Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160661 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tarigan, Silvia Pagitta
"ABSTRAK
Magnesium merupakan salah satu komponen mikronutrien dan dilaporkan
mempunyai peran dalam proses metabolisme dan kekuatan otot namun belum
mendapat cukup perhatian yang luas sehingga jarang dilakukan pemeriksaan rutin. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang bertujuan untuk
mengetahui korelasi asupan magnesium dan kadar magnesium eritrosit dengan
mobilitas fungsional. Penelitian ini dilakukan di 3 panti jompo di Jakarta Timur
pada bulan April-Mei 2016. Pengumpulan subjek dilakukan dengan metode
consecutive sampling dan didapatkan 52 lanjut usia. Sebagian besar berjenis
kelamin perempuan dengan rerata usia 74,5 ± 8,6 tahun dan terbanyak pada
kelompok usia 70-79 tahun. Rerata asupan magnesium subjek adalah 188 mg/ hari dan sebagian besar (84,6%) memiliki asupan magnesium yang rendah. Rerata kadar magnesium eritrosit adalah 3,69 ± 0,63 mEq/ L dan didapatkan 96,2 % memiliki kadar magnesium eritrosit yang rendah. Median nilai tes Timed Up and Go adalah 11,5 detik. Pada penelitian ini terdapat korelasi bermakna dengan arah negatif antara asupan magnesium dengan mobilitas fungsional yang ditunjukkan dengan tes Timed Up and Go (p = 0,031, r = -0,3) sedangkan kadar magnesium eritrosit dengan mobilitas fungsional yang ditunjukkan dengan tes Timed Up and Go tidak didapatkan korelasi bermakna (p = 0,113, r = 0,223).

ABSTRACT
Magnesium is one component of micronutrients and is reported to have a role in the metabolism proccess and muscle strength, but this still didn?t get much
attention, so that a routine examination is rarely done.This cross-sectional study aimed to evaluate the correlation of magnesium intake and erythrocyte
magnesium levels with functional mobility. This study was done in 3 nursing
home in East Jakarta, from April to May 2016. Data were collected from 52
subjects with methods consecutive samping. The subjects of this study are women with mean age of 74,5 ± 8,6 years old and mostly in 70-79 years old group age. The mean magnesium intake are 188 mg/day, with 84,6 % of the subjects with a low magnesium intake, at the same time, the mean erytrocyte magnesium levels was 3,69 ± 0,63 mEq/ L and 96,2 % of the subjects experienced magnesium deficiency. The median score for TUG test is 11,5 seconds. There was a significant negative correlation between magnesium intake and functional mobility shown by Timed Up and Go test in elderly (p = 0,031, r = -0,3) and erythrocyte magnesium levels did not correlated significantly with functional mobility shown by Timed Up and Go test in elderly (p = 0,113, r = 0,223)."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deviera Minelly Noor
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gangguan keseimbangan dan mobilitas merupakan penyebab terbesar disabilitas pada usia lanjut 60 tahun atau lebih. Keseimbangan dan mobilitas merupakan faktor penting dalam melakukan aktivitas fungsional. Masalah paling serius dari gangguan mobilitas adalah kecenderungan usia lanjut untuk jatuh dan menjadi cedera akibat jatuh. Faktor lainnya yang mempengaruhi jatuh adalah rasa takut jatuh. Latihan keseimbangan dapat menurunkan insiden jatuh pada usia lanjut, namun usia lanjut yang berisiko jatuh sering menolak untuk mengikuti program latihan di rumah sakit. Program latihan di rumah memungkinkan individu untuk latihan secara mandiri, dengan biaya yang murah, dan sesuai untuk usia lanjut dengan keterbatasan akses ke fasilitas latihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan keseimbangan yang dilakukan di rumah selama 8 minggu terhadap mobilitas fungsional dan rasa takut jatuh pada usia lanjut.
Metode: Disain penelitian ini adalah Randomized Controlled Trial. Populasi terjangkau adalah usia lanjut ≥ 60 tahun yang ada di Poliklinik Geriatri Terpadu dan Poliklinik Rehabilitasi Medik rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling, dan dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi permutasi blok. Kelompok keseimbangan diberi latihan keseimbangan dan kelompok kontrol diberi latihan penguatan ekstremitas atas selama 8 minggu. Untuk menilai mobilitas fungsional digunakan uji Time Up and Go (TUG), sedangkan rasa takut jatuh dinilai dengan instrumen Falls Efficacy Scale – International (FES-I).
Hasil: 94 responden mengikuti program latihan sampai selesai, kelompok keseimbangan (46 orang) dengan rerata umur 69,7 ± 6,03 tahun, dan kelompok kontrol (48 orang) dengan rerata umur 70,35 ± 6,95 tahun. Nilai uji TUG kelompok keseimbangan pada minggu ke-1 adalah 10,11 (7,41-16,52) detik dan menurun menjadi 9,24 (7,11-17,00) detik setelah 8 minggu latihan, (p < 0,001), dibandingkan dengan kelompok kontrol terdapat penurunan yang signifikan pada uji TUG minggu ke-1 dan minggu ke-8, p = 0,001. Nilai FES-I minggu ke-1 adalah 23,0 (16-38), dan setelah 8 minggu latihan terdapat penurunan menjadi 18,5 (16-35), p < 0,001, namun dibandingkan dengan kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, p = 0,166 Kesimpulan: Terdapat peningkatan mobilitas fungsional yang bermakna secara statistik berdasarkan uji TUG pada kelompok keseimbangan dibandingkan dengan kelompok kontrol, setelah 8 minggu latihan. Dan terdapat penurunan rasa takut jatuh yang diukur menggunakan nilai FES-I pada kelompok keseimbangan setelah 8 minggu latihan, namun dibandingkan dengan kelompok kontrol tidak ada perbedaan bermakna.

ABSTRACT
Background: Impaired balance and mobility are the biggest cause of disability in the elderly 60 years or more. Balance and mobility is an important factor in performing functional activities. The most serious problem is the tendency of the mobility-impaired elderly to fall and be injured by falling. Another factor affecting the fall is fear of falling. Balance training can reduce the incidence of falls in the elderly, however, older adults who are at risk usually refuse to participate in hospital-based exercise programs. Home-based exercises may allow individuals to practice independently, with low cost, and may be appropriate for the elderly with limited access to exercise facilities. The aim of this study is to determine the effect of balance exercises done at home for 8 weeks on functional mobility and the fear of falling in the elderly.
Methods: The design of the study was randomized controlled trial. The population was the elderly ≥ 60 years old at Integrated Geriatric Polyclinic and Physical Medicine and Rehabilitation Polyclinic in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta who fit the criteria. Sampling was done by consecutive sampling, and were divided into two groups by randomized block permutation. The balance group was given balance exercises and the control group was given upper extremity strengthening exercises for 8 weeks. Functional mobility was assessed by Time Up and Go test (TUG), and to assess fear of falling was used the Falls Efficacy Scale - International (FES-I) instrument.
Results: 94 respondents were completed the exercise program, the balance group (46 people) mean age 69.7 ± 6.03 years old, and the control group (48 people) mean age 70.35 ± 6.95 years old. TUG test in balance group was 10.11 (7.41-16.52) seconds at week-1 and improved to 9.24 (7.11-17.00) seconds after 8 weeks training, (p < 0.001). Compared to the control, the balance group had significantly improvement between TUG test week-1 and week-8, p = 0.001. FES-I test in balance group was 23.0 (16-38) at week-1 and after 8 weeks there is a decline to 18.5 (16-35), p < 0.001, but compared to the control group showed no significant difference, p = 0.166 .
Conclusion: There is statistically significant increasing of functional mobility based on the TUG test in the balance group compared to the control group, after 8 weeks of training program, and there is a statistically significant reduction in fear of falling were measured using FES-I instrument in the balance group after 8 weeks of training program, but compared to the control group there is no significant difference."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengetahuan mengenai manfaat klinis kadar magnesium serum baru dimulai akhir-akhir ini sering dengan adanya analisis dan penemuam bahwa kadar magnesium abnormal pada gangguan kardiovaskuler,metabolik dan neuromuskuler."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suzanna Immanuel
"Pengetahuan mengenai manfaat klinis kadar magnesium serum baru dimulai akhir-akhir ini setting dengan adanya analisis dan penemuan bahwa kadar magnesium abnormal pada gangguan kardiovaskuler, metabolik dan neuromuskuler. Meskipun kadarnya di serum lidak menggambarkan kadar magnesium tubuh, tetapi saat ini yang dikenal Iuas penggunaannya hanya pemeriksaan kadar magnesium serum. Magnesium eritrosil saat ini dinilai lebih sensitif dari pada magnesium serum, karena magnesium eritrosit dapat mewakili penilaian status magnesium intrasel. Menurun NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards) setiap laboratorium dianjurkan memiliki nilai rujukan sendiri untuk pemeriksaan yang dikerjakannya, termasuk juga pemeriksaan magnesium. Nilai rujukan yang didapat sesuai dengan populasi dan dipengaruhi oleh metode serta teknik pemeriksaan. Penelitian ini bertujuan untuk menidapatkan nilai rujukan magnesium dalamn serum dan plasma serta mendapatkan nilai rujukan magnesium intrasel yaitu magnesium eritrosit dengan metode pemeriksaan langsung dan mengtlahui perbandingan hasil pemeriksaan antara magnesium serum dengan plasma. Bahan darah diambii dari 114 peserta donor darah di Unit Transfusi Darah Daerah (UTDD) Budhyarto PMl DKl Jakarta, terdiri dari 57 orang pria dan 57 orang wanita berusia antara 17-65 tahun, secara klinis sehat menurut kriteria donor darah PMl. Darah diambii dari selang blood set, langsung dimasukkan 4 mL ke dalam tabling vakum tanpa antikoagulan untuk pemeriksaan magnesium serum dan 3 mL kedalam tabling vakum dengan antikoagulan lithium heparin untuk pemeriksaan magnesium eritrosit dan plasma. Penetapan kadar magnesium dilakukan dengan alat kimia klinis olomatis Hitachi 912 dengan metode Xylidil Blue dengan prinsip kolorimetri.Pada penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan bermakna untuk hasil pemeriksaan magnesium ekstrasel memakai bahan serum maupun plasma heparin. Nilai rujukan untuk magnesium serum atau plasma adalah 1.30 - 2.00 mEtq/L dan magnesium eritrosit adalah 4.46-7.10 mEq/L. (Med J Iiidones 2006; 15:229-235).

The interest in the clinical importance of serum magnesium level has just recently begun with the analysis and findings of abnormal magnesium level in cardiovascular, metabolic and neuromuscular disorder. Although the serum level does not reflect the body magnesium level, but currently, only serum magnesium determination is widely used. Erylhrocyte magnesium is considered more sensitive than serum magnesium as it reflects intracelhdar magnesium status. According to NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards) every laboratory is recommended to have its own reference range for the tests it performs, including magnesium determination. The reference range obtained is appropriate for the population and affected by the method and technique. This study aimed to find the reference range of serum and plasma magnesium and also intracelhdar magnesium i.e. erythrocyte magnesium by direct method, and compare the results of serum and plasma magnesium. Blood was taken from 114-blood donor from Unit Transfusi Darah Daerah (UTDD) Budhyarto Palang Merah Indonesia (PMl) DKl Jakarta, consisted of 57 male and 57 female, aged 17 - 65 years, clinically healthy according to PMl donor criteria. Blood was taken from blood set, collected into 4 ml vacuum tube without anticoagulant for serum magnesium determination and 3 ml vacuum tube with lithium heparin for determination of erythrocyte and plasma magnesium Determination of magnesium level was performed with clinical chemistry auto analyzer Hitachi 912 by Xylidil Blue method color/metrically. This study showed no significant difference between serum and heparinized plasma extra cellular magnesium. The reference range for serum or plasma magnesium was 1.30 - 2.00 mEq/L and for erythrocyte magnesium was 4.46 - 7.10 mEq/L (MedJIndones 2006; 15:229-35)."
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-4-OctDec2006-229
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lineke Guntara
"Tujuan : Mengetahui hubungan kadar magnesium serum dan asupan magnesium dengan hipertensi, serta hubungan magnesium serum, asupan magnesium dan tekanan darah dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, pada orang dewasa > 35 tahun.
Tempat: Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Bahan dan cara : Studi cross sectional dilakukan pada 105 subyek pria dan wanita > 35 tahun yang dipilah secara simple random sampling dari sampel MONICA Jakarta 2000. Data yang dikumpulkan meliputi: data umum subyek, asupan makanan, antropometri, tekanan darah, pemeriksaan laboratorium (kadar magnesium serum, kreatinin serum dan gula darah puasa). Data dianalisis dengan uji statistik Chi-square, Fisher's exact, Kolmogorov-Smirnov, Anova dan t- tes.
Hasil : Hipertensi didapatkan pada 40 % subyek dan makin banyak pada kelompok umur yang lebih tua. Sebanyak 38,8% subyek pria dan 55,4% subyek wanita mempunyai asupan magnesium kurang, Hipomagnesemia lebih sering terjadi pada subyek hipertensi daripada subyek tidak hipertensi. Dari hasil analisis bivariat, didapatkan hubungan bermakna antara :1) perilaku gizi dengan pola makan, 2) umur dan pola makan dengan asupan magnesium, 3) umur dengan tekanan sistolik, 4) asupan protein dengan tekanan darah sistolik, 5) asupan magnesium dengan tekanan darah diastolik dan hipertensi. Rata-rata kadar Mg serum lebih rendah pada subyek hipertensi, namun tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar Mg serum dengan hipertensi.
Simpulan : Defisit asupan magnesium didapatkan pada semua subyek dan terutama berhubungan dengan pola makan yang kurang baik. Kurangnya asupan magnesium makanan dan rendahnya magnesium serum dapat menjadi salah satu faktor penunjang hipertensi.

The Relationship Between Serum And Dietary Magnesium With Hypertension And The Influential Factors In Adults In Mampang Prapatan District, JakartaObjective: to determine the relationship between serum and dietary magnesium with hypertension, and the relationship between serum magnesium, dietary magnesium and blood pressure with the influential factors in age > 35 year.
Location: Mampang Prapatan District, South Jakarta.
Materials and method: A cross-sectional study had been carried out among 105 subjects selected by simple random sampling method. The collected information consist of socioeconomic status, smoking and physical activities, dietary intake, anthropometric, blood pressure and laboratory examinations for serum magnesium, creatinine serum and fasting blood glucose. Statistical analysis was performed by Chi Square, Fisher's exact, Kolmogorov-Smirnov, Anova and t -test.
Results: Hypertension was found in 40 % subjects and more prevalent in older groups. Low level of magnesium intake was found in 38,8 % men and 55,4% women. Hypomagnesaemia was more prevalent in hypertensive subjects than in non-hypertensive. Bivariat analysis found significant relationships between :1) nutritional behavior with food pattern, 2) age and food pattern with dietary magnesium intake,3) age with systolic blood pressure, 4) dietary protein intake with systolic blood pressure, 4) dietary magnesium intake with diastolic blood pressure and hypertension. The average serum magnesium level was lower in hypertensive subjects, but no significant relationship between serum Mg levels with hypertension.
Conclusions: Dietary magnesium deficit was found in all of subjects, especially associated with the poor food pattern. The reduced level in magnesium diets and the low level of magnesium serum could be a responsible factor in the development of hypertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T2028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Haedjadi Widjaja
"Magnesium dan paduannya termasuk sebagai logam struktural teringan dengan ketahanan korosi yang paling rentan diantara logam struktural lainya. Lapisan MgO dibentuk pada permukaan paduan magnesium dengan proses anodisasi dalam larutan NaOH 3M untuk meningkatkan ketahanan korosi. Variasi tegangan (10 V, 15 V, 20 V) dan waktu (5 menit, 10 menit, 15 menit) dilakukan pada proses anodisasi untuk mengetahui hubungannya dengan laju korosi. Perubahan morfologi dan struktur lapisan oksida diamati dengan menggunakan mikroskop optik dan scanning electron microscope (SEM). Fasa lapisan oksida pada paduan magnesium diamati dengan menggunakan X-ray diffraction (XRD).

Magnesium and its alloys is the lightest of all structural metal with the most vulnerable corrosion resistance among other structural metal. MgO layer is formed on the surface of magnesium alloy with anodizing process in NaOH 3M solution to increase the corrosion resistance. Voltage variation (10 V, 15 V, 20V) and time variation (5 minutes, 10 minutes, and 15 minutes) is being done in anodization process to determine its relation with corrosion rate. Changes in morphology and structure of oxide layer is being observed with optik microscope and scanning electron microscope (SEM). The phase of oxide layer in magnesium alloy is being observed with X-ray Diffraction (XRD).
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S64065
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman Hadi Surya
"Proses elektrolisis temperatur tinggi telah diaplikasikan untuk mendapatkan bubuk magnesium dari hidromagnesit dan magnesium oksida sebagai material umpan. Dalam proses elektrolisis, garam MgCl2 hidrat dipanaskan hingga 750 °C - 850 °C hingga menjadi lelehan elektrolit. Beda tegangan antara elektroda sebesar 0 - 12 V diberikan untuk mendapatkan bubuk magnesium. Ditemukan bahwa bubuk magnesium terbentuk pada katoda Pt sebagaimana warna dari lelehan garam berubah dari putih menjadi abu-abu seperti warna Mg. Pembentukan Mg juga diindikasikan dengan kenaikan arus pada pembacaan amperemeter. Sayangnya, proses dilakukan pada kondisi udara terbuka dan kemudian bubuk Mg segera teroksidasi menjadi bubuk MgO. Disimpulkan meskipun tidak ada bukti puncak-puncak difraksi dari Mg pada pola XRD dari sampel, bubuk Mg berhasil dihasilkan selama proses. Kata kunci: elektrolisis, magnesium.

High temperature electrolysis process has been applied to obtain magnesium powders from hydromagnesite and magnesium oxide as the feed materials. In the electrolysis process, hydrat MgCl2 salts were heated to 750 °C - 850 °C towards molten electrolyte. Voltage between electrodes of 0 - 12 V was then applied for obtaining Mg powders. It was found that Mg powders formed in the Pt cathode as color of molten salts changed from white to grey which is similar to that of Mg. Formation of Mg was also indicated by a current rise as read in amperemeter. Unfortunately, the process was carried out under open atmosphere and thus Mg powders were immediately oxidized to MgO powders. It is concluded that despite no evidence of diffraction peaks for Mg in XRD pattern of the sample, the Mg powders were successfully produced during process. Keywords: electrolysis, magnesium."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S29012
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Arlyando Hezron
"Latar Belakang. Densitas tulang yang rendah pada usia lanjut antara lain dipengaruhi oleh gangguan produksi dan metabolisme vitamin D, konsumsi alkohol, aktivitas fisik yang kurang, indeks massa tubuh (IMT) yang rendah, merokok yang berlebihan dan asupan kaisium yang rendah. Asupan kalsium, indeks massa tubuh dan kapasitas fisik diketahui berpengaruh pada densitas massa tulang.Korelasi antara asupan kaisium, IMT dan kapasitas fisik dengan densitas massa tulang masih kontroversi dan di Indonesia masih belum banyak diteliti khususnya di Panti Werda.
Tujuan. Mengetahui korelasi asupan kalsium, IMT, kapasitas fisik dengan densitas massa tulang lumbal dan femur wanita usia lanjut serta gambaran densitas massa tulang lumbal dan femur, jumlah asupan kalsium, gambaran IMT,dan kapasitas fisik wanita usia lanjut di Panti Werda.
Metodalogi. Studi potong lintang dilakukan pada wanita usia lanjut (?60 tahun) di Panti Werda. Subyek penelitian didapat dengan metode cluster random sampling dan yang sesuai dengan kriteria inklusi. Kriteria inklusinya adalah berusia 60 tahun atau lebih, jenis keiamin perempuan, masih dapat mandiri (ADL Barthel >16), dan bersedia ikut daiam penelitian. Dilakukan uji korelasi Pearson dengan aiternatif uji korelasi Spearman jika sebaran data tidak normal untuk mengetahui korelasi antara asupan kalsium, IMT dan kapasitas fisik dengan densitas massa tulang lumbal dan femur.
Hasil. Selama periode Maret-Mei 2005 dilakukan penelitian terhadap 51 wanita usia lanjut di 2 Panti Werda Jakarta dan Bekasi. Median usia 70,5 (7,5) tahun, median asupan kalsium 283 gram/hari, IMT 22,28 (4,2) kg/m2 dan kapasitas fisik sebesar 4,8(1,6) Metz. Sedangkan rerata densitas tulang lumbal 0,842(0,I64) gramlcm2 dan densitas tulang femur 0,652(0,097) grarnlcm2. Didapatkan korelasi bermakna antara IMT dengan densitas massa tulang lumbal dan femur (r = 0,677 ; p = 0,000 dan r = 0, 508 ; p = 0,000), dan tidak didapatkan korelasi antara asupan kalsium dengan densitas massa tulang lumbal dan femur (r = 0,146 ; p = 0,308 dan r = 0,096 ; p = 0,501) dan kapasitas fisik dengan densitas massa tulang lumbal dan femur (r=0,016; p=0,913 dan r=0,143 dan nilai p=0,318).
Kesimpulan. Didapatkan korelasi antara IMT dengan densitas massa tulang lumbal dan femur sedangkan korelasi antara asupan kalsium dan kapasitas fisik dengan densitas tulang lumbal dan femur wanita usia lanjut di Panti Werda belum dapat dibuktikan. Prevalensi densitas tulang lumbal dan femur wanita usia lanjut di panti werda Jakarta dan Bekasi berkurang sebesar 100% dan 99,8%., asupan kalsiumnya rendah, indeks massa tubuh normal dan kapasitas fisik tingkat menengah.

Backgrounds
Low bone density in elderly may be caused by decreased production and metabolic dysfunction of vitamin D metabolism, alcohol consumption, decreased physical activity, low BMI, excessive smoking, and low calcium intake. Calcium intake, BMI and physical capacity had already been known to have influence on BMD. The correlation between calcium intake, BMI and physical capacity with BMD is still controversial and there is not much data in Indonesia regarding of it especially in elderly population.
Objective
To investigate the correlation between calcium intakes, body mass index and physical capacity with lumbar and femoral bone mass density of elderly women in nursing homes.
Methods
A cross sectional study was conducted in elderly women in nursing homes. Subjects were obtained by cluster random sampling method and fulfilled inclusion criteria Inclusion criteria were age more than 60 years old, female, and Barthel index >16. We have done Pearson correlation test with Spearman test as alternative if data distribution was not normal.
Result
A cross sectional study was conducted on 51 elderly women in 2 nursing homes in Bekasi between March and May 2005. Median age was 70.5 years, median calcium intake 283 gram/day, BMI 22.28 ± 42 kg/m2 and physical capacity 4.8 ± 1,6 metz. Mean of lumbar BMD was 0.842 ± 0.164 gram/cm2 and mean femoral BMD was 0.652 ± 0.097 gram/cm2. We found significant correlation between BMI and lumbar and femoral BMD (r).677;p).000 and r =508; p=0.000) and there was no correlation between calcium intake and lumbar and femoral BMD (rO.146;p-0.000 and r=0.096;p=0.50 l ). There were no correlation found between physical capacity and lumbar and femoral BMD (r).016;p 0.913 and r-0.143 and p O.318).
Conclusion
This study showed correlation between BMI and lumbar and femoral BMD. We found no correlation between calcium intake and physical capacity with femoral and lumbar BMD in elderly women in nursing homes in Jakarta and Bekasi. Prevalensi of lumbar BMD and femoral BMD of elderly women in nursing homes in Jakarta was decreased (100% and 99,8%).Calcium intake was low, BMI was normal and physical capacity was moderate level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Sarah Mutiara
"Proses penuaan mengakibatkan perubahan fisiologis yang terkait dengan masalah kesehatan pada orang usia lanjut (usila). Penyakit degeneratif merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kognitif pada orang usila. Terbentuknya akumulasi amyloid β (Aβ) merupakan hal utama terjadinya gangguan kognitif. Mineral seng memiliki peran penting sebagai antioksidan dan proses akumulasi Aβ. Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang pada 58 orang usila di Kelurahan Kartini yang dilaksanakan pada bulan Januari 2019 untuk mengetahui korelasi kadar seng rambut dengan fungsi kognitif pada populasi usila. Pemeriksaan kadar seng rambut dengan inductively coupled plasma spectrometer (ICPS) dan fungsi kognitif dinilai dengan instrumen abbreviated mental test (AMT). Data dianalisis dengan menggunakan uji korelasi. Rerata usia subjek 65,4 ± 4,4 tahun. Nilai median asupan seng sebesar 5,65 (3,2-13,3) mg/hari. Rerata kadar seng rambut sebesar 123,23 ± 69,71 µg/gram rambut. Sebagian besar memiliki fungsi kognitif normal (91,4%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi asupan seng dengan kadar seng rambut (p=0,349 ; r= -0,125) serta tidak ditemukan adanya korelasi kadar seng rambut dengan fungsi kognitif pada populasi usila (p=0,871 ; r= -0,022). Kesimpulan penelitian ini adalah tidak terdapat korelasi antara kadar seng rambut dengan fungsi kognitif pada populasi usila.

Aging process cause physiological changes related to health problems in elderly. Degenerative diseases are the risk factor for cognitive impairment in elderly. Amyloid β (Aβ) accumulation is the major cause of cognitive impairment. Zinc has an important role in antioxidant and Aβ accumulation process. A cross sectional study of 58 elderly subjects was done at Kartini Regency in January 2019 to evaluate the correlation between hair zinc level and cognitive function in elderly population. Hair zinc level was measured by inductively coupled plasma spectrometer (ICPS) and cognitive function assessed by abbreviated mental test (AMT). Data analysis was done by correlation test. The mean age was 65.4 ± 4.4 years. The median value of zinc intake was 5.65 (3.2 - 13.3) mg/day. The mean hair zinc level was 123.23 ± 69.71 µg/gram hairs. Almost all subjects had normal cognitive function (91.4%). The results of this study indicate that there was no correlation between zinc intake and hair zinc level (p=0.349 ; r= -0.125) and there was no correlation between hair zinc level and cognitive function in elderly population (p=0.871 ; r= -0.022). In conclusion, there was no correlation hair zinc level and cognitive function in elderly population. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Andrean Martin
"Paduan Feronikel (FeNi) merupakan salah satu produk utama yang dihasilkan dalam pengolahan bijih nikel laterit. Negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan deposit nikel besar dalam bentuk bijih laterit. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kadar senyawa Magnesium melalui proses leaching menggunakan larutan asam klorida dengan variasi konsentrasi larutan dan waktu proses leaching. Sampel yang digunakan berupa Slag Feronikel yang telah diberikan penambahan aditif Na2CO3 dan telah dipanggang dengan temperatur 1100oC. Penelitian dilakukan dengan melakukan proses leaching sampel menggunakan larutan HCl 4M dan 6M. Proses leaching untuk setiap konsentrasi larutan kemudian divariasikan waktu proses leaching yang digunakan yaitu 2, 4, dan 6 Jam. Setelah proses leaching mencapai waktu yang ditentukan, dilakukan proses penyaringan untuk memisahkan filtrat dan residu yang dihasilkan. Pada filtrat hasil leaching dilakukan karakterisasi ICP-OES untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang terlarut pada filtrat selama proses leaching berlangsung. Sedangkan residu hasil leaching dilakukan karakterisasi SEM/EDS untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada residu setelah proses leaching. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan kadar Magnesium dari kadar sebelum dilakukan proses leaching. Proses leaching menggunakan larutan HCl 6M menghasilkan peningkatan kadar Magnesium yang lebih besar. Selain itu, waktu proses leaching yang digunakan juga berpengaruh terhadap hasil yang dilakukan, dimana proses leaching Roasted Slag Feronikel memiliki waktu optimal untuk proses ekstraksi senyawa Magnesium. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa larutan asam klorida (HCl) yang digunakan dalam proses leaching Roasted Slag Feronikel dapat meningkatkan kadar senyawa Magnesium pada filtrat. Proses leaching yang paling optimal pada penelitian ini menggunakan larutan HCl 6M selama 4 Jam, dengan persentase leaching sebesar 49,05%.

Feronickel Alloy (FeNi) is one of the main products produced in the processing of nickel laterite ore. Indonesia is one of the countries with a large nickel deposit in the form of laterite ore. This research aims to increase the levels of Magnesium compounds through the leaching process using hydrochloric acid solutions with varying solution concentrations and leaching process times. The sample used is the Feronickel Slag which has been given the addition of the Na2CO3 additive and has been baked at an 1100oC temperature. Research is conducted by conducting leaching process samples using a solution of HCl 4M and 6M. The leaching process for each solution concentration is then varied when the leaching process used are 2, 4, and 6 hours. After the leaching process reaches the specified time, the filtering process is performed to separate the filtrate and the resulting residue. In filtrate, leaching is performed ICP-OES characterization to identify the dissolved elements of the filtrate during the progress of the leaching process. Meanwhile, leaching residue is performed SEM/EDS characterization to know the changes occurring in residue after leaching process. The results of this study showed that the presence of increased levels of Magnesium from levels prior to leaching processes. The leaching process using a 6M HCl solution produces a greater increase in Magnesium levels. In addition, the leaching process time used also affects the results, where the leaching process of Roasted Slag Feronickel has the optimal time for the extraction process of Magnesium compounds. Based on the results of this study, it can be concluded that a solution of hydrochloric acid (HCl) used in the leaching process of Roasted Slag Feronikel can increase the levels of Magnesium compounds in filtrate. The most optimal leaching process in this study was using an 6M HCl solution for 4 hours, with a leaching percentage of 49,05%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>