Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156499 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shandy Donarisma
"Sebagian fenomena kerusakan lingkungan hadir karena adanya pembangunan peradaban modern. Asumsi kebebasan manusia mendasari peradaban ini dan membawa kontrak sosial sebagai bentuk manifestasinya. Persoalannya adalah kontrak hanya melibatkan manusia, dan tidak melibatkan lingkungan sebagai entitas yang otonom, tetapi sebagai properti. Gagasan humanisme baru diperlukan untuk mengungkap persoalan ini. Penyelidikan sejarah humanisme diperlukan untuk peta sumber masalah. Menghubungkan gagasan humanisme eksistensial Jean-Paul Sartre dengan fenomena kerusakan lingkungan dapat mengindikasikan kemungkinan lahirnya humanisme baru di masa depan.

The phenomenon of environmental damage is present due to construction of modern civilization. The assumption of human freedom is underlying this civilization and brought social contract as its manifestation. The issue is a contract only involve human and not involve the environment as an autonomous entity, but as property. The idea of new humanism is needed to unravel this problem. Investigation of the history of humanism is needed to map the source of the issue. Linking the idea of existential humanism Jean-Paul Sartre to the phenomena of environmental damage could indicate the possibility of a new humanism in the future.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S65700
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Natsir Afandi
"Karya tulis ilmiah ini akan menelaah suatu masalah pokok, yaitu mengenai Kebebasan Menuru Jean Paul Sar_tre dalam 'Ada dan Ketiadaan'. Sartre, lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905 dan meningrgal 15 April 1980. Banyak menulis karya-karyanya di bidang filsafat, prose-fiksi, drama dan lainnya. Sartre mendasari filsafatnya dengan bertumpu pada ontologi. Ia mengemukakan masalah ada, yakni : (1) L'etre en-soi (Ada-pada-dirinya), (2) L'erte pour-soi (Ada-untuk-dirinya), dan (3) L'etre pour-les autres (Ada-untuk-orang lain) beserta sifat-sifatnya. Kebebasan merupakan sifat dari "etre pour-soi" yang tidak dapat dilepaskan sifat lainnya, yakni, kesadaran, kebelumselesaian dirinya. Maka, "Kebebasan sebagai Ada dan Ketiadaan" harus dipahami sebagai berikut ini. "Ada" sebagai pour-soi (untuk dirinya) adalah dihukum untuk bebas. "Ada" ini mampu "berbuat" baik secara "meniada" maupun untuk "mengadakan".
Dengan melalui kemampuan menentukan pilihan/tujuan di pikiran, motif, motivasinya, kehendak dan tindakannya guna mewujudkan tujuan objektifnya. Berarti melalui kebebasannya manusia mempunyai kesanggupan untuk menyadari dirinya yang bebas itu memang _ada_ sekaligus mampu memahami fenomena-fenomena dirinya. Maka dari itu dirinya dipahami sebagai ada dan tiada, mampu "membuat" dirinya, dengan membuat dari yang tiada menjadi ada (mampu mewujudkan apa yang di alam pikirannya menjadi kenyataan). Lagi pula Sartre juga mengulas kebebasan dalam hubungannya dengan situasi, faktisitas, serta tanggung jawabnya. Begitu juga kebebasan erat kaitannya dengan pembuatan nilai-nilai yang dilakukan oleh dirinya. Demikianlah menurut Sartre.
Penulis memilih judul Skripsi tersebut, guna mengetahui arti suatu kebebasan. Dan tentunya kita ingin mengetahui pengaruh kebebasan terhadap suatu masyarakat khususnya terhadap kreativitas atau dinamikanya. Maka, tidak heran jika diperlukan pula adanya evaluasi atau pun pembahasan mengenai relevansinya. Namun, guna mengetahui isi tulisan tersebut yang lebih luas sebaiknya dibaca dalam bab-bab selanjutnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S16181
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kais Abdullah Faqih
"ABSTRAK
Pemahaman atas dimensi transendensi yang diartikan sebagai suatu relasi vertikal dari manusia terhadap Tuhan, telah menghilangkan makna subjektivitas dari diri manusia. Kesadaran dan kebebasan tidak dipandang serius sebagai bagian dalam eksistensi manusia di dunia. Skripsi ini merupakan sebuah telaah kritis terhadap gagasan atas dimensi transendensi yang syarat dengan aspek Teologi. Melalui Jean Paul Sartre, pemahaman atas dimensi transendensi manusia akan dikembalikan kepada manusia dalam usahanya untuk melampaui pengalaman empiris sebagai subjek yang otonom. Konsep transendensi manusia kemudian akan dipahami dari perspektif subjek itu sendiri dengan kemampuannya untuk melampaui pengalaman aktual lewat kesadaran yang bertransendensi.

ABSTRACT
An understanding of the human transcendence dimension which is defined as a vertical relations from man to God, it has eliminated the meaning of subjectivity from the man itself. Consciousness and freedom is not taken seriously as a part of human existence in the world. This thesis is a critical analyzes from the idea of human transcendence dimension in terms of the theological aspects. Through Jean Paul Sartre, the understanding of human transcendence dimension will be returned to man with his effort to transcend the empirical experience as the autonomous subject. The concept of human transcendence then will be conceived from perspective of the subject itself with its ability to surpass his actual experience through the transcendence of consciousness.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S62009
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldair Zerista Hutama
"Dalam eksistensialisme Sartre, rasa takut kurang mendapat penjelasan yang mendalam, sehingga sulit untuk dapat melihat pengaruhnya dalam eksistensi seorang subjek. Rasa takut sesungguhnya adalah salah satu rasa mendasar yang dimiliki oleh manusia. Rasa takut sudah terstruktur di dalam diri seorang manusia. Ia mempengaruhi hal-hal yang dilakukan oleh subjek bahkan sejak subjek masih dalam tahap kesadaran pra-reflektif. Rasa muak akan membawa subjek menyadari bahwa sesungguhnya ia memiliki kebebasan dan dapat menentukan eksistensi dirinya sendiri. Dari sana, kesadaran pra-reflektif berubah menjadi kesadaran reflektif. Kebebasan adalah kutukan karena ia selalu diiringi dengan tanggung jawab yang berat padahal tidak pernah ada kepastian akan hasil yang nantinya didapat. Hal itulah yang membuat manusia mengalami rasa cemas. Rasa cemas ini kemudian membawa manusia melihat konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari pilihan yang ada bagi si subjek. Disinilah kemudian rasa takut mempengaruhi subjek dalam mengambil pilihan eksistensialisnya. Apakah subjek akan memilih pilihan yang aman baginya, ataukah ia berani melawan ketakutannya dan bertransendenis menjadi diri yang baru.

The focus of this study is to prove the effect of fear for the existence of the subject, which is not well explained in Sartre’s existensialism. As a matter of fact, fear is one of human basic feeling, it is an undeniable structure as a human. Feareffected subjects act even in pra-reflective conciousness stage. Nausea will bring subject to realizing, that in fact, he has a freedom and he can choose freely, what kind of existence that he want to create for his own self. At that stage, prareflective conciousness will change into reflective conciousnes and subject could realize their freedom. But freedom it self is a curse because there's a great responsibility adheres our acts whereas there’s never been any certainity about the consequnces. This condition trap human in anxiety feeling. Anxiety will bring subject to see the consequences that probably will appear from all the choice that they can take. At this stage, fear will effecting subject in taking his existential choice. Will the subject going to choose the savest choiceor fight his fear and doing transcended and becoming a new self."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47773
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M.A. Endang Tatiana K.
"Huis Clos adalah salah satu karya Jean-Paul Sartre yang bertutur tentang hubungan antarmanusia (dalam lakon diwujudkan dengan hubungan antartokoh). Hubungan antar manusia tersebut merupakan bagian dari flsafat. Sartre yang paling banyak dibicarakan sehingga masalah ini menarik untuk diteliti Iobih lanjut.
Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan antartokoh dalam lakon Huis Clos karya Jean-Paul Sartre. Metode yang dipakai adalah metode struktural, sedangkan teori yang digunakan adalah teori drama dalam buku Lire le Theatre karya Anne Ubersfeld mengenai alur, pengaluran, tokoh dengan himpunan ciri pembedanya, tokoh sebagai pengujar, latar ruang dan latar waktu. Sebagai pelengkap, digunakan teori proses komunikasi menurut Schmitt dan Viala dalam buku Savoir Lire.
Langkah pertama pembahasan adalah analisis alur yang dilakukan dengan menggunakan skema aktan. Hasil analisis rnenunjukkan bahwa hubungan antartokoh dalam lakon ini adalah hubungan subyek-obyek. Kemudian dari analisis pengaluran yang dilakukan berdasarkan babak dan adegan terlihat bahwa konflik hubungan antartokoh muncul pada adegan kelima dan bahwa konflik tersebut tidak akan pernah berakhir.
Langkah selanjutnya adaiah analisis tokoh. Dari analisis tokoh dengan ciri pembedanya terlihat bahwa ciri-ciri mental para tokoh menjadi dasar terbentuknya hubungan antartokoh, sedangkan dari analisis tokoh sebagai pengujar terlihat usaha para tokoh untuk menjadikan tokoh lain sebagai obyek meialui dialog di antara mereka.
Langkah terakhir pembahasan adalah analisis latar ruang dan waktu. Hasil analisis memperlihatkan bahwa unsur ruang dan waktu membuat para tokoh terperangkap selama-lamanya dalam hubungan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S14332
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artha Paramita Prima Ardiyanti
"Skripsi ini membahas gambaran neraka di dalam drama Huis Clos karya Jean-Paul Sartre. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan penjabaran secara deskriptif. Hasil penelitian memberikan gambaran neraka yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari melalui unsur-unsur sederhana yang kerap dialami oleh manusia. Gambaran neraka dapat ditemukan dan kemudian dilihat dari orang lain yang menyebabkan rasa ketidaknyamanan, hilangnya kebebasan, tatapan, komentar, dan pendapat. Unsur-unsur tersebut membangun gambaran bahwa orang lain dapat menimbulkan siksaan psikologis dan konflik yang kerap dialami oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.

This thesis discusses the picture of hell in the drama Huis Clos by Jean-paul Sartre. This study is a qualitative study with descriptive elaboration. The results gives picture of hell that can be found in everyday life through the simple elements that are often experienced by humans. Picture of hell can be found and then viewed from another person that causes discomfort, lost of freedom, stares, comments, and opinieons. These elements build up a picture that someone else can lead to psychological and conflict that are often experienced by human in everyday life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S539
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Prima
"Kita tidak sendirian di dunia ini: ada orang lain. Kita hidup bersama dengan the Other. Ketika saya menghadapi the Other, saya merasa terasing sebagai the Other karena dia mengenal saya sebagai objek dalam dunianya. Saya tidak pernah bisa mengalami diri sendiri sebagaimana the Other mengobjekkan saya. Dengan demikian, the Other dikatakan mengetahui rahasia tentang saya. Analisis dari tatapan memungkinkan Sartre untuk menjelaskan bagaimana kehadiran the Other secara radikal dan fundamental mempengaruhi dunia saya dan diri saya, karena saya diobjektifikasi oleh the Other dan merasa terasing, hubungan dengan orang lain akan terdistorsi: konflik adalah inti dari hubungan kita dengan orang lain. Bagi Sartre, "Neraka adalah orang lain!" Bahkan cinta - suatu hubungan yang mungkin kita pikir merasa aman dari konflik, tetaplah berujung dengan konflik. Charlie dalam film The Perks of Being a Wallflower merupakan sebuah contoh realitas atas pemahaman eksitensialisme Jean-Paul Sartre. Charlie memiliki pengalaman buruk yang menyebabkannya tidak lagi percaya dengan relasi antar individu. Menyadari hal itu, hidupnya semakin sulit untuk dijalani. Charlie berkeinginan untuk memiliki kehidupan yang selayaknya mahkluk sosial, namun kekhawatiran Charlie timbul ketika ia memutuskan kembali untuk memulai kembali menjalin relasi dengan orang lain. Setelah menghadapi permasalahan eksistensialnya, Charlie pun bisa merubah pandangannya terhadap dunia sosial, melampaui bad faithnya dan bisa memaknai arti kehidupan orang lain sebagai hal yang positif baginya. Sesaat itu Charlie menemukan otentisitas dalam dirinya.

We are not alone in this world: there are others. We live together with the Other. When I face the Other, I feel alienated as the Other because he knew me as an object in the world. I was never able to experience ourselves as the Other objectify me. Thus, the Other is said to know a secret about me. Analysis of gaze allows Sartre to explain how the presence of the Other is radically and fundamentally affect my world and myself, because I was objectified by the Other and feel alienated, relationships with others will be distorted: the conflict is at the core of our relationships with others. For Sartre, "Hell is other people!" Even love - a relationship which we think may feel safe from the conflict, still lead to conflict. Charlie in The Perks of Being a Wallflower is an example of the reality of understanding existentialism of Jean-Paul Sartre. Charlie had a bad experience that caused it no longer believes the relationships between individuals. Realizing this, the more difficult to live his life. Charlie wants to have a life of proper social creatures, but Charlie concerns arise when he decided to return to restart a relationship with another person. After confronting existential issues, Charlie was able to change his view of the social world, surpassed his bad faith and could interpret the meaning of
other people's lives as a positive thing for him. A moment that Charlie find authenticity in himself.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56322
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasuhuk, Tonny
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T5972
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petsy Jessy Ismoyo
"Skripsi ini membahas mengenai kebebasan dalam roman L'Âge de Raison karya Jean-Paul Sartre. Skripsi ini menggunakan analisis struktural. Sartre terkenal dengan pemikirannya mengenai kebebasan eksistensial. Penelitian ini melihat pemikiran Sartre mengenai kebebasan yang berkaitan dengan eksistensi, la mauvaise foi dan otentisitas manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sartre menyampaikan pemikirannya melalui seluruh aspek naratif dalam roman ini. Melalui seluruh aspek naratif, Sartre menyampaikan pemikirannya yang menyatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, eksistensi manusia mendahului esensinya, adanya keberadaan orang lain dan tanggung jawab manusia dalam setiap pilihannya.

This thesis discusses about the freedom from the novel The Age of Reason by Jean-Paul Sartre using structural analysis. Sartre is famous by his thoughts about the existential freedom. This thesis consists of Sartre's existensialism which relates to the existence, the bad faith, and the authenticity. The result showed that Sartre delivers his thoughts through all aspects of the narrative in this novel. Through all aspects of the narrative, Sartre conveys his thoughts that man is condemned to be free, human existence that precedes his essence, the existence of Others, and the responsibility of man in every choice.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42847
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Annisa
"Skripsi ini akan membahas mengenai subjek yang eksis dan hubungannya dengan keputusan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan adanya relasi interdependensi yang terjadi antara seorang subjek dan orang lain yang menjadi landasan penting dalam eksistensialisme Jean Paul Sartre. Relasi interdependensi akan memberi dampak pada keputusan yang dibuat oleh seorang subjek, karena subjek yang eksis tidak akan lepas dari pengaruh orang-orang yang pernah terlibat dalam pengalamannya. Hal ini terjadi karena orang lain merupakan salah satu unsur pembentuk faktisitas manusia.

This thesis will talk about an exist subject and its relation with decision. The purpose of this research is to show an interdependent relation between the Self and the Other who became Jean Paul Sartre’s base of existentialism. The interdependence relationships will have an impact on decisions made by a subject, because the subject would not exist apart from the influence of the Other who have been involved in the experience. This happens because the Other is one of the elements forming man’s facticity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46462
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>