Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165713 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adhi Anugroho
"Tesis ini membahas tentang penormaan asas efisiensi berkeadilan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diperbarui pada peraturan perundang-undangan bidang ketenagalistrikan. Pembahasannya dilakukan dengan menganalisis bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan unsur "efisiensi berkeadilan" dalam pengujian konstitusional Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Penelitian ini merupakan penelitian Normatif dengan pendekatan filsafat hukum, ilmu ekonomi, dan singkronisasi hierarki hukum Negara Republik Indonesia yang dilengkapi dengan analisa pengujian konstitusional yang relevan.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa makna dari "efisiensi berkeadilan" dalam Pasal 33 ayat (4) adalah perekonomian nasional diselenggarakan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Penormaan unsur tersebut terwujudkan dalam berbagai aspek pengelolaan, termasuk pengelolaan secara bersama, pengelolaan dengan baik, pengalaman dengan tepat guna, boleh merugi (untuk itu disubsidi) dan pengelolaan yang tidak boros biaya dan sumber daya sosial. Dalam penormaan dalam bidang ketenagalistrikan Indonesia, ditemukan bahwa setiap peraturan perundang-undangan bidang ketenagalistrikan telah mengandung paling tidak salah satu aspek prinsip "efisiensi berkeadilan".

This thesis discusses the implementation of the principle of "equitable efficiency" as contained in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution After the 4th Amendment in legislations concerning electricity. This research is conducted by analyzing how the Constitutional Court interpret the element of "equitable efficiency" in the constitutional reviews of Law Number 20 Year 2002 and Law Number 30 Year 2009 on Electricity.
This research is a normative study which uses legal philosophy and economics in synchronizing the hierarchy of laws of the Republic of Indonesia and the relevant constitutional reviews.
The outcome of this research concludes that the meaning of "equitable efficiency " in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution After the 4th Amendment is that the national economy should be organized to use the least amount of resources to achieve the greatest amount of welfare which could be enjoyed equitably by the all citizens. The concept is embodied in various aspects of management, including joint management, with good management, efficient managment, management which is allowed to make losses (and therefore is subsidised) and management which is not wasteful in costs and social resources. In regards to Indonesia's electricity sector, it was found that each electricty regulation has embodied at least one aspect of the principle of " equitable efficiency"."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Anuhroho
"Abstrak
Tesis ini membahas tentang penormaan asas efisiensi berkeadilan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diperbarui pada peraturan perundang-undangan bidang ketenagalistrikan. Tulisan ini menganalisis bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan unsur efisiensi berkeadilan dalam pengujian konstitusional UU Ketenagalistrikan. Disimpulkan bahwa makna dari efisiensi berkeadilan dalam Pasal 33 ayat (4) adalah perekonomian nasional diselenggarakan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Dalam penormaan dalam bidang ketenagalistrikan Indonesia, ditemukan bahwa setiap peraturan perundang-undangan bidang ketenagalistrikan telah mengandung paling tidak salah satu aspek prinsip efisiensi berkeadilan."
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2017
340 JHP 47:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Anugroho
"Pengujian Terhadap Undang-Undang Ketenagalistrikan). Skripsi ini membahas tentang kesesuaian makna dari unsur ?efisiensi berkeadilan? yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diperbarui dengan niat awal para Bapak Bangsa mengenai perekonomian Indonesia. Pembahasan tersebut dilakukan dengan menganalisis bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan unsur "efisiensi berkeadilan" dalam Uji Materil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa makna dari ?efisiensi berkeadilan? dalam Pasal 33 ayat (4) adalah perekonomian nasional diselenggarakan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Dalam kaitanya dengan sektor ketenagalistrikan Indonesia, interpretasi tersebut sesuai dengan niat awal para Bapak Bangsa selama diartikan bahwa efisiensi dalam penyediaan penyediaan tenaga listrik demi kepentingan umum dicapai melalui penguasaan negara dalam bentuk pengurusan, pengaturan, pengelolaan, serta pengawasan terhadap sektor usaha ketenagalistrikan Indonesia. Penguasaan negara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjamin keadilan bagi rakyat, yaitu tidak adanya penindasan ekonomi dan terjaminya ketersediaan listrik bagi seluruh rakyat dengan harga terjangkau.

This paper discusses whether the meaning of "equitable efficiency" contained in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution After the 4th Amendment is in line with the original intent of the Founding Fathers regarding the Indonesian economy. Discourse is conducted by analyzing how the Constitutional Court interpret the element of "equitable efficiency" in the judicial review of Law Number 20 Year 2002 and Law Number 30 Year 2009 on Electricity.
The outcome of this research concludes that the meaning of "equitable efficiency" in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution after the 4th Amendment is that the national economy should be organized to use the least amount of resources to achieve the greatest amount of welfare which could be enjoyed equitably by the all citizens. In regards to Indonesia's electricity sector, such interpretation is in accordance with the original intent of the Founding Fathers as long as it is interpreted that efficiency in regards to the provision of electrcity for the public is achieved state control in the form management, regulation, and supervision of the Indonesian electricity sector. The aim of such state control is to ensure justice for the people; namely freedom from economic oppression and the guarantee that electricity is available to all members of society at affordable prices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43103
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidir Arief
"Tujuan kemerdekaan Indonesia, salah satu diantaranya adalah memajukan kesejahteraan umum berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.Salah satu harapan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut dapat diperoleh melalui pengusahaan kekayaan alam Indonesia yang sangat beragam, baik kekayaan yang berada di permukaan bumi, di dalam perut bumi maupun yang terdapat di dalam laut. Batubara merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih yang besar dalam mewujudkan tujuan negara tersebut, sehingga di dalam pengelolaan dan penambangannya diperlukan suatu pengaturan yang dapat mencapai tujuan negara atau setidak-tidaknya mendekati apa yang ingin dicapai oleh negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD), yang telah mengalami amandemen sebanyak 4 (empat) kali, telah menetapkan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan beberapa prinsip, salah satunya adalah prinsip kebersamaan.Dengan demikian semua arah dan kebijakan perekonomian Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan pertambangan batubara harus dilaksanakan sesuai konsensus nasional tersebut. Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (UU Minerba), sebagai landasan hukum pengelolaan penambangan batubara di Indonesia ternyata tidak mencantumkan prinsip kebersamaan tersebut, sebagai dasar pertimbangan pembentukan dan pemberlakuannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apa yang dimaksud dengan prinsip kerbersamaan di dalam UUD tersebut, bagaimana penerapan prinsip kebersamaan dalam pengelolaan pertambangan batubara dan apa kendala-kendala yang dihadapi dalam menerapkan prinsip kebersamaan dalam pengelolaan pertambangan batubara di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian jenis penelitian yuridis-normatif, yang bertumpu pada studi kepustakaan serta dianalisa secara kualitatif.

One of the Indonesia independence purpose to thrive the public prosperity is based on the independence, enduring peace, and social justice. One of the nation`s hope to increase the society prosperity can be obtained throughthe cultivation of various Indonesia`s natural resources, both the natural resources on surface of the earth, in the bowels of the earth, and to get in the sea. Coal mine is one of the natural resources in Indonesia. It expect to be afford a lot contribution to bring into realize Indonesia independence purpose. That, in the management and the activity of coal mining needs the regulation to bring into realize the nation`s purpose or at the least come near to strive nation`s purpose.
The Indonesia Constitution, 1945 Constitution Of The Republic Of Indonesia, was experience fourth times amendment. The last amendment determined is national economy implementation must based on economics democracy. One of the principles of economics democracy is mutualism principles. In such all the Indonesia economy directions and policies be related to activity of coal mining must carried out based on constitution.Law No. 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, is basis for the activity of the coal mining in Indonesia. However, the act does not attach mutualism principles, as the basis of consideration to establishment and enforcement.
The aim of this research to analyze what is meant of the mutualism principles from the Constitution, how the application of the mutualism principles in the management activity of coal mining, and what the obstacles application of mutualism principles in the management activity of coal mining in Indonesia. This uses a juridical-normative research as research method based on literature study which qualitative analysis.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42114
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiera Ulfa
"Pengaturan pengelolaan sumber daya migas yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengatur bahwa dalam melakukan pengelolaan sumber daya migas saat ini dilakukan berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Adapun Kontrak Kerja Sama saat ini dilakukan dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) yang dilakukan antara SKK Migas dan Kontraktor yang berasal dari perusahaan minyak nasional maupun asing. Namun rupanya sistem pengelolaan sumber daya migas saat ini dianggap tidak sesuai dengan amanah yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai cita-cita Indonesia dalam melakukan penguasaan atas sumber daya migasnya. Diantaranya adalah karena terdapatnya pengusahaan asing yang melakukan pengelolaan sumber daya migas, sistem pengelolaan yang dilakukan berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), dan sumber daya migas yang tidak dikelola langsung oleh Perusahaan Negara. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah pemahaman atas perkembangan sistem pengelolaan sumber daya migas, bentuk kerja sama pengelolaan sumber daya migas berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, serta analisis pengelolaan sumber daya migas saat ini yang sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Metode yang digunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut adalah yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini yaitu pemahaman terhadap sistem pengelolaan migas dengan berbasis Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) saat ini tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Namun, penguasaan negara yang terkandung dalam cita-cita Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi saat ini tidak memenuhi unsur pengelolaan langsung yang dilakukan oleh Negara.

Oil and gas operation Natural Oil and Gas Act No. 22 year 2001 regulate that in managing oil and gas is performed based on Contract. The contract is currently performed in the form of Production Sharing Contracts that made between SKK Migas and Contractors that come from both national and foreign oil companies. But apparently the oil and gas operation system is currently considered not in accordance with the mandate contained in Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, as the ideals of Indonesia in controlling the oil and gas resources. The reason told among them are due to the presence of foreign that conduct oil and gas resource operation, operation system that been done under Production Sharing Contracts, and oil and gas resources that has been not managed directly by the State Company. The issue in this thesis are the understanding of the history of oil and gas resource operation system, forms of cooperation operation of oil and gas resources under Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, as well as the analysis of the operation of today's oil and gas resources in accordance with Article 33 paragraph (3) 1945 Constitution. The method used in analyze this thesis is a normative juridical. The result of this study is the understanding of the oil and gas operation system based on production sharing contracts today is not contrary to Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution. However, the control of the state contained in the ideals of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution as interpreted by the Constitutional Court does not currently meet the elements of direct operation by the State.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54124
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roziqin
"Kelahiran UU Migas dan perubahan Pasal 33 UUD 1945 penuh dengan perdebatan seputar peran negara dalam sektor perekonomian. Perdebatan ini tidak lepas dari perdebatan seputar signifikansi welfare state dalam bernegara, dan pada akhirnya berlanjut pada perdebatan mengenai bagaimana Hak Menguasai Negara (HMN) dalam sektor minyak bumi. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor- faktor yang dipermasalahkan dari minyak bumi di Indonesia, menjelaskan kebijakan pengelolaan minyak bumi di Indonesia pasca reformasi, dan menganalisis implementasi Pasal 33 UUD 1945 dalam sektor minyak bumi di Indonesia pasca reformasi berdasarkan analisis welfare state. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan narasumber dari pengamat migas dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Hasil penelitian adalah Indonesia mengalami masalah ketahanan energi dan tata kelola minyak bumi. Kebijakan sektor minyak bumi pasca reformasi banyak diwarnai liberalisasi karena adanya tekanan dari pihak asing sementara kebijakan energi nasional tidak dilaksanakan dengan konsisten. Indonesia sudah berusaha menerapkan sebagian Pasal 33 UUD 1945 di sektor minyak bumi dalam rangka mewujudkan konsep welfare state, yaitu adaya peran aktif negara dan upaya mewujudkan kemakmuran rakyat. Namun demikian, Indonesia belum menerapkan demokrasi ekonomi sebagaimana semangat awal Pasal 33 UUD 1945. Hal ini terutama karena masuknya paham ekonomi pasar yang berhasil menggeser demokrasi ekonomi. Dengan demikian, pasca reformasi Indonesia belum sepenuhnya melaksanakan konsep welfare state dalam sektor minyak bumi sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.

The establishment of Law on oil and gas which came along with the the amendment of Article 33 on 1945 Constitution has sorrounded with debates about the state’s role in economic sector. These debates related with the significance of welfare state in national development and still continues on State’s Right in petroleum sector. This research aimed to analyze problematic factors of Indonesian oil, to describe management policies on oil sector post-reform, and to analyze implementation Article 33 of 1945 Constitution in Indonesian oil sector post-reform using Welfare State Analysis. This research uses qualitative and descriptive method that interviews oil-gas expert and also Audit Board of the Republic of Indonesia. This research founds that Indonesia has problems with energy security and oil management. The Indonesian policy on oil sector after reformation mostly uses liberalization paradigm because of foreign pressure while national energy policy hasn’t been implemented consistently. Indonesia has been trying to implement part of Article 33 of 1945 Constitution in order to implement the welfare state concept, which are the efforts to make society prosperous. However, Indonesia hasn’t implement democratic economy as the initial spirit of Article 33 of 1945 Constitution. Such condition mainly due to market economy spirit influence which shifted the economic democracy. To conclude, after reformation Indonesia hasn’t fully implement welfare state concept in oil sector as stated in Aticle 33 of 1945 Constitution.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Putri Anggraini
"Tesis ini membahas tentang peran pemerintah dan swasta dalam usaha ketenagalistrikan di Indonesia dan menganalisis bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam menolak Uji Materil Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Penelitian ini bersifat Normatif dengan pendekatan sinkronisasi hukum vertikal dan juga didukung dengan pendekatan kasus. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil Peran pemerintah dalam usaha ketenagalistrikan berupa pemberian subsidi kepada konsumen listrik. Subsidi merupakan kebijakan yang ditujukan untuk membantu konsumen tertentu agar dapat membayar produk atau jasa yang diterimanya dengan tarif dibawah harga pasar. Dalam menyediakan listrik, pemerintah juga mengendalikan harga jual. Selanjutnya, peran swasta dalam usaha ketenagalistrikan diperlukan terutama dalam pembangkit tenaga listrik yang diharapkan dapat mencukupi kekurangan pasokan listrik nasional. Sorotan utama yang menyangkut peran swasta dalam ketenagalistrikan adalah masalah perizinan. Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak Uji Materil yang diajukan oleh SP-PLN dengan pertimbangan bahwa pemisahan usaha (Unbundling) yang dimaksud dalam UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan berbeda dengan yang dimaksuda dalam UU Nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang sebelumnya dibatalkan oleh MK pada tahun 2004.

These theses discuss about the role of the Indonesian government and private sectors in Indonesia on Electricity in Indonesia and analyze the situation based on Indonesian law. This discussion is based on Indonesian Constitutional Court on rebutting the Law on Judicial Review no. 30 of 2009 on Electricity. The research uses a normative approach on vertical law synchronization in case report. Result result shows that the role of Indonesian government on subsidising for electricity in the form of subsidising the electricity consumer. The subsidize is in the form of aiming at helping certain consumer to be able to pay for the product or servise based on the opportunity in getting lower price off the market. In providing electricity of the community, the Indonesian government also control the price for the market. On the other hand, the role of private sectors or needed in the electricity providership in order to overcome the shortage of electricity for the Indonesian community. This research pinpoint on the role of the private sectors? consessions on electricity. The Indonesian Constitutional Court verdicted on Unbundling of the Indonesian Law based on Law Clause no 33 of 2009 on Electricity is different from Indonesian Law based on Law Clause no. 20 of 2002 on Electricity that was canceled by Indonesian Constitutional Court in 2004."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28319
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bertha Manimbul Jayanti
"Undang-Undang Migas Tahun 2001 menjelaskan Negara (Pemerintah) turut terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hulu migas. Negara diberikan kewenangan mengusahakan hulu migas dalam bentuk Kontrak Production Sharing (KPS) yang didukung filosofis amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan posisi Negara (Pemerintah) dalam KPS menurut analisis KUHPER adalah seimbang. Negara (Pemerintah) menurut KUHPER diakui sebagai subjek hukum perdata yang dapat turut serta dalam hubungan privat. Adanya keseimbangan posisi berkontrak antara Negara (Pemerintah) dengan kontraktor menurut analisis KUHPER karena KPS tidak bisa terlepas dari syarat subjektif sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPER. Walaupun konsep KPS dikembangkan dari perjanjian bagi hasil menurut hukum adat secara nasional untuk kegiatan usaha hulu migas dari hukum perjanjian dengan pemikiran asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 ayat (1) KUHPER tetapi ketika Negara (Pemerintah) hendak ikut terlibat menjadi pengusaha dalam usaha hulu migas maka asas kebebasan berkontrak tidak sepenuhnya diberlakukan bagi Negara (Pemerintah) karena prosedur dan pembuatan KPS tidak bisa lepas dari aspek kepentingan publik. Sedangkan jika melihat posisi Negara (Pemerintah) dalam KPS menurut Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 adalah tidak seimbang karena KPS bersifat khusus yang persyaratan formalitasnya tidak bisa lepas dari amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan karena objek yang diperjanjikan adalah bagi hasil produksi migas. Pembuatan KPS didahulukan pengaturannya secara khusus karena melekatnya tanggungjawab Negara (Pemerintah) terhadap pengusahaan aset publik. Negara (Pemerintah) juga memiliki kapasitas untuk menandatangani KPS karena Negara (Pemerintah) merupakan subjek hukum yang dapat mengembang hak dan kewajiban sama seperti halnya manusia. Negara (Pemerintah) dapat menutup KPS dimana syarat unsur kapasitasnya diukur dari kewenangannya yang melekat pada pengurus yang mewakili badan hukum tersebut. Kepentingan tindakan privat Negara (Pemerintah) diwakili oleh alat-alat atau organ pengurusnya yang mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Apabila pengurus yang mewakili kepentingan Negara itu mempunyai kewenangan untuk menandatangani KPS maka Negara mempunyai kapasitas untuk membuat dan menandatangani kontrak.

The Law No. 22/2001 Concerning Natural Oil And Gas defines the State (Government) involved in the operation of oil and gas upstream activities. The State has the authority to exploit the oil and gas in the form of Production Sharing Contract (PSC) which is based by the philosophical mandate of Article 33 (3) The 1945 Constitution. The research method of this study is using a normative legal research. The results of this study indicates that the position of the State (Government) in the PSC by analysing according to the Civil Code has an equal standing. The State (Government) according to the Civil Code is approved by the law as a legal entity and could be bound in a legal relationship. Indicating there is an equal standing between the State (Government) and the contractor in the contract according to Civil Code is wherefore the PSC obliged to fulfill the subjective requirements for the validity of contract under Article 1320 Civil Code. Although the PSC concept was evolved from the sharing agreement under customary law nationally for the upstream oil and gas activities pursuant to the contract law by the principle of freedom of contract Article 1338 (1) Civil Code however when the State (Government) would perform its role as entrepreneur in the upstream oil and gas activites, the principle of the freedom of contract is not fully applicable to the State (Government) since the PSC has also within the aspects of public interest. Whereas the position of the State (Government) in PSC according to the Law No. 22/2001 has not an equal standing since of the special nature of PSC requirements prohibited to contravene the mandate of Article 33 (3) The 1945 Constitution. The PSC's substance is specifically regulated by reason of the State (Government) bear of the responsibility over natural resources. The State (Government) has the capacity to sign the PSC by reason of the State (Government) is also a legal subject has the same rights and obligations as well as natural person. The State (Government) could close the PSC where the State's legal capacity is measured from the public official authorization in representing the State's private acts wherein stipulated accordance to the legislations. When the public official has the authority to represent the State's private act therefore the State holds the legal capacity to enter and bound in a contract.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hayati Wisnu Wardani
"Undang-Undang Dasar 1945, mengatur Hak Menguasai Negara atas sumber daya alam mineral dan batubara, di mana kewenangan Pemerintah untuk mengatur diwujudkan dengan aturan tentang pengalihan IUP. Pasal 93 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa pemegang IUP tidak boleh memindahkan IUP-nya kepada pihak lain; pengalihan kepemilikan dan/atau saham harus diberitahukan kepada pemberi izin. Berbeda dengan undang-undang, Pasal 7A dan Pasal 7B Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, justru mengisyaratkan bahwa IUP boleh dialihkan, dengan mengatur pihak lain. Yang menjadi pertanyaan yuridis adalah: bagaimana pengaturan pengalihan IUP dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan peraturan pelaksananya dalam perspektif Hak Menguasai Negara berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945; mengapa dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 IUP tidak boleh dipindahkan; dan mengapa dalam Pasal 7A dan Pasal 7B Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 IUP boleh dipindahkan? Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian Yuridis Normatif. Jadi data yang dikumpulkan adalah data sekunder (terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier).
Kesimpulan, dalam perspektif Hak Menguasai Negara, di mana Pemerintah melakukan sendiri atau campur tangan melalui kepemilikan saham pada BUMN/BUMD, idealnya IUP tidak boleh dialihkan. Dalam konsep tersebut yang dapat dialihkan adalah perjanjian kerjasama BUMN/BUMD dengan pihak lain dengan persetujuan Pemerintah. Rumusan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 bahwa IUP tidak boleh dialihkan sudah tepat, untuk mempertahankan Hak Menguasai Negara. Namun rumusan ayat (2) dan ayat (3)-nya bertentangan dengan Hak Menguasai Negara. Rumusan Pasal 7A dan Pasal 7B Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012, selain bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, juga bertentangan dengan Hak Menguasai Negara. Aturan tentang pengalihan IUP dibutuhkan, karena Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 mengatur bahwa pemegang IUP hanya dapat diberikan satu IUP dan apabila mereka memiliki lebih dari satu IUP, berarti IUP yang lain harus dialihkan.

Constitution of Republic of Indonesia Year 1945, regulates State's Authority Rights in natural resources, especially mineral and coal, where Government's Authority to regulate, is realized with regulate about transfer of IUP. Article 93 of Law No. 4 of 2009 Concerning Mineral and Coal, regulates that IUP holders should not be transferred their IUP to other parties; transfer of ownership and/or shares must be notified to the licensor. There is differentiation between Law No. 4 of 2009 and Government Regulation No. 24 of 2012 on Revision of Government Regulation No. 23 of 2010 on Implementation of Mineral and Coal Mining, especially Article 7A and Article 7B. Those articles regulate that IUP should be transferred to other parties and there are further explanation for definition of other parties. The questions are: how to regulate transfer of IUP in Law No. 4 of 2009 and its implementation regulations in the State's Authority Rights perspective based on Article 33 paragraph (3) Constitution of Republic of Indonesia Year 1945, why Article 93 of Law Number 4 on 2009 regulates that IUP should not be transferred, and why Article 7A and Article 7B Government Regulation No. 24 of 2012 regulates that IUP should be transferred? Research will be done by using the research methodology of normative juridical. So the data collected is mainly secondary data (consisting of primary legal materials, secondary and tertiary).
The conclusions, in the State’s Authority Rights perspective, where the government do mining activities by themselves or intervene through shares ownership in state's-owned companies/regional's-owned company, ideally IUP should not be transferred. In this concept, that should be transferred is cooperation agreement between state'sowned companies/regional’s-owned company and other parties, with terms of Government approval. Article 93 paragraph (1) Law No. 4 of 2009, which regulates IUP should not be transferred, is already correct, to maintain of State's Authority Rights. However, paragraph (2) and paragraph (3) are contradicted to State's Authority Rights. Article 7A and Article 7B Government Regulation No. 24 of 2012, which regulate IUP should be transferred to other parties, besides they are contradicted to Law No. 4 of 2009, but also are contradicted to State's Authority Rights. Regulation about transferred IUP has to be regulated, because content of Government Regulation No. 23 of 2010 indirectly regulates that IUP holders shall have one IUP and if they have more than one, the others should be transferred.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39351
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salampessy, Muhammad Yahdi
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengelolaan sumber daya mineral
dan batu bara di Indonesia berdasarkan kedaulatan Negara dan Hak Menguasai
Negara Negara sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI
1945. Penulis mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi
kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI
1945 memberikan landasan konstitutional terhadap Negara untuk menguasai
seluruh kekayaan alam yang ada di Indonesia, termasuk sumber daya mineral
dan batu bara. Hak Menguasai Negara memberikan kewenangan kepada Negara
untuk melakukan Pengelolaan secara langsung melalui mekanisme izin,
pengurusan, pengaturan, pengendalian melalui mekanisme izin, dan pengawasan
terhadap kegiatan pertambangan Minerba. Kewenangan tersebut merupakan
kewenangan konstitutional Pemerintah Pusat dan merupakan bagian dari
kedaulatan Negara atas sumber daya alam.

ABSTRACT
This research aims to evaluate the management of coal and mining sector in
Indonesia based on the theory of state sovereignty and the rights of state control
over natural resources as stated in Article 33 (3) of the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia. The author uses juridical-normative research method,
which is combined with literature studies. The research shows that Article 33 (3)
gives a constitutional basis for the State to control all natural resources in
Indonesia, including coal and mining. The rights of state control legitimates the
State authority to perform a direct control over natural resources by conducting
permits, management, legislation, control, and surveillance of mining activities.
The authority to control natural resources is a constitutional authority that is
given to the Indonesian central government as a manifestation of State
sovereignty over natural resources."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38688
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>