines the advocacy movement of NGOs to enforced the settlement of forced labour and human trafficking issues in Thailand and Indonesia capture fisheries sector. The publications of investigation reported by some international medias revealed the dark side of Thailand and Indonesia fisheries sector regarding forced labour and human trafficking practices towards fishing workers on the fishing boats. The unresolved of forced labour and human trafficking issues has led NGOs in Thailand and Indonesia to carry out various advocacy movements in enforcing the settlement of forced labour and human trafficking issues. Nonetheless, there are still lack of studies exploring the advocacy movement of NGO in combating forced labour and human trafficking practices. Hence, the research question of this study is how the advocacy movement of NGOs in Thailand and Indonesia in enforcing the settlement of forced labour and human trafficking issues on the capture fisheries sectors. In this study, the author used transnational network advocacy theory by Keck dan Sikkink (1999), as well as qualitative research method. In the analysis, this study found various type of activities of NGOs transnational advocacy movement to enforce the improvement of governments policies to end forced labour and human trafficking practices in fisheries. This study concluded that in the transnational advocacy movement to enforce the settlement of forced labour and human trafficking issues, Thailand and Indonesian NGOs have framed the issues which was then shared to public and other organizations, in order to form a massive advocacy movement. At the same time, NGOs in Thailand and Indonesia also approached other actors who had more power, such as the government of the fisheries importing country and UN agencies, to enforce those two governments to adopt various international regulation as an effort to resolve and diminish the forced labour and human trafficking practices in catch fisheries sector."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hospita Yulima S.
"Perdagangan manusia (trafficking in persons) dan penyelundupan manusia (people smuggling) merupakan suatu bentuk perpindahan (migrasi) penduduk secara ilegal. Meskipun terdapat kesamaan dalam hal perpindahan ilegal, perdagangan dan penyelundupan manusia sesungguhnya merupakan dua hal yang berbeda. Untuk itulah dalam penelitian ini dirumuskan masalah bagaimana instrumen hukum internasional maupun nasional dalam mengkaji perdagangan dan penyelundupan manusia serta apa yang menjadi unsur utama dalam membedakan perdagangan dan penyelundupan manusia. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan analisa kualitatif.
Yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah perdagangan dan penyelundupan manusia yang dikaji dalam instrument hukum internasional dan nasional merupakan dua bentuk kejahatan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Yang menjadi unsur pembeda dalam dua bentuk kejahatan tersebut adalah persetujuan, tujuan dan jangkauan wilayah.

Trafficking in persons and people smuggling is a form of displacement (migration) of illegal residents. Although there are similarities in terms of illegal migration, trafficking and people smuggling are actually two different things. For that reason in this study formulated the problem of how international and national legal instruments in assessing of human trafficking and smuggling, and also what is the key element in distinguishing trafficking and people smuggling. This study is a descriptive study with qualitative analysis.
The conclusions in this study, the international and national legal instruments are examined in that trafficking in persons and people smuggling are the two forms of crime, are different from one another. The distinctive elements in the two forms of crime are the agreement, the purpose and coverage area.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43463
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Millions of people around the world are forced to work without pay and under threat of violence. These individuals can be found working in brothels, factories, mines, farm field, restaurants, construction sites and private homes: many have been tricked by human traffickers and lured by false promises of good jobs or education, some are forced to work at gunpoint, while others are trapped by phony debts from unscrupulous moneylenders. The SAGE Handbook of Human Trafficking and Modern-Day Slavery provides a comprehensive, interdisciplinary and global look at the diverse issues surrounding human trafficking and slavery in the post-1945 environment. Covering everything from history, literature and politics to economics, international law and geography, this Handbook is essential reading for academics and researchers, as well as for policy-makers and non-governmental organisations"
London: Sage, 2019
364.15 SAG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rizvan Imanuddin
"Perdagangan orang mengakibatkan korban mengalami penderitaan baik fisik, psikis, ekonomi dan sosial. Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO), diharapkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat lebih efektif. Konsep pertanggung jawaban ganti kerugian juga telah diatur sebagai aspek penting dalam penegakan hukum. Namun dalam prakteknya, putusan (vonis) perkara tindak pidana perdagangan orang jarang memuat restitusi. Hal ini dipengaruhi oleh belum jelasnya prosedur pengajuan restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang dan beberapa faktor kendala lainnya. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis-empiris. Dalam memperoleh data, dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dalam bentuk wawancara dengan informan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa prosedur pengajuan restitusi pada perkara tindak pidana perdagangan orang diatur secara tersendiri dalam UUPTPPO dan juga mengacu kepada KUHAP kecuali ditentukan lain oleh UUPTPPO. Kendala-kendala dalam pendayagunaan lembaga restitusi pada perkara tindak pidana perdagangan orang dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu : a. faktor peraturan perundang-undangan; b. faktor sumber daya manusia (SDM) para penegak hukum; dan c. faktor kesadaran hukum korban. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mendayagunakan lembaga restitusi pada perkara tindak pidana perdagangan orang yaitu: ketentuan mengenai restitusi pada UUPTPPO perlu direvisi, dibuatkan peraturan-peraturan pelaksanaan mengenai prosedur pengajuan restitusi oleh masing-masing lembaga penegak hukum, peningkatan kualitas SDM para penegak hukum, koordinasi dan kerjasama yang baik dengan negara tempat tujuan perdagangan orang, sosialisasi kepada masyarakat terutama para korban mengenai tindak pidana perdagangan orang dan masalah restitusi, peran serta masyarakat dalam memberikan bantuan hukum kepada korban dan pengawasan kepada para penegak hukum.

Trafficking in Person has caused the victims to suffer physically, psychologically, economically, and socially. After the effectiveness of the Law No. 21 of the year 2007 on Combating against the Criminal Acts of Trafficking in Person (UUPTPPO), it is expected that the law enforcement towards the criminal acts of Trafficking in Person can be more effective. The concept of compensation liability has also been governed as an important aspect in law enforcement. However in the practice, the decision (the verdict) of the Trafficking in Person criminal act case rarely contains restitution. This is caused by the unclear procedure to file restitution for the victims of Trafficking in Person ciminal acts and other obstacles. This research used the judicial-empirical research. In obtaining data, library research and field research in a form of interview with informants have been conducted. From the research results obtained, it is concluded that the procedure of filing restitution in the case of Trafficking in Person criminal acts is governed separately in UUPTPPO and also refers to KUHAP (Penal Code) except otherwise determined by UUPTPPO. The obstacles in the empowerment of the restitution institution in the case of Trafficking in Person criminal acts could be classified in 3 (three) groups: a. laws and regulations factor; b. human resources of law enforcers factor; and c. victims? legal consciousness factor. The efforts which must be done to empower the restitution institution in the case of Trafficking in Person criminal acts are to revise the provisions on restitution in UUPTPPO, to make the implementation regulations on the procedure of filing restitution by each law enforcement institution, to increase the human resources quality of the law enforcers, to coordinate and cooperate well with the country destination of the Trafficking in Person, to introduce the Trafficking in Person criminal acts and restitution issues to the society, especially the victims, and to involve the society in giving legal aids to the victims and in supervising the law enforcers.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29315
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>