Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116232 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihotang, Jeeferson
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kewenangan notaris dan kepastian hukum dari akta risalah
lelang notaris. Pasal 15 ayat 2 huruf g UU Notaris menetapkan bahwa notaris
berwenang membuat akta risalah lelang sementara Vendu Reglement (Peraturan Lelang) menyatakan bahwa kewenangan untuk menyusun suatu akta lelang dilakukan oleh pejabat lelang. Oleh karena itu, pokok permasalahan dari tesis ini adalah kewenangan hukum dari notaris dalam membuat akta risalah lelang berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris dan bagaimana kepastian hukum dari akta risalah lelang yang dibuat oleh notaris. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan dilengkapi dengan wawancara. Berdasarkan prinsip hukum lex specialis derogat legi generalis, penulis menyimpulkan bahwa notaris tidak secara otomatis berwenang untuk membuat akta risalah lelang. Hanya notaris yang ditunjuk sebagai pejabat lelang oleh pemerintah yang memiliki kewenangan untuk membuat akta risalah lelang. Oleh karena itu, akta risalah lelang yang dibuat oleh notaris yang tidak memenuhi syarat sebagai juru lelang akan membuat akta risalah lelang menjadi tidak otentik dan tidak memberikan kepastian hukum bagi para pihak

ABSTRACT
This thesis discussed the authority of a notary and the legal certainty of notary's auction deed. Article 15 paragraph 2 point g of the Notary Act stipulates that a public notary is authorized to draw up an auction deed while vendu reglement (the Auction Act) states that the authority to draw up an auction deed is held by an auctioneer. Therefore, the main issues of this thesis are the legal authority of notary in drawing up an auction deed based on the Notary Act and how the legal certainty of an auction deed drew up by a notary. The method used in this research is juridical normative and equipped by interviews. Based on the legal principle of lex specialis derogat legi generalis, the writer concluded that a notary is not automatically authorized to draw up an auction deed. Only a notary who is also appointed as an auctioneer by the government has the authority to draw up an auction deed. Therefore, an auction deed drew up by a notary who does not qualify as an auctioneer will make the deed not authentic and does not provide legal certainty for the parties."
2016
T46494
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riri Ananingdyah
"ABSTRAK
Keberadaan penyelenggara sertifikat elektronik ditujukan untuk memberikan pengamanan terhadap penggunaan jaringan internet sebagai jalur komunikasi. Penyelenggaraan sertifikat elektronik yang baik memerlukan peran notaris di dalamnya, dimana dalam penelitian ini dikaji mengenai peran notaris dalam
penyelenggaraan sertifikat elektronik yang dapat menjamin kepastian suatu
identitas dan mengkaji perlunya peran notaris dalam program SiVION dari
Kementerian Komunikasi dan Informasi. Penelitian ini merupakan suatu
penelitian hukum normatif yang menggunakan pengolahan dan analisis data serta
dilakukan dengan mengadakan penelusuran asas-asas hukum umum, untuk
kemudian membuat suatu interpretasi terhadap peraturan hukum umum.
Penyelenggaraan Sertifikat Elektronik yang melibatkan peranan notaris di
dalamnya mempunyai pengakuan hukum yang relatif paling kuat, karena peluang
penampikan seseorang telah tereliminasi. Hal ini didasari dengan adanya
ketentuan dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang Undang Jabatan Notaris
dimana notaris diberikan kewenangan untuk menguatkan suatu dokumen dalam
tindakan cyber notary. Selain itu dalam program SiVION tanpa adanya peranan
notaris mengakibatkan suatu transaksi elektronik yang aman tapi legitimasinya
lemah. Dengan demikian diperlukan peran Notaris dalam Penyelenggaraan
SiVION selaku Registration Authority untuk menjamin kebenaran identitas
pengguna dengan memanfaatkan KTP elektronik, serta diperlukan pengawasan
oleh Ikatan Notaris Indonesia terhadap kinerja notaris selaku Registration
Authority demi penyelenggaraan sertifikat elektronik yang lebih baik

ABSTRACT
The existence of Certification Authority are addressed to give security for the internet network user as a communication line. A good certification authority
enforcement requires a notary's role in it, wherein this research the notary's role
are examined in relation to the certification authority whether it can ensure the
certainty of an identity and examined the need of a notary?s role in the SiVION
program which is held by the Ministry of Communication and Information. This
Research is a normative legal study that utilize data analysis and general
principles of law, and with it make an interpretations to the laws and regulations.
Certification authority which involve a notary's role in it, will have a relatively
powerful law recognition because the opportunities of someone's denial is
eliminated. This matter is based on the definition that occur within the explanation
of article 15 paragraph (3) from the Position Of Notary's Act wherein a notary is
given an authority to strengthen a document within the measure of cyber notary.
Further more, although it is safe, without the role of a notary in the SiVION
program will resulting a questionable legitimacy in the electronic transaction.
Therefore, a SiVion program is not only requires a notary's role but a notary's role
is also significant as an Registration Authority to ensure the certainty of a user's
identity by using the electronic citizen identification card, nevertheless a notary's
role in the SiVion program is also requires an oversight by the Indonesian Notary
League to monitor the performance of a notary as an Registration Authority for a
better Certification Authority service."
2017
T47041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vitanova Saputri
"Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 (UUJN) merupakan penyempurnaan undang-undang peninggalan jaman kolonial dan unifikasi sebagian besar undang-undang yang mengatur mengenai kenotariatan yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. Pasal 1 UUJN menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan Pasal 15 ayat (2) huruf (g) menyatakan bahwa Notaris berwenang pula membuat akta risalah lelang yang berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHperdata merupakan Akta Otentik. Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Jabatan Notaris (RUUJN) Nomor 30 Tahun 2004 menyiratkan perubahan yang meliputi ketentuan tentang persyaratan dan kewajiban Notaris serta menghilangkan pasal tentang tugas dan kewenangan Notaris terutama berkaitan dengan pembuat akta pada bidang pertanahan dan pembuatan Akta Risalah Lelang.
Perubahan yang diusulkan dalam RUUJN terutama tentang hilangnya kewenangan Notaris membuat Akta Risalah Lelang menarik untuk penulis bahas karena hilangnya pasal tersebut sedikit banyak mengundang persepsi bahwa RUUJN mempersempit ruang lingkup kewenangan Notaris sebagai Pejabat Umum yang mana diketahui bahwa Akta Risalah Lelang adalah Akta Otentik dan Notaris berwenang untuk membuatnya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penulis mencoba meneliti dari berbagai sumber serta melakukan wawancara dengan narasumber yang berkompeten di bidang lelang dan kenotariatan dan juga dengan informan untuk mengetahui bagaimana dampaknya RUUJN bagi kewenangan Notaris.
Kesimpulan yang penulis dapatkan, untuk membuat Akta Risalah Lelang harus terlebih dahulu menjadi Pejabat Lelang. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dalam Pasal 8 disebutkan bahwa Pejabat Lelang hanya terdiri dari Pejabat Lelang Kelas I dan II tidak disebutkan secara spesifik seorang Notaris adalah Pejabat Lelang dan berhak membuat Akta Risalah Lelang, sehingga terdapat disharmonisasi antara Pasal 15 ayat (2) huruf (g) dengan Pasal 8 PMK. Namun dihilangkannya pasal dalam RUUJN tersebut tidak serta merta membuat Notaris kehilangan kesempatan untuk menjadi Pejabat Lelang dan tidak berhak membuat Akta Risalah Lelang, kewenangan tersebut tetap ada selama Notaris memenuhi persyaratan dan ketentuan yang telah ditentukan dalam perundang-undangan untuk diangkat menjadi Pejabat Lelang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf (a) RUUJN.

The Notary Act No. 30 of 2004 (UUJN) is a refinement and a unification of most of the colonial laws governing the notary which is no longer compatible with the development of laws and the needs of the community. In Indonesia, UUJN Article 1 states that the notary is a public official who is authorized to make authentic deeds and Article 15 paragraph (2) letter (g) states that the Notary is also authorized to make auction deeds namely "Risalah Lelang" which under the provisions of Article 1868 Civil Code is an authentic deeds.
Draft Law on Amendments to the Notary Act No. 30 of 2004 (RUUJN) implies changes that include on the requirements and obligations of Notaries and removes provision on the duties and authorities of the Notary primarily with regard deeds in relation to lands and auction. The proposed changes of RUUJN especially about removal of authority on auction deeds and this thesis is focussed on this matter. I’m interested in, analyzing the removal of the article on auction deeds which removes notary’s authorities to write auction deeds because it may narrow the scope of authorities of the notary. By using juridical normative research methods, I examined this matter from various sources and did some interviews to determine the impact of RUUJN to Notary authorities.
I conclude that, as stipulated in the Regulation of the Minister of Finance No. 93/PMK.06/2010 on Implementation Guidelines of Auction, Article 8 states that, auction deeds divided into first class auctioneer and second class auctioneer. This article does not specifically mention that notary is an auctioneer and automatically entitle’s to make auction deeds. So, there is disharmony between Article 15 paragraph (2) letter (g) UUJN with Regulation of the Minister of Finance No. 93/PMK.06/2010. However, the omission of the article in the RUUJN does not necessarily make the loss of the opportunity of notary to become an auctioneer and the lost of the authority to write auction deeds. The authorities remain as long as meet the terms and conditions specified in the law to be appointed as auctioneer as stipulated in article 3 letter (a) RUUJN.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Adi Saputro
"Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki wewenang membuat akta otentik dan memberikan penyuluhan hukum tentang pembuatan akta. Salah satu bentuk akta otentik adalah akta perseroan yaitu Akta Pernyataan Keputusan RUPSLB dan Akta Risalah RUPS-LB. Di dalam Putusan MPPN No : 02/B/Mj.PPN/VIII/2010, merupakan kasus yang terdapat di Riau dimana seorang klien yang menghadap Notaris hendak dibuatkan Akta Pernyataan Keputusan RUPSLB dan Akta Risalah RUPS-LB untuk satu perbuatan hukum yang sama. Klien tersebut memiliki itikad tidak baik dengan memberikan keterangan yang tidak sesuai kenyataannya kepada Notaris bahwa RUPS yang telah diadakan perseroannya untuk membahas jual-beli saham telah memenuhi kuorum kehadiran para pemegang saham sehingga dapat mengambil keputusan secara sah dan mengikat. Atas keterangan klien-nya, maka Notaris membuatkan Akta tersebut. Ketika klien tersebut melaporkan dua Akta tersebut kepada para pemegang saham, munculah protes dari para pemegang saham dan menuntut pidana kepada klien Notaris karena telah memberikan keterangan palsu. Klien tersebut malah balik menyalahkan Notaris dengan menggugat tidak dapat memberikan pelayanan yang profesional dengan menerbitkan Akta Pernyataan Keputusan RUPS-LB dan Akta Risalah RUPS-LB tersebut dan melaporkannya ke MPWN-Riau. MPWN-Riau hanya memberikan sanksi teguran lisan kepada Notaris tersebut. Karena tidak puas, maka klien tersebut melaporkan ke MPPN. Atas hal tersebut, MPPN memutuskan menguatkan keputusan MPWN-Riau dengan sanksi teguran lisan kepada Notaris.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif karena menekankan pada penggunaan data sekunder atau berupa norma hukum tertulis dan wawancara dengan dua narasumber. Metode analisa data secara kualitatif sehingga bentuk hasil penelitian ini berbentuk eksplanatoris analitis.
Hasil penelitian menyatakan bahwa kesalahan yang dilakukan Notaris adalah membuatkan Akta Pernyataan Keputusan RUPS-LB dengan dokumen persyaratan yang belum jelas kenyataannya, membuat Akta Pernyataan Keputusan RUPS-LB dan Akta Risalah RUPS-LB dengan nomor dan tanggal yang sama, serta membuatkan Akta Risalah RUPS-LB yang sebenarnya tidak dapat dibuat karena Notaris tidak datang dalam RUPS-LB. Sementara sanksi yang diberikan MPPN kepada Notaris adalah lisan dan menguatkan keputusan MPWN-Riau.

Notary is a public official who has authority to make authentic documents and give legal advice about making deed. One form of deed is a deed of company that is authentic Deed of Statement of General Meeting Sharehorlders and Deed of Extraordinary General Meeting Shareholders Minutes. In the Decision MPPN No: 02 / B / Mj.PPN / VIII / 2010, is located in Riau cases where a client is about to be made to Notary Deed of Statement of Extraordinary General Meeting Shareholders and the Deed of Minutes of Extraordinary General Meeting Shareholders for the same single legal act . Client has a bad faith to provide information that does not fit reality to the notary that the Extraordinary General Meeting Shareholders which was held perseroannya to discuss buying and selling shares in compliance with attendance quorum of shareholders so it can take decisions and legally binding. On the testimony of his client, then make the Notary deed. When the client provides a copy of the Deed of Statement of Extraordinary General Meeting Shareholders and The Deed of Extraordinary General Meeting Shareholders Meeting Minutes to shareholders, munculah protests from the shareholders of two of the company deed, and prosecute criminal deed to the client for giving false testimony. Clients are turning instead to sue the notary blame can not provide professional services by issuing a The Deed of Statement of Extraordinary General Meeting Shareholders and The Deed Extraordinary General Meeting Shareholders Minutes and report it to MPWN-Riau. MPWN-Riau only gave sanction to the Deed is an oral reprimand. Not satisfied, then the client is reported to MPPN. Top MPPN examination about notary error, then MPPN decided to strengthen decision-Riau MPWN with verbal reprimand sanction to the deed.
This research used a normative juridical approach because it emphasizes the use of secondary data or the form of written legal norms and interviews with the two sources. Qualitative data analysis methods that form the research results in the form of analytical explanatory.
The results stated that the mistakes made by deed is made The Deed of Statement of Extraordinary General Meeting Shareholders with the document requirements are not clear in fact, make a The Deed of Statement of Extraordinary General Meeting Shareholders and the Deed of Extraordinary General Meeting Shareholders with the same number and date, and make a Deed of Minutes of Extraordinary General Meeting Shareholders who truly can not be made because the notary did not come within the GMS-LB. While the sanction given to the Notary MPPN is an oral reprimand and strengthen decision-Riau MPWN.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28598
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Missi Ananda
"Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengatur mengenai kewenangan, kewajiban serta larangan Notaris, serta mengatur mengenai sanksi-sanksi administratif yang akan dikenakan kepada Notaris yang melanggar aturan. Notaris adalah pejabat umum dan dasar utama profesi serta jabatan Notaris adalah kepercayaan, oleh karena itu seorang Notaris mempunyai kewajiban untuk bertindak jujur, adil dan tidak berpihak.
Dalam penulisan tesis ini penulis membahas mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli, menganalisis putusan Majelis Pemeriksa Pusat Notaris Nomor: 10/B/Mj.PPN/2009, untuk mengetahui dampak yang ditimbulkannya beserta sanksi yang diberikan kepada Notaris yang melakukan pelanggaran. Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris diatur bahwa apabila ada seorang Notaris yang melakukan pelanggaran jabatan, maka Notaris tersebut akan dikenakan sanksi perdata dan sanksi administratif.

Law Act Number 30 of 2004 of Notary Professional regulate authority, obligations and Notary restrictions, and also organize the administrative sanctions to be imposed on the Notary who infringe the rules. Notary as a public official and the profession's main of trust, therefore, an act truthful, fairly and impartially.
In this thesis, the author discusses about the infringe committed by the Notary in the sale and purchase deeds, analyzing about the decision of central assembly examiner's of Notary public knowing thereafter, and punishment given to the Notary who commit violations. According to the Law of Notary Professional, public notary who commits an offense, will be subject to civil and administrative sanctions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28940
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Rizmadeta
"UU Cipta Kerja mengubah beberapa pengaturan perizinan, termasuk perizinan bangunan gedung. Tahun 2021 lalu, MK mengeluarkan Putusan MK No. 91/PUUXVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sehingga pelaksanaan UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan hal-hal strategis dan berdampak luas harus ditangguhkan termasuk membentuk peraturan pelaksana baru. Dalam pengimplementasiannya, penyelenggaraan PBG mengalami kendala di daerah, dalam penelitian ini adalah Kota Serang. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen yang terdiri atas bahan hukum primer dan sekunder, serta wawancara dengan pihak terkait. Dalam penelitian ini, kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan PBG setelah UU Cipta Kerja masih menjadi kewenangan daerah yang dilaksanakan oleh DPMPTSP. Kewenangan tersebut masih sama dengan regulasi bangunan gedung sebelum UU Cipta Kerja. Hubungan kewenangan pusat dan daerah terlihat dari terintegrasinya pemerintah pusat dan daerah melalui sistem SIMBG yang mana pemerintah pusat dapat melakukan pengawasan langsung terhadap izin yang diterbitkan oleh daerah. Adapun kendala yang dihadapi oleh Kota Serang dalam penyelenggaraan PBG setelah UU Cipta Kerja adalah tidak adanya penyesuaian regulasi daerah terhadap UU terbaru. Sehingga, penyelenggaraan PBG terhambat termasuk penarikan retribusinya yang menyebabkan perolehan PAD menurun. Putusan MK tersebut tidak berimplikasi terhadap pembentukan regulasi PBG di daerah mengingat pemerintah daerah hanya melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan dalam beberapa peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja. Oleh sebab itu, penulis berharap Kota Serang dapat segera mengesahkan Perda PBG yang telah disesuaikan dengan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya. Hal tersebut sebagai solusi permasalahan penyelenggaraan PBG di daerah terutama dalam hal retribusi.

Law of the Job Creation led to changes in building permit regulation. In 2021, the Constitutional Court of Indonesia issued Constitutional Court Decision No. 91/PUU-XVIII/2020 which stated that the Law of the Job Creation was unconstitutional so its implementation related to strategic matters and had a broad impact should be suspended, including forming new implementing regulations. There are some constraints on the level of local government in the implementation of building permits. This research uses juridical-normative methods with data collection tools in the form of document studies consisting of primary and secondary legal materials, as well as conducting interviews with related informants. In this research, implementation of PBG after the Law of the Job Creation is still a regional authority implemented by DPMPTSP. This authority is still the same as the building regulations before the Law of the Job Creation. The relationship between central and regional authorities can be seen from the integration governments through the SIMBG system where the central government can conduct direct supervision of permits issued by the regions. The constraints faced by local governments is there are no regulatory adjustments in the regional level. This caused the issuance of building permits to be obstructed including the retribution that reduced regional revenues. The Constitutional Court's decision has no implications for the implementation of PBG in the regions considering that local governments just implement policies that have been stipulated in several implementing regulations of Law of the Job Creation. Therefore, the author hopes that Serang City can immediately establish PBG Regulation which has been adjusted to the new regulations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fika Candra
"Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih memiliki keterbatasan kewenangan. Penelitian ini akan membahas terkait peningkatan kewenangan DJP berdasarkan standar OECD. Peningkatan kewenangan yang dimaksud antara lain pembuatan peraturan pelaksanaan perpajakan, penetapan sanksi administrasi, penetapan standar pelayanan, manajemen anggaran, perencanaan struktur organisasi, dan manajemen SDM dalam proses rekrutmen pegawai. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Data kualitatif diperoleh melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Berdasarkan penelitian, diperoleh hasil bahwa kewenangan DJP saat ini masih terbatas dan perlu adanya peningkatan kewenangan DJP dengan mempertimbangkan kesiapan dari DJP.

The Directorate General of Taxes has limited authority. This research will discuss the measures on how to increase the authority of the Directorate General of Taxes based on the OECD standard. Improvement of the authority covers tax law interpretation designing, penalties and interest, performance standard setting, budget expenditure management, organization and planning, and human resource management in recruitment process. This research uses descriptive qualitative with research design. We uses the study of literature and deep interviews to obtain the data. Based on the research, the author conclude that the Directorate General of Taxes’s authority is still limited, and it needs to be increased by considering the readiness of the Directorate General of Taxes."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2014
S55685
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sennett, Richard
New York: Alfred A. Knopf, 1980
303.36 SEN a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhly Haviz
"Dalam kegiatan pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah telah diatur untuk menggunakan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), tidak terkecuali Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu yang mana telah mendelegasikan kewenangan tersebut kepada unit perangkat daerah tersendiri, termasuk perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran bagaimana pengaturan hukum serta peralihan wewenang dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu khususnya terkait perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal di Provinsi Bengkulu. Selain itu, penulisan skripsi ini juga mempunyai tujuan untuk memberikan masukan dalam memperbaiki pengaturan serta pelaksanan sistem pelayanan terpadu satu pintu pada bidang penanaman modal di Provinsi Bengkulu.
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilaksanakan melalui penelitian kepustakaan yang dititikberatkan kepada analisis terhadap peraturan perundang-undangan serta data-data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara, sehingga penelitian ini dispesifikasikan ke dalam penelitian yang bersifat deskriptif analitis, dengan tahap-tahap penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai PTSP di Provinsi Bengkulu tidak mengatur secara detail beberapa aspek penting pelaksanaan PTSP itu sendiri seperti SDM, Keuangan dan Pengawasan, selain itu bentuk kelembagaannya masih setingkat kantor dimana notabene SKPD teknis yang bersinggungan dengan KP2T Provinsi Bengkulu telah berbentuk Dinas atau Badan yang mengakibatkan kesenjangan eselon pimpinan. Oleh karenanya diperlukan perubahan terhadap pengaturan pelaksanaan PTSP di Provinsi Bengkulu kedepannya agar dapat berjalan dengan optimal dalam melayani masyarakat.

Implementation of licensing and non-licensing services in locality government has been set up to use the One Stop Service (OSS), is no exception with Bengkulu Province Government which has been delegated one stop services authority to their own special local unit, including licensing and non-licensing in the field of investment.
This study aims to gain an idea of how the legal arrangements and transfer of authority in the implementation of the One Stop Services in particular related to the licensing and non-licensing in the field of investment in the Province of Bengkulu. In addition, this thesis also has the objective to provide input to improve the regulation and conduct of integrated one-stop service system in the field of investment in the province of Bengkulu.
Method approach in this study is normative juridical approach, legal research conducted through library research focused on an analysis of the legislation and the data obtained from observations and interviews, so this study is specified in the descriptive research analytical, with the stages of the research literature and field research.
This study shows that the regulation of PTSP in Bengkulu province does not regulate in detail some important aspects of the implementation of the OSS itself like human resources, finance and control, otherwise it the forms of institutions level is still offices, whereas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) as the counterpart of KP2T Bengkulu Province has institutional form with Department or Body which resulted a gaps of echelon leaders. Therefore, government need to changes the regulation of OSS implementation at Bengkulu Province in the future, to making the implementation of public services run better.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S58016
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahyudin
"Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan perubahan ketiga UUD NRI 1945 sebagai lembaga baru dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA). Kewenangan yang dimiliki oleh MK berbeda dengan kewenangan yang dimiliki MA yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap udang-undang. Kewenangan MK sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 adalah (i) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partaipolitik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; (ii) MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan yang diberikan oleh UUD tersebut hanya untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD dan tidak diberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh MK melalui putusan perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menimbulkan perbedaan pendapat tidak hanya dikalangan para hakim MK melainkan juga para ahli-ahli hukum terlebih lagi pengujian Perpu tersebut MK menyatakan berwenang melakukan pengujian dan bahkan putusan tersebut telah dijadikan yurisprudensi dan diikuti oleh hakimhakim konstitusi selanjutnya dalam memutus setiap permohonan pengujian Perpu terlihat dalam berbagai putusan MK dengan menggunakan pertimbangan hukum yang terdapat pada putusan Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dan dengan dasar pertimbangan itu menyatakan MK berwenang melakukan pengujian Perpu. Terhadap kewenangan yang diperoleh MK melalui penafsiran pengujian Perpu telah memperluas kewenangan yang dimilikinya yang tidak hanya terbatas pada penggujian UU namun telah bertambah dengan pengujian Perpu terhadap UUD yang sebetulnya kewenangan pengujian Perpu merupakan kewenangan DPR sebagai pembentuk UU sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945. Perbandingan dengan negara-negara lain berkaitan kewenangan MK menguji Perpu, dari keempat negara yakni Jerman, Korea Selatan, Thailand dan Italia menunjukan tiga negara yakni Jerman, Korea Selatan dan Italia tidak memiliki kewenangan untuk menguji Perpu sementara satu negara yakni Thailand kewenangan MK hanya dapat menguji rancangan peraturan darurat/Perpu.

The establishment of the Constitutional Court (MK) by the third amendment to the Constitution NRI 1945 as a new institution in carrying out the functions of the judicial power in addition to the Supreme Court (MA). Authority possessed by the Court is different from the authority possessed MA examine the legislation under laws against shrimp reserved. The authority of the Constitutional Court as in Article 24C paragraph (1) and (2) of the 1945 Constitution are: (i) the Court authority to hear at the first and last decision is final for a law against the Constitution, rule on the dispute the authority of state institutions are an arbitrary granted by the Constitution, to decide the dissolution partaipolitik, and to decide disputes concerning the results of the General Election; (ii) The Court shall give a decision on the opinion of the House of Representatives regarding the alleged violations by the President and / or Vice President by the Constitution. The authority granted by the Constitution just to test the constitutionality of laws against the Constitution and not be authorized tests on other legislation. Testing Government Regulation in Lieu of Law (decree) No. 4 of 2009 regarding the Commission for Corruption Eradication by the Court through a ruling Case Number 138 / PUU-VII / 2009 has caused dissent not only among the judges of the Constitutional Court, but also the legal experts moreover testing the decree of the Constitutional Court states the authority to conduct testing and even the decision has been made jurisprudence and followed by the judges of the constitution later in deciding each petition decree seen in various decision of the Court using legal considerations contained in the decision of Testing Regulation No. 4 of 2009 and with the consideration that the Court declare decree authorized to conduct testing. Against the authority acquired through the interpretation of the Constitutional Court decree has expanded testing of its authorities are not just limited to penggujian Act but has increased with the testing decree against the Constitution are actually testing decree authority is the authority of Parliament as former Act in accordance with Article 22 of the 1945 Constitution Comparison with the state Other related MK-state authorities test the decree, from the four countries namely Germany, South Korea, Thailand and Italy showed three countries, namely Germany, South Korea and Italy do not have the authority to examine the decree while the Court states that the Thai authorities can only test the draft emergency ordinance/Perpu."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>