Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178771 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jalu Adi Dana
"Latar Belakang: Berdasarkan hasil program MDGs, di dunia infeksi baru HIV lebih rendah 35% jika dibandingkan tahun 2000 sementara di Asia infeksi baru HIV menurun 8% dibandingkan tahun 2005 namun di Indonesia infeksi baru HIV justru meningkat 48% pada tahun 2013 jika dibandingkan tahun 2005. Kementerian Kesehatan mengestimasi hingga 2025, jumlah infeksi baru HIV banyak terjadi pada populasi LSL. Penyebaran HIV pada populasi LSL karena rendahnya persepsi berisiko, tingginya multipartner seks, penggunaan napza suntik dan rendahnya penggunaan kondom.
Metode: Penelitian kuantitatif dan menggunakan data Survei Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2013. Dengan analisis regresi logistik berganda akan dilihat besar risiko persepsi berisiko tertular HIV dengan penggunaan kondom saat seks anal terakhir.
Hasil: Odds ratio pada yang berpersepsi berisiko tertular HIV 2,18 kali untuk menggunakan kondom saat seks anal terakhir dibandingkan dengan yang berpersepsi tidak berisiko (95% CI 0,93 ? 5,11). Odds ratio pada yang berpersepsi berisiko tertular HIV 1,84 kali untuk menggunakan kondom saat seks anal terakhir dibandingkan dengan yang berpersepsi tidak berisiko (95% CI 0,72 - 4,74) pada kondisi pengetahuan yang sama, menjadikan televisi sebagai sumber informasi yang sama, kebiasaan membawa kondom yang sama, dan tergabung dalam komunitas yang jumlah anggotanya sama.
Kesimpulan: Persepsi berisiko tertular HIV meningkatkan kemungkinan responden untuk menggunakan kondom saat seks anal terakhir.

Background: Based on the MDGs program result, in the world new infections of HIV is reduce 35% than 2000, in Asia new infections of HIV declined 8% compared 2005 but new infection of HIV at Indonesia had been increased 48% in 2013 compared to 2005. The Ministry of Health estimates, by 2025 the number of new infections of HIV will increase at the population of MSM. The spread of HIV at the population of MSM because low of risk perception, high multipartner sex, injecting drugs and low of condom use.
Methods: Qualitative and using data Integrated Biological and Behavioural Survey 2013. With multiple logistic regression analysis will be known odds ratio risk perception of HIV infections to condom use at last anal sex.
Result: Odds ratio for the risk perception of HIV infections 2.18 times to use condoms during last anal sex compared with no risk perception (95% CI 0.93 to 5.11). Odds ratio for the risk perception of HIV infections 1.84 times to use condoms during last anal sex compared with no risk perception (95% CI 0.72 to 4.74) in the same state of knowledge, to television as the same resources , the same habit of bringing condoms, and members of the community the same number of members.
Conclusion: The risk perception of infected HIV increases the likelihood of respondents to use condom at last anal sex.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46722
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabutar, Nadya Hanna Talitha
"Infeksi HIV akibat hubungan seksual lelaki dengan lelaki telah mengalami peningkatan dan menjadi salah satu penyebab tingginya transmisi HIV di dunia saat ini. Prevalensi HIV pada kelompok LSL di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Salah satu penyebab tingginya prevalensi HIV pada LSL di Indonesia adalah penggunaan kondom konsisten yang masih rendah di bawah target nasional 60 penggunaan kondom konsisten pada populasi kunci, terutama dengan perilaku seksual LSL yang berganti-ganti pasangan. Rendahnya penggunaan kondom secara konsisten pada LSL dapat dipengaruhi oleh faktor predisposisi, faktor pemungkin, serta faktor penguat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara berbagai faktor tersebut dengan perilaku penggunaan kondom secara konsisten pada LSL di Tangerang, Yogyakarta, dan Makassar tahun 2013. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan menggunakan data STBP 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah 303 LSL di 3 kota tersebut yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk kemudian dianalisis secara univariat dan bivariat. Hasil penelitian yang diperoleh adalah 38 LSL selalu menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks, 87,8 LSL berusia 25 tahun, 81,8 LSL memiliki tingkat pendidikan tinggi ge; SMA , 43,6 LSL memiliki pengetahuan baik tentang HIV/AIDS, 70,6 LSL memiliki gejala IMS, 46,5 LSL memperoleh kondom gratis selama sebulan terakhir, 49,8 LSL memiliki akses yang baik ke sumber informasi mengenai HIV/AIDS, serta 38,3 LSL telah berpartisipasi dengan baik dalam program HIV/AIDS. Berdasarkan analisis bivariat yang dilakukan, hubungan dengan penggunaan kondom konsisten yaitu umur ge; 25 tahun PR=1,154; 95 CI=0,92-1,45 , tingkat pendidikan tinggi PR=1,142; 95 CI=0,93 ndash;1,4 , pengetahuan baik mengenai HIV/AIDS PR=1,301; 95 CI=1,08-1,57 , memiliki gejala IMS PR=1,241; 95 CI=1,04 ndash;1,48, menerima kondom gratis PR=1,734; 95 CI=1,4 ndash;1,9, mengakses sumber informasi mengenai HIV/AIDS secara baik PR=1,401; 95 CI=1,17 ndash;1,68, serta berpartisipasi baik dalam program HIV/AIDS PR=1,323; 95 CI=1,08-1,62 . Oleh karena itu, disarankan untuk meningkatkan kembali program IPP terutama distribusi kondom, menyebarluaskan informasi HIV/AIDS melalui media sosial yang saat ini lebih sering diakses masyarakat, serta memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah yang disesuaikan dengan umur. Selain itu, penelitian kualitatif juga perlu dilakukan untuk menggali lebih dalam mengenai alasan keengganan LSL menggunakan kondom secara konsisten.

HIV infection in MSM has been increasing and becoming one of many reasons of high HIV transmission in the world recently. HIV prevalence in MSM in Indonesia is the highest among other countries in South East Asia. One of the cause of high HIV prevalence in MSM in Indonesia is the low percentage of consistent condom use under 60 national target of consistent condom use in key population, compounded by having multiple sexual partners. The low percentage of consistent condom use among MSM can be determined by predisposing factors, enabling factors, and reinforcing factors. This study aims to determine the relations among those factors with consistent condom use among MSM in Tangerang, Yogyakarta, and Makassar in 2013. This study used cross sectional design by using IBBS 2013 data. Samples in this study were 303 MSM in those 3 cities met the inclusion and exclusion criteria and analyzed by univariate and bivariate. From the result, there are 38 MSM using condom in every sexual intercourse, 87.8 MSM ge 25 years old, 81.8 MSM having high level education, 43.6 MSM having good knowledge about HIV AIDS, 70.6 MSM having STIs symptoms, 46.5 MSM getting free condom, 49.8 MSM having better access of HIV AIDS information, and 38.3 MSM with good participation in HIV AIDS program. Based on bivariate analysis, relationships with consistent condom use are MSM ge 25 years old PR 1.154 95 CI 0.92 ndash 1.45 , having high level education PR 1.142 95 CI 0.93 ndash 1.4, having good knowledge about HIV AIDS PR 1.301 95 CI 1.08 ndash 1.57, having STIs symptoms PR 1.241 95 CI 1.04 ndash 1.48, getting free condom PR 1.734 95 CI 1.4-1.9, having better access of HIV AIDS information PR 1.401 95 CI 1.17 ndash 1.68, and having good participation in HIV AIDS program PR 1.323 95 CI 1.08-1.62. Therefore, it is advised to improve IPP program especially for condom distribution, spread the information about HIV AIDS through social media which are more accessed nowadays, and give reproductive health education for students based on their age. Besides, qualitative study is also needed to dig up MSM motivation to not use condom consistently."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ririn Febriana Anggraeni
"Latar belakang: Hubungan seks yang berisiko menularkan HIV adalah hubungan seks dengan banyak pasangan dan berganti-ganti pasangan yang sebagian besar didominasi dengan hubungan seks komersial, baik pada kelompok heteroseksual maupun pada kelompok homoseksual atau sejenis. Kelompok yang paling berisiko tertular HIV adalah kelompok homoseksual dan biseksual yang biasa dikategorikan sebagai lelaki seks lelaki atau disebut LSL. Di banyak bagian wilayah, HIV di kalangan LSL muncul dengan penularan HIV yang sangat cepat.
Metode: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tahu status HIV terhadap penggunaan kondom konsisten pada LSL di Yogyakarta dan Makassar dan melihat adakah perbedaan hasil analisis dengan menggunakan metode RDS dan non RDS terhadap indikator program. Penelitian ini menggunakan data STBP 2013.
Hasil: Dari hasil analisis diperoleh bahwa di Yogyakarta ada pengaruh tahu status HIV terhadap penggunaan kondom konsisten dengan OR sebesar 6,6 dan 95% CI 2,1-20,9, sedangkan di Makassar belum dapat diketahui pengaruh tahu status HIV dengan penggunaan kondom konsisten dengan OR sebesar 1,6 dan 95% CI 0,6 - 4,4. Ada perbedaan hasil analisis dengan menggunakan metode RDS dan non RDS terhadap indikator program.
Kesimpulan: Terdapat pengaruh tahu status HIV dengan penggunaan kondom konsisten pada lelaki yang seks dengan lelaki di Yogyakarta sedangkan di Makassar belum dapat diketahui pengaruh tahu status HIV dengan penggunaan kondom konsisten. Terdapat perbedaan hasil analisis dengan menggunakan metode RDS dan non RDS terhadap indikator program.

Introduction : Sex which higher risk of spreading HIV is sex with multiple partners and change partners that is largely dominated by commercial sex, either on the heterosexual and homosexual group, or similar sexual behaviour. Groups most at risk of contracting HIV is a group of homosexual and bisexual men are commonly categorized as men sex with men, or so-called MSM. In many parts of the region, HIV among MSM appears with HIV infection very quickly.
Methods: This study aimed to determine the effect knowing their HIV status toward consistency condom use in MSM in Yogyakarta and Makassar and to see the differences between analysis using RDS and non RDS to indicator of program. This study uses data IBBS 2013.
Summary: From the results of the analysis showed that in Yogyakarta there was an effect Yogyakarta of knowing HIV status toward consistency condom use with an OR of 6,6 and 95%CI 2,1-20,9. while in Makassar unclear knowing HIV status toward consistent condom use with an OR of 1.6 and 95% CI 0,6 - 4,1. There is differences between analysis using RDS and non RDS to indicator of program.
Conclusion: There is Influence of knowing HIV Status to consistent Condom use in Yogyakarta while in Makassar unclear knowing HIV status toward consistent condom use. There is differences between analysis using RDS and non RDS to indicator of program.
"
Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T42956
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edis Mari Eko
"Pendahuluan: Laki Seks Laki Orang Dengan HIV/AIDS (LSL ODHA) merupakan populasi yang paling rentan tertular melalui hubungan seks anal. Penggunaan kondom secara konsisten dapat memberikan perlindungan paling efektif terhadap infeksi serta dengan penanganan stigma dan komunikasi. Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui efektivitas hubungan antara stigma dan komunikasi terhadap perilaku penggunaan kondom pada pasangan Laki Seks Laki Orang Dengan HIV/AIDS. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan metode purpossive sampling dengan jumlah sampel 144 responden. Instrumen yang digunakan: HIV Berger Stigma Scale, Communication Pattern Questionnaire–Short Form (CPQ-SF) dan kuesioner penggunaan kondom dengan pengambilan data pada bulan April 2023. Rata-rata responden berusia dewasa awal 18-40 tahun. Data dianalisis dengan SPSS 27.0. Hasil: ada hubungan yang bermakna antara stigma dan komunikasi terhadap perilaku penggunaan kondom pada Laki Seks Laki Orang Dengan HIV/AIDS (p=0,001; α =0,05). Hasil uji chi-square antara stigma dan komunikasi terhadap perilaku penggunaan kondom yang tidak konsisten (OR=0.09; 95% CI= 0.042-0,.226; p=0.001 dan OR= 0.08; 95% CI= 0.040-0,19; p=0.001). Diperlukan pengembangan intervensi yang berkontribusi lebih positif terhadap peningkatan penggunaan kondom. Uji RCT tambahan dengan desain yang lebih ketat dan ukuran sampel yang lebih besar diperlukan di masa mendatang. Program dukungan komunikasi yang meminimalkan stigma dapat berguna bagi LSL ODHA sebagai bentuk pendekatan dukungan untuk pendidikan kesehatan tradisional yang selama ini telah dilakukan.

Pendahuluan: Laki Seks Laki Orang Dengan HIV/AIDS (LSL ODHA) merupakan populasi yang paling rentan tertular melalui hubungan seks anal. Penggunaan kondom secara konsisten dapat memberikan perlindungan paling efektif terhadap infeksi serta dengan penanganan stigma dan komunikasi. Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui efektivitas hubungan antara stigma dan komunikasi terhadap perilaku penggunaan kondom pada pasangan Laki Seks Laki Orang Dengan HIV/AIDS. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan metode purpossive sampling dengan jumlah sampel 144 responden. Instrumen yang digunakan: HIV Berger Stigma Scale, Communication Pattern Questionnaire–Short Form (CPQ-SF) dan kuesioner penggunaan kondom dengan pengambilan data pada bulan April 2023. Rata-rata responden berusia dewasa awal 18-40 tahun. Data dianalisis dengan SPSS 27.0. Hasil: ada hubungan yang bermakna antara stigma dan komunikasi terhadap perilaku penggunaan kondom pada Laki Seks Laki Orang Dengan HIV/AIDS (p=0,001; α =0,05). Hasil uji chi-square antara stigma dan komunikasi terhadap perilaku penggunaan kondom yang tidak konsisten (OR=0.09; 95% CI= 0.042-0,.226; p=0.001 dan OR= 0.08; 95% CI= 0.040-0,19; p=0.001). Diperlukan pengembangan intervensi yang berkontribusi lebih positif terhadap peningkatan penggunaan kondom. Uji RCT tambahan dengan desain yang lebih ketat dan ukuran sampel yang lebih besar diperlukan di masa mendatang. Program dukungan komunikasi yang meminimalkan stigma dapat berguna bagi LSL ODHA sebagai bentuk pendekatan dukungan untuk pendidikan kesehatan tradisional yang selama ini telah dilakukan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Damayanti
"Remaja merupakan masa transisi dari dunia anak menuju dewasa. Perubahan fisik dan psikologis yang dialaminya berpotensi mendorong remaja terjerat pada perilaku berisiko tertular HIVI/AIDS. Dekade ini setengah dari orang yang hidup dengan HIV adalah orang muda. Dua perilaku yang dianggap awal dari resiko tertular HIV adalah seks pra-nikah dan penyalahgunaan narkoba, Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari model yang tepat untuk menggambarkan faktor biopsikososial yang berperan baik sebagai faktor risiko maupun protektif dalam membentuk perilaku berisiko pada remaja serta membandingkan model tersebut dalam perspektif jender.
Penelitian ini merupakan kerjasama antara Badan Narkotika Propinsi DKI Jakarta dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2006) dalam upaya mencari eslimasi prevalensi perilaku penyalahgunaan narkoba dan seks pra-nikah, Penelitian potong lintang ini dilaksanakan pada 119 sekolah di lima wilayah DKI dengan melibatkan 8941 siswa. Metode yang digunakan adalah pengisian sendiri secara anonim. Estimasi prevalensi perilaku hubungan seksual pra-nikah pada remaja SLTA di DKI adalah 3.2% (Cl= 2,4%-4,2%) dimana eslimasi remaja perempuan 1,8% (Cl=0.9%-(3.7%) dan remaja lakl-laki 4,3% (Cl=3,4%-5,6%). Remaja yang pernah menyalahgunakan narkoba 7,3% (Cl= 5,4%-9,9%) dimana estimasi untuk remaja perempuan 0.8% (CI= 0.4%-1,4%) dan 13,1% (C|=10,6%-16,1 %) untuk remaja laki-Iaki.
Untuk tujuan pemodalan, sampel yang digunakan hanya 5800, yaitu mereka yang mengaku mengisi secara jujur pada keliga pertanyaan validasi. Valiabel dependen adalah perilaku berisiko yaitu variabel laten dengan dua indikator (perilaku seks pra-nikah dan penyalahgunaan narkoba). Dengan menggunakan Lisrel 8.7, dianalisis hubungan variabel dependen dengan variabel biologis temperamen berisiko (novelty seeking, harm avoidance dan reward depandence), dengan variabel psikologis; pengetahuan, sikap permisif, perilaku antara (merokok dan aIkohoI), perilaku eksternalisasi, kegiatan terstruktur, determinasi diri, transendensi diri (kontrol spiritual). dengan variabal keluarga; pola asuh positif (dukungan, norma dan sanksi yang jelas), pola asuh keluarga negatif (kritik berlebih, hukuman fisik dan kekerasan seksual), sosial ekonomi keluarga, dengan variabel lingkungan; keterpajanan terhadap pornografi, lingkungan hidup yang negatif dan teman sebaya yang negatif. Confirmatory Factor Anaysis dan Cronbach?s Alpha dlgunakan untuk uji keajegan dan kesahihan dari variabel Iaten. Estimasi maximum likelihood dilakukan dalam pemodelan. Model hipotetis diuji dan terbukli lepatifit {CFl=0,89, RMSEA=0.051. SRMR=0,056). Dengan metode spill half model ini diuji ulang pada 50% sampel dan menghasilkan CFI=0,B9, RMSEA=0,049. SRMR=0,05T. Modifikasi dilakukan agar model lebih fit dan persimoni sehingga variabel kontrol spiritual, dan perilaku eksternalisasi dihilangkan dari model yang perannya sangal kecil terhadap variabel dependennya. Untuk melihat hubungan antar variabel digunakan koefisien path terstandarnisasi.
Dalam pemodelan struktural terbukti bahwa faktor lingkungan yaitu teman sebaya negatif (0,158) sangat berperan unluk terbentuknya perilaku bérisiko. Faktor psikologis, dalam hal ini; pengetahuan (0.06) dan sikap permisif (0,07) tidak banyak perannya terhadap perilaku berisiko demikian pula dengan keterpajanan terhadap pornografi yang tidak mamiliki hubungan Iangsung dengan perilaku berisiko. Dengan demikan pemberian informasi dan pemberantasan pornografi saja tidak cukup efektif untuk mencegah ramaja berperilaku beresiko. Perilaku merokok dan alkohol (0,45) merupakan perilaku antara yang kuat untuk terbentuknya perilaku berisiko. Dilain pihak, faktor biologis, yaitu seorang remaja dengan temperamen (0.39) rasa ingin tahu yang tinggi, tidak pencemas dan rendah peduli terhadap lingkungan sosialnya, jika tidak mandapatkan bimbingan Iebih mudah jatuh untuk melakukan perilaku merokok dan alkohol yang akhimya dapat membawa remaja terjerumus pada perilaku berisiko.
Keluarga dengan pola asuh positif (-0.58) merupakan faktor yang dapat mencegah remaja untuk berteman dengan sebaya negatif, sebaliknya keluarga negatif (151) sangat berhubungan erat dengan pemilihan teman negatif. Namun huhungan langsung antara faktor keluarga dengan perilaku berisiko tidak ditemukan. Keluarga positif juga merupakan faktor protektif bagi tarbentuknya sikap permisivitas (-0,31) namun tidak berhubungan dengan peningkatan pengetahuan remaja terhadap seks dan narkoba. Hal ini menunjukkan tidak berjalannya transfer informasi dari orang tua kepada remajanya.
Secara keseluruhan dalam penelitian ini, kegiatan terstruktur tidak terbukti dapat memproteksi remaja, namun jika dipilah-pilah ternyata kegiatan olah raga baik di sekolah maupun di Iuar sekolah justru merupakan faktor resiko. Hal ini menunjukkan pentingnya pendampingan bagi remaja dalam aktivitas olah raga agar terbentuk norma yang positif. Jika dibandingkan dengan kegiatan di luar sakolah, kegiatan ekstra kurikuler di sekolah Iebih bersifat protektif. Kegiatan kesenian. dan aktiviias organisasi remaja Iainnya di luar sekolah lebih beresiko dibandingkan kegiatan di dalam sekolah.
Dalam perspektif jender, pengaruh keluarga positif lebih besar perannya pada remaja perempuan dibandingkan dengan laki-Iaki. Persamaan regresi pada remaja laki-Iaki hanya dapat menjelaskan 55% dari variasi yang ada, sedangkan pada perempuan persamaan ini dapat menjelaskan 99% dan variasi yang ada. Remaja perempuan yang Iebih banyak terpapar dengan berbagai kegiatan terstruktur tampak lebih pemisif dan berpengelahuan Iebih baik dari pada yang tidak ikut.
Untuk mencegah penularan HIV, intervensi pada remaja menjadi sangat panting. Pencegahan pada perilaku awal yang secara potensial akan berisiko tertular HIV harus dicegah sedini mungkin dengan disain yang komprehensif. Hasil pemodelan ini menegaskan pentingnya peran Iingkungan sosial yaitu teman sebaya negatif dan perilaku merokok serta alkohol sabagai Iintasan Iangsung menuju perilaku berisiko. Faktor keluarga secara tidak Iangsung besar perannya untuk mencegah remaja bergaul dengan teman negatif, sedangkan faktor temperamen berperan dalam terbentuknya perilaku merokok dan alkohol. Komponen psikologis seperti pengetahuan dan sikap permisif tidak banyak peranannya, bahkan kontrol spintual yang dihipotesakan dapat mencegah perilaku berisiko tidak berhasil dibuktikan.
Simpulan penelitian ini adalah bahwa pengaruh sistim sosial sangat dominan dalam membentuk parilaku berisiko pada remaja. Temuan ini sejalan dengan teori psikologi perkembangan remaja yang menyatakan bahwa dalam proses pendewasaan, pengaruh keluarga telah bergeser menjadi teman sebaya. Hal ini dibuktikan dengan besarnya pengaruh Iangsung dan teman sebaya negatif terhadap perilaku berisiko, sedangkan pengaruh keluarga bardampak tidak langsung. Namun demikian keluarga menjadi dasar yang kuat bagi remaja dalam pemilihan teman sebayanya. Faktor psikologis tidak besar perannya terhadap perilaku berisiko. namun faktor psikologis sangat dipengaruhi faklor keluarga. Di lain pihak faktor biologis dalam hal ini berperan dalam terbentuknya perilaku adiksi.
Secara jangka panjang, disarankan agar Usaha Kesehatan Sekolah bagi remaja dikembangkan. keterampilan guru Bimbingan dan Konseling ditingkatkan serta kebijakan pemerintah dalam hal melindungi remaja lerhadap serangan industri rokok harus digalakan, terutama dikaitkan dengan sponsor pada kegiatan olah raga dan musik. Mencegah perilaku berisiko harus dimulai dari pencegahan agar remaja tidak merokok dan minum alkohol. Dalam jangka pendek disarankan untuk menggunakan forum peduli remaja yang ada sebagai forum koordinasi antar instansi perintah dan LSM, sehingga intervensi bukan hanya melalui pemberian informasi kesehatan yang bersifat insidental namun juga ketrampilan asertif yang dilakukan secara berkesinambungan dengan pendekatan teman sebaya atau Iewat kegiatan ekstrakulikuler. Intervensi keluarga lewat ceramah dan pelatihan komunikasi dengan remaja, baik melalui sekolah maupun di Iuar sekolah juga disarankan.

Adolescence is a transition periode from childhood to adulthood. Physical and psychological changes faced by the adolescent can potentially lead them to the risky behavior in HIV transmission. In this decade half of the people living with HlV are the youth. Two types of behavior that can initiate to HIV transmission are premarital sex and drug user. The aim of the study is to find the perfect model in explaining the risk and protective factors ofthe risk behavior and compare it using gender perspective.
This study is 8 collaborative effort between DKI Jakarta Provincial Narcotic Board and Center for Health Research University of Indonesia in finding the prevalence estimate of drug users and premarital sex among the adolescent. This cross Sectional study was conducted in 119 schools in live municipalities in DKI with 8941 students. Anonimous self administered is the method used to collect the data. Prevalence estimate of adolescence premarital sex in DKI are 3.2% (Cf= 2.4%-4.2%}. whereas 1.8% (Cl=0.9%-3.7%) for girts and 4.3% (Cf=3.4%-5.6%) for boys. Prevalence of drugs user are 7.3% (Cl= 5.4%-9.9%). whereas 0.8% (CI= 0.4%-1.4%) for girls and 13.1% (C|=10.6%-16.1%) for boys.
For the risky behavior model. only 5800 sampled subjects that passed three validation questions were used. The dependence variabel of this study is the risky behavior as latent variable with two indicators (premarital sex and drug user). Using Lisrel 8.7. the data were analized with biological variable such as risky temperament (novelty seeking, harm avoidence dan reward dependence). with psychological variables: knowledge. promiscuous attitude, intermediate behavior (smoking and drinking alcohol). externalization behavior. structural activity. self determination. self transedence (spiritual control). with family variablest family positiveness (support. norms and sanction). family risk (over critic. corporal punishement and sexual abused). socio-economic status of the family. with social environmental variables: pomographic exposure, negative neighbourhood, and negative peer. Conlirrnatory Factor Analysis and Cronbach's Alpha were used to test the reliability and construct validity of the latent variables. Estimation of the maximum likelihood was used in this modelling. The hypothetical model was tested and the model was fit (CFl=0,89. RMSEA=0.051. SRMR=0.056). With the split hair' method or 50% of the sample. the model was examined resulting the model was still fit (CFl=0.89. RlvlSEA=0.049, SRMR=0.057). To produce parsimonious model, spiritual control and externalization behavior were deleted since both had weak relationships with dependent variable. To find the relationships between variables. standardized path coofficient was used.
This structural model proved that the environmental factor such as negative peer (0.38) has a strong role to the risky behavior. Psychological factors such as knowledge (0.06) and promiscuous altitude (0.07) have small relationships to the risky behavior. as well as the pornographic exposure. lt means that dissemination of information and eradiction of pomographic material are not effective enough to prevent the adolescent from the risky behavior. Smoking and drinking (0.45) are proven as the stepping stone for the risky behavior. In addition. biological factor such adolescents temperament (0.39) with high novelty seeking. low hann avoidance and low reward dependence. has strong relationship with smoking and drinking behavior. Therefore it is important to emphazise smoking and drinking prevention.
Family with positive child rearing (-0.58) can prevent the adolescent from the negative peer and can also prevent them from smoking and drinking. On the otherside. family with negative child rearing (1.1) has strong relationship with the negative peer. However. direct relation between family and risky behavior is not found. Family positiveness is also a protective factor for the promiscuous attitude (-0.31). but has no relationship with the knowledge improvement about sex and narcotics. it was shown that transfer of knowledge from parents to adolescent is not working.
In general, the structural activities were not proven as a protective factor to the adolescents risky behavior, but in separated analysis, it shows that sport in shoot or out of shool is a risk activity. lt means that guidance to build positive norms is important in adolescent sports club. lvloreover, extracurricular activities are more protective than activities outside school. Art and musical activities, as well as the other adolescent organizations outside school are more risky compared to the school activities.
In gender perspective, the role of family positiveness is stronger for girls compared to boys. It was revealed that R2 (99%) in regression equation in girls can explain majority of the variance variation, while in boys it was only 55%. Female adolescents that have more structural activities are more permissive and have slightly higher knowledge compared to female adolescents with less activities.
To prevent the spread of HIV, intervention for the adolescent is important. Early intervention to prevent the potential behavior that can be a risk for HIV transmission must be designed comprehensively. This model emphasize the important role of social environment such as negative peer, smoking and drinking as the direct variable for the risk behavior. Family factor has indirect effect to prevent the adolescent from negative peers. Psychological components such as knowledge and attitude have little effect on the risky behavior. Biological factors such as temperament with high novelty seeking, low hami avoidance and low reward dependence must be considered as a risk factor for smoking and drinking.
The conclusion of the study is that the social system is very dominant in creating the adolescent risk behavior. The result of this study supports the psychological development theory that in the adolescence process of maturity, the role of family has been shifted to their peers. This was proven by the magnitude of the direct effect of the negative peers for the risky behavior, and the role of family has only indirect effect. Nevertheless, the family is the foundation for the adolescents in choosing their peers. The role of psychological factors for risk behavior is weak, and again, the family has str'ong influence to the development of psychological factors. On the otherhand, biological factors such as temperament has a strong relationship with the addiction behavior.
It is suggested to have a long term plan in expanding the School Health Effort for adolescents, improving the skills of the school counselors and having a strong policy to protect the adolescents from tobacco industries sponsorship in sport and musical activities. In a short term plan, a coordination forum between govemment and NGOs should be improved in order to expand incidental health infomiation to more sustain intervention, such as using peer group educator and extracuriculer activities. Family intervension using seminars and communication training are also suggested.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
D652
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Zaki Dinul
"HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit communicable disease yang merusak sistem kekebalan tubuh. Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan sistem kekebalan tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik individu dan faktor risiko terhadap terjadinya infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti saroso tahun 2011. Desain penelitian ini adalah cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita HIV/AIDS yang berkunjung ke klinik VCT yang memiliki kelengkapan data yang lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proprsi infeksi oportunistik (84,4 %) dan ada hubungan antara jumlah CD4 dan stadium HIV/AIDS terhadap terjadinya infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS (pvalue = 0,037). Diharapkan penelitian ini dapat berguna bagi perumusan program pencegahan dan tatalaksana HIV/AIDS di masa yang akan datang.

HIV / AIDS is a disease communicable disease that damages the immune system. Opportunistic infections are infections caused by the decrease in the immune system. This study aims to know the description of individual characteristics and risk factors for the occurrence of opportunistic infections in people with HIV / AIDS at the Hospital for Infectious Diseases Sulianti Saroso in 2011. This study design is cross-sectional. The sample in this study were all patients with HIV / AIDS who visited the VCT clinic that has a complete data completeness.
The results showed that proprsi opportunistic infections (84.4%) and no relationship between CD4 count and stage of HIV / AIDS on the occurrence of opportunistic infections in people with HIV / AIDS (pvalue = 0.037). It is hoped this research can be useful for the formulation of programs of prevention and management of HIV / AIDS in the future.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Marlenita Br
"Tesis ini bertujuan untuk mengembangkan alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan pada orang dengan HIV/AIDS. Metode yang digunakan adalah konfirmatif eksploratif terhadap empat Gold Standard yaitu WHOQOL-HIV BREF, MOS HIV, EQ-5D-5L dan Ina-HRQoL. Dilakukan suatu studi literature dan uji validitas dan reliabilitas untuk memilih atribut yang sesuai untuk digunakan sebagai alat ukur. Ke-empat goldstandar diujikan pada masing-masing 30 responden. Dari 81 item pertanyaan diperoleh 70 item yang valid, dilakukan reduksi item dengan mengeliminasi item yang tidak sesuai dengan dimensi yang ditetapkan yaitu dimensi FISIK, MANDIRI, SOSIAL, MENTAL dan SPIRITUAL, sehingga diperoleh 40 item yang sesuai. Setelah itu dilakukan pengelompokan pada item yang sama atau menanyakan hal yang sama sehingga diperoleh 17 atribut. Ditambah satu atribut Bekerja yang dipandang penting maka keseluruhan atribut menjadi 18 yaitu Vitalitas, Rasa Sakit, Tidur, Mobilitas, Akyifitas Pribadi, Bepergian, Bekerja, Hubungan Personal, Dukungan Teman, Seksual,Aktifitas Sosial, Konsentrasi, Citra Diri, Menikmati Hidup, Perasaan Negatif, Hidup Berarti, Khawatir Masa Depan, Takut Kematian. Kedelapanbelas atribut kemudian dikembangkan menjadi kuesioner dan diujikan pada 30 responden dengan nilai alpha Cronbach 0,905, sehingga alat ukur ini dinilai valid dan reliable. Alat ukur yang baru dinamakan D-HIV HRQOL kemudian di aplikasikan pada 119 responden pada Yayasan Layak dengan nilai alpha Cronbach sebesar 0,895. Dari 119 responden ternyata 73,11% laki-laki dan 26,89% perempuan; kelompok umur terbanyak adalah 30-39tahun yaitu sebanyak 65,55% dan kedua terbanyak pada umur 20-29 tahun yaitu 23,53%. Tingkat pendidikan responden cukup baik yaitu 68,91% tingkat menengah atas, dan pekerjaan terbanyak adalah swasta 52,94%. Dari riwayat penggunaan narkotika diperoleh 52,10% pernah, dan 17,65% masih aktif, demikian juga riwayat penggunaan alkohol 42,86% pernah dan 3,36% masih aktif. Faktor penularan terbanyak adalah melalui pemakaian narkotika suntikan sebanyak 63,87% dan seksual sebanyak 35,29%. Untuk nilai CD4 hanya 103 responden yang melengkapi data 44,66% pada 200-500 cells/ml dan 38,83% pada kurang dari 200 cells/ml. Hanya 19 responden yang sudah pernah diperiksa viral load, 10 undetected dan 9 detected. Menurut stadium 52,10% pada stadium II, dan 29,41 pada stadium II. Sebanyak 26,89% belum menerima pengobatan ARV dan 22,69% sudah menjalani ARV selama lebih dari 2 tahun. Nilai utility rata-rata pada 50,61 (0,7) dengan nilai minimum pada 22 (0.30) dan maksimum pada 69 (0.96), time preference rata-rata adalah 17,06. Sehingga nilai QALY?s adalah 11,94.

The objective of this thesis is to develop an instrument that could be used in examining health related quality of life on people living with HIV/AIDS. The method used in this case is confirmative explorative to the four gold standards which is WHOQOL-HIV BREF, MOS HIV, EQ-5D-5L and Ina-HRQoL. Literature, validity, and reliability tests are conducted to choose the appropriate attributes to be used in the measuring instrument. These four gold standards were each tested on 30 respondents. Out of 81 items, 70 were found valid. An item reduction was carried by eliminating items that does not fit the dimensions, which is Physical, Social, Independence, Mental, and Spiritual dimensions, so that 40 suitable items was obtained. After that, classification on the same items, or items that was asking the same questions was done so that 17 attributes is obtained. And the ?Working? attribute was added because it was deemed important for the instrument. The result was 18 attributes which is Vitality, Pain, Sleep, Mobility, Personal Activity, Traveling, Working, Personal Relationship, Friend Support, Sexual, Social Activity, Concentration, Self-Image, Enjoying Life, Negative Feeling, Meaningful Life, Worries about the Future, and Fear of Death. These 18 attributes was then developed into a questionnaire and tested on 30 respondents with the Cronbach alpha values of 0.905, so that this instrument was deemed valid and reliable. The new instrument named D-HIV HRQOL was then applied to 119 respondents at ?Yayasan Layak? with the Cronbach alpha value of 0.895. Out of 119 respondents 73.11% were male and 26.59% were female; the largest age group was 30-39 years old as much as 65.55%, the second largest was 20-29 years old as much as 23.53%. The education level of the respondents was high enough, as much as 68.91% was middle class up. As much as 52.94% of the respondents were working in private sectors. As much as 52.10% of the respondents was using drugs in the past, with 17.65% is still actively using drugs, as much as 42.86% of the respondents was drinking alcohol in the past, with 3.36% is still actively drinking it. The largest factor of transmission was injection drugs as much as 63.87% and trough sexual as much as 35.29%. only 103 respondents fills in the CD4 value, of which 44.66% is at 200-250 cells/ml and 38.83% is at less than 200 cells/ml. Only 19 respondents were tested on viral load, 10 of which is proven undetected, and 9 detected. Stadium wise, as much as 52.10% of the respondents were at the second stadium, and 29.41% were at the third stadium. As much as 26.89% have yet to receive ARV treatment and 22.69% has received ARV treatment for the past 2 years. The average utility value is at 50.61 (0.7) with the lowest value being 22 (0.30) and the highest is 69 (0.96). The average time preference is 17.06, so the resulting QALY value is 11.94."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T36053
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febriana Caturwati Iswanti
"Uji diagnostik dengan sensitivitas dan spesilisitas tinggi untuk deteksi infeksi HIV sangat penting dikembangkan untuk mengontrol infeksi HIV di Indonesia. Uji diagnostik berbasis serologi yang digunakan untuk deteksi infeksi HIV di Indonesia seharusnya dapat mengenali epitop virus HIV subtipe CRF0l AE karena subtipe ini merupakan strain dominan (90%) di Indonesia. Penggunaan antigen rekombinan dilaporkan meningkatkan sensitivitas dan spesilisitas uji serologi dan antigen mumi dapat diproduksi dengan lebih mudah dan lebih aman.
Pada studi ini, antigen p24 HIV-1 rekombinan digunakan untuk mendapatkan data awal tentang reaktivitas antigen p24 HIV-I subtipe B dengan serum yang diduga terinfeksi HIV/AIDS clan plasma terinfeksi HIV/AIDS subtipe CRF0l_AE dari Jakarta dan bebelapa propinsi di Indonesia. Reaktivitas plasma dan serum terhadap antigen p24 rekombinan dalam bentuk terdenaturasi dan non-denaturasi diuji dengan dot blot (DB) dan westem blot (WB).
Hasil penelitian ini menunjukkan 33 dari 33 (l00%) serum/plasma HIV + neaktif dengan uji WB dan DB, sedangkan dari 21 serum indeterminate 43% Sampel reaktif dengan uji WB dan tidak ada (0%) yang reaktifdengan uji dot blot. Dua sampel serum negatif HIV reaktif dengan uji WB tapi tidak reaktif dengan DB. Studi ini menunjukkan bahwa antigen p24 subtipe B bereaksi silang dengan serum/plasma individu dengan CRF0l_AE.
Hasil yang tidak konsisten tampak pada reaktivitas protein p24 rekombinan terhadap sampel indetenninate dan negatifi Diperlukan studi lebih lanjut dengan jumlahsampel lebih besar dan lokasi geografis lebih luas dengan pemeriksaan PCR dan kultur untuk menjelaskan hal ini.

Diagnostic system with high sensitivity and specificity for detection of HIV infection is important to develop for control of HIV injection in Indonesia. It is however important that the immunoassay used for detection of HIV infection in Indonesia involve the recognition of epitopes belonging to HIV-I AE_CRF0l subtype since this particular subtype constitutes approximately 90% of the circulating HIV-I strains in Indonesia. The use of recombinant antigen has been shown to improve the sensitivity and specificity of serology diagnostic while allowing sate and large scale production of pure antigen with relatively less technical difficulties.
In this study, His-Tagged recombinant P24 HIV-l antigen was utilized to obtain initial data concerning the reactivity of subtype B HIV- p24 antigen with sera of HIV-AIDS suspected individuals and plasma of AE_CRF0l infected individuals from Jakarta and .several other provinces in Indonesia. The reactivity of the plasma and sera with native and linear tarmacked of the recombinant p24 antigen were respectively assessed by dot blot (DB) and Western blot (WB) assays.
The results of this study showed that 33 of 33 (100%) HIV positive sera/plasma is reactive with both WB and dot blot assay, while of the 21 indeterminate sera/plasma samples 43% reactivity was observed by WB and none (0%) by DB. The two negative sera/plasma samples from suspected HIV-AIDS injected individuals were both reactive by WB but non-reactive by DB. This study showed that the p24 antigen of HIV-1 subtype B cross-react with sera/plasma from AE_CRF 01 injected individuals.
The inconsistent result shown by DB and WB in the reactivity of recombinant p24 reactivity with plasma and sera of individuals with indeterminate and negative injection status is interesting to be furtherly studied using expanded number of samples from a wider geographical location involving other methods for detection of HIV-I infection such as PCR and culture, in order to obtain a statistically representative data concerning this findings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32311
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Nurtjahjati Basuki
"Risiko penularan HIV bila menyusui mengakibatkan dilema pemberian makanan bayi akibat ancaman kurang gizi atau terinfeksi HIV pada praktik yang tidak tepat. Studi observsi deskriptif ini bertujuan mengeksplorasi praktik pemberian makanan bayi pada ibu resiko tinggi HIV di Bandung. Pesan yang disampaikan para pemangku kepentingan, keberadaan konselor makanan bayi, periode terungkapnya status HIV, kcpatuhan ibu serta kebiasaan masyarakat senempat adalah aspek-aspek yang mempcngaruhi praktik makanan bayi setempat. Pemberian makanan bayi pcngganti ASI tidak memenuhi criteria AFASS. Lemahnya komponen utama dalam sistem kesehatan yang mengelola program makanan bayi dari ibu resiko tinggi HIV menghalangi tercapainya tujuan yang diharapkan.

HIV transmission through breastfeeding caused dilemma in infant feeding practice due to likelihood of nutritional inadequacy or HIV transmission risk. A descriptive observational study was performed to explore infant feeding practice from HIV high risk mothers in Bandung. Aspects affecting the feeding practice were message of infant feeding endorsed by stakeholders, availability of trained counselors, the timing of HIV status revealed, mother's willingness to comply and the feeding norm. Replacement feeding practice was far from the expected AFASS criteria. Health system in charge of the infant feeding program lack main components to run properly and to reach the expected outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32323
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shena Masyita Deviernur
"Perilaku seksual berisiko HIV/AIDS pada LSL dapat dipengaruhi oleh pengetahuan pencegahan dan miskonspsi terkait HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan HIV/AIDS dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS pada LSL di 3 kota Yogyakarta, Tangerang, Makassar di Indonesia tahun 2013. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan menggunakan data STBP 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah 343 LSL di 3 kota di Indonesia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan dianalilsis secara univariat, bivariat, dan stratifikasi. Hasil penelitian yang didapatkan adalah 16 LSL memiliki tingkat perilaku seksusal berisiko tinggi, 30.9 LSL memiliki pengetahuan pencegahan dan miskonsepsi kurang, 52.5 LSL berusia >24 tahun, 48 LSL kurang berpartisipasi dalam program pelayanan kesehatan HIV/AIDS, 51 LSL mendapat sumber informasi kurang. Berdasarkan analisis bivariat yang dilakukan hubungan dengan perilaku seksual berisiko HIV AIDS yaitu kurang memiliki pengetahuan HIV/AIDS PR=2.0;95 CI 1.2-3.2 , usia le; 24 tahun PR=1.7 ; 95 CI 1.0-2.7 , kurang berpartisipasi pada program kesehatan PR=2.0 ; 95 CI 1.2-3.4 , kurang mendapatkan sumber media informasi PR=0.6 ; 95 CI 0.4-1.0 . Hasil stratifikasi antar strata pada variabel kovariat yaitu PR lebih tinggi pada LSL berusia >24 tahun PR=2.14 ; 95 CI 0.98-4.66 , LSL yang kurang mengikuti program pelayanan kesehatan PR=2.10; 95 CI 1.17-3.77 , dan LSL yang baik mendapat media sumber informasi PR=2.05 ; 95 CI 1.11-3.77 . Oleh karena itu disarankan untuk meningkatkan kembali program IPP, memberikan edukasi sesuai dengan usia, dan memberikan sumber informasi yang lebih efektif dan massive.Kata kunci: Lelaki Seks Lelaki LSL ; pengetahuan HIV/AIDS; perilaku seksual berisiko.

Sexual risk behavior HIV AIDS among MSM can be influenced by prevention and misconception knowledge of HIV AIDS. This study aims to determine the relations about knowledge of HIV AIDS and sexual risk behavior HIV AIDS among MSM in 3 cities Yogyakarta, Tangerang, Makassar in Indonesia on 2013. This study used cross sectional design by using data IBBS 2013. Samples in this study were 343 MSM in 3 cities in Indonesia meet the criteria inclusion and exclusion and analyzed by univariate, bivariate, and stratification. Form the result, the percentage were 16 MSM have high risk of sexual risk behavior, 30.9 MSM have prevention and misconception knowledge less, 52.5 MSM 24 years, 48 MSM less participate in the health services HIV AIDS, 51 MSM less of source information. Based on analysis bivariate relationships with sexual risk behavior HIV AIDS less having knowledge HIV AIDS PR 2.0 95 CI 1.2 3.2 , age le 24 years PR 1.7 95 CI 1.0 2.7 , less participate in the health program PR 2.0 95 CI 1.2 3.4 , less get media source information PR 0.6 95 CI 0.4 1.0 . Stratification results of the strata on the variables of covariate variable have higher PR on MSM aged 24 years PR 2.14 95 CI 0.98 4.66 , MSM less follow the program health service PR 2.10 95 CI 1.17 3.77 , and MSM got a better media source information PR 2.05 95 CI 1.11 3.77 . It is therefore advisable to improve program IPP back, give education in according by age, and provide a source of information that is more effective and massive.Keywords Men Sex with Men MSM , sexual behavior risk HIV AIDS, knowledge of HIV AIDS."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S66466
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>