Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148886 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Narayuga Prajna Soebagjo
"Penelitian ini membahas pengaturan serta penerapan PMSC dalam hukum laut internasional dan praktiknya di beberapa negara. PMSC merupakan perusahaan swasta yang melakukan kegiatan Private Contracted Armed Security Personnel (PCASP) di atas kapal dagang. Tujuan PMSC adalah memberikan perlindungan baik secara langsung atau tidak langsung kepada kapal-kapal yang menjadi klien mereka dari serangan perompak ketika melintasi High Risk Area (HRA) di sekitar Teluk Aden. Namun hingga kini masih belum ada produk hard law dalam hukum internasional yang mengatur para PMSC ini dan hanya ada produk-produk soft law oleh beberapa organisasi internasional, perusahaan pelayaran, PMSC, dan negara bendera.
Dari hasil penelitian ini, didapati bahwa banyak negara masih belum memiliki peraturan nasional yang mengatur secara spesifik mengenai ini. Banyak negara hanya mengikuti sesuai dengan guideline oleh International Maritime Organization (IMO) yang bernama Best Management Practice 4. Maka dari itu perlu dibuatnya regulasi sedemikian rupa agar dapat menghindari terjadinya insiden dan eskalasi kekerasan oleh perompak terhadap kapal-kapal yang melintas di HRA.

This research aims on reviewing the use of Private Maritime Security Company on civilian commercial vessels from the point of view of International Law of the Sea. Company regulation, as well as National Regulation. Indubitably, from the perspective of International Law, PMSC is indeed still an exquisite matter. This is due to the fact that United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) does not regulate the use of PMSC. Unto this day, there are only soft law regulations made from the initiative from International Maritime Organization (IMO), PMSC, and International Commiitte of Red Cross (ICRC). Additionally, many countries still does not have any regulations regarding the use of armed guards on their vessels. Thus, the practice of PMSC and their regulations are still mazy.
This research found out that PMSC needs to be regulated to avoid the potential caused to innocent ships as well as reducing the escalation of violence from pirates. The fact that PMSC may cause escalation of violence made international organizations, shipping industries, and flag states to urgently regulate the use of PMSC on board their vessels to defend themselves from pirate attacks in Gulf of Oman?s High Risk Area."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S63271
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Anwar
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
D1787
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suroyo Mulyo
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Pardi
Jakarta: Timun Mas, 1954
341.44 PAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Nur Aathif
"Tesis ini membahas mengenai preferensi kerja sama maritim terhadap isu kekerasan maritim di perairan Sulu-Sulawesi antara Indonesia dan Filipina pada tahun 2016-2020. Sebagai dua negara yang sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara, berbentuk kepulauan-maritim, memiliki kepentingan di Laut Sulu-Sulawesi, dan memiliki identitas independen dalam politik luar negerinya, Indonesia dan Filipina faktanya memiliki preferensi kerja sama yang berbeda dalam menangani isu kekerasan maritim tersebut. Di satu sisi, Indonesia lebih memilih kerangka kerja sama maritim yang berdasarkan pada diplomasi maritim guna menghindari adanya dominasi, sedangkan Filipina di sisi lain lebih cenderung pragmatis dalam menginisiasi kerja sama dengan siapapun yang memang berpotensi memberikan kontribusi bagi pencapaian kepentingan nasional Filipina. Perbedaan preferensi kerja sama maritim kedua negara ini dianalisis dengan menggunakan Teori Peran milik Breuning, yang memiliki asumsi bahwa perilaku kebijakan luar negeri dilatarbelakangi oleh konsepsi peran nasional oleh para pembuat kebijakan yang mana dipengaruhi oleh faktor ideasional dan material. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus komparatif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, dokumen arsip, dan wawancara. Tesis ini menemukan bahwa konsepsi peran nasional mempengaruhi perbedaan preferensi kerjasama maritim di antara kedua negara yang faktanya memiliki karakteristik yang hampir sama. Dengan mengkaji seluruh faktor pembentuk konsepsi peran nasional, ditemukan bahwa Indonesia memiliki peran nasional sebagai negara independen-aktif, negara maritim, dan pemimpin kawasan, sedangkan Filipina memiliki peran nasional independen-pragmatis, negara maritim, dan kolaborator.

This thesis discusses the preferences for maritime cooperation on the issue of maritime violence in Sulu-Sulawesi waters between Indonesia and the Philippines in 2016-2020. As two countries that are both located in the Southeast Asia region, having archipelagic-maritime nature, having interests in the Sulu-Sulawesi Sea, and having independent identities in their foreign policy, Indonesia and the Philippines, in fact, possess different preferences for maritime cooperation in dealing with the issues of maritime violence. On the one hand, Indonesia prefers a maritime cooperation framework based on maritime diplomacy to avoid domination, while the Philippines, on the other hand, tends to be pragmatic in initiating cooperation with anyone who has potential to contribute to the achievement of the Philippine‟s national interest. Differences in maritime cooperation preferences between the two countries are analyzed using Breuning's Role Theory, which assumes that foreign policy behavior of a country is driven by particular national role conceptualized by its policy makers which is influenced by both the ideational and material factors. This thesis used a qualitative method with a comparative case study. Sources of data used in this thesis are documentation, archival documents, and interview. This thesis finds that the conception of the national role affects the differences in preferences for maritime cooperation between the two countries, although both have almost the same characteristics. By examining all the factors influencing the national role conception, it is found that national role conception of Indonesia are independent-active, maritime country, and regional leader, while the national role conception of Philippines are independent-pragmatic, maritime country, and collaborator."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, Alamsyah Putra
"Operasi Keamanan Laut merupakan salah satu tugas TNI Angkatan Laut dalam menegakkan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran tindak pidana tertentu di laut. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 9.b yaitu menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Pangkalan TNI AL merupakan salah satu bagian dari Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yang memiliki kemampuan Operasi Keamanan Laut dalam melaksanakan penegakan hukum di laut. Terbatasnya kemampuan dan jumlah sarana patroli serta personel pengawak yang belum memadai dibandingkan luasnya wilayah kerja Pangkalan TNI AL dan cuaca yang ekstrem menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan penegakan hukum di laut. Untuk itu Pangkalan TNI AL menerapkan peran polisionil dalam bentuk operasi keamanan laut terbatas dengan
mengoptimalkan dan memberdayakan unsur-unsur patroli yang ada meliputi Kapal Angkatan Laut (KAL) dan Patroli Keamanan Laut (Patkamla). Penelitian yang dilaksanakan di Pangkalan TNI AL oleh peneliti memperoleh dan mengumpulkan data-data mengenai situasi kondisi sarana prasarana dan personel yang digunakan dalam proses pengolahan dan analisis data
dengan menggunakan metode campuran (mix methods) Concurent Embeded di mana metode kuantitatif diolah dengan SPSS 25 Statistic dan metode kualitatif diolah dengan NVivo 12 Plus yang dilaksanakan secara bersamaan. Data-data yang digunakan adalah data primer berupa kuisioner dan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen TNI AL. Tujuan
penelitian ini adalah sebagai rekomendasi bagi TNI AL untuk meningkatkan kemampuan Operasi Keamanan Laut Pangkalan TNI AL dalam rangka penegakan hukum di laut sehingga dapat meningkatkan ketahanan nasional dibidang maritim."
Jakarta: Seskoal Press, 2020
023.1 JMI 8:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Fitriana Suhirta
"Penelitian skripsi ini dilakukan dengan menganalisis permasalahan hukum tertuang dalam Time Charter Party dan Voyage Charter Party PT PIS Melawan Prinsip hukum transportasi laut Indonesia, dengan metode penelitian yuridis normatif. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah teori hukum angkutan laut dan teori hukum perjanjian. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa bentuk standar Time Charter Party dan Voyage Pihak Piagam PT PIS belum memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, juga Kode Hukum Dagang Kode Hukum Perdata. Ini ditunjukkan dengan adanya enam pasal-pasal Partai Piagam Waktu dan lima pasal Partai Piagam Pelayaran memiliki ketentuan yang berbeda dengan ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan Kode Sipil. Saran yang bisa disampaikan kepada pihak yang mengeluarkan formulir perjanjian piagam standar untuk memenuhi syarat melakukan tinjauan terhadap klausul formulir standar dan menyesuaikannya dengan prinsip hukum perhubungan laut Indonesia.

This thesis research is conducted by analyzing legal problems contained in the Time Charter Party and Voyage Charter Party of PT PIS Against the principles of Indonesian sea transportation law, using the method normative juridical research. The theoretical basis used in this thesis research is sea transportation law theory and agreement law theory. The results show that the standard forms of Time Charter Party and Voyage of PT PIS Charter Parties have not met the provisions in Law Number 17 of 2008 concerning Shipping, as well as the Code of Commercial Law, Code of Civil Law. This is indicated by the existence of six articles of the Time Charter Party and five articles of the Shipping Charter Party which have different provisions from the provisions in Law Number 17 of 2008 concerning Shipping, the Code of Trade Law, and the Civil Code. Suggestions can be conveyed to the party issuing the standard charter agreement form to fulfill the requirements to review the clauses of the standard form and adapt them to the principles of Indonesian sea transportation law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam Az Zahra
"Penggunaan kekuatan di dalam hukum internasional dibagi menjadi penggunaan kekuatan tanpa senjata dan penggunaan kekuatan bersenjata. Penggunaan kekuatan bersenjata kerap digunakan oleh otoritas suatu negara terhadap negara lain, yang salah satunya terlihat dari adanya intervensi, sebagaimana yang dilakukan oleh pasukan militer Rusia terhadap Georgia di wilayah Ossetia Selatan pada Agustus 2008 lalu. Pelaksanaan penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara terhadap negara lain sesungguhnya merupakan tindakan yang dilarang di dalam hukum internasional. Larangan tersebut salah satunya dapat dilihat di dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Namun demikian, hukum internasional juga memberikan dua kondisi utama yang mengizinkan pelaksanaan penggunaan kekuatan bersenjata sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 Piagam PBB dan Bab VII Piagam PBB. Di dalam prakteknya, negara-negara kerap menggunakan kekuatan bersenjata berdasarkan alasan lain di luar pengaturan Pasal 51 Piagam PBB dan Bab VII Piagam PBB. Rusia di dalam intervensinya terhadap Georgia bersandar di balik alasan intervensi kemanusiaan, perlindungan terhadap warga negara di luar negeri, dan bela diri. Sementara Georgia berlindung di balik alasan bela diri.

Use of force in international law is divided into use of unarmed force and use of armed force. Use of armed force is frequently employed by an authority of a certain state towards other state, which can be seen in an intervention, for instance military intervention of Russia?s army towards Georgia in South Ossetia during August 2008. International law prohibits the use of armed force, the prohibition itself can be found in Article 2 par.4 UN Charter. However, international law grants two circumstances which authorize use of armed force. The provision itself can be found in Article 51 UN Charter and Chapter VII UN Charter. Practically, States frequently use armed force due to other reason beyond the one that stipulated in Article 51 UN Charter and Chapter VII UN Charter. The intervention or Russia towards Georgia lied within the reason of humanitarian intervention, protection of civilians abroad, and self defense. Meanwhile, Georgia solely use of its armed force in reason of self-defense."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42768
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Authira Lanacitra
"Pergeseran strategi keamanan Tiongkok ke arah maritim merupakan kasus yang unik mengingat Tiongkok asalnya merupakan negara kontinen dan bukan negara maritim. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai intensi Tiongkok dalam melakukan pembangunan kekuatan maritim yang agresif. Untuk dapat memahami perdebatan tersebut, penulis melakukan klasifikasi terhadap literatur-literatur pergeseran strategi keamanan Tiongkok berdasarkan temuan empiris yang didapatkan dari hasil kajian literatur, yaitu klasifikasi berdasarkan faktor pendorong pergeseran strategi keamanan maritim Tiongkok. Faktor-faktor tersebut yaitu faktor ekonomi yang berkaitan dengan keamanan energi dan perdagangan laut; politik yang berkaitan dengan penyebaran soft power; keamanan yang berkaitan dengan perubahan persepsi ancaman; geopolitik yang berkaitan dengan usaha untuk mengimbangi Amerika Serikat dan mengejar hegemoni; dan geostrategi yang berkaitan dengan rantai pulau pertama dan kedua. Dari hasil analisis faktor-faktor tersebut, tulisan ini berkesimpulan bahwa pergeseran strategi keamanan maritim Tiongkok merupakan bagian dari usaha Tiongkok untuk mencapai hegemoni.

The shift in China's security strategy towards maritime is a unique case since China wass originally a continental country and not a maritime country. This raises debates over China's intentions in building aggressive maritime power. In order to understand the debate, the author classifies literatures on Chinese security strategy based on the empirical findings generated from the results of the literature review, ie the driving factors behind China's shifting maritime strategy. These factors are economic factors that are related to energy security and marine trade politics factors that are related to soft power dissemination security factors that are associated with perception change geopolitics factors that are associated with efforts to challenge the United States and pursue hegemony and geostrategy factors that are associated with first and second island chains. This paper concludes that the shift of China's maritime security strategy is part of China's efforts to pursue hegemony.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>