Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 201503 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Junicko Sacrifian Anoraga
"Latar Belakang: Audiometri impedans belum digunakan secara rutin dalam uji tekanan khususnya di Indonesia. Calon penyelam sering langsung menerima pajanan tekanan dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT) tanpa diketahui keadaan telinga tengah dan fungsi tuba Eustachius. Pemeriksaan audiometri impedans sangat penting untuk mengetahui fungsi ventilasi tuba Eustachius (TE).
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan nilai tekanan telinga tengah yang berhubungan dengan fungsi ventilasi TE pada calon panyelam.
Metode: Penelitian ini melibatkan 29 subjek calon penyelam berusia 20-40 tahun tanpa gangguan pendengaran konduktif. Semua subjek menjalani pemeriksaan audiometri impedans yang dimodifikasi untuk kepentingan penyelaman baik sebelum maupun sesudah uji tekanan dalam RUBT beruang ganda.
Hasil: Didapatkan perubahan nilai tekanan di telinga tengah yang bermakna sebelum dan sesudah uji tekanan dengan perasat Toynbee pada telinga kanan dan kiri, masing-masing p < 0,001 dan p = 0,018.
Kesimpulan: Pemeriksaan audiometri impedans sangat diperlukan dalam seleksi calon penyelam khususnya dalam uji tekanan dalam RUBT.

Background: Impedance audiometry is not yet used in the pressure test routinely, especially in Indonesia. Prospective divers often receive exposure of pressure in hyperbaric chamber directly without assesment of the middle ear and Eustachian tube (ET) ventilation function. Impedance audiometry examination is very important to asses the ET ventilation function.
Objective: This study determined the middle ear pressure value changes associated with ET ventilation function of prospective divers.
Method: This study involved 29 prospective diver subjects aged 20-40 years without a conductive hearing loss. All subjects underwent a modified diving impedance audiometry examination both before and after the pressure test in hyperbaric double lok chamber.
Result: Obtained value changes of pressure in the middle ear meaningful before and after the pressure test with Toynbee maneuver on the right and left ear, respectively p <0.001 and p = 0.018.
Conclution: Impedance audiometry examination is needed in the selection of candidates divers who underwent pressure test within hyperbaric chamber.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwiki Fahmi Nugraha
"Pemetaan distribusi reservoir pada lapangan A Sabratah Basin, Libya, dilakukan dengan menggunakan seismik inversi impedansi akustik. Pada studi ini data seismik diinversi menjadi nilai impedansi akustik yang diturunkan dari data sumur untuk mengubah data volume seismik menjadi data volume impedansi akustik. Inversi seismik model based digunakan untuk melakukan proses tersebut. Analisa terfokus pada hasil inversi pada reservoar batu gamping. Identifikasi pada reservoar dari data sumur terlihat pada kedalaman 2610 m – 2740 m dengan ketebalan yang relatif tipis yaitu berkisar 15 m. Berdasarkan data log dan hasil inversi, reservoar batu gamping memiliki nilai impedansi akustik yang cukup tinggi yaitu sekitar 9000 -10000 (m/s)*(gr/cc). Hasil inversi dapat mendeteksi distribusi batu gamping pada horizon Reservoar di formasi El Garia yang terkonsentrasi pada bagian tenggara hingga timur laut daerah penelitian.

Mapping the distribution of reservoir in the field A of Sabratah Basin, Libya, performed using seismic acoustic impedance inversion. In this study inverted seismic data into acoustic impedance values derived from well data to transform data of seismic volume into a data acoustic impedance volume. Seismic models based inversion used to perform this process. Analysis focuses on the inversion results in limestones reservoir. Identification of the reservoir from well data visible at depths of 2610 m - 2740 m with thickness relatively thin that is about 15 m. Based on log data and inversion results, limestones reservoir has an acoustic impedance values are high enough that is around 9000 -10000 (m / s) * (g / cc). results of Inversion could detect the distribution of the limestone reservoir horizon in the El Garia formation which is concentrated in the southeast to the northeast part of the study area."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S47034
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Zaglulsyah
"ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui gambaran audiogram dan emisi otoakustik pada pekerja pabrik tekstil PT "X" Banten yang terpajan bising dengan menggunakan pemeriksaan audiometri dan DPOAE. Pada penelitian ini didapatkan hasil prevalensi gangguan pendengaran pada pajanan bising dengan audiometri nada murni sebesar 73% (66 percontoh) dari 90 percontoh, sedangkan pada DPOAE ditemukan sebesar 47,8% (43 percontoh ) dari 90 percontoh. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, percontoh dengan jenis kelamin laki-laki merupakan faktor yang paling berpengaruh pada proses terjadinya gangguan fungsi pendengaran. Berdasarkan analisis Kappa R, pemeriksaan audiometri dan DPOAE di frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz terdapat adanya hubungan yang bermakna dan mempunyai kesesuaian yang lemah.

ABSTRACT
This study is a cross-sectional study to describe the audiogram and emission otoakustik textile factory worker PT "X" Banten are exposed to noise by using audiometric examination and DPOAE In this study, the prevalence of hearing loss results in exposure to noise by pure tone audiometry by 73% (66 tokens) of 90 tokens, whereas the DPOAE was found to be 47.8% (43 tokens) of 90 tokens. Based on the results of logistic regression analysis, tokens with male gender is the most influential factor in the occurrence of auditory dysfunction. Based on the analysis of Kappa R examination and DPOAE at frequency 4000Hz and 6000HZ there a meaningful relationship and have weak compliance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: UI-Press, 1980
R 351.345 Kom
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Nieza Femini Rissa
"Latar Belakang: Pada lansia, gangguan fungsi pendengaran ditandai dengan berkurangnya sensitivitas pendengaran dan pemahaman tutur pada suasana bising. Hal tersebut akibat gangguan pada penerimaan informasi akustik dan kemampuan melokalisir sumber suara pada proses pendengaran sentral.
Tujuan: Mengetahui nilai rerata ambang dengar, Speech Reception Threshold(SRT), Speech Discrimination Score(SDS), signal-to-noise ratio(SNR) dari audiometri nada murni, audiometri tutur, tutur dalam bising dan korelasinya, serta pengaruh faktor usia, jenis kelamin dan sisi telinga.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, melibatkan 40 percontoh lansia di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo. Percontoh yang memenuhi kriteria inklusi dilanjutkan dengan pemeriksaan audiometri tutur dan tutur dalam bising.
Hasil: Didapatkan nilai rerata ambang dengar sebesar 30,7±9,4dB, SRT50%33,2±12,0dB, SDS100%62,1±13,8dB pada audiometri tutur, SRT50%68,6±2,9dB, dan SDS100%83,7±6,6dB pada tutur dalam bising. Median SNRSRT50% -2,0dBSL(-7–14dBSL) dan SNRSDS100% 15,0(0–30dBSL). Terdapat korelasi sedang dan bermakna antara SRT50%(r=0,67) dan SDS100%(r=0,59) dengan audiometri nada murni(p<0,05). Selain itu, korelasi lemah(r=0,3) namun bermakna pada SRT50% dalam bising dengan audiometri nada murni (p<0,05). Didapatkan perbedaan bermakna pada SDS100% dan SNRSDS100% antar kelompok usia 60-69 dan 70-80 tahun(p<0,05).
Kesimpulan: Pemeriksaan audiometri nada murni, tutur dan tutur dalam bising sebaiknya menjadi pemeriksaan rutin pada lanjut usia, terutama yang mengalami gangguan pendengaran.

Background: In elderly, hearing impairment is characterized by reduced hearing sensitivity and speech recognition in noisy situations. 
Objectives: To determine the hearing threshold, SRT, SDS, and SNR from pure tone, speech and speech-in-noise audiometry and their respective correlation, also the influences of age, gender and ear side factors. 
Methods: A cross-sectional study involving 40 elderly samples in RSCM. Forty samples to meet the inclusion criteria were examined with speech audiometry and speech-in-noise audiometry. 
Results:  The mean hearing threshold is 30.7±9.4dB, SRT50% 33.2±12.0dB, SDS100% 62.1±13.8dB in speech audiometry and the SRT50% 68.6±2.9dB, and SDS100% 83.7±6.6dB in speech-in noise audiometry examination,. The median SNRSRT 50% in noise -2.0dBSL (-7 - 14dBSL) and SNRSDS100% in noise 15.0 (0-30 dB SL). There was moderate correlation between SRT50% (r=0.67) and SDS100% (r=0.59) with pure tone audiometry (p<0.05). In addition, a weak (r=0.3) but significant correlation was found at SRT50% in noise with pure tone audiometry (p<0.05). There were significant differences in SDS and SNRSDS in noise based on the age group (p<0.05). 
Conclusion: Examination of pure tone, speech and speech-in-noise audiometry should be a routine examination for the elderly, especially those with hearing loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sesanti Hayuning Tyas
"ABSTRAK
Terapi oksigen hiperbarik (TOH) telah direkomendasikan sebagai terapi adjuvan dari terapi utama steroid pada tuli mendadak, dengan mekanisme peningkatan oksigenasi jaringan dan penekanan inflamasi dan edema akibat iskemia. Belum didapatkan penelitian tentang perbandingan ambang perfrekuensi dan signal to noise ratio (SNR) antara terapi steroid metil prednisolon (MP) dibanding kombinasi MP dan TOH pada tuli mendadak. Penelitian uji klinis acak tersamar tunggal ini dilakukan di Poliklinik Neurotologi Departemen THT-KL FKUI/RSCM dan Unit Hiperbarik RSAL Mintohardjo pada bulan Juni-Desember 2013, melibatkan 20 subjek tuli mendadak, dengan 10 subjek kelompok terapi MP dan 10 subjek kelompok terapi MP dan TOH. Analisis dilakukan pada pemeriksaan audiometri nada murni pada 9 frekuensi dan Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) pada 5 frekuensi, pada awal terapi dan hari ke-15. Penelitian ini tidak mendapatkan perbedaan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok, didapatkan kecenderungan perubahan ambang perfrekuensi yang lebih besar pada frekuensi 1000, 2000, 4000, 10000, 12000 dan 16000 Hz pada kelompok MP dan TOH, dan perubahan SNR yang lebih besar pada frekuensi 12000 Hz pada kelompok MP dan TOH. Tidak didapatkannya perbedaan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang bermakna, dimungkinkan karena penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan. Penelitian juga membatasi analisis hingga terapi hari ke-15, sedangkan subjek tuli mendadak di Poli Neurotologi THT-KL RSCM sedianya dilanjutkan evaluasi hingga hari ke-90 (3 bulan). Penelitian lebih lanjut dengan besar subjek yang sesuai serta waktu evaluasi yang lebih lama, diharapkan dapat lebih menganalisis kecenderungan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang lebih besar pada kelompok MP dan TOH.

ABSTRACT
Hyperbaric oxygen therapy (HBOT) has been recommended as an adjuvant therapy of primary steroid therapy in sudden deafness, the mechanism by increasing of tissue oxygenation and suppression of inflammation and edema due to ischemia. Differences in frequency threshold and signal to noise ratio changes between methyl prednisolone (MP) therapy with MP and HBOT on sudden deafness, has not been obtained. This single-blind randomized clinical trial study was conducted at the Neurotology clinic of CMH ENT Department and Hyperbaric Unit of Mintohardjo Navy Hospital in June-December, 2013, involving 20 sudden deafness subjects, with 10 subjects in MP therapy group and 10 subjects in MP and HBOT group. Analysis was performed on pure tone audiometric examination at 9 frequencies and Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) at 5 frequencies, at the start of therapy and day 15. This study does not get the statistically significant difference in frequency threshold and SNR changes between the two groups, it was found that the tendency of changes in frequency threshold was greater in frequencies 1000, 2000, 4000, 10000, 12000 and 16000 Hz in the MP and HBOT group, and the change in SNR was greater in frequency of 12000 Hz in the MP and HBOT group. The statistically significant difference in frequency threshold and SNR changes between the two groups does not obtained, possible because this study is preliminary research. The study also restrict the analysis to the 15th day of therapy, while the subject of sudden deafness in Neurotology Clinic of CMH ENT Department originally continued evaluation until the 90th day (3 months). Further studies with larger appropriate subject and a longer evaluation period, is expected to further analyze trends and greater changes in frequency threshold and SNR in the MP and HBOT gorup."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Sarnita
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S47875
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuriah
"Latar Belakang. Bising adalah bahaya potensial (hazard) yang dapat menyebabkan NIHL pada pekerja tambang nikel yang terpajan bising. Adanya peningkatan ambang dengar pada pekerja dengan pajanan bising yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan NIHL. Kejadian NIHL yang semakin meningkat merupakan salah satu masalah pada pekerja tambang PT X. Tujuan penelitian adalah mengetahui tren audiometri dan prevalensi NIHL, mengetahui perbedaan NAD akibat pajanan bising tinggi dan rendah, mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan NIHL pada pekerja tambang nikel yang terpajan bising di PT. X tahun 2012-2016. Metode. Penelitian dengan desain observasional analitik dengan kohort retrospektif di UBP Nikel PT X pada Bulan Desember 2017, dengan cara pengambilan sampel menggunakan metode total sampling. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder MCU pekerja yang sudah dilakukan pemeriksaan audiometri, data baseline 2011, data annual dari tahun 2012 sampai dengan 2016, dan analisis data dilakukan dengan program statistik SPS Statistics 20.0. Hasil. Prevalensi kejadian NIHL sebesar 15,97% tahun 2012 dan mencapai 39,54% pada tahun 2016. Kejadian kasus (prevalensi) NIHL selalu mengalami peningkatan baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB sejak tahun 2012 sampai 2016, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara risiko kebisingan dengan kejadian NIHL setiap tahunnya. Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan NAD telinga kanan dan kiri baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB pada tahun 2012-2016. Pada penelitian diketahui bahwa faktor usia memiliki hubungan signifikan dengan kejadian NIHL usia ≥40 tahun sebanyak 47,21% (p 0,000, IK 1,33-1,87), responden dengan usia ≥40 tahun memiliki risiko mengalami NIHL 1,58 kali lebih besar dibandingkan kelompok usia <40 tahun. Masa kerja ≥10 tahun sebanyak 40,15% memiliki hubungan signifikan dengan kejadian NIHL (IK 1,51-1,85) dan memiliki risiko mengalami NIHL 1,67 kali lebih besar dibandingkan kelompok masa kerja <10 tahun. Kriteria STS yang positif (90,91%) dengan (p 0,000) signifikan menunjukkan terjadinya NIHL. Kesimpulan. Tren Audiometri dan prevalensi NIHL terlihat kecenderungan meningkat dari tahun 2012 sampai tahun 2016. Tidak terdapat perbedaan NAD telinga kanan dan kiri baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB pada tahun 2012-2016. Hasil ini menunjukkan tren kecenderungan meningkat terjadinya kejadian (prevalensi) NIHL di PT X. Kejadian kasus (prevalensi) NIHL selalu mengalami peningkatan baik pada area kerja dengan risiko kebisingan <85dB atau ≥85dB sejak tahun 2012 sampai 2016, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara risiko kebisingan dengan kejadian NIHL setiap tahunnya. Faktor usia, masa kerja, kriteria STS positif memiliki hubungan signifikan dengan kejadian NIHL. Kata Kunci. gangguan pendengaran akibat pajanan bising (noise induced hearing loss); pekerja tambang; prevalensi; risiko kebisingan; tren audiometri.

Background. High-volume noise is a potential hazard which may cause Noise Induced Hearing Loss (NIHL) among nickel mine workers who are exposed to noise. The increase of hearing threshold in workers with chronic exposure to high-volume noise may cause NIHL. The increasing prevalence of NIHL is a problem for nickel mine workers of PT X. The objective of this study is to identify the audiometry trend and NIHL prevalence among mine workers who are exposed to high-volume noise, to investigated correlation of noise level exposure and the others that causes NIHL, to know how difference hearing treshold value on the workers worked with noise level <85 dB and ≥85 dB since 2012 until 2016. Method. This study used an analytical observational design with retrospective cohort at UBP Nikel PT X in December 2017, with the method of obtaining samples by total sampling. This study was conducted by collecting secondary medical check-up data of workers who have undergone audiometry examinations, baseline data from 2011, annual data from 2012 until 2016, and data analysis was done using SPSS program version 20.0 Results. The prevalence of NIHL was shown starting from 15,97% in 2012, and the prevalence reached 39,54% in 2016. The prevalence of NIHL always showed an increase, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB since 2012 until 2016, however there was no significant relation between noise levels and NIHL prevalence each year. In this study it was discovered that there were no differences in hearing treshold value right ear and left ear, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB during 2012-2016. It was found that age had a significant association with NIHL prevalence, respondents aged >40 years old as much as 47,21% (p 0,000, 95% CI 1,33-1,87); respondents aged >40 years old had 1,58 times higher risks to develop NIHL than the age group <40 years old. Respondents with the period of work ≥10 years as much as 40,2% (IK 1,511,85) had a significant association with NIHL prevalence. They had 1,67 times higher risks to develop NIHL than period of work <10 years. It was found that Positive STS Criteria (90,91%) had a significant association with NIHL prevalence (p 0,000). Conclusion. The NIHL prevalence and the audiometry trend showed a tendency to increase from 2012 until 2016. The prevalence of NIHL always showed an increase, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB since 2012 until 2016, however there was no significant relation between noise levels and NIHL prevalence each year. There were no differences in hearing treshold value right ear and left ear, both in the working areas with noise level <85dB and ≥85dB since 2012 until 2016. The factor of age and period of work had a significant association with NIHL It was found that Positive STS Criteria had a significant association with NIHL prevalence . Keywords. audiometry trend; mine workers; noise induced hearing loss; noise level risk; prevalence."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oka Ananda Akbar
"TPS merupakan modalitas penting dalam perlakuan terapi karena salah satu fungsinya sebagai penyedia informasi dosis yang akan diterima target. Oleh karena itu jaminan kualitas TPS harus dilakukan untuk menjamin akurasi perhitungan dosis sehingga perlakuan terapi dapat bersifat optimal. Tujuan penelitian ini adalah melakukan verifikasi dosis kalkulasi TPS sebagai salah satu prosedur jaminan kualitas serta untuk mengetahui rentang deviasi jika terdapat perbedaan antara dosis kalkulasi dengan dosis pengukuran. Penelitian dilakukan menggunakan fantom CIRS 002LFC model toraks di dua center radioterapi dengan tahapan penelitian berdasarkan publikasi IAEA melalui TECDOC-1583. Pengukuran dosis titik menggunakan dosimeter bilik ionisasi 0.6 cm3, film gafchromic EBT3, dan TLD kemudian dosis pengukuran dibandingkan dengan dosis kalkulasi TPS. Hasil penelitian menunjukkan deviasi dosis pada seluruh kasus uji untuk kedua center radioterapi masih berada di dalam rentang tolerasi. Deviasi dosis di center radioterapi 1 bernilai 0.272.00% untuk bilik ionisasi 0.6 cm3, -0.081.79% untuk film gafchromic EBT3, dan -0.214.93% untuk TLD. Deviasi dosis di center radioterapi 2 bernilai -0.602.68% untuk bilik ionisasi 0.6 cm3, 0.151.75% untuk film EBT3, dan -3.906.30% untuk TLD. Nilai deviasi dosis yang tinggi umumnya diperoleh pada pengukuran dengan geometri kompleks seperti penggunaan blok, berkas tangensial, dan perputaran kolimator serta pengukuran pada material inhomogen (paru-paru dan tulang). Pengukuran di titik dengan perluasan penumbra (titik 10 kasus uji 6) gagal dilakukan menggunakan dosimeter bilik ionisasi namun menghasilkan deviasi yang rendah pada dua dosimeter lainnya. Kesimpulan dari penelitian in adalah semua unit TPS menunjukkan performa yang baik. Hasil pengukuran menunjukkan TLD merupakan dosimeter dengan akurasi dan presisi yang paling buruk. Tingkat akurasi keseluruhan dosimeter yang digunakan adalah film EBT3 dengan -0.05%, bilik ionisasi dengan -0.23%, dan TLD dengan -2.24%.

TPS is an important modality in therapy planning since it provides calculated dose information that will be received by target. Thus TPS quality assurance must be conducted to ensure the accuracy of dose calculation hence optimal therapy treatment could be achieved. The aim of this study is to verify TPS calculated dose as one of quality assurance procedures and also to know the deviation range if there are differences between calculated and measured dose. This study was performed using phantom CIRS thorax model 002LFC on 2 radiotherapy centers. The method of this study is based on IAEA TECDOC-1583. Point dose measurement was accomplished using 0.6 cm3 ionization chamber, gafchromic EBT3 film, and TLD then the measured dose was compared to calculated dose. The result of this study showed that the dose deviation of entire test cases on both radiotherapy centers are still below agreement criterion. Dose deviations on first radiotherapy center are 0.272.00% for 0.6 cm3 ionization chamber, -0.081.79% for gafchromic EBT3 film, and -0.214.93% for TLD. Meanwhile, dose deviations on second radiotherapy center are -0.602.68% for 0.6 cm3 ionization chamber, 0.151.75% for gafchromic EBT3 film, and -3.906.30% for TLD. Dose deviation out of agreement criterion generally discovered on measurement with complex geometry such as blocked field, tangential field, collimator rotation and measurement on inhomogen materials (lungs and bone equivalent) as well. Measurement on widening penumbra (point 10 test case 6) was failed to be conducted using ionization chamber yet yield dose deviation below agreement criterion with two others dosimeters. The conclusion of this study is all TPS units that were involved showed good performance of dose calculation. Measurement results also conclude that TLD is a dosimeter with the worst accuracy and precision. The accuracy order of dosimeters used in this study is gafchromic EBT3 film with -0.05%, ionization chamber with -0.23%, and TLD with -2.24%.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S65043
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananto Prasetya Hadi
"ABSTRAK
Nama : Ananto Prasetya HadiProgram Studi : Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaJudul : Efek Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Penurunan KadarHbCO pada Penyelam Tradisional Dengan Teknik Penyelaman Kompresor Konvensional Di Pesisir Utara Lombok.Latar belakangMelihat masih banyaknya penyelam tradisional yang masih menggunakan kompresor konvensional sebagai media utama dalam penyelaman dan minimnya informasi dan data kasus-kasus keracunan CO akibat penggunaan kompresor konvensional, maka diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi kondisi tersebut, terutama keracunan CO kronik yang terjadi pada penyelam tradisional dengan teknik penyelaman kompresor konvensional di sepanjang pesisir utara Pulau Lombok. MetodePenelitian ini merupakan penelitian eksperimental pre dan post design dengan membandingkan hasil terapi berupa rerata penurunan kadar HbCO pada penyelam tradisional dengan teknik penyelaman kompresor konvensional, sebelum dan sesudah dilakukan terapi oksigen hiperbarik, dengan tekanan 2,4 ATA selama 3x30 menit. HasilDidapatkan nilai median kadar HbCO sebelum dilakukan intervensi adalah 19,45 ; min 16,02 ; maks 30,20 ; sementara nilai median HbCO setelah dilakukan intervensi adalah 6,63 ; min 4,90 ; maks 11,39 . Ada hubungan positif yang kuat antara keduanya dengan nilai koefisien Spearman rsquo;s rho rs = 0,666 dan hubungan tersebut signifikan secara statistik p = 0,001 .Penurunan HbCO dapat dipengaruhi oleh kadar Hb dalam darah ? = -0,473 dan kadar hematokrit ? = -0,587 . Korelasi risiko pajanan kumulatif CO selama menjadi nelayan dengan DCS digambarkan dengan nilai koefisien Spearman rsquo;s ? = 0,029 untuk nyeri sendi dan ? = 0,085 untuk sering kram. Kesimpulan dan saranTerapi OHB dapat menurunkan kadar HbCO pada penyelam tradisional dengan teknik kompresor konvensional. Perlu penelitian lanjutan tentang risiko DCS pada penyelam tradisional dengan teknik penyelaman kompresor konvensional. Kata kunci: penyelam tradisional, kompresor konvensional, HbCO, Terapi OHB

ABSTRACT
Name Ananto Prasetya HadiStudy Program Occupational Health Magister, Faculty of Medicine, Universitas IndonesiaTitle Effect of Hyperbaric Oxygen Therapy against HbCO Level Decrease on Traditional Diver with Conventional Compressor Technique On North Coast of Lombok. BackgroundThere are many traditional divers with conventional compressor as the main gear for diving and the lack of information and case reports on CO poisoning, urgent measures are needed to address the situation, especially on chronic CO poisoning among traditional divers with conventional compressor in northern coast of Lombok Island. MethodsThe study design is experimental pre and post design by comparing the results of therapy in the form of a mean decrease of HbCO levels on traditional divers with conventional compressor technique, before and after hyperbaric oxygen therapy at 2.4 ATA pressure for 3x30 minutes. ResultsHbCO levels median value before intervention is 19,45 minimum value 16,02 maximum value 30,2 and after Hyperbaric Oxygen intervention the median value is 6,63 minimum value 4,9 maximum value 11,39 . There is strong positive correlation between them with Spearman rsquo s correlation coeficient rho rs 0,666 and statistically significant p 0,001 .Decrease in HbCO levels is influenced by Hb level 0,473 and hematocrit level 0,587 . Correlation between cummulative CO exposure risk during the time working as divers and DCS is shown by Spearman 39 s coefficient 0,029 for joint pain and 0,085 for cramps. ConclusionsHyperbaric Oxygen therapy can reduce HbCO levels in traditional divers with conventional compressors. Further study is needed to address the problem between DCS risk and traditional divers with conventional compressors technique. Keyword traditional divers, conventional compressor, HbCO, Hyperbaric Oxygen therapy "
2017
T55724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>